Part 21.2 - Fallin in Love
"Ma...." Felix bergumam sambil menatap pintu kaca yang menghubungkan taman dan ruang makan mereka.
"Ada apa Felix?! Jangan mengajak Mama bicara bisa nggak?" Mamanya yang sedang memakai masker wajah menggeram kepada Felix.
"Tapi, Ma. Felix khawatir ama keadaan Ale. Tuh, liat aja sekarang dia menggunting semua tanaman hias Mama di taman."
"Apa?! Kamu jangan bercanda, Felix!!" Mamanya terbangun hingga dua irisan mentimun terjatuh dari wajahnya.
Ia spontan menoleh menatap taman dan melihat anak bungsunya, Valeria sedang menggunting-gunting tanaman semak membabi buta dengan gunting rumput.
"Valeria... Tolong jelaskan pada Mama apa maksud semua ini, sayang?" Amelia menghampiri Valeria sambil berkacak pinggang.
Valeria mengelap keringatnya di kening dan berbalik menatap Mamanya. "Vally melihat taman Mama mulai tumbuh lebat dan harus dirapikan, Ma."
Amelia merangkul anaknya. "Hari sudah mulai siang, Nak. Ayo berhentilah bekerja dan masuk ke dalam." ia tersenyum.
"Tapi. Ma...Vally belum selesai...."
"Tanaman Mama sudah hampir habis kaubantai, Vally!!" mamanya tiba-tiba tidak tersenyum lagi. Valeria meringis.
"Buang gunting rumput itu!!" bentak mamanya.
Valeria spontan membuangnya di rumput sebelah mereka berdiri.
"Begitu lebih baik." mamanya tersenyum kembali. "Ayo masuk. Mama buatkan sesuatu yang pasti Vally suka."
"I..Iya Ma.."
Valeria terduduk di meja dapur sambil menatap ke arah taman. Ia menatap taman yang disirami cahaya matahari itu tanpa ekspresi.
Felix menatapnya dengan kebingungan. Seharian ini, adiknya itu bertingkah aneh. "Kakak mau keluar jalan-jalan, mau ikut?" tawar Felix.
Valeria menoleh menatapnya dan menggeleng pelan.
"Jangan takut, kali ini Kakak yang bayar semua. Janji." Felix menaikkan dua jarinya.
"Aku sedang tidak ingin kemana-mana, Kak." Valeria menggeleng lagi, lalu kembali menatap taman.
Felix mulai panik dalam hati. Ia merasakan ada yang tidak beres pada adiknya.
Mamanya juga menatapnya dengan cemas sambil membuat crepe untuk anaknya.
Tadi pagi Valeria terbangun dengan perasaan marah yang tak tertahankan. Ia merasa begitu kesal pada perlakuan Sean pada dirinya dan menyalurkan kobaran amarahnya itu dengan memangkas tanaman. Sejujurnya itu tidak terlalu membantu. Hatinya tetap tidak tenang, sementara di satu sisi banyak tanaman-tanaman tak berdosa yang malah menjadi korban.
Sekarang karena terlalu lelah, ia merasa lemah dan kehilangan semangat hidupnya. Sepertinya kehidupannya terasa hampa.
Ia tidak pernah jatuh cinta seumur hidupnya. Perasaannya terhadap Fabian dulu juga ia tidak yakin itu cinta. Ia memang menyukai Fabian, tapi tidak mencintainya. Dan sekarang Tuhan menakdirkannya jatuh cinta kepada pria yang sama sekali tidak diinginkannya. Sean Martadinata.
Dan Sean Martadinata tidak mencintainya.
Kenyataan yang sungguh ironis bagi Valeria. Ia sempat berpikir dengan menjauh dari Sean akan membuatnya terhindar dari jatuh cinta padanya, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Jauh dari Sean malah membuatnya tersadar ia mencintai pria itu.
Saat ia tersadar mencintai Sean, pria itu malah menyakiti hatinya lagi. Kenapa Sean tidak pernah mengerti keinginannya?
Apa Valeria harus mengatakannya saja? Bahwa ia mencintai Sean.
Sean terlihat menyukainya dan cemburu jika Valeria dekat dengan pria lain tapi tidak pernah ada pengakuan cinta yang terucap untuknya dari pria itu. Selama ini Sean sungguh melakukan banyak hal diluar prediksinya.
Valeria hanyalah manusia biasa. Keinginannya tentu saja sama seperti gadis lain yang sedang jatuh cinta ; ingin cintanya berbalas. Bahkan tadi malam ia bermimpi hidup bersama Sean dan anak-anak mereka seperti cerita fairytale yang selalu berakhir bahagia. Tapi saat terbangun dan kembali pada kenyataan, mimpi itu hanya membuatnya semakin galau.
"Chicken spicy crepe with cheese untuk Vally." Mamanya menghidangkan crepe yang mengepul di hadapannya.
Valeria menatap dengan saksama crepe di hadapannya itu.
Felix dan Amelia menatap Valeria yang menatap crepe dengan saksama.
Valeria mengambil piring berisi crepe itu dan membawanya. "Makasi Ma, Vally mau makan di kamar." Ia melangkah meninggalkan mereka dengan gontai.
Felix dan Amelia saling berpandangan.
"Mungkin Vally lagi kena sindrom kehamilan." Amelia tersenyum pada Felix.
Valeria mengurung diri seharian di kamarnya.
Ia tidak nafsu makan, tapi ia mencoba menghabiskan crepe buatan mamanya pelan-pelan sambil menonton acara televisi. Ia tidak ingin membuat mamanya bersedih dengan tidak memakannya.
Valeria sebenarnya tidak ingin terus-terusan bermuram durja seperti ini, tapi ia perlu waktu untuk menenangkan dirinya. Mungkin besok ia akan menjadi lebih baik.
Ia menatap meja belajar dimana ia meletakkan ponselnya. Ponselnya tidak berbunyi lagi.
Kemarin Sean meneleponnya hampir sepanjang malam setelah kembali dari rumahnya. Valeria enggan untuk menerimanya. Ia tidak ingin bertengkar dengan Sean lagi di telepon yang akan membuatnya semakin sedih.
Setelah menghubunginya sebanyak hampir 50 kali, ponselnya berhenti berbunyi. Mungkin Sean sudah bosan meladeninya.
Ia teringat bahwa saat di kantornya terakhir kali, kepergian Sean ke Kanada itu ada hubungannya dengan seorang gadis. Valeria lupa namanya karena tidak begitu jelas mendengarnya. Kalau memang benar, berarti Sean sedang bersama dengannya dan tidak ingin diganggu. Makanya ia tidak menghubungi Valeria sama sekali setelah sampai di sana.
Kesimpulan itu benar-benar masuk akal dan membuat hidupnya bertambah suram kembali.
***
Keesokan harinya ia terbangun dengan kesuraman yang sama. Bahkan lebih suram dibanding hari sebelumnya.
Kenapa Sean bisa mempengaruhi hidupnya sebesar ini?
Kalau boleh memilih, ia mungkin akan lebih memilih untuk tidak jatuh cinta pada Sean...ataupun pada siapapun.
Valeria kembali memulai harinya dengan malas. Ia turun untuk sarapan dengan gontai dan kembali ke kamarnya setelah makan. Ia lalu mandi dan merasa tidak ada yang dapat dilakukannya hari ini lalu akhirnya mengurung diri kembali di kamarnya sambil bergelung di bawah selimutnya.
Dirinya tidak menyadari bahwa papa mamanya dan Felix mengawasi perilakunya dengan cemas.
"Vally." terdengar ketukan di pintu kamarnya.
"Masuk aja, Ma...Nggak dikunci." Valeria menjawab dengan malas.
Amelia masuk dan menemukan Valeria sedang menggulung dirinya di bawah selimut. Ia duduk di samping tempat tidur Valeria. "Vally sakit? Kok belum siang sudah tidur lagi?" Ia membuka selimut dan memegang kening anaknya. Tidak panas.
"Nggak, Ma. Vally cuma ingin tidur saja." Valeria berbohong pada mamanya. Sedari tadi ia tidak ingin tidur tapi ia memaksa diri bergelung di bawah selimutnya agar tidak perlu bertemu siapapun.
"Turun ke bawah sebentar sana, ada yang ingin bertemu denganmu." ucap mamanya.
Valeria mengambil selimutnya dan menutupi kepalanya kembali. "Pasti teman-teman Vally lagi ya, Ma. Suruh Kak Felix aja yang menemani mereka, Ma. Vally lagi malas. Kasihan juga mereka sampai tiap hari kemari gara-gara Vally." Sahabat-sahabatnya itu memang hampir setiap hari ke rumahnya.
Semenjak melihat Kak Felix persisnya.
Mamanya terdengar menghela napas. Lalu mamanya beranjak dari tempat tidurnya dan tidak terdengar suara kembali.
Beberapa saat kemudian terasa seseorang kembali duduk di tempat tidurnya dan giliran Valeria yang menghela napas.
"Apa lagi, Ma?" Ia bertanya.
Tidak terdengar jawaban apapun dari mamanya.
Valeria kebingungan tapi ia diam saja. Lama kelamaan ia penasaran akan kebisuan mamanya dan perlahan-lahan menarik selimutnya.
Sebelum ia selesai melakukannya tiba-tiba seseorang masuk ke dalam selimutnya dan ikut berbaring memeluknya. Valeria megap-megap saat menyadari siapa yang melakukannya.
Ternyata Sean!!
Yang duduk di samping tempat tidurnya sedari tadi adalah Sean!!
Dan sebelum sempat memprotes, Sean sudah membungkam mulutnya dengan ciuman. Sean menciumnya di dalam selimut di kamarnya sendiri. Valeria hampir tak percaya tapi itu memang benar Sean.
Ciuman itu hanya berlangsung sebentar karena Sean melepaskan bibirnya. "Jangan berteriak. Mengapa kau tidak mengangkat teleponku?"
Valeria yang baru tersadar dari keterkejutannya menatap Sean seakan-akan Sean tidak nyata. "Apa masih harus bertanya alasannya lagi?!"
Jawaban Valeria tentu saja mengingatkan Sean pada penjelasan Rayhan padanya. Ia sudah membentak Valeria di telepon karena terpancing oleh Daniel.
Valeria tersadar dari keterkejutannya sepenuhnya dan mulai ingat bahwa ia sedang marah pada Sean. Ia melepaskan diri dari pelukan Sean dan memukul-mukul Sean sekuat tenaga sambil menangis.
"Sakit, Vale!!" Sean mengaduh, tapi Valeria tetap meneruskannya. Sean membiarkannya sampai Valeria puas dan terhenti sendiri.
Ia perlahan memeluk Valeria yang masih menangis. "Maafkan aku, Valeria. Aku sangat emosi akibat perkataan Daniel. Aku menelepon untuk meminta maaf padamu setelahnya, tapi kau tidak mengangkatnya." Sean mencium pipinya. "Aku sampai mempercepat kepulanganku karena tidak tenang memikirkanmu."
"Kenapa kau tidak meneleponku saat sudah sampai disana?!" Valeria bertanya sambil terisak.
Sean kebingungan menjawabnya. Ia sebenarnya sudah bersiap akan menelepon Valeria setelah sampai di Van Couver, tapi apa yang harus dikatakannya? Semua kata-kata yang ia siapkan terdengar menjijikkan dan ia memutuskan menunggu Valeria meneleponnya terlebih dahulu.
Dan Valeria tidak meneleponnya ataupun mengirimkan pesan padanya, jadi ia menganggap Valeria tidak peduli padanya. Tapi Sean menyadari seharusnya memang ia yang mengabarkan terlebih dahulu pada Valeria.
Sepertinya mereka selalu terjebak oleh kurangnya keterbukaan diri diantara mereka.
"Apa itu penting?" tanya Sean sambil menghapus bekas air mata di pipi Valeria.
Valeria mengangguk-angguk. "Sebenarnya sebelum berangkat, aku mendengar pembicaraanmu di kantor dengan orang itu, bahwa kau mencari seorang gadis di sana. Apa itu benar?" Ia menatap tajam pada Sean.
"Apa itu juga penting?" Sean bertanya lagi.
Valeria kesal akan jawaban Sean yang selalu balik melemparkan pertanyaan padanya. Ia memanjat menduduki tubuh Sean yang telentang dan memerangkapnya dengan tangannya.
"Kalau kau menyuruhku tidak mendekati laki-laki lain, maka peraturan itu juga wajib berlaku padamu sebaliknya. Mengerti?! Tidak boleh ada wanita lain selain diriku! Tidak boleh!!" Valeria berteriak frustrasi.
Sean tercengang menatapnya. Apa ini benar-benar Valeria? Ia sempat tidak percaya akan apa yang diucapkan gadis itu. Tapi sungguh, perkataan Valeria membuatnya senang bukan kepalang meski itu terdengar seperti sesuatu yang mengikat.
"Kau hanya milikku,..Sean." Valeria menurunkan wajahnya dan mencium Sean.
Dan ini pertama kalinya Valeria menciumnya terlebih dahulu tanpa harus diprovokasi. Sean dengan senang hati membalas ciumannya juga tanpa harus berpikir dua kali.
Sean menangkup wajah Valeria dengan kedua tangannya dan menghentikan ciuman itu. Ia menatap mata gadis itu. "Deal...Kau juga hanya milikku."
Valeria menatapnya dan merona. "Aku selalu milikmu." Ia mencium Sean kembali dan menikmati rasa Sean di bibirnya.
Ini adalah hari terindah dalam hidup Sean. Ia tidak menyesal mempercepat penerbangannya kembali ke Indonesia jika berakhir seperti ini.
Valeria menciumnya dengan perlahan-lahan dan sangat manis. Lidahnya yang mungil menyelinap menyusuri bibirnya lalu bergerak perlahan memasuki mulutnya hingga lidah mereka saling bertautan. Valeria melumat bibirnya dan mengisap lidahnya.
Tangannya menyentuh Sean dimana-mana. Rambutnya, lehernya, lalu turun ke dadanya, pinggangnya dan...
Sebenarnya apa yang dilakukan gadis itu?!!
Entah sengaja atau tidak tapi ia menggesekkan bagian kewanitaannya pada tubuh Sean yang sejak tadi sudah mengeras karena disentuh oleh gadis itu. Valeria membuatnya bergairah padahal mereka masih berpakaian lengkap. Sean bahkan masih memakai mantelnya karena dari bandara ia langsung kemari.
Sean mendadak panik saat tersadar dimana dirinya berada. Sial!! Ia terangsang di rumah mertuanya sendiri, di kamar Valeria yang bernuansa warna pink dan putih.
Tapi ia benar-benar sudah tidak tahan lagi dan akhirnya memutuskan untuk tidak peduli. Ia akan menyetubuhi Valeria sekarang juga. Ini semua salah Valeria yang merayunya, tapi bagaimana caranya mengatakan keinginannya sekarang pada gadis itu?
"Vale..."
"Sean, aku ingin!"
Belum sempat ia mengucapkannya, Valeria sudah memintanya terlebih dahulu.
Sean membeku karena masih tidak percaya akan pendengarannya selama 5 menit terakhir ini. Ia sempat mengira dirinya terkena efek jet lag. Ia harus menghitung 1 sampai 5 sebelum melanjutkan.
Sean membuka selimut dan bangun untuk duduk sambil mendudukkan Valeria juga di hadapannya. "Apa tidak sebaiknya kita pulang saja dan melanjutkannya.."
"Sekarang, Sean!! Sekarang!!!" Valeria membentaknya dengan kesal. "Mau kemana kau?!" Valeria memandang Sean yang turun dari tempat tidurnya.
"Menutup pintu kamarmu!! Apa kaupikir aku akan kabur, begitu?" Sean balas membentaknya. "Aku tidak mau ayahmu sampai membunuhku jika tahu aku menggauli putrinya di bawah atap rumahnya sendiri!"
"Papaku masih di kantor dan kita belum selesai mengenai gadismu di Kanada itu, Sean. Hanya saja ini lebih mendesak bagiku." Valeria memperingatkannya.
"Apapun yang kauinginkan." Sean menciumnya kembali.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro