
Bagian Satu: Start With All The Fun Things:
Rumah, Kenangan, dan Sesuatu
You don't have to be extraordinary to start, but you have to start to be extraordinary.
-Zig Ziglar
ADA SEBUAH rumah yang bertempat di ujung kompleks, bertingkat dua dengan desain seperti buku terbalik yang setelah dibangunnya banyak menarik perhatian orang-orang lewat. Dengan batu bata merah dan pintu kayu, bunga-bunga segar bertengger di dinding luar dekat pagar, rumah itu adalah rumah impian bagi mereka yang memiliki masa kecil dengan negri dongeng.
Percayalah, begitu rasa penat menghampiri Lail setelah banyak melalui kejadian hari-harinya dan Lail pulang ke sana, hatinya merasa tenang. Sambutan hangat dari ibu dan kakaknya, serta senyuman yang tak pernah sirna dari bibir mereka. Semua tampak sempurna, begitu juga pandangan para tetangga tentang keluarganya. Keluarga Darwana.
Saat Lail membuka pintu pagar, Lail mendapati Shaca-kakaknya-sedang menyimpan beberapa koper ke dalam bagasi mobil. Dia tampak sibuk, seperti hendak berpergian, tapi tak memakai baju yang terlihat akan pergi. Dia memakai baju santai dengan rambut yang diikat berantakan serta kacamatanya yang melorot di batang hidung.
"Mau ke mana, Kak? Bunda mana?" tanya Lail segera masuk, duduk di kursi yang berada di halaman, membuka sepatunya. "Tumben kemas, mau balik ke kostan?"
Shaca menutup bagasi mobil, dia bersandar di sana seraya sesekali mengatur napas. "Liburan dong sesekali. Bunda juga mau ikut, lo ikut, ya?"
"Ya, ke mana dulu?"
"Rumah nenek. Udah lama juga nggak ke sana."
Lail berpikir sejenak. Rumah neneknya cukup jauh dari tempatnya tinggal sekarang. Dia juga sudah lama tidak berkunjung ke sana, kemungkinan besar sudah banyak berubah. Mungkin, mulai dari rumah tua yang dulu sering bocor kini tidak lagi? Atau taman belakang yang sering dijadikan tempat teduh para tupai sekarang dijadikan gudang?
"Liburannya ngapain? Cuma duduk-duduk doang terus tidur, makan?"
"Kalau ada Ayah, biasanya hal apa yang bakal dilakuin?"
Lail tersenyum. Dulu, saat ayahnya masih ada, ketika pergi berkunjung ke rumah sanak-saudara, ayahnya akan melakukan banyak hal. "Makan barbeque sambil lihat bintang pas malam, mancing di danau, pergi ke sawah subuh-subuh, berburu, pergi ke rumah pohon ...." Lail menjeda, ekspresinya senang, "ikut!"
"Siap-siap, gih. Bentar lagi Bunda pulang, nanti langsung berangkat jadinya."
Lail mengangguk mantap, dia bangun dari duduk, menenteng kedua sepatunya di satu tangan dan mengepalkan tangan lainnya, mengeluarkan ibu jari. "Sip!" Kemudian, Lail berlari kecil masuk ke dalam rumah.
Banyak yang Lail rindu setelah dua tahun lalu ayahnya pergi, banyak juga yang berubah dari keluarganya. Dimulai dengan Shaca yang sibuk berkuliah hingga memilih pergi ke luar kota (kost), kemudian ibunya yang mengambil alih semua pekerjaan Ayah. Rumah jadi sangat sepi, meski semuanya masih tetap tersenyum tak menunjukkan rasa sepi mereka masing-masing.
Lail hanya berharap, dia dan keluarganya akan selalu baik-baik saja. Kepergian seseorang menurut Lail memang sudah akan terjadi, tetapi, baginya yang ditinggalkan tidak seharusnya bersedih berlarut-larut. Lail juga ingin terus percaya, kalau dia memang kesepian, tapi bukan berarti dirinya sendirian. Untuk liburan akhir tahun yang akan dilewatinya sekarang, Lail ingin tahun ini berakhir bahagia.
Setelah selesai ganti baju dan berkemas, keduanya menunggu Sarah---ibunya, pulang bekerja. Kemudian, perjalanan pun dimulai.
Mobil melaju pelan melewati banyak pohon-pohon rindang. Suasana sore menjelang malam begitu menyenangkan, angin berembus kencang yang membuat perjalanan tak terlalu melelahkan. Burung-burung terbang sekawanan, kemudian muncul bintang-bintang membentuk konstelasi-garis bintang, terdapat Pollux dengan jelas.
Lail menyandarkan punggungnya, sesekali menguap karena kantuk ternyata sudah jumpa, ditambah suasana hutan yang begitu membuatnya relaks.
Perjalanan menghabiskan waktu dua jam, mobil kemudian memasuki wilayah pedesaan. Sawah-sawah terbentang luas saat mobil mulai masuk, jalanan sudah beraspal, terdapat kabel listrik yang saling menghubungkan tiang ke tiang, memancarkan sinar lampu membantu penerangan jalan.
Mobil mereka berhenti di satu rumah yang menurut Lail tampak asing. Terbangun dua lantai dengan pondasi bangunan yang kokoh, bercat krem, dan terdapat beberapa pohon yang dibiarkan liar, tapi tak mengganggu pemandangan. Seseorang yang berada di dalam mengintip di balik jendela begitu mobil membunyikan klakson, kemudian, seseorang tersebut keluar dengan raut wajah gembira.
Lail menarik kedua sudut bibirnya, neneknya terlihat lebih muda dan lebih ceria, tapi, kerutan letih jelas terlihat.
"Kok enggak bilang mau ke sini?" tanya Nenek, menyilakan mereka masuk ke dalam rumah.
"Biar surprise," jawab Shaca seraya menurunkan barang-barang.
Saat mereka mulai masuk ke dalam rumah dan berbincang, Lail sibuk terpukau dan merasakan tubuhnya dibawa ke masa lalu begitu menginjak ubin putih yang dingin. Tembang kenangan menyeruak, rasanya ingin menangis saat menyadari, meski penampilan luar banyak berubah, furnitur yang terpajang di dalamnya masihlah sama. Rak-rak buku yang memenuhi sisi ruangan, sofa-sofa, televisi, bahkan foto-foto dalam bingkai masih pada tempatnya.
Lail seolah melihat dirinya yang masih kecil berlarian dengan Shaca, dikejar oleh Ayah dan Kakek yang menjadi seekor kambing, kemudian saat dimarahi sore hari karena main di lumpur sampai seluruh tubuh kotor oleh Sarah, berkumpul bersama saat hari ulang tahun dan hari raya, kemudian, saat salah satu seseorang yang berharga, yang membuat tembang kenangan terasa begitu menyenangkan, kakek, meninggalkan Lail.
Benar saja, air mata keluar, membuat neneknya panik dan bertanya, ada apa? Lail hanya tersenyum, menggeleng dan ikut bergabung.
Sampai kapanpun, Lail akan terus berusaha agar tidak terlalu bersedih, terjebak terlalu lama dalam nostalgia. Dia akan terus berjalan, demi orang-orang yang sekarang ada bersamanya.
***
Malam bergulir, ternyata di luar hujan. Padahal tadi sore terlihat sangat cerah dan nampak bintang-bintang bermunculan. Cuaca kadang mengejutkan. Akhirnya, rencana makan barbeque sambil melihat bintang malam ini tidak dilaksanakan, mereka memilih berkumpul di ruang keluarga dan berbincang-bincang soal masa lalu, apa yang sedang dijalankan sekarang, serta guyonan mitos yang akhir-akhir ini mulai terkenal di desa.
"Jangan ke hutan kalau ada kabut," ujar Nenek, masih setengah tertawa setelah menceritakan saat ayah Lail mengompol di celana karena gugup melamar Sarah.
"Emangnya ada apa?" tanya Lail, membuka stoples berisi kue kering.
"Kata anak-anak bangor¹ yang dibilangin ngeyel sama orang tua buat gak pergi ke hutan kalau ada kabut, mereka lihat kuda ada sayapnya." Shaca menggigit potongan buah mangga. "Lo emang gak tahu?"
Lail menggeleng. "Enggak. Lagian, emang ada kuda bersayap? Pegasus gitu?"
"Mungkin ada," jawab Sarah, sedikit melirik dengan raut muka jenaka.
Lail tersenyum meremehkan. "Percaya amat sama takhayul."
"Ya percaya enggak percaya, Nak. Mau ada atau enggak, pergi ke hutan saat ada kabut bisa bikin kesesat, atau kepeleset, terus jatuh. Siapa yang bakal nolong?" tanya Nenek. "Walau enggak percaya, kita harus tetap hati-hati."
Lail mengangguk. Dia tidak percaya soal mitos hutan-hutan yang menyeramkan. Lail lebih percaya dan memiliki teori tersendiri tentang alien, UFO², atau makhluk-makhluk mitologi yang senantiasa datang dalam mimpi buruk.
Karenanya, Lail memilih melangkahkan kaki menuju lantai dua, menuju kamarnya. Dia berniat menelepon Linda atau tidak membaca buku. Suara hujan malam hari akan membuat malam ini menyenangkan. Apalagi kalau tidak ada yang menggangu.
Baru saja Lail menyentuh rak tua dengan harum buku-buku lama, matanya menangkap sesuatu dari jendela yang sedikit terbuka. Sejauh mata memandang, rintik-rintik hujan masih turun dan memburamkan pandangan, Lail mendapati sesuatu yang besar terbang---melayang, di atas pohon.
Letaknya cukup jauh---atau bahkan sangat jauh dari tempat Lail sekarang. Dia sempat mengucek matanya berkali-kali demi meyakinkan diri kalau yang dilihatnya sekarang bukanlah khayalan. Sosok itu masih ada, bahkan dari kepakan sayapnya yang besar, Lail memiliki praduga kalau itu bukanlah burung semacam elang. Karena memiliki empat kaki, kepala dengan leher yang panjang, tampak seperti kuda terbang, tapi bukan. Mungkinkah garuda? Atau mungkin jerapah terbang?
Lail memejamkan mata jengkel, dia segera menutup gorden jendelanya, mengambil satu buku dongeng beserta ponsel yang tergeletak di atas meja.
Dia berharap tak banyak berfantasi, sampai-sampai tak dapat membedakan mana realitas dan mimpi.
***
________________
¹Bangor: dalam KBBI, bangor berarti nakal, usil (mengganggu).
²UFO: menurut Wikipedia, UFO adalah benda terbang tak dikenal atau juga dikenal sebagai benda terbang aneh, adalah istilah yang digunakan untuk seluruh fenomena penampakan benda terbang yang tidak bisa diidentifikasi oleh pengamat dan tetap tidak teridentifikasi walaupun telah diselidiki.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro