Lanjutan part 14 (part 14.2) - Apa kau mencintaiku
"Kita tidak bisa bersama lagi, Fabian." Valeria akhirnya mengucapkan kata-kata itu. Ia tidak berani menatap Fabian.
Fabian berdiri mematung seakan tidak percaya akan apa yang baru saja didengarnya dari Valeria. "Kau tidak serius mengatakannya kan, Val?"
"Aku benar-benar serius Fabian. Aku ingin kita putus." Valeria menegaskan kembali.
Fabian ternganga menatap gadis yang bersidekap sambil membuang muka di hadapannya. "Tapi kenapa, Val? Apa salahku?" Fabian mendekat.
Valeria mundur. "Kau tidak salah apa-apa, Fabian. Aku yang bersalah. Semuanya karena diriku."
"Ada apa dengan dirimu? Apa yang salah darimu? Selama hampir tiga tahun aku mengenalmu, kau adalah anak yang baik, Val! Tidak mungkin ada yang salah denganmu."
"Tidak ada manusia yang sesempurna itu, Fabian. Aku tidak sebaik yang kaukira." Valeria tersenyum getir. Ia mulai tidak tahan dengan situasi ini.
"Sebenarnya ada apa, Val?!" Fabian berteriak frustrasi. "Kau dapat mengatakan padaku apa salahku dan kita akan cari jalan keluarnya"
Valeria menggeleng-geleng. "Sudah kukatakan bukan salahmu, Fabian. Ini tentang aku! Aku! Aku tidak pantas untukmu. Dan kumohon jangan menekanku lagi. Aku sudah mengatakan sejelas-jelasnya. Kita putus, Fabian!" Valeria berbalik dan mempercepat langkahnya menjauhi Fabian.
"Val!!" Fabian terdengar berteriak memanggilnya.
"Jangan ikuti aku! Atau aku akan membencimu!" Valeria menoleh dengan tatapan memperingatkan.
Langkah Fabian terhenti. Ia hanya terdiam menyaksikan Valeria berjalan menjauh darinya.
Sama seperti Valeria yang telah memilih menghilang dari hatinya.
Valeria berjalan tak tentu arah. Ia terus berjalan menyusuri pepohonan di belakang sekolah yang menampakkan bias-bias cahaya matahari yang begitu indah.
Ia terus berjalan tanpa henti memasuki lorong yang menghubungkan taman dengan gedung sekolah.
Ia memasuki gedung sekolah dan terus berjalan menerobos para siswa yang berlalu lalang di sekitarnya. Pikirannya kosong. Ia harus berjalan...berjalan...dan akhirnya ia menemukan apa yang dicarinya.
"Gwen!!" Valeria memeluknya. Gwen terkejut karena tiba-tiba sahabatnya memeluknya. Sejak tadi ia sudah mencari Valeria yang menghilang.
"Apa sih, Val! Lu tiba-tiba main samber aja. Val....?"
Valeria menyurukkan wajahnya di bahu Gwen. Akhirnya ia bisa menumpahkan air mata yang sedari tadi tertahan di pelupuk matanya.
Kehidupan ini sungguh tidak bersahabat dengannya.Valeria sungguh lelah menghadapi kehidupannya yang berubah drastis belakangan ini. Ia menangis sejadi-jadinya. Ia akan menangis sepuasnya sekarang walaupun seluruh air matanya akan habis terkuras. Iya...Ia akan menangis sepuasnya.
***
"Kita sedang bolos ya, Gwen?" Valeria bertanya.
Ia mendapati dirinya tidur-tiduran di ruang UKS bersama Gwen. Gwen mengajaknya kesana. Di UKS terdapat tiga buah tempat tidur dan mereka sedang menggunakan dua diantaranya. Dan dokter UKS jarang berada di tempat kecuali jika dihubungi.
"Nggak ada pelajaran,Val. Lo lupa kita udah mau lulus ya?" Gwen menyahut.
Valeria benar-benar lupa. Beberapa hari lalu UN sudah berakhir dan selama seminggu ini tidak ada kegiatan belajar mengajar bagi anak kelas dua belas. "Gwen, kamu udah mendaftar kemana?" Valeria bertanya.
Gwen menoleh padanya sambil tetap tertidur. Ia menyebutkan dirinya lolos di sebuah universitas ternama jurusan hubungan international.
"Waw, Gwen! Yang bener?? Selamat ya!!" Valeria ikut senang Gwen telah berhasil maju selangkah dalam menggapai masa depannya.
"Makasi, Val." Gwen tersenyum bangga. "Elo nggak lanjut kuliah, Val?" Pertanyaan Gwen membuat Valeria kembali dilanda kegalauan.
"Mungkin tahun depan, Gwen. Saat ini nggak memungkinkan."
"Kenapa enggak, Val? Ntar tahun depan apa lo masih inget pelajarannya? Mending sekarang."
"Gak bisa Gwen. Kamu lupa aku sudah nikah ya?" Valeria mengingatkan.
"Ciehhh, mentang-mentang dah jadi nyonya sosialita. Nggak perlu mikir masa depan nih!" Gwen menggodanya.
"Aku nggak jadi nyonya sosialita, Gwen. Apa-apaan sih kamu?"
"Jangan bilang gitu, Val. Gue tau lu nikah ama siapa. Bokap gue aja langsung kaget begitu gue sebut nama suami lo. Tapi gue gak cerita lo nikah sih, gue nanya ama bokap kenal ama Sean Martadinata gak, gitu aja." Gwen melanjutkan.
Ayah Gwen memegang jabatan penting di sebuah bank swasta yang cukup terkenal. Ayahnya adalah orang yang supel dan pandai bergaul. Gwen mewarisi karakter ayahnya.
"Kamu juga kan tahu aku nggak suka sama dia. Aku nikah sama dia karena terpaksa aja." Valeria menyahut.
"Kalo nggak suka, ya jangan mau nikah ama dia napa? Lo takut gak ada yang mau ama lo lagi karena lo nggak perawan? Udah deh Val, wawasan lo tentang dunia ini bener-benerrrr sempit. Berani taruhan yuk, berapa cowok yang bakal ngantre dapetin lo meski tau lo janda." Gwen tertawa.
"Aku hamil, Gwen."
Ucapan Valeria membuat tawa Gwen terhenti.
"Yang bener, Val!!? April mop udah lewat. Nggak lucu tau!" Gwen mencak-mencak.
"Serius!!!" Valeria mengangkat dua jarinya.
Gwen ternganga sejenak, lalu pandangannya turun menuju perut Valeria "Kok perut lo masih rata?"
Valeria tertawa "Ya iyalah. Kan baru dua bulan!" Entah kenapa ia akhirnya bisa tertawa. "Karena itulah aku menikah, Gwen. Dan karena itu juga aku memutuskan Fabian"
Valeria terdiam sejenak. Gwen masih tetap melongo tak percaya.
"Maaf baru bilang ke kamu sekarang, Gwen. Aku malu kalau kau sampai mengetahuinya." Ia tersenyum.
"Ya ampun, Val!!" Elo kok nggak bilang dari awal sih!? Terus, gimana perasaan lo sekarang jadi ibu hamil?" Gwen turun dari tempat tidurnya menghampiri tempat tidur Valeria. Ia mengelus-elus perut Valeria sambil memelankan suaranya. Takut jika ada yang mendengar.
"Ya pertamanya syok, Gwen! Coba kamu pikir gimana rasanya tau dirimu hamil." Valeria memelototi Gwen. "Tapi lama-lama senang juga sih. Lagian kehamilanku nggak berat-berat amat. Mamaku bilang aku beruntung banget nggak sering mual, nggak sering ngidam."
"Ya ampun! Kita harus segera shopping baju bayi ama peralatan bayi, Val!! Ntar gue bantuin, ya? Ya?" Gwen merasa bersemangat.
"Huss! Pamali katanya!! Lagian ini masih dua bulan belum tahu jenis kelaminnya, Gwen!!" Valeria menimpali.
"Yang jelas pasti ganteng atau cantik kayak mamanya." kata Gwen.
Valeria merasa gembira. Benar...Anaknya yang lahir akan mewarisi wajahnya. Ia tidak mau anak ini mewarisi wajah menakutkan Sean. Lebih baik lagi kalau anaknya mewarisi wajah Chris Evan.
Valeria memukul pipinya. Ia merasa sudah gila.
***
Sean berangkat ke kantor dengan hanya mengenakan kaus dan celana selututnya. Ia tidak sempat melakukan apa-apa karena sebentar lagi ia harus menjemput Valeria. Ia hanya harus melihat berkas yang perlu tanda tangannya dan yang lainnya akan ia kerjakan di rumah.
Tadi pagi ia sempat bertanya jam pulang kepada murid lain yang kebetulan lewat di samping mobilnya. Dan ia berhasil mendapatkan informasi.
Sean sebenarnya dapat menyuruh sopir untuk menjemput gadis itu, tetapi ia begitu cemas. Cemas pada kenyataan bahwa Valeria bersekolah di satu tempat dengan pacarnya yang katanya akan diputuskannya itu.
Apa benar akan diputuskannya hari ini? Bagaimana caranya agar ia tahu?
Sial!! Gadis itu benar-benar membuatnya frustrasi!
Sean tidak bisa membiarkan dirinya terus-menerus memikirkan Valeria. Ia harus segera menjauh dari gadis itu, bergaul dengan teman-temannya seperti dulu dan segera menemukan wanita lain yang bisa membuatnya tidak terpaku pada Valeria. Benar! Ia harus melakukannya.
Tapi sekarang ia harus menjemput Valeria terlebih dulu.
Sejam kemudian Sean mendapati dirinya menunggu di mobilnya mengawasi para pelajar SMU yang keluar satu-persatu dari gerbang sekolah seperti seorang penguntit cabul.
Ia sebenarnya merasa malu. Besok ia akan menyuruh sopirnya saja yang mengantar jemput Valeria.
Valeria terlihat keluar dari gerbang bersama dengan seorang gadis. Mungkin temannya.
Mereka membicarakan sesuatu dan tertawa bersama.
Kapan ia akan mendengar tawa Valeria?
Selama hidup bersamanya, tidak sekalipun ia pernah mendengar Valeria tertawa lepas. Sean baru menyadarinya sekarang. Selama ini Valeria tidak pernah merasa senang hidup bersamanya.
Tapi Valeria sebelumnya tidak pernah menunjukkan perasaan hatinya. Ia selalu berapi-api dalam membalas semua ejekan dan celaannya. Sean merindukan saat-saat ia bisa bertengkar dengan Valeria seperti dulu lagi. Ia benar-benar sudah merusak segalanya.
Valeria keluar dari gerbang sekolah dan Gwen menariknya untuk membeli es krim di kios depan sekolah. Gwen sangat menyukai es krim dan kerap mengajak Valeria membelinya.
Hari ini ia membelikan satu untuk Valeria. Es krim berlapis biskuit yang merupakan keluaran baru, katanya. Valeria menurut saja, karena ia juga menyukai es krim.
Hari ini ia akan pulang menumpang pada Gwen. Gwen memarkir mobilnya di tempat parkir sekolah dan Valeria menunggu di depannya sambil memakan es krimnya. Ia berjalan dengan santai dan tanpa sadar matanya menangkap mobil hitam dengan nomor plat yang sudah dikenalnya.
Sean menjemputnya.
Astaga! Kenapa Sean menjemputnya!?
Tidak! Tidak! Valeria tidak ingin pulang dengan Sean. Ia berbalik menuju arah berlawanan dan berharap Sean tidak melihatnya. Ia akan segera menelepon Gwen untuk memberitahukan lokasinya agar Gwen menjemput dirinya di sana.
Ia berlari pelan-pelan hingga tiba di sebuah taman dekat jalan yang ada tempat duduknya. Suasananya tidak terlalu ramai dan ia memutuskan akan menelepon Gwen disini.
"Untuk apa kau berlari, sialan!"
Valeria hampir menjatuhkan ponselnya karena terkejut. Ia berbalik dan menemukan Sean berdiri di hadapannya.
Ya, ampun! Sean melihatnya dan telah berhasil mengejarnya. Valeria gemetaran dan mengurungkan niatnya menelepon Gwen.
"Apa kau tak sadar kau sedang hamil! Kau sedang membawa anakku, bodoh!" Sean mengumpat-ngumpat. "Ayo pulang!" Sean menangkap pergelangan tangannya.
"JANGAN SENTUH AKU!!" Valeria berteriak sambil melepaskan tangannya dari cengkeraman Sean. Ia mundur beberapa langkah.
"Aku ingin bertanya sesuatu padamu, Sean!" Valeria menatap Sean dengan waspada.
Sean merasa sedikit lega.
Meskipun marah, Valeria akhirnya mau berbicara dengannya. "Apa yang ingin kautanyakan?"
"Apa..." Valeria terlihat kesulitan untuk mengucapkan pertanyaannya.
Sean menunggu dengan tenang. Valeria tetap menatapnya waspada dengan mata indahnya yang terpicing karena sinar matahari. Apa yang sebenarnya ingin ditanyakan oleh istrinya?
"Apa kau mencintaiku?" Valeria akhirnya berhasil menyelesaikan pertanyaannya.
Sean terdiam menatap Valeria. Ia tidak percaya Valeria hanya bertanya hal yang begitu konyol dan tidak penting itu padanya.
"Apa kau mencintaiku? Tolong jawab pertanyaanku itu!" Valeria mengulang pertanyaannya.
Apa ia mencintai Valeria?
Sean memikirkan pertanyaan Valeria. Apa ia mencintai Valeria? Sekarang pertanyaan itu benar-benar membuatnya kebingungan. Ia tidak mengerti apa yang sebenarnya ia rasakan terhadap Valeria.
Dan apa sebenarnya cinta itu? Sean juga tidak mengerti dan tidak pernah peduli. Masa remajanya sudah lewat dan ia merasa sebuah kata yang bernama 'cinta' itu adalah hal yang menggelikan. Gadis ini masih terlalu naif untuk mengetahui yang sebenarnya.
Valeria menunggu dengan perasaan cemas. Jantungnya berdetak begitu cepat. Ia sudah menanyakan pertanyaan itu pada Sean.
Apakah Sean mencintainya?
Valeria merasa hal itu sangat penting baginya. Ia akan memaklumi semua perbuatan Sean jika memang benar Sean mencintainya.
Bukannya ia mencintai Sean. Bukan...
"Aku..." Sean bersuara.
"Aku tidak tahu, Valeria! Kau membuatku bingung dengan pertanyaan tidak masuk akalmu itu! Bukankah sudah pernah kukatakan sebelumnya, jangan pernah menanyakanku lagi.."
"Jawab saja, Sean! Ya atau Tidak!?" Valeria berteriak kembali. Ia tidak ingin mendengarkan ceramah Sean saat ini."Dan aku tidak akan pernah menanyakannya lagi untuk selamanya."
Sean terdiam kembali. Ia lalu berbalik dan meremas rambutnya dengan frustrasi.
"Tidak!" Ia berbalik memberikan jawabannya.
Valeria merasa hancur mendengarnya. Kata 'tidak' dari Sean sangat menyakitkan. Ia benar-benar merasa benci pada pria ini. Air matanya sudah merebak ingin keluar tetapi ia menahannya. Ia tidak tahu apakah akan sanggup menahannya untuk seterusnya.
"Kalau begitu jangan pernah menyentuhku lagi!" Valeria melanjutkan. "Aku tidak pernah menyuruhmu untuk setia padaku, Sean. Carilah wanita lain untuk memuaskan nafsumu!" Valeria menatapnya dengan muak.
Valeria tidak tahu bagaimana Sean sudah mencoba hal tersebut. Ia belum menemukan wanita yang bisa menggantikan Valeria. Ia belum menemukan seorang wanita yang bisa membuatnya berpaling dari gadis ini. Betapa Sean ingin menemukannya.
"Kau sudah tahu, aku bahkan tidak menyukaimu, Sean. Sentuhanmu membuatku jijik!" Valeria membuang muka.
Ucapan Valeria membuat Sean terpukul.
Valeria jijik terhadapnya?
Itu tidak mungkin! Valeria selama ini selalu bisa menerimanya. Valeria selalu menerima ciumannya dengan bergairah. Valeria bercinta dengannya tadi malam dan mereka menikmatinya. Apa Valeria berpura-pura? Valeria tidak mungkin berpura-pura. Untuk apa ia berpura-pura?
Sean merasa pusing memikirkannya. Ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa Valeria merasa jijik pada dirinya.
"Aku akan pulang sendiri, jangan pernah mengurus diriku lagi, Sean." Valeria berpaling.
"Tunggu!!" Sean mengejarnya lagi.
Valeria mempercepat langkahnya.
"Berhenti kau sialan!!!" Sean mulai mengumpat kembali.
Valeria sudah tidak tahan lagi. Mata dan hidungnya mulai panas, tanda-tanda ia akan segera menangis. Ia benci Sean!!
Tangisannya mulai tak bisa dibendungnya. Air matanya mulai merembes keluar dari pelupuk matanya dan ia ingin berteriak untuk melepaskan semua bebannya. Ia mengusap pipinya yang basah dengan punggung tangan. Sean tidak boleh melihat air matanya.
Valeria berlari tanpa arah tujuan. Ia sudah tidak peduli lagi akan dirinya dan juga kehidupannya. Tanpa sadar ia ternyata berada terlalu dekat dengan jalan dan tidak melihat sebuah mobil yang melaju kencang di sebelahnya.
"Valeria!!!" terdengar teriakan Sean.
BRAKKK!!!
Benturan yang keras terdengar saat sisi mobil menabrak tubuh manusia.
Valeria tersungkur ke tepi jalan yang berumput.
Segalanya gelap baginya...Dan terdengar orang-orang yang ramai berdatangan ke arahnya.
Ia membuka mata untuk bersiap-siap merasakan rasa sakit yang mungkin akan muncul. Bayinya! Oh Tuhan! Bagaimana bayinya!? Ia meraba-raba perutnya. Ia tidak merasakan sedikitpun rasa sakit. Tapi itu biasa terjadi. Saat seseorang baru terluka biasanya ia tidak langsung merasakan sakitnya.
Orang-orang semakin ramai berdatangan dan mereka membantunya bangun. Ia terbangun dan ternganga menatap dirinya...
Ia selamat....tanpa luka apapun. Hanya lecet di lututnya.
Lalu siapa yang tertabrak tadi?
Pelan-pelan ia menoleh dan melihat orang-orang yang mengerumuni sesuatu. Badannya mendadak lemas.
Ini tidak mungkin!
Oh, Tuhan...Tolong katakan semua ini mimpi...
"Cepat naikkan dia ke mobil" beberapa orang berteriak
"Bawa ke rumah sakit" terdengar teriakan lagi.
Dan Valeria gemetar tak bisa bergerak saat tahu siapa yang digotong oleh mereka, bersimbah darah di sisi tubuhnya.
Ia telah membunuh Sean!
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro