Part 30 - The Painful Truth
"Ya, ampun. Kau dan Angela sekarang seperti kembar siam yang tidak terpisahkan." komentar Daniel.
"Aku tidak bisa berlama-lama disini, Niel. Kau tahu bukan, kalau Angela menungguku. Aku akan pulang sekarang." sahut Rayhan.
Hari ini seperti biasa memang jadwal Daniel untuk pergi ke klub dan Rayhan mengingatnya. Ia pergi kemari hanya karena Daniel dan bukan untuk bersenang-senang.
"Kalau tahu kau akan mencampakkanku seperti ini, aku merasa menyesal membantumu, Re." Daniel menampakkan wajah sendu yang dibuat-buat. "Kalian bersenang-senang sementara aku di sini menjadi tua dan kesepian."
"Kau tidak mungkin kesepian, Niel." gerutu Rayhan. "Kau selalu ditemani gadis yang berbeda setiap malam yang sebentar lagi akan datang dan dengan senang hati menawarkan diri meski kau tidak meminta. Dan omong-omong kemana Budi?" Rayhan melirik sekeliling ruangan yang sepi.
"Aku agak pemilih jika menyangkut wanita, Re. Kau tahu itu." ralat Daniel. "Budi akan datang sebentar lagi. Pergilah, Re. Lain kali ajaklah Angela kemari bersamamu supaya kau tidak mencemaskannya."
"Sepertinya itu tidak mungkin, Niel." Rayhan berdiri dan menghabiskan minumannya. "Kecuali jika kau memilih berganti klub."
Daniel memikirkan maksud perkataan Rayhan dan mengerti. "Tidak ingin Angela bertemu dengannya, heh?"
"Begitulah." Rayhan merujuk pada ucapannya soal Justin yang merupakan anak dari pemilik klub langganan mereka itu. Terus terang ia masih cemburu pada kedekatan mereka dan Rayhan tidak tahu bagaimana kelanjutan hubungan kedua anak itu sekarang meski Angela telah bersamanya.
"Tenang saja, Re. Kau membuatku memiliki ide untuk membuka usaha klub malam yang sesuai dengan keinginan kita." gurau Daniel.
"Usul yang bagus, Niel. Jadi kau tidak perlu membayar ganti rugi kapanpun Sean ingin membuat kekacauan." Rayhan tertawa mengingatnya. Dulu Daniel memang sempat harus membayar ganti rugi dua kali saat Sean menyerangnya dan mengakibatkan kerusakan di klub tersebut.
"Benar juga." Daniel ikut tertawa. "Oiya, Re. Angela sudah tahu mengenai statusmu?"
Pertanyaan Daniel membuat tangan Rayhan berhenti di kenop pintu. Ia baru saja akan keluar ruangan. "Belum, Niel." Rayhan berbalik dan menatap Daniel sambil tertawa miris. "Aku takut ia akan meninggalkanku."
Daniel mengangguk-angguk. "Cepat atau lambat ia pasti tahu, Re. Dan sebaiknya ia mengetahui itu langsung darimu." Ia berdiri dan menyusul Rayhan yang masih bergeming di tempatnya. "Katakan saja padanya. Apapun yang terjadi aku tetap ada untuk mendukungmu." Daniel menepuk-nepuk bahunya.
Rayhan hanya mengangguk-angguk.
Ia melangkah keluar dari ruang VVIP itu dengan gontai. Daniel memang benar. Angela harus mendengar kebenaran dari dirinya sendiri sebelum mendengarnya dari orang lain. Dan hari ini ia bertekad mengatakannya.
"Hei, orang brengsek."
Rayhan sesungguhnya merasa tidak mungkin kata-kata itu ditujukan untuknya tapi suara itu terdengar agak familiar sehingga ia iseng menoleh ke belakang.
Ternyata itu Justin. Pemuda itu bersidekap sambil menyandarkan bahunya ke dinding lorong. Musik dari arah lantai dansa hanya terdengar remang-remang sehingga mereka masih bisa mendengar dengan jelas ucapan satu sama lain.
"Apa maumu?" Rayhan menegakkan tubuh dengan waspada.
"Hanya ingin memberi selamat padamu." Justin melangkah mendekatinya. "Kau pasti senang bukan memiliki Angela untuk sementara ini?" bibirnya melengkung membentuk senyuman sinis.
"Terimakasih kalau begitu." sahut Rayhan singkat meski maksud Justin terdengar konyol dan tidak penting.
"Sampaikan juga pesanku untuknya."
Rayhan mengerutkan kening. Ia merasakan sedikit firasat buruk melihat senyum penuh makna Justin.
"Ini pesanku," Justin berhenti di depannya. "Selamat karena telah mencampakkanku dan memilih seorang lelaki barang bekas sebagai pendamping hidupmu, Angela."
BRAKKK!!
Rayhan mencengkeram kemeja Justin dan mendorongnya ke dinding. Ia menggertakkan gigi karena menahan amarahnya dengan sekuat tenaga. Justin hanya tertawa melihatnya sukses terpancing.
"Tersinggung, Tuan Pramoedya?" sindir Justin. "Aku sudah menyelidiki segalanya mengenai dirimu."
"Hei!! Lepaskan dia!" Beberapa orang bodyguard klub menghampiri karena melihat tuan muda mereka dalam bahaya. Rayhan tidak peduli dan masih menahan Justin di dinding.
"Tidak apa-apa. Kami saling kenal." Justin berbicara pada anak buahnya.
Akhirnya Rayhan melepaskannya dengan kasar setelah beberapa saat.
"Apa yang sebenarnya kaurencanakan?!" bentak Rayhan.
"Tidak ada...Tidak ada yang kurencanakan." Justin merapikan pakaian dan rambutnya dengan santai sementara Rayhan berdiri di sana terengah-engah menahan amarah.
"Aku hanya tinggal duduk manis dengan tenang menunggu Angela mengetahui semua tentang dirimu. Dan setelah ia menyadari bahwa dirimu hanya sampah, Angela akan membuangmu."
"Kau!!" Rayhan maju bersiap-siap menyerangnya tapi bodyguard Justin yang berjumlah sekitar tiga orang menghalanginya. "Damn you!! Kemarilah jika kau berani!"
Justin tidak mempedulikannya. Rayhan masih dapat melihatnya dari balik celah di antara bodyguard Justin.
"Kau tidak pantas untuk Angela. Seharusnya kau sadar itu sejak dulu dan menjauhinya, bukannya memanfaatkan perasaannya padamu." teriak Justin.
Kata-kata itu begitu menusuk hati Rayhan.
Rayhan tidak pernah bermaksud memanfaatkan Angela. Ia mencintai Angela hingga tidak sanggup untuk kehilangan gadis itu lagi. Tapi apakah Angela akan percaya bahkan setelah mengetahui bahwa Rayhan membohonginya?
Ia berbalik dengan kesal dan memutuskan untuk tidak meladeni Justin.
"Kau dengar itu, Tuan Pramoedya." suaranya masih terdengar oleh Rayhan. "Angela akan meninggalkanmu dan bahkan akan membencimu berkali-kali lipat dibanding dulu."
Rayhan tetap melangkah dan tidak menoleh ke belakang lagi meski hatinya berkecamuk.
Tidak...
Angela tidak akan membencinya bukan?
Angela adalah gadis yang baik. Ia berhati malaikat seperti namanya.
Ia tidak mungkin akan meninggalkan dirinya. Angela pasti akan memaafkannya...
______________________
"Kakak membelikan teman untuk Leonardo?" Angela memekik senang saat melihat dua ekor ikan yang berenang di akuariumnya. Yang berwarna orange dengan corak putih adalah Leonardo dan ikan yang satunya berwarna merah jingga.
"Kebetulan tadi aku lewat pet shop yang menjual ikan juga. Dan aku teringat ikanmu yang kesepian." sahut Rayhan.
Beberapa hari lalu, Angela sudah setuju dan memutuskan untuk hidup bersama Rayhan di apartmentnya. Angela membawa sekoper pakaian, sebuah pot berisi tanaman anggrek dan terakhir Leonardo, si ikan buruk rupa.
Pada awalnya Rayhan malah sempat tergoda membelikan ikan piranha atau arwana sebagai teman main Leonardo, tapi ia mengurungkan niat iseng tersebut.
"Siapa namanya?"
"Nama?" Rayhan menoleh dan mengernyitkan kening. "Perlukah diberi nama?"
"Tentu saja, Kak. Bagaimana cara kita memanggilnya nanti? Selama ini Leonardo selalu menoleh tiap kupanggil namanya. Yang satu ini juga harus seperti itu." jari Angela menunjuk akuarium.
"Begitu ya?" Rayhan mengangguk-angguk. Ia merasa akan sering melakukan hal bodoh jika bersama Angela, tapi ia tidak keberatan. "Aku namakan dia Kate saja kalau begitu."
"Kate? Leonardo dan Kate? Apa kau sudah gila, Kak? Itu terdengar seperti pemeran Titanic. Aku tidak suka endingnya. Tokoh prianya mati lebih dulu meninggalkan si wanita. Apa kau ingin Leonardoku mati?!"
"Baik! Baik!! Aku tidak ingin berdebat denganmu. Tadi kita hanya membicarakan tentang ikan. Jadi akan kaunamakan siapa dia?" ujar Rayhan sambil menggertakkan gigi.
"Ku...kurasa Kate cocok juga." Angela menaikkan dagu dan melenggang ke arah dapur kembali.
Rayhan hanya bisa menghela napas. Angela masih tetap angkuh seperti biasa, tapi kadang juga bermanja-manja padanya. Ia tidak mengerti sifat Angela tapi ia juga tidak ingin memprotes.
"Aku benci cerita yang harus berakhir sedih. Romeo and Juliet, The Fault in Our Stars, My Sister Keeper... Kenapa semua itu harus berakhir sedih, Kak?" gumam Angela sambil mengamati Leonardo dan Kate yang saling mengejar.
"Kehidupan memang tidak sesempurna keinginan kita, Angela. Tidak semua hal akan berakhir bahagia." sahut Rayhan asal-asalan.
"Aku tidak akan pasrah pada kehidupan yang harus berakhir sedih. Kebahagiaan itu sesuatu yang harus diperjuangkan."
Kebahagiaan adalah sesuatu yang harus diperjuangkan?
Sangat khas Angela. Pantang menyerah dan keras kepala.
"Kau memang selalu seperti itu. Kadang aku iri padamu." Rayhan mengucapkannya lirih.
"Kenapa harus iri padaku, Kak Re? Bukankah kau lebih beruntung dibanding diriku? Dulu kau sering marah-marah padaku, padahal aku men..." Angela menelan ludah. Hampir saja ia kebablasan menyebutkan kata itu. "Menyayangimu. Tapi kau malah membenciku. Kalau boleh tahu apa salahku waktu itu?"
Rayhan menatap Angela yang tiba-tiba duduk di sampingnya. Masih dengan wajah angkuh itu.
"Banyak alasannya." Rayhan memalingkan wajah. "Ayo kita keluar untuk makan, aku sudah lapar."
"Katakan padaku, Kak!!" rengek Angela sambil menarik lengan Rayhan sehingga ia terjungkal ke sofa lagi. "Aku tidak ingin kau membenciku."
"Itu tidak mungkin. Aku tidak akan membencimu lagi, Angela." ucap Rayhan sambil mengelus kepala Angela. "Malah kau yang akan membenciku nanti."
Angela naik ke pangkuan Rayhan dengan posisi saling berhadapan seperti yang biasa ia lakukan. "Itu semua salahmu, Kak! Aku berhak membencimu. Kau pernah mengataiku, jadi harga diriku tidak mengijinkan kau tahu bahwa aku...aku tidak membencimu." Angela mendadak mencium Rayhan hingga ia terkejut. "Aku sudah merendahkan diriku dengan mengakuinya. Jadi katakan padaku, Kak."
Merendahkan diri? Angela merayunya seperti seorang anak kecil. Rayhan mendapatinya sangat lucu. Tampaknya Angela yang keras kepala akan terus mendesaknya jika ia tidak bersedia mengatakan alasan kebencian Rayhan dulu.
"Aku menyesal atas apa yang kaudengar di kantor saat itu, Angela." Rayhan membalas ciumannya. Mereka berciuman ringan sambil terus berbicara dan Angela mulai menyentuhnya di berbagai tempat. "Pertama, ibumu membuat Papa bercerai dari ibuku."
Tubuh Angela mendadak membeku saat Rayhan baru saja menyebut ibu gadis itu. Rayhan juga baru sadar bahwa ibu Angela sudah meninggal.
"Maaf, Angela bukan maksudku membuatmu sedih dengan mengingatnya."
Angela mengangguk-angguk. "Aku minta maaf jika memang Mama menjadi penyebab ketidakbahagiaanmu, Kak. Tapi ia ibuku. Aku tidak akan pernah menyebutnya sebagai wanita ja.."
"Hentikan!" Rayhan memotong kalimat itu. "Aku tidak ingin mendengar kata itu lagi, Angela. Aku sudah tidak mengingatnya. Bahkan aku merasa kesal pada diriku sendiri karena telah melampiaskannya padamu yang tidak ada sangkut pautnya. Aku semakin dendam setelah melihat Papa yang menyayangimu. Dan aku..."
Rayhan menghentikan ucapannya sejenak sebelum melanjutkan.
"Aku tertarik padamu. Sebenarnya saat itu aku sudah memiliki perasaan padamu dan aku berusaha menepisnya mati-matian karena aku berpikir seharusnya aku membencimu."
Rona merah menghiasi pipi Angela sementara ia menatap Rayhan tanpa berkedip.
"Aku tidak ingin perasaan itu terus berkelanjutan, maka dari itu aku menyiksamu dengan penolakanku. Padahal sesungguhnya tidak." lanjut Rayhan.
Angela menatapnya cemas. "Papa juga menyayangimu, Kak. Meski ia tidak mengungkapkannya, aku tahu ia menyayangimu. Seharusnya aku tidak terlalu terlena, tapi baru kali itu aku mendapatkan seseorang yang memanjakanku."
"Iya, Angela. Jangan mengkhawatirkannya sekarang. Aku juga bukan anak-anak lagi." Rayhan tertawa kecil.
"Orang dewasa pun perlu kasih sayang." Angela tidak ikut tertawa dan tetap menatapnya dengan serius.
"Aku menyayangimu, Kak Re." Ia menyentuh wajah Rayhan dengan kedua tangannya.
"Bahkan jika kau berpikir tidak ada orang di dunia ini yang menganggapmu, aku tetap menyayangimu." Angela menyentuhkan kening dan hidung mereka.
"Aku juga menyayangimu, Angela." Rayhan menarik Angela mendekat dan memeluknya erat.
"Kak!!" Angela meronta di dalam pelukannya. "Aku tidak bisa bernapas."
"Maaf, Angela." Rayhan tertawa kecil dan melonggarkan pelukannya.
"Tidak apa-apa, Kak." Angela menyurukkan kepalanya dengan santai. "Apa aku sudah pernah bilang bahwa aku suka kau memelukku?"
"Setiap hari." gumam Rayhan.
"Baguslah kalau Kakak ingat." Angela menciumnya lagi,
Rayhan membalas ciumannya.
Angela...sesungguhnya benar-benar nakal. Sejak tadi gadis itu terus menyentuhnya di mana-mana dan itu membuat hasrat Rayhan dengan cepat berkobar padahal ia tidak berencana seperti ini. Sial!! Angela memang seringkali sengaja memancingnya agar lepas kendali.
Rayhan balas menyentuh gadis itu juga. Jari-jarinya menyentuh kulit Angela yang hangat dan selembut sutra di balik T shirt yang dikenakan gadis itu dan menemukan titik-titik sensitifnya. Rayhan mendengar napas Angela yang tercekat.
"Kak...tadi kaubilang...bahwa kau lapar..." Angela bergumam dengan napas tak beraturan.
"Nanti...sekarang aku ingin memakanmu dulu. Lagipula aku tidak ingin mengambil risiko kau akan memperkosaku di tempat umum seperti beberapa hari lalu." sahut Rayhan merujuk pada kejadian di mobilnya.
"Itu salahmu, Kak! Salahmu! Kakak yang menyuruhku melanjutkan!" Angela membela diri dengan gaya khasnya.
"Iya...itu salahku, Angela." sahut Rayhan juga seperti biasa.
______________________
"Kau sudah menipuku, Kak." Rayhan sayup-sayup mendengar suara itu. "Selamat tinggal." Angela memandangnya dengan tatapan mata sedingin es.
Rayhan membuka mata seketika sambil terengah-engah.
Ternyata ia hanya bermimpi. Mimpi yang merupakan ketakutan terbesarnya akhir-akhir ini.
Angela meninggalkan dirinya...
Ia tersadar akan keberadaannya selama beberapa detik dan melihat bahwa ia hanya sendiri di tempat tidur.
"Angela?" Rayhan duduk dan memanggilnya. Tidak ada suara.
"Angela..."
Itu adalah panggilan keduanya dan ruangan itu tetap sunyi. Kamarnya sudah rapi dan bersih tanpa pakaian mereka yang berserakan serta sisa-sisa bungkus pengaman. Angela seperti biasa selalu membersihkannya setiap pagi meski tahu Rayhan sudah menyewa jasa pembersih. Ia bergegas membuka lemari lalu memakai pakaian seadanya. Pakaian Angela masih ada di sana dan membuat Rayhan sedikit lega. Tapi kemana dia? Angela juga tidak ada di kamar mandi.
Rayhan mulai was-was. Ia berjalan keluar dari kamarnya dan mencari di seluruh sudut ruang apartment sambil berteriak memanggil nama Angela.
Tidak mungkin secepat itu, bukan?
Kapan Angela mengetahuinya? Pagi ini? Tadi malam Angela masih bersama dengannya dan Rayhan tidur dengan memeluk gadis itu.
"Aku pulang!!" pintu apartment terbuka dan mengagetkan Rayhan yang sedang berpikir di tengah ruangan. Angela masuk dengan riang tanpa rasa bersalah sambil membawa belanjaan di tangannya.
Rayhan tidak bisa merasa lebih lega lagi. Ia langsung menghampiri Angela dan mendekapnya erat hingga Angela terkesiap.
"Kak?"
"Kukira kau pergi, Angela." Rayhan bergumam sambil tetap memeluknya.
Angela mendorongnya pelan sambil menggerutu. "Tentu saja tadi aku pergi, Kak." Angela melewatinya dengan santai menuju meja makan. "Aku kelaparan, jadi aku membeli sarapan di minimarket bawah. Kakak mau?" tawar Angela sambil membuka bungkus makanannya.
"Kalau kau lapar, kau hanya tinggal menelepon saja dari kamar, Angela." sahut Rayhan. Angela tidak mengerti bahwa ia baru saja mengkhawatirkan gadis itu bagai kesetanan.
"Iya, tapi aku lebih suka melihat dan memilihnya langsung." Angela menjawab sambil mengunyah makanannya.
Rayhan mengambil tempat duduk di seberangnya dan mengamati Angela yang sedang asyik makan sambil memainkan ponsel. "Katamu kau sedang diet."
"Benar. Tapi hari ini aku merasa sangat lapar." jawab Angela santai.
"Kau masih ingin tetap melanjutkan pekerjaanmu?"
"Ingin ataupun tidak aku masih harus melanjutkan kontrakku yang tersisa beberapa bulan lagi."
Rayhan merasa cemas. Jadi meskipun hubungan mereka berdua sudah akrab, Angela sama sekali tidak bermaksud untuk mengubah keadaan dan tetap berangkat untuk hidup jauh darinya?
"Apa kau tidak berkeinginan untuk menikah?"
Angela hampir tersedak makanannya. Ia menoleh memandang Rayhan dengan salah tingkah.
"Tidak sekarang...." Angela berdeham. "Nanti...mungkin...jika ada lamaran yang sesuai." tambahnya lagi sambil menaikkan dagunya dengan angkuh meski wajahnya merona.
"Baguslah, karena aku..."
Bunyi ponsel Angela lagi lagi membuyarkan kalimat yang akan Rayhan sampaikan. Ia hanya bisa pasrah dan membiarkan Angela mengangkat teleponnya.
"Ada apa, Mikey?!" bentak Angela dalam bahasa Inggris.
"Kau terdengar tidak senang karena kuhubungi. Seharusnya kau merasa bangga bahwa managermu ini masih ada rasa kepedulian terhadapmu, Angela."
Rayhan masih dapat mendengar suara Mick samar-samar.
Angela menghela napas. "Yea, terimakasih, Mikey. Jadi apa yang kauinginkan dengan meneleponku sepagi ini?"
"Hanya ingin bertanya apa kau sudah menetapkan tanggal kapan kau akan kembali."
"Mikey, aku baru saja menjejakkan kakiku tiga minggu disini!" Angela meninggikan suaranya kembali.
"Tiga minggu itu sudah termasuk lama, Angel!" geram Mick. "Baiklah! Baiklah! Aku akan menunda pertanyaanku itu. Ingat pesanku kau harus menjaga pola makan meski sedang berlibur. Apa menu sarapanmu pagi ini?"
Angela tersedak makanannya lagi.
"Sa..salad, Mikey." Angela menjawab sambil menatap cemas cheese burger di tangannya lalu menoleh pada Rayhan yang menaikkan sebelah alisnya mendengar dusta Angela.
"Excellent!! Aku percaya kau tidak akan membuatku syok saat kembali nanti. Selamat berlibur, Angela. Aku akan menghubungimu seminggu lagi."
Mick menutup pembicaraan tersebut tanpa menunggu balasan Angela. Angela menaruh ponselnya di meja dan berdiri seketika. Wajahnya terlihat penuh rasa bersalah.
"Aku ingin ikut ke kantor denganmu pagi ini, Kak. Sudah lama aku tidak bertemu Papa." ujar Angela. "Aku mandi dulu." Angela berlari meninggalkan Rayhan duduk seorang diri.
__________________
Ya, ampun! Apakah kakaknya akan melamarnya tadi?
Angela hampir saja mendapat jawaban itu tapi telepon sialan dari Mick menghancurkan segalanya. Sungguh Mikey meneleponnya di saat yang sangat tidak tepat!
Jika memang benar, berarti perasaannya selama ini ternyata terbalaskan dan ia tidak bisa merasa lebih bahagia lagi. Tapi ia tidak ingin mengutarakan cintanya terlebih dulu...belum...entah kenapa Angela belum bisa percaya sepenuhnya. Bisa saja itu semua hanya dugaan bodohnya. Benarkah kakaknya bersedia menikahinya? Bukankah dulu ia menganggap Angela tidak pantas untuknya?
Tapi Angela merasa hidupnya sangat bahagia akhir-akhir ini meski pada awalnya ia hanya ingin mendapatkan kebahagiaan semu.
Ia sudah mencoba melupakan kakaknya dan usaha itu selalu gagal. Angela merasa putus asa. Pada akhirnya ia memutuskan akan melajang seumur hidupnya jika tidak bisa menemukan seseorang yang bisa menggantikan tempat kakaknya itu di hatinya, tapi ia juga tidak bisa menahan diri untuk merasakan kasih sayang yang ditawarkan. Meski Angela belum percaya sepenuhnya pada Rayhan tapi Angela merasa begitu senang saat dimanjakan olehnya.
Apa salahnya ia menikmatinya? Ia tidak akan menikah. Dan yang dirasakannya sekarang mungkin hanya akan terjadi sekali seumur hidup.
Malam-malam yang ia lalui beberapa hari ini dengan tertidur di pelukan kakaknya terasa bagaikan mimpi. Dan ia tidak ingin bangun dari mimpi tersebut. Tapi pada akhirnya nanti ia memang harus bangun dan mendapati dirinya kembali pada kenyataan. Hidup dalam kesendirian lagi seperti dulu.
Angela membelalakkan mata tak percaya saat melihat ada pesan masuk dari Justin di ponselnya. Sejak mereka putus...di mana Justin tidak mengatakan mereka putus, Justin tidak pernah lagi menghubungi atau membalas pesannya yang berisi permintaan maaf.
Justin : Udah puas nggak jadi orang bego, Njel?
Orang bego? Angela membaca pesan itu sambil mengerutkan kening. Ia segera mengetik balasannya.
Angela : Maksud lo apa, Tin?
Justin membalas dengan cepat. Hanya dalam hitungan detik.
Justin : Tanya aja sendiri ama kakak lo.
Apa yang dimaksud oleh Justin sebenarnya? Apa ada yang tidak ia ketahui?
"Kau ingin masuk bersama-sama denganku?" tanya Rayhan setelah berada di lantai bawah kantor ayah mereka.
Angela menoleh padanya. "Tentu saja. Mengapa harus bertanya lagi, Kak?"
"Karena kemarin kau bilang tidak ingin Papa tahu saat sedang ada di kamarku." jelas Rayhan sambil masuk ke dalam lift diikuti Angela.
"Ada perbedaan yang besar dalam pikiran seseorang antara ditemukan berduaan di kamar dan ditemukan berduaan di lift." gerutu Angela.
"Baiklah." Rayhan hanya tersenyum.
Angela begitu penasaran apa yang dimaksud oleh Justin tadi. Ia sudah mengirim pesan balasan beberapa menit yang lalu dan sampai sekarang Justin belum membalas pesannya. Akhirnya Angela bosan dan memasukkan ponselnya ke tas.
"Kak..."
"Apa?"
"Apa Justin pernah mengetahui sesuatu yang tidak kuketahui tentangmu?" Angela hanya iseng bertanya tapi ia terheran-heran mendapati reaksi kakaknya yang begitu terkejut mendengar pertanyaannya barusan.
"Apa yang ia katakan padamu?" sahut Rayhan.
Angela ternganga dan berputar menghadapnya. "Aku yang tadi bertanya lebih dulu padamu, Kak. Kenapa kau malah melempar balik pertanyaanku?"
"Kupikir..." Rayhan tidak meneruskan ucapannya. "Sudahlah!"
Angela merasakan suatu firasat buruk. "Apa ada sesuatu yang kau sembunyikan dariku, Kak?" Angela mendekat selangkah sambil memicingkan mata.
Rayhan terdiam dan menatap Angela tak berkedip. Angela semakin curiga.
"Ternyata benar. Kau menyembunyikan sesuatu dariku, bukan?!" Angela meninggikan suaranya.
Rayhan mengangguk.
"Apakah itu sesuatu yang buruk?" tanya Angela kembali sambil terus memojokkan Rayhan.
"Angela, kumohon..."
"Jawab aku, Kak!!" bentak Angela tidak sabar.
Rayhan spontan memeluk Angela seketika hingga Angela terkesiap karena begitu terkejut. "Maafkan aku, Angela. Sejak beberapa hari lalu aku berniat mengatakannya, tapi selalu kuurungkan karena aku belum siap."
"Apa?" Angela mengerutkan kening dan bergumam tak mengerti dalam pelukannya.
"Aku..."
Sebelum sempat menyelesaikan ucapannya. Pintu lift terbuka dan ayah mereka sudah ada di sana. Di depan lift. Menyaksikan mereka berpelukan dan terlihat terkejut.
"Apa yang kalian berdua lakukan?" tanyanya dengan ketenangan yang mengagumkan.
Angela dan Rayhan memandang ayah mereka dengan syok. Mereka tidak menyangka akan ditemukan dalam keadaan seperti tadi. Apa yang harus mereka pakai sebagai alasan?
"Kalian berdua ikut Papa." Ryan berbalik menuju kantornya kembali. Angela dan Rayhan terpaksa mengikuti ayah mereka. Sepanjang perjalanan mereka merasa seperti akan dibawa ke tiang gantungan.
"Angela. Kau lebih dulu ikut Papa dan berbicara di ruang meeting." lanjut Ryan saat sudah ada di tengah ruangan kantor.
Angela hanya bisa ternganga. Ia pikir ayah mereka akan menyidangkan mereka berdua sekaligus sehingga mereka masih bisa mengarang alasan dan saling mendukung satu sama lain. Tapi ternyata tidak. Dan ia menjadi yang pertama?
Ia menoleh sebentar pada kakaknya dengan lesu dan mengikuti ayahnya dengan pasrah memasuki ruang meeting yang berada di sudut kantor. Ruang meeting itu kedap suara dan meskipun berteriak-teriak, suara mereka tidak akan terdengar keluar.
"Angela, Papa berbicara denganmu lebih dulu karena Papa selalu tahu kau akan berkata jujur." Ryan mengawali pembicaraan setelah menutup pintu."Apa ada hubungan khusus di antara kalian selain sebagai kakak adik?"
Angela yang sudah mengambil tempat di salah satu kursi hanya mengangguk.
"Kapan itu terjadi?" lanjut ayahnya.
"Beberapa hari lalu. Saat ulang tahun Kakak." jelas Angela. Mereka memang sudah mulai dekat tepat setelah hari itu.
Ryan hanya mengangguk-angguk. Ia terlihat berpikir dengan serius.
"Maafkan aku, Pa. Aku sudah mengorbankan Papa dengan berada jauh darimu selama waktu yang panjang hanya untuk melupakannya. Dan sekarang aku mengecewakanmu dengan perbuatanku ini." rutuk Angela pelan sambil memilin-milin jarinya di meja.
"Aku tidak terlalu heran jika ini terjadi padamu, Angela." Ryan menggeleng-geleng. "Kau persis dengan ibumu saat ia masih hidup."
"Mama?" Angela mendongakkan wajahnya. "Ada apa dengan Mama dulu?"
Ryan mendekati Angela dan menggenggam tangannya erat. "Ia hanya mencintai satu orang seumur hidupnya dan tak bisa melupakan orang itu meski ia sudah mencobanya berkali-kali. Itu seperti sebuah kutukan, Nak."
Angela tercengang. "Kutukan?"
"Itu hanya kiasan, Angela. Anggap saja seperti itu." ayahnya menggenggam tangannya semakin erat.
"Tapi, Pa... mengapa aku tidak boleh menjalin hubungan dengan Kakak? Ia tidak memperlakukanku dengan buruk seperti dulu dan..."
"Demi Tuhan, Angela!! Ia sudah menikah!!"
Angela merasa baru saja tersapu badai mendengar pernyataan ayahnya barusan. Tangannya yang ada dalam genggaman ayahnya tiba-tiba gemetar. Bahkan sekujur tubuhnya juga ikut gemetar mengetahui kenyataan itu.
"Me...nikah?" Angela berhasil mengucapkan pertanyaan itu kembali meski ujung lidahnya tercekat. "Pa...pa pasti bergurau...bukan?" Angela mengucapkannya terbata-bata sambil tertawa miris.
"Apa Papa selama ini pernah bergurau? Seharusnya kau tahu tentang hal itu, Angela. Bukankah kau pergi darinya empat tahun yang lalu juga karena tidak sanggup melihatnya menikah? Papa juga tidak pernah mengungkitnya selama ini di depanmu karena takut kau akan mengingatnya kembali."
Angela tidak bisa berkata-kata selama beberapa detik seakan-akan ada sebuah bongkahan batu di tenggorokannya.
Kakaknya sudah menikah?
"KAU PASTI BOHONG, PA!!"
Entah mendapat kekuatan apa, tiba-tiba Angela berteriak.
"PAPA PASTI BOHONG PADAKU!! KATAKAN PADAKU BAHWA PAPA TIDAK SERIUS BUKAN?!" Angela terus berteriak histeris sambil mengguncang-guncangkan bahu ayahnya.
"KATAKAN INI SEMUA TIDAK BENAR, PA!! KATAKAN BAHWA SEMUA INI HANYA KEBOHONGAN SEPERTI KAU DULU PERNAH MENGATAKAN BAHWA MAMA AKAN MENJEMPUTKU JIKA AKU MENJADI ANAK YANG BAIK. KATAKAN..."
"ANGELA!! Ryan membentaknya sambil mencengkeram bahu Angela agar diam.
Ia berdiri dan meninggalkan Angela untuk membuka lemari besi yang ada di sudut ruangan.
"Jika kau masih tidak percaya. Lihat ini!" Ryan menyodorkan sebuah benda kecil di tangannya.
Itu adalah sebuah buku pernikahan. Angela menerimanya dan membuka buku itu pelan-pelan dengan tangan bergetar.
Nama kakaknya memang tertera di sana.
Dan ia tidak sanggup melihat nama wanita yang telah dipilih oleh kakaknya untuk dia nikahi.
Kakaknya memang sudah menikah...
"Sekarang kau sudah percaya, bukan?" tanya ayahnya pelan.
Angela mengangguk dengan tatapan kosong sambil meletakkan buku itu. Buku berukuran kecil yang sudah menghancurkan seluruh dunianya. Seluruh kehidupan Angela.
"Katakan pada Papa mengapa kau bereaksi seperti ini? Apa ia mengatakan cinta padamu? Apa ia memanfaatkanmu, Angela? Apa saja yang sudah ia lakukan padamu?" Ryan mencengkeram pundak Angela dan mendesaknya untuk menjawab.
Angela menggeleng-geleng. "Tidak...." Pada awalnya ia menggeleng pelan lalu semakin cepat. "Tidak ada, Pa. Kakak tidak mengatakan atau melakukan apapun padaku."
Ia menunduk menatap kakinya yang herannya masih tegak berdiri di atas lantai.
"Seperti biasa aku yang selalu bodoh dan menganggapnya memiliki perasaan terhadapku." Angela mendongak sambil tersenyum meski ia tahu senyum itu pasti terlihat palsu. "Itu memang kutukan, Pa..."
"Papa tahu Angela bukanlah gadis yang akan menyerah pada kenyataan, bukan? Lawanlah kutukan itu, Angela. Buktikan bahwa kau bisa."
Angela mengangguk-angguk sambil menggigit bibirnya.
"Aku lelah dan ingin pulang, Pa. Bisakah aku meminjam sopir Papa sebentar untuk mengantarku pulang?" pinta Angela.
"Tentu saja boleh, Angela." Ryan menepuk-nepuk bahunya. "Turunlah ke bawah dan tunggu di sana. Papa akan menelepon sopir untuk menjemputmu di lobby."
Angela mengangguk.
Ia meninggalkan ayahnya yang sedang menelepon dan terhenti sebentar sambil menarik napas di depan pintu saat akan keluar ruangan. Ia harus menghadapinya...
Rayhan sudah menunggu dengan gelisah di sofa ruang kantor ayahnya. Ia tidak tahu apa saja yang sedang ayahnya dan Angela bicarakan. Harapannya hanyalah Angela tidak mengetahui tentang kebenaran itu dari orang lain meski orang itu adalah ayahnya sendiri.
Kenop pintu terbuka dan Angela muncul di sana.
Rayhan menatapnya.
Angela juga balas menatapnya.
Ia melihat tatapan itu. Tatapan yang sama yang diberikan Angela ketika mereka pertama kali bertemu di depan pintu apartment Angela di Sydney.
Dan Rayhan seketika mengerti bahwa Angela sudah mengetahui segalanya.
"Angela..."
Angela langung memalingkan wajah dan berjalan angkuh tanpa mempedulikan panggilannya.
"Re!!" ayahnya memanggil namanya dari tengah ruang meeting tepat setelah ia baru saja akan menyusul Angela. Rayhan kebingungan dan merasa kesal sekaligus. Akhirnya ia dengan pasrah memasuki ruang meeting dan menutup pintu.
_____________________
Angela merasakan de javu.
Apa yang terjadi empat tahun yang lalu kini terulang kembali padanya.
Ia menangis di lift yang sama.
Sejak tadi ia sudah menahan airmatanya yang seakan sudah tidak tahan untuk segera merembes keluar. Dan sekarang airmata itu sudah membanjiri hampir seluruh wajahnya.
Kakaknya selalu berhasil membuatnya menumpahkan airmata tersebut berkali-kali.
Ia berteriak sejadi-jadinya sambil memukul-mukul dinding lift. Ia tidak peduli security akan melihatnya. Ia bahkan tidak peduli jika seluruh dunia melihatnya.
Kehidupannya sudah hancur berkeping-keping.
Apa ia sudah gila pagi tadi dengan berpikir bahwa Kakaknya akan melamarnya sementara kakaknya itu sudah menikah!
Menikah! Ya Tuhan. Kakaknya sudah menikah!
Kenapa ia terlahir begitu bodoh sehingga mengulangi kesalahan yang sama kembali dan bahkan lebih buruk dibanding sebelumnya? Kenapa...
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro