Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 26.2 - Faded


Beberapa saat kemudian, Sean sudah sampai di depan rumahnya dan memarkirkan mobilnya asal-asalan. Beberapa pengurus rumah yang sedang bekerja di halaman depan melihatnya dengan tatapan was-was. Sean membanting pintu mobil dengan kasar dan melangkah lebar-lebar memasuki rumahnya.

Ia segera melangkah menuju lemari kabinet kaca yang hampir menghiasi setengah dari dinding ruang tamu, lalu membukanya untuk mengambil salah satu dari ratusan merek minuman keras yang terpajang di dalamnya.

Sean membawanya sambil duduk di depan lemari kabinet tersebut yang sudah ia rancang seperti meja bar. Ia menuangkannya dengan gemetar ke dalam gelas kecil yang sudah disiapkan di atas meja.

Ia perlu menenangkan kemarahannya.

Ia memang memerlukan kemarahannya tapi tidak saat ini. Perasaan ini terlalu meluap-luap dan hampir menguasai dirinya. Sean tidak suka sesuatu menguasai dirinya. Hanya dirinya yang boleh mengatur hidupnya. Sama seperti perasaannya terhadap Valeria. Perasan tersebut selama ini telah menguasai dan mengendalikan dirinya tanpa ia sadari.

Valeria...

Nama yang sangat indah...

Dan terdengar seperti kutukan baginya...

Sean mengangkat cairan berwarna bening di gelasnya dan meminumnya dengan cepat. Aroma dingin alkohol menusuk tajam hidungnya dan mengalirkan sensasi rasa hangat membakar yang mengalir dari kerongkongan menuju dadanya. Sebentar lagi minuman itu akan memberikan efek menenangkan yang ia inginkan.

Menit demi menit berlalu.

Dan minuman itu tidak kunjung memberikan efek yang diinginkannya.

Sean merasa frustrasi dan melempar gelas serta botol minuman tersebut ke arah lemari kabinet kaca yang terpampang di hadapannya. Telinganya diterjang bunyi kaca yang pecah berkeping-keping seakan kaca yang hancur itu mewakili hatinya. Belum puas ia menuju jendela dan menarik semua gorden hingga sobek dan membuat berkas sinar matahari sore memancar silau ke matanya. Ia tak peduli. Ia harus melampiaskan kemarahannya pada sesuatu. Tangannya mulai bergerak mencari barang lain yang dapat dihancurkannya. Ia mengangkat kursi dan melemparnya ke kaca jendela, ia merobek semua lukisan mahal yang dapat ditemukannya, membuang semua benda-benda pajangan dari porselen. Ruang tamu itu seketika hancur berantakan seperti baru saja diterjang badai.

Ia berhenti dan jatuh berlutut sambil meremas rambutnya. "BRENGSEK!!!! GADIS BRENGSEK!!!!" teriaknya kembali dengan frustrasi.

Semua pengurus rumah tangganya tampak mengintipnya dengan takut-takut dari balik dinding dapur. Mereka mendengar keributan dan berbondong-bondong ingin mengetahui apa yang terjadi. Tetapi setelah melihat pemandangan mengerikan itu mereka tidak berani mendekat.

Merasa diperhatikan, Sean seketika menoleh dan menatap tajam mereka dengan pandangan matanya yang sedingin es. Semua pengurus rumah tangga yang mengintipnya terkejut dan bergegas membubarkan diri berpura-pura tidak mendengar apapun.

Sean berdiri perlahan dan melangkahkan sepatunya keluar ruangan. Langkahnya bergemeretak menginjak pecahan kaca dan puing-puing porselen yang berserakan di lantai. Sesaat ia menghilang di pintu keluar dan terdengar deru suara mobil kembali yang menandakan kepergian Sean.

Para pengurus rumah tangga dan pembantunya kembali berkumpul dan bernapas lega. Mereka berjalan ke depan ruang tamu dan mulai menatap hasil perbuatan Sean. Para wanita mulai ribut bertanya-tanya satu sama lain penyebab mengamuknya majikan mereka.

Pak Dira mendiamkan dan menyuruh mereka untuk mulai membersihkan kekacauan yang terjadi. Ia menghela napas. Pengurus rumah Sean itu mengerti apa yang membuat majikannya berperilaku seperti orang kesetanan hari ini. Semua itu berhubungan dengan tidak terlihatnya majikan wanitanya seminggu terakhir. Ia hanya bisa berdoa dengan pasrah semoga keadaan ini tidak berkelanjutan.

***

"Kalau begitu kami permisi dulu ya, Om, Tante. Nanti kalau perlu pada kami hubungi saja, kami siap membantu." Gwen mewakili ketiga temannya berpamitan pada orangtua Valeria siang itu.

"Mama ucapkan terimakasih ya. Kalian sudah membantu banyak." Amelia berujar sambil melambaikan tangan pada mereka. Matanya sembab dan hidungnya agak kemerahan karena terlampau sering menangis.

Andre, Felix dan Jean juga ikut melambaikan tangan sambil menggenggam tangan Amelia. Setelah teman-teman Valeria menghilang dengan mobil SUV, mereka menuntun Amelia kembali ke dalam rumah.

Ini sudah hampir sebulan semenjak hilangnya Valeria. Teman-teman Valeria kadang kemari untuk mengecek perkembangan yang terjadi pada sahabat mereka tersebut. Mereka juga terus mencoba menghubungi Valeria dengan harapan suatu ketika Valeria tiba-tiba membalasnya.

Keluarga Winata dan Sean sudah bersepakat untuk tidak melaporkan hal ini pada polisi dan mereka pasrah menyerahkan pencarian tersebut pada Sean sambil sesekali tetap berusaha mencari.

"Nyonya, jangan sedih terus. Nanti nyonya sakit." Bik Sani memasuki ruang keluarga sambil membawa teh untuk ibunda Valeria tersebut.

"Bagaimana aku bisa gembira kalau seperti ini, Bik!" Amelia sedikit emosi menjawabnya lalu menoleh kembali menatap taman. Setiap menatap taman seperti ini, ingatannya akan selalu melayang pada Valeria kembali.

"Ma..Mama.. Lihat ada pelanginya Ma." ujar Valeria saat membantunya menyiram taman suatu sore.

Amelia menoleh dan melihat Valeria mengarahkan selang air ke atas kepalanya dan membuat semprotan air itu berbentuk air mancur. Tampak biasan pelangi di air tersebut karena terkena cahaya matahari sore. Valeria tertawa menampakkan giginya dengan bangga.

"Jangan buang-buang air, Vally!!!" Amelia menghadiahkan jeweran pada telinga Valeria atas kekreatifannya tersebut.

"Aw...Mama!!" Valeria bersungut-sungut sambil memegang telinganya.

Amelia menutup mulutnya mengingat peristiwa itu.

"Mama...Besok kalau sudah besar aku akan menikah dengan orang seperti Papa yang selalu mencintai Mama." Valeria tersenyum saat sedang menyisiri rambut Amelia dalam eksperimennya membuat model rambut ala Korea yang dilihatnya di majalah.

Amelia tertawa. "Vally tidak ingin punya cita-cita seperti dokter atau notaris seperti Kak Jean?"

'Uhm uhm." Valeria menggeleng. "Vally ingin seperti Mama." Ia memeluk Mamanya

Keinginan anaknya itu sungguh sederhana dan polos tanpa mengetahui pahit manisnya kehidupan.

"Ma... besok Vally akan menikah dengan orang yang bahkan tidak Vally kenal." Valeria menatap kosong bayangannya dan Amelia di cermin. Saat itu Valeria sedang mencoba baju pengantinnya dan Amelia berdiri di belakangnya.

Valeria memang mengatakan dengan penuh tekad tentang keinginannya untuk menikah dengan Sean pada Papanya, tapi ia tidak bisa menyembunyikan perasaannya yang tertekan pada Amelia.

"Apa Vally ingin dia mencintai Vally?" Amelia memegang bahu Valeria sambil menatap matanya di cermin.

Valeria berbalik dan menangis memeluk Amelia. "Vally tidak tahu apa yang Vally inginkan, Ma!!. Vally juga tidak memiliki perasaan apapun padanya selain ketakutan."

Amelia menenangkannya dan mengelus punggungnya saat itu.

"Mungkin ia tidak akan bisa menyukai Vally, Ma...Setidaknya Vally akan membuatnya tidak membenci Vally. Kurasa itu cukup untuk Vally. Vally bahkan tidak memiliki sesuatu yang bisa Vally banggakan." lanjut Valeria sambil terisak.

"Kalau kau percaya, kau pasti bisa, Vally. Tidak sulit untuk menyukaimu."

Ingatan terakhir itu membuat Amelia tak sanggup lagi menahan kesedihannya. Valeria memiliki impian yang sederhana, tapi bahkan impiannnya yang begitu sederhana itupun tidak terwujud.

"Kemana..."

Felix dan Andre menoleh pada Amelia yang mencoba mengucapkan sepatah kata. "Kemana dia...?" setitik air mata tampak bergulir di pipi Amelia.

"Kemana dia!!? Kemana, Pa!! Kemana gadis kecilku itu!?" Amelia mendorong suaminya yang duduk di sampingnya dengan membabi buta. "Katakan kemana dia!! Katakan!!!"

"Ma!! Ma...tenang Ma.." Felix dan Jean ikut panik dan berdiri menenangkan Mamanya.

"Kembalikan dia pada Mama, Jean, Felix. Kembalikan!!!!" Amelia memeluk anak prianya dan menangis histeris di dadanya. "Valeria tidak mungkin bisa melakukan semua itu sendirian, Felix!! Ia tidak mungkin bisa!!!"

Amelia membesarkan anak bungsunya itu dengan kasih sayang yang lebih dibandingkan yang diberikannya pada kedua anak sebelumnya.

Jean dan Felix tidak mengetahui hal itu.

Bukannya ia pilih kasih...Bukan itu...

Tapi sejak lahir, tatapan mata Valeria dan senyuman anak itu selalu memancing rasa melindungi pada dirinya. Valeria tidak pernah rewel saat masih balita, dan selalu menuruti apapun perkataannya.

Amelia teringat dulu ketika dirinya menangis di tempat tidur saat suaminya melupakan ulang tahunnya, Valeria yang berumur tiga tahun memetikkan bunga untuknya dan memanjat tempat tidur untuk memberikan padanya bunga itu sambil menangis juga. Amelia bisa tertawa seketika saat itu hanya dengan melihatnya.

Sejak saat itu ia menetapkan Valeria sebagai peri kecilnya.

"Ma...semua khawatir pada Vally, Ma. Bukan hanya Mama." Felix mengelus punggung Mamanya yang masih bergetar karena sesenggukan. Felix bahkan memanggil Valeria dengan nama Vally, bukan Ale seperti yang selalu ia ucapkan.

Jean menatap pemandangan itu dengan miris. Ia memalingkan wajahnya. Dalam hatinya ia memikirkan sesuatu untuk menghapus kesedihan Mamanya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro