Part 13-(PRIVATE) Aku Membencimu...
Sean menatap arlojinya. Jam menunjukkan pukul lima sore dan ia memutuskan untuk pulang ke rumah.
Rumah...
Sekarang ia sudah merasa memiliki rumah. Selama ini ia tidak memiliki tempat yang dapat ia katakan sebagai rumah. Dan disana ada Valeria, si anak nakal. Istrinya yang selalu menyambutnya dengan wajah cemberut.
....
Lebih tepatnya tidak pernah menyambutnya.
Sean tidak keberatan dengan itu dan malah menantikan saat-saat mereka akan memulai pertengkaran. Hari ini ia sibuk memikirkan kira-kira tema apa yang akan menjadi pertengkaran mereka.
Dan tidak akan ada yang dapat menghalanginya untuk secepatnya pulang ke rumah hari ini.
Kecuali kemacetan....
Sean selalu mudah kesal jika menyangkut sesuatu yang mengharuskannya menunggu, tetapi sekarang kemacetan pun terasa begitu indah. Ia terkena macet dan akhirnya sampai di rumah dengan gemilang dua jam berikutnya. Kalau seperti ini terus ia harus segera membangun landasan helikopter di rumahnya dan Valeria pasti akan mengatakannya terlalu berlebihan.
Valeria tidak ada di rumah...
Sean keheranan saat ia menemukan bahwa Valeria tidak ada di rumah. Kemana anak itu? Biasanya ia sudah menemukan gadis itu sedang asyik browsing atau menonton drama Korea yang disukainya. Sean memutuskan untuk makan malam lalu mandi. Siapa tahu setelahnya Valeria sudah pulang. Mungkin dia shopping. Sean sampai lupa kalau dia wanita.
Dan setelah melakukan semua hal yang disebutkan tadi, Valeria tidak pulang juga. Sean mulai merasa kesal. Ia langsung mengambil ponselnya dan menelepon anak itu. Terdengar nada sambung. 1 detik...5 detik...10 detik...hingga suara mesin operator memutusnya. Valeria tidak mengangkat teleponnya!! Tenang...tenangkan dirimu Sean. Sean menarik nafas. Mungkin anak itu tidak mendengarnya. Sean memutuskan untuk menelponnya lagi setelah sepuluh menit berlalu dan tidak diangkat juga. Sepuluh menit berikutnya ia menelpon dan hasilnya sama.
Kemana anak itu? Dibanding marah, Sean sebenarnya khawatir setengah mati. Valeria seorang gadis muda yang sedang hamil dan keluar seorang diri pada malam hari. Sean mulai memikirkan yang tidak-tidak. Mulai dari penculikan, perampokan, pemerkosaan hingga pembunuhan. Ia tidak akan sanggup menghadapinya jika terjadi sesuatu pada Valeria. Ponselnya berbunyi. Pesan masuk dari Valeria. Ternyata ia ada di rumah orangtuanya. Sean menghela nafas lega.
Ia melirik kembali jam ponselnya dan waktu sudah menunjukkan pukul delapan lewat. Ia akan menjemput Valeria. Tidak peduli gadis itu keberatan atau tidak. Sean sudah terlanjur mengkhawatirkannya. Ia segera berganti pakaian dan mengambil kunci mobil.
_______________
"Bebb bebb beb...Bang Sean?" Bik Sani tergagap melihat Sean ketika membuka pintu rumah. Ia menatap horor bagai melihat tukang kredit panci.
"Aku kesini menjemput Valeria." Sean menjelaskan.
"Iya, tapi Non Val belum pulang, Tuan...ntar lagi paling. Dia masih belanja" Bik Sani menjelaskan dengan gugup.
Jadi Valeria keluar rumah? Tapi ia sempat melihat mobil Valeria terparkir di depan. Ia semakin bingung dengan semua ini.
"Kalau begitu aku akan menunggunya" Sean menyahut.
"I..iya Tuan" Bik Sani mengangguk. Ia tetap berdiri anteng di depan pintu.
"Kalau begitu boleh aku masuk dan duduk di dalam, Nyonya?" Sean mulai kesal atas tingkah pembantu Valeria yang agak gaje ini.
Bik Sani tersadar dan menyingkir dari ambang pintu. "Eh, iya Tuan. Sorry"
Sean memasuki ruangan dan memilih duduk di sofa yang bisa membuatnya melihat langsung keluar, jikalau Valeria datang.
"Mana majikanmu?" Sean kembali bertanya.
"Tuan dan Nyonya masih ada acara kondangan, Tuan" Bik Sani menjawab.
Sean tidak bertanya lagi.
"Bang..eh, Tuan Sean mau minum apa? Ada kopi, teh, susu atau kopi susu kalau mau. Bajigur juga ada sama wedang jahe" Bik Sani menawarkan.
Sean serasa berada di angkringan. "Nggak usah. Air putih saja"
_______________
Terdengar suara mobil yang memasuki pekarangan rumah. Sean berpikir yang datang adalah Andre Winata dan istrinya. Ia tidak peduli jika Andre akan mengusirnya dari rumahnya. Biar saja.
Dan masuklah seorang anak laki-laki dan seorang wanita muda yang sepertinya sangat akrab. Sean mengamati dengan heran siapa mereka berdua.
"Senang banget hari ini bisa keluar sama kamu lagi, Val" anak muda itu bersuara.
Val?...Sean mengerutkan kening. Valeria!?
Itu tidak mungkin! Gadis ini bukan Valeria. Ia memakai pakaian hitam mini yang menampilkan paha dan kakinya yang berakhir dengan sepatu boots hitam semata kaki. Valeria tidak mungkin bergaya seberani ini. Dalam ingatannya, Valeria sudah identik dengan piyama. Tapi dari perawakan dan tinggi badannya gadis ini memang mirip Valeria.
"Kumohon, Val"
Sean menunggu saja sambil mengamati. Ia malas berbasa-basi dengan mereka. Ia kesini hanya untuk urusan menjemput Valeria.
Ia menatap anak laki-laki itu mencium si gadis. Gadis itu terdiam.
"Val, kau kenapa? Apa aku menyakitimu?" anak lelaki itu kembali bertanya.
"Nggak, Bian. Kamu nggak menyakitiku. Aku yang akan menyakitimu."
Suara itu...
Sean merasa langit-langit rumah runtuh menimpanya.
Gadis itu benar-benar Valeria. Valerianya! Istrinya! Dan ia mengenakan pakaian seperti wanita murahan bersama seorang pria. Entah siapa dia. Sementara bersama Sean, ia selalu mengenakan piyama sialan bermotif kartun anak-anak yang terkancing menutupi semua auratnya!
Kendali Sean yang selama ini terjaga dengan kuat kini menguap seketika. Ia merasa sangat murka, kesal, marah, dendam. Semua bercampur aduk bersatu dalam darahnya yang mendidih. Ia dengan bodohnya mencemaskan Valeria sementara gadis itu bersenang-senang dengan pria lain. Pria itu bahkan menciumnya. Dan ia tidak menolak.
"Non..." pembantu gadis itu tiba-tiba datang merusak segalanya. Sean sebenarnya ingin tahu kelanjutan dari apa yang akan mereka bicarakan. Ia sudah berusaha menunggu dengan tenang sementara darahnya bergejolak menuntut dirinya meledak.
"Apa sih, Bik!" Valeria berbalik dan kini ia dapat melihat wajah gadis itu. Sean benci melihatnya. Wajah cantik yang selalu menyiksanya. Dan kini wajah itu menatapnya juga. Bagus...Ia sudah menyadari keberadaannya di sana dan kini Valeria menatapnya bagai melihat hantu.
Valeria merasa kakinya mulai lemas. Tidak hanya kakinya, sekujur badannya ikut lemas. Sean melihat semuanya! Ia mendengar dan melihat segalanya bahkan hingga ciuman tadi. Sudah berapa lama Sean disana?
Ia mulai gemetar ketakutan.
"Fabian, pulanglah." Ia berbalik menatap Fabian dengan kikuk. Jangan sampai Sean melakukan sesuatu pada Fabian.
"Tapi, kau tadi ingin mengatakan sesuatu"
"Pulanglah Fabian! Kumohon!" Valeria mendorong Fabian ke pintu. Fabian menengok ke dalam dan sempat melihat sekilas seorang lelaki duduk di ruang tamu, tapi ia tidak ingin terlalu mencampuri urusan keluarga Valeria.
"Oke, oke Val, sampai ketemu besok di sekolah" Fabian melambaikan tangan dan memasuki mobil. Valeria mengawasi hingga mobil Fabian keluar dari rumahnya. Ia merasa sedikit lega.
Sebenarnya tidak begitu lega..Sekarang ia harus menghadapi Sean yang pasti akan marah besar. Ia membalikkan diri perlahan-lahan sambil menunduk. Perlahan lahan pula ia mengangkat sedikit kepalanya untuk mengintip Sean.
Sean masih tetap bergeming di tempatnya. Ia terlihat tenang dan itu lebih menakutkan daripada Sean yang selalu membentaknya saat mereka bertengkar. Ia tahu Sean selama ini tidak serius marah terhadap pertengkaran mereka, sehingga ia tidak takut. Tapi sekarang wajahnya terlihat berbeda. Oh, Tuhan! Ia telah membangunkan Sean yang dulu.
Valeria melirik Bik Sani dengan gugup. Bik Sani juga terlihat ketakutan dan meremas-remas bajunya.
Lama Valeria menunggu dan tidak ada satupun yang bersuara.
Valeria mulai berkeringat dingin.
Sean akhirnya berdiri. Ia berjalan menuju Valeria dan berlalu melewatinya.
"Ayo pulang" Sean bergumam. Valeria berbalik melihat punggung Sean dan mengikuti dengan cemas.
Sean memarkir mobilnya di depan rumah. Valeria terlalu sibuk mengamati garasi sehingga tidak melihat mobil Sean yang terparkir. Sean membuka pintu penumpang di depan tanpa menoleh pada Valeria.
Tanpa diperintah, Valeria masuk ke mobil Sean. Valeria berpikir bagaimana besok ia berangkat sekolah. Ia hanya bisa mengendarai city car dan belum pernah memakai mobil besar. Tapi ia tidak ingin berdebat saat ini.
Sepanjang perjalanan mereka membisu. Sean hanya terdiam sehingga Valeria tidak berani membuka pembicaraan. Ia tidak bisa membaca situasi hati Sean saat ini.
Sesampainya di rumah pun ia hanya terus pasrah mengikuti Sean hingga ke kamar. Ia memasuki kamar dan melihat Sean mengunci pintu kamarnya lalu melempar kunci itu ke luar jendela balkon.
Valeria ternganga menatap kunci yang melayang dan menghilang di kegelapan taman.
Ia menoleh kebingungan "Sean!! Apa yang kaulakukan? Bagaimana kita keluar besok?!"
Jantung Valeria berdegup kencang. Sean memang marah. Apa yang akan dilakukan Sean padanya? Valeria semakin panik saat Sean menatapnya dengan tatapan sedingin es nya yang kini muncul kembali.
"Lepaskan pakaianmu, Valeria" Sean memerintah sambil membuka kancing kemejanya sendiri.
Valeria tak percaya yang didengarnya. Sean menyuruhnya membuka bajunya?
"Tunggu, Sean. Aku tahu kau marah. Tapi aku bisa menje.."
"Sekarang Valeria... Atau aku yang akan melakukannya dengan cara yang tidak akan kausukai." Sean berkata lembut namun tetap terasa menakutkan.
Sean sudah melepaskan kemejanya dan hanya memakai celana jeans panjangnya. Menampakkan tubuh dan perutnya yang ramping dan memiliki otot di beberapa tempat. Bagi Valeria yang belum pernah melihat tubuh pria dewasa secara langsung, hal ini adalah pemandangan yang mengerikan. Mata Valeria membesar ketakutan menatap tubuh Sean. Ia tidak akan bisa melawan Sean.
Yang lebih membuatnya takut adalah tatapan mata Sean. Sesuatu dalam tatapan mata Sean membuatnya merinding. Ini bukan Sean yang ia kenal setiap hari. Valeria melepaskan pakaiannya satu persatu dengan perlahan-lahan hingga menyisakan pakaian dalamnya sambil gemetaran. Ia menatap Sean kembali dengan ragu-ragu.
"Semuanya, Valeria lalu naiklah ke tempat tidur" Sean memperingatkan sambil mendekatinya.
Valeria mulai membuka kait branya dan berbalik untuk menghindari tatapan Sean. Ia membuang branya di lantai dan mulai membuka celana dalam tapi ia tidak sanggup.
Valeria tidak tahan lagi dengan semua ini dan akhirnya berbalik "Tidak! Kau seharusnya tidak boleh melakukan ini, Sean!" Ia menjerit frustrasi sambil bersidekap menutupi dadanya.
"Kenapa tidak?! Aku menikahimu dan sebagai suamimu aku berhak melakukan hal yang seharusnya sudah kulakukan sejak dulu!" Sean membentak sambil membanting kemejanya ke lantai. Valeria terkejut.
Valeria berpikir untuk meloloskan diri dari Sean saat ini. Pintu kamar terkunci dan ia tidak mungkin melompat dari balkon. Terlalu berisiko untuknya dan bayinya. Ia melihat kamar mandi dan memutuskan mengunci diri di sana. Ia mulai berlari menerobos Sean, tapi terlambat...
Sean menangkap pinggangnya dan mendaratkannya di tempat tidur. Valeria berteriak dan meronta. Ia memukul, mencakar, menendang dengan membabi buta berharap Sean akan melepaskannya. Ia tidak dalam pengaruh alkohol seperti saat pertama dulu sehingga ia sanggup melawan.
Sean menindih tubuhnya dan menahan tangannya. Valeria tidak berkutik. Tubuh Sean mulai turun dan ia mencium Valeria dengan kasar. Valeria kesakitan."Ssse..an!!" Ia berteriak dengan bibirnya yang terbungkam. Sean tetap menciumnya dan Valeria menggigit bibir Sean. Biar saja! Valeria tidak peduli! Ia tidak peduli!
Sean yang kesakitan seketika melepaskan ciumannya dan mengangkat tangannya marah. "Kau!!!"
Tidak!! Sean akan memukulnya!! Matanya membesar menatap tangan Sean yang terayun. Ia memalingkan wajah dan menutup matanya. Berharap semoga dengan menutup mata, sakit yang ia rasakan akan berkurang. Valeria tidak menduga Sean akan memukulnya. Selama ini Sean tidak pernah memukulnya atau melakukan kekerasan lainnya. Semuanya terasa berdengung di telinganya. Ia sudah siap menerimanya sekarang! Ia siap menerima pukulan dari Sean!
Hening...
Pukulan itu tidak terjadi
Sean tidak jadi memukulnya?
Valeria membuka matanya pelan-pelan dan menoleh. Sean tampak menatapnya dengan kemarahan tertahan. Bibirnya terluka akibat gigitannya.
"Siapa dia, Valeria?" Sean menggertakkan giginya dan turun menciumi lehernya. Meninggalkan bekas kepemilikan disana.
Valeria yang baru saja terlepas dari tekanan yang begitu berat merasa begitu lega dan pasrah. Ia merasa putus asa dan membiarkan Sean melakukan apapun di tubuhnya sesuka hati. "Ia... pacarku." Valeria mengeluarkan suara pelan.
Bibir Sean turun ke bahunya lalu mulai bermain di dadanya. Ia menciumi di berbagai tempat dan membuat tanda disana juga. Ia menemukan puncak payudara Valeria dan mengisapnya pelan. Puncak payudaranya mengeras dan membuat sebuah aliran sensasi pada dirinya. Perasaan nikmat dan hangat mulai menjalar ke sekeliling perut dan pinggangnya. Valeria menahan diri agar tidak merasakannya. Ia tidak akan membiarkan dirinya terlena oleh semua ini! Tangannya menggenggam sprei dan ia bertekad tidak akan melepaskan tangannya dari sana. "Aku...jadian dengannya...sebelum bertemu dirimu, Sean.."
Valeria berbicara sambil terus mencoba memikirkan hal lain untuk mengalihkan perhatiannya.
Tapi tubuhnya selalu berkhianat padanya. Sean menggigiti putingnya pelan, menjilatnya, membuat gerakan melingkar dan itu membuatnya tidak tahan lagi. Tangannya mulai terangkat dan menyusuri rambut Sean. Ya, ampun. Itu terasa sangat nikmat dan ia tidak ingin Sean berhenti. Ia mulai terengah-engah.
Sean berhenti melakukannya dan mengangkat wajahnya. Ia memerangkap Valeria kembali dan mencium Valeria pelan. "Dan apakah ia melakukan hal yang sama seperti yang kulakukan padamu?" Sean berhenti menciumnya dan bertanya di bibirnya.
"Kami berciuman." Valeria masih mengatur napasnya.
"Tunjukkan padaku ciumanmu dengannya" Sean masih tidak bergerak dari tempatnya.
Valeria mengangkat kedua tangan untuk memegang rahang Sean dan ia menaikkan kepalanya. Ia menyentuhkan bibirnya ke bibir Sean.
Ciuman itu begitu manis..begitu lembut...Sean terlena dan menutup matanya. Yang dilakukan Valeria bukan ciuman yang menggairahkan, tetapi Sean begitu menikmatinya. Gadis ini selalu menyihirnya dengan hal-hal yang begitu sederhana.
Kenyataan bahwa anak pria itu pernah mendapatkan ciuman manis Valeria membuatnya...membuatnya...membuatnya apa? Tidak, tidak. Ia tidak mungkin cemburu. Ia hanya tidak terima karena orang lain menyentuh miliknya. Iya, Valeria adalah miliknya.
"Bukan seperti ini?" Ia balas mencium Valeria hingga Valeria membuka bibirnya. Lidahnya membelai lidah Valeria dan Valeria mengerang. Valeria selalu menerima ciumannya dengan mudah. Ia bahkan melingkarkan tangannya di leher Sean dan menariknya mendekat untuk memperdalam ciuman mereka. Ciuman itu terasa panas dan bercampur rasa darah akibat luka yang ditimbulkan Valeria.
Mereka berciuman dengan liar dan penuh gairah dan entah sejak kapan pakaian mereka sudah terlepas. Tangan Sean membuka paha Valeria dan menemukan bagian tubuhnya yang paling pribadi dan membelainya. Ia membelai bulu-bulu halus yang tumbuh mengelilinginya, lalu mulai membelai bagian dalamnya. Basah... Valeria menginginkannya.
Valeria tersentak oleh tangan Sean yang tiba-tiba menyentuh bagian intimnya. Ia terbangun dan menangkap pergelangan tangan Sean. "Sean!...Sean!...kumohon..jangan lakukan ini." Ia menatap Sean dengan bersungguh-sungguh "Aku tidak pernah melakukan lebih dari ciuman tadi dengannya. Hanya dirimu yang pernah melihat tubuhku. Hanya dirimu yang pernah melakukannya denganku. Hanya dirimu! Tidak cukupkah itu?!" Valeria berteriak frustrasi.
Sean tidak bergeming. Posisi mereka otomatis membuat Sean dapat menatap bagian intim Valeria secara langsung.
"Kaupikir aku bisa berhenti sekarang!?" Sean terlihat menderita. Ia mendorong pelan Valeria hingga berbaring kembali dan menciuminya. Valeria terengah-engah, tapi ia mendorong Sean dan berbicara di bibirnya "Aku akan membencimu karena ini, Sean!" Valeria menatapnya dengan serius. Sean terdiam menatapnya juga.
Valeria akan membencinya?
"Kau boleh membenciku. Aku tidak peduli!" Sean mulai mendesak memasuki Valeria dengan mendadak dan kasar. Valeria terbelalak tak percaya. Sean akhirnya melakukannya lagi...Ia memang akan melakukannya lagi. Sean tidak pernah mengatakan tidak akan melakukannya. Valeria tahu itu. Ia hanya belum siap untuk ini semua. Kenapa harus sekarang?
Sean masih memeluk Valeria. Terdiam. Kepalanya menyuruk di leher Valeria. Rahangnya mengeras seperti menahan sesuatu. Ia menikmati membenamkan dirinya pada gadis ini di tempat terdalam yang bisa digapainya. Rasanya begitu nikmat, sama seperti terakhir kali ia melakukannya. Mungkin pengaruh karena ia sudah tidak melakukannya selama sebulan lebih. Ya, pasti karena itu.
Valeria tidak pernah merasa seputus asa ini sebelumnya. Ia memejamkan mata agar tidak menatap Sean. Ia benci melihat Sean. Benci! Tapi memejamkan mata adalah suatu kesalahan. Valeria tidak sadar dengan memejamkan mata ia bisa merasakan setiap gerakan yang Sean lakukan padanya, desakan pelan yang terasa pada bagian intimnya, bagian diri Sean yang ada di dalam dirinya. Gesekan yang terjadi setiap saat Sean menarik dan mendorongnya. Sensasinya terasa indah dan ia secara memalukan mendambakannya. "Ahh..." Valeria mulai tidak peduli lagi. Ia memeluk punggung Sean dan menariknya mendekat.
Valeria memeluknya. Sean menyadari tubuh Valeria mulai merespon. Tubuh Valeria menolak untuk mengikuti keinginan pemiliknya. Ia memasuki Valeria pelan dan menggodanya di sana. Ia memasuki Valeria hanya setengah, tidak sampai seluruhnya, lalu menariknya lagi. Lalu memasuki setengah lagi dan menariknya lalu berhenti.
"Tidak..." Valeria memprotes dan menaikkan pinggulnya. Sean memenuhi keinginan Valeria. Valeria tidak peduli lagi akan segalanya. Ia tidak peduli. Ia hanya ingin Sean melakukannya lebih cepat, lebih dalam..lebih...dan akhirnya ia memekik dan mengejang saat puncak kenikmatan melanda dirinya. Perasaan itu tidak dapat terlukiskan dengan kata-kata. Ia memeluk Sean dengan erat.
Bagus! Valeria mendapat orgasme pertamanya. Gadis itu sudah merasakannya dan tidak akan bisa menolaknya lagi nanti. Sean bersorak dalam hati. Ia mempercepat irama percintaan yang sedari tadi sudah ditahannya dan berhasil menyelesaikannya. Ia benar-benar merasa puas. Lebih daripada itu...
Ia menatap Valeria yang perlahan-lahan tersadar atas apa yang baru saja ia lakukan. Wajahnya mulai memerah menghindari tatapan Sean dan Valeria mendorongnya lemah.
Sean hendak menenangkannya "Valeri.."
"Menjauh dariku!" Valeria tiba-tiba membentak. Sean melepaskan diri dari Valeria. "Pasti kau sangat puas melihatku seperti ini,bukan?!" Valeria memunggunginya dan menarik selimut menutupi seluruh dirinya hingga kepalanya. Gadis itu tidak mau melihatnya.
Valeria tidak percaya dirinya bisa melakukannya. Matanya terasa buram. Setitik air mata mengalir menuruni pipinya dan dilanjutkan dengan air mata lain yang lebih deras lagi. Ia menggigit bibir agar Sean tidak mengetahui ia menangis. Ia tidak akan membiarkan Sean mengetahuinya. Ia menangis bukan karena Sean. Persetan dengan Sean. Ia tidak peduli! Ia tidak akan pernah menangis untuk pria itu. Menyia-nyiakan air matanya untuk pria itu.
Ia menangis karena dirinya sudah tidak mampu lagi mengendalikan tubuhnya. Ia menangisi kelemahannya. Ia menikmati apa yang dilakukan Sean pada tubuhnya. Demi Tuhan! Ia menikmatinya! Ia tersadar dengan perasaan jijik dan mual pada dirinya sendiri. Semuanya terasa seperti candu yang memabukkan dan Valeria tidak bisa menolaknya. Kenapa?! Kenapa ia tidak bisa menolaknya?!!
Sean masih tidak percaya semua ini. Valeria menolaknya kembali. Menyuruhnya menjauh setelah semua keindahan yang terjadi di antara mereka? Ia merasa sangat terpukul. Valeria memang menolaknya...
Tidak. ia tidak akan mengakui perasaan sentimentil ini. Ia tidak akan mengalah pada gadis itu.
"Putuskan dia Valeria, kau tidak pantas untuknya." Sean berbalik memunggunginya juga dan menarik selimut.
Ucapan Sean menusuk hati Valeria setajam belati. Benar...dirinya memang tidak pantas untuk siapa pun...Air matanya kembali mengalir.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro