IMG_0028_Reconciliation.jpg
Tinggalkan jejak untuk si boncel dan udang galah, please. 🫶
Mary adalah tipe wanita yang punya tingkat kepercayaan diri yang tinggi. Ia sudah tertempa menghadapi berbagai jenis manusia. Walaupun spesialisasinya mengambil foto, dia juga jago menghadapi orang dengan berbagai karakter.
Kecuali Harold, sepertinya.
Dengan motor skuternya, si mungil menembus ramainya jalanan. Hatinya campur aduk. Ia sudah menyusun kata-kata, tapi tetap saja. Dilihat dari segi manapun, jelas apa yang Mary lakukan beberapa minggu ke belakang adalah sebuah kebodohan. Dan kenapa pula Harold mengajaknya bertemu di kafe ini lagi?
Bagaimana kalau Harold tidak mau menerima permintaan maafnya?
Bagaimana kalau ternyata hubungan mereka tidak bisa kembali seperti sedia kala?
Gadis mungil itu menarik napas dalam-dalam. Yang jelas, hari ini permintaan maafnya harus tersampaikan, apapun yang terjadi setelahnya. Pernyataan cinta, tergantung hasil dari permohonan ampun nanti. Dengan wajah menunduk, Mary menghampiri Harold.
"Kupikir kamu bakal batalin janji mendadak dan tiba-tiba susah dihubungin," Harold berujar dengan nada datar. Senyumnya pun tipis. Anak itu seakan menyindir halus pertemuan—ralat, momen yang seharusnya jadi pertemuan mereka di tempat ini beberapa minggu lalu.
"Nggak usah nyindir gitu, dong!" Mary refleks protes. Lalu, gadis itu baru ingat kalau mereka belum sepenuhnya berbaikan. Bodoh banget. Gimana kalau Harold jadi makin kesal? Si mungil berdeham rikuh. "Ehem, sorry."
"Nggak maksud nyindir, kok. Cuma khawatir kena PHP lagi."
Mary menunduk. Di satu sisi, ingin rasanya ia melayangkan cubitan seperti biasanya, tapi kondisi mereka sedang tidak baik-baik seperti biasanya. Di sisi lain, sejujurnya Mary paham kenapa Harold menyindir mati-matian begitu. Kalau posisinya dibalik, gadis itu malah sudah merepet panjang kali lebar, pasti.
Ha. Kenapa jadi canggung begini?
"Gue waktu itu udah—" Mary mendongak, hampir keceplosan tentang kehadirannya di kafe waktu itu. Buru-buru ia mengalihkan topik ke arah yang seharusnya. "Jadi ... gue mau minta maaf." Mary mencicit
"Udah apa?"
Dih, anak itu malah salah fokus! Mary mengabaikan pertanyaan Harold. "Gue nggak bermaksud bilang lu ganggu di hidup gue." Lidahnya kelu, dan Mary yakin Harold tidak bisa langsung menerima alasan ini, tapi kalaupun mau berkelit juga Mary tidak menemukan alasan yang bagus. Sudah kepalang tanggung, lebih baik jujur saja. "Gue kira lu udah sama Abigail. Gue nggak mau terlalu dekat sama cowok orang. Maaf."
Harold mengernyit. "Kamu pikir aku cowok macam apa? Jadi, selama ini kamu ngira aku tipe cowok yang tetap deketin cewek lain ketika dah punya pacar?"
Aduh, bukan itu maksud Mary! Gadis itu hendak menyangkal, tapi satu bagian dari kalimat Harold menarik perhatian Mary.
"Sejak kapan lu pedekate ama gue?"
Heh, itu mulut ngapa nggak ada saringannya, sih? Padahal Mary hanya berniat membatin, tapi pertanyaan itu malah meluncur dengan entengnya. Malu-maluin banget. Mary langsung menutup mulutnya. "Y-ya, intinya gue minta maaf!"
Mulut Harold terbuka selama beberapa detik, sebelum akhirnya mengatup kembali. Kan? Pasti lelaki itu heran dengan Mary yang jelas-kelas kepedean! Harold mengusap wajahnya dengan kasar. Aduh, gadis itu makin tengsin jadinya, tolong. Bagaimana cara menyelamatkan harga diri di situasi seperti ini?
"Mungkin memang salahku yang nggak bilang terang-terangan," gumam Harold.
Sang pria menarik napas banyak-banyak. Tatapannya melembut. "It is not love at first sight. Tapi, aku juga nggak tahu sejak kapan aku suka sama kamu. Yang jelas, semua omonganku di Surabaya itu serius. Apa yang aku ceritain pas di Taman Literasi itu serius. Aku harap suatu saat kamu bakal mau jadi calon istriku, Mar."
Tunggu dulu! Yang barusan itu apa maksudnya?
"Ha?"
Bodoh sekali. Dari semua respons yang bisa Mary berikan, kenapa dia malah cosplay keong, coba?
Mary dapat menyaksikan wajah Harold yang bersemu merah sempurna. "Aku mau ngomong ini di kafe waktu itu. Sampai pesan kue edisi valentine ke Abigail. Sayang, kuenya sudah kukasih Ario gara-gara kupikir kamu beneran nggak mau ketemu aku lagi."
Pesan kue? Ke Abigail? Jadi, yang waktu itu ... betulan salah paham?
Ya Gusti, Mary benar-benar tidak tahu di mana ia harus menyembunyikan mukanya sekarang.
Harold bangkit dari kursi dan berjalan ke arah barista berambut jabrik yang tengah menggiling kopi. Dia bicara sebentar dengan barista tersebut, lalu mereka berdua menghampiri Mary. Rasanya Mary pernah melihat cowok itu, tapi di mana?
"Kenalin, Mar. Ini Ragil. Pacarnya Abigail."
Lelaki di sebelah Harold cengengesan sambil menggaruk belakang kepala. "Maaf, Mbak. Jadi salah paham, yo? Aku ndak suka jadi pusat perhatian, jadi memang minta Abi buat ndak ekspos hubungan kami di medsos," ujar Ragil dengan logat Jawa yang kental.
Ah. Mary ingat sekarang. Itu lelaki yang ia lihat dengan cewek suspect Abigail di supermarket waktu itu! Konfirmasi dari Ragil membuat mukanya merah padam. Apa yang sebenarnya ia lakukan beberapa waktu terakhir?
Harold juga nunjukin sinyal kalau dia naksir Abigail, kok! Tipe cewek dia kan Abigail banget, Mary membela dirinya sendiri dalam batin. Nggak salah kan gue ngira mereka jadian? Mana kepikiran ada pacar rahasia segala?
Oke, yang itu nanti bisa dikonfirmasi ulang pada Harold. Yang penting sekarang adalah bagaimana cara Mary menanggapi Ragil sewajar mungkin tanpa terlihat memalukan.
"Oh ... iya. Salam kenal, Mas." Mary buru-buru mengalihkan pandangan, berusaha menutupi salah tingkahnya.
"Sebagai permintaan maaf, mbaknya saya kasih kopi gratis. Mau dibikinin latte, cappucino, apa mau cobain vanilla flat white andalan kami?" tawar Ragil.
Bukan salah masnya! erang Mary dalam hati. Sumpah, anak itu canggung setengah mati sekarang. "Aduh, nggak usah repot-repot, Mas."
"Latte aja, Gil," kata Harold. Setelah Ragil beranjak, Harold kembali menoleh pada Mary. "Abigail lagi on the way ke sini. Nanti, kamu bisa pastiin lagi sama dia."
"Nggak usah!" Mary tutup muka dan berpaling. Sudah kepalang malu. Pacar juga belum, tapi sudah sembarangan mencurigai anak orang. Kurang bikin malu apa, coba?
"What about you and Hiro?"
"Ha?" Kenapa tiba-tiba nama Hiro muncul dalam percakapan?
Tepukan mampir ke pucuk kepala Mary diiringi tawa. Harold menatapnya dengan ekspresi yang sulit dideskripsikan. Entah gemas, entah sebal. "Dari tadi, kamu cuma bisa hah-hoh terus. Katanya mau ngasih penjelasan yang masuk akal?"
Padahal cuma sentuhan ringan, tapi dampaknya luar biasa. Sejenak, Mary membeku di tempat. Pipinya bersemu dan jantungnya berdisko. Setelah beberapa detik, barulah ia mampu buka suara.
"Ya, tadi kan gue udah bilang. Gue takut ganggu lu sama Abigail, jadi gue ngejauh!" Sebelum Harold memotongnya, Mary melanjutkan. "Lu pernah bilang demen sama cewek kalem. Lu pernah foto bareng keluarga Sanggabuana. Lu sering story berdua sama Abigail. Waktu itu juga lu ketemu berdua—"
Napas dulu napa, sih? Si mungil merutuki mulutnya yang nyaris keceplosan, lagi. "Intinya, gue nggak mau ganggu."
Tumpah juga alasan-alasan yang dipendamnya selama ini—walaupun belum sepenuhnya. Sekarang, waktunya mengakui kesalahan. "Tapi, gue nggak konfirmasi karena ngerasa hubungan kalian udah terlalu jelas. Gue malah marah-marah pas lu ke kosan. Gue minta maaf karena itu."
"Dan aku nggak mau buat kesalahan yang sama kayak kamu." Harold mengulang lagi pertanyaannya. "Kamu dan Hiro ada hubungan apa?"
Sial. Udang galah ini ternyata tukang ungkit-ungkit. Dari mana pula teori hubungan antara Hiro dan Mary itu berasal? "Nggak ada, ih. Gue aja nggak pernah story berdua sama dia!"
"Tapi, aku bisa lihat kalau dia suka kamu. Di IG story MiniMasa, kalian juga keliatan akrab."
"Ya emang suka, sih—"
Mary langsung mengerem bibirnya. Kenapa mulut anak itu selalu keceplosan, sih?
Harold memicingkan mata. "Kamu juga suka dia?"
"Nggak!" Mary langsung menyergah. "Kesimpulan dari mana itu?"
"Ya, kamu yang tiba-tiba ngejauh bisa aja, kan, karena nggak mau bikin Hiro cemburu." Harold mendengkus. "Aku dan Abigail kan bisa aja alasan yang kamu karang biar nggak terlalu ngerasa bersalah mutusin pertemanan kita."
Kebalik, oi! Justru Mary yang menjauh karena takut Abigail cemburu. Bisa-bisanya Harold kepikiran sampai sana. Sebagai wanita yang suka berkelana mencari keributan—ralat, berita—mana mau dia dapat pasangan yang membatasi ruang geraknya?
Mary menggembungkan pipi. "Jadi, gue dimaafin nggak, nih?"
"Asal kamu janji nggak bakal bikin asumsi sendiri tanpa konfirmasi lebih dulu." Skeptis masih pekat terasa dari sorot mata Harold.
"Iya, iyaa. Janjiii. Jangan diungkit terus gitu dong!" Mary berdecak sebal. "Oh, dan ada satu lagi ...."
Mendadak, lidah Mary kelu. Maaf sudah terucap, dan ... kalau yang tadi dihitung sebagai confess, berarti perasaannya memang berbalas, kan? Waktunya Mary menyatakan isi hatinya. Tidak ada yang perlu diragukan atau ditakutkan.
Akan tetapi, kenapa rasanya sulit sekali?
"Lu ... beneran suka sama gue?"
Mary Bodoh Angelica. Kenapa malah itu yang keluar?
Harold terdiam sejenak. Semoga bukan karena Mary dikira budeg atau kesal karena sikap Mary yang menyebalkan. Gadis itu harap-harap cemas menanti jawaban.
"Soal kriteria cewek kalem, itu bohong." Akhirnya suara bariton pria jangkung itu meluncur. "Waktu itu, aku panik karena belum siap ketahuan kalau suka sama kamu. Jadi, asal ngomong. Foto bareng Abigail dan keluarganya itu terpaksa. Kebetulan pas aku anterin oleh-oleh titipan Oma, Bapak lagi ngejamu keluarga Sanggabuana. Yang terakhir tadi apa, ya?"
"Story berdua?"
"Nggak benar-benar ketemu berdua juga, sih. Kami biasanya ketemu di sini. Pasti ada Ragil, cuma nggak masuk frame aja. Nggak semua yang kamu lihat di medsos itu seperti kenyataannya, Mar."
Astaga, benar-benar dijabarkan semuanya. Mary meringis, mengingat kembali kejadian waktu itu. Dipikir-pikir, dari awal memang dia yang bertingkah konyol. Padahal ada opsi langsung menghampiri dan bertanya, atau malah sekalian sok-sokan mencoba akrab dengan Abigail biar tidak terlalu kentara cemburunya sekaligus menggali info, tapi kenapa dia malah memilih lari, ya?
Acha benar. Anak itu membuat-buat sendiri patah hatinya. Bikin anak orang ikutan kepikiran, pula. Betapa dungunya Mary.
"Hi, Mas Harold."
Mary sedikit menelengkan kepala demi melihat pemilik suara. Abigail. Panjang umur banget. Wanita dengan pembawaan anggun itu kemudian menoleh kepada Mary. "Yang ini pasti Mary, kan?"
Mary tersenyum canggung. "I-iya ...?"
Abigail setengah berbisik kepada Harold, tapi masih cukup keras untuk Mary dengar. "Masih butuh klarifikasi dariku nggak, Mas?"
Pipi Mary kembali memanas. Cukup dengan segala klarifikasi ini. Rasa malunya sudah di ubun-ubun!
Ragil datang membawa dua gelas kopi. "Selamat dinikmati, Mas, Mbak." Usai lelaki jabrik itu meletakkan kopi ke meja, Abigail langsung menyambar lengannya dan menyeret lelaki itu ke dapur.
Mary mengamati dua sejoli itu sampai mereka hilang dari pandangan. "Bucin banget, kek Nopal," gumamnya heran sambil geleng-geleng kepala.
"Jadi, sekarang percaya aku dan Abigail nggak ada hubungan apa-apa?" Harold kembali membahas kekonyolan Mary. Kalau bukan karena memang Mary yang salah, gadis itu sudah mencubit lengan Harold. Dasar udang galah tukang ungkit!
Tangan Mary memang berhasil tetap di tempat alih-alih mencubit, tapi tetap saja mulutnya merepet. "Iya, iyaaaaa, Ya Allah. Maaf dong. Kenapa lu kayak kesel banget, sih?"
"Karena aku jadi stres banget sejak kamu nggak mau ketemu, Mar. Baru kali ini aku ngerasain patah hati dan aku ga mau ngulangin lagi," tutur Harold. "Jadi, aku masih ada harapan apa nggak? Aku nggak minta kamu jadi pacarku sekarang, tapi seenggaknya kasih aku kepastian apa kamu punya end goal yang sama kayak aku."
"Nikah?"
Harold mengangguk. Oke, ini pertanyaan serius. Pernikahan bukan suatu hal yang main-main. Mary memang mengakui bahwa ia sudah jatuh cinta, tapi berkeluarga bukan hanya tentang cinta.
Siapkah ia menghabiskan waktu dengan lelaki yang ada di hadapannya ini hingga selamanya?
Mary terdiam beberapa saat. "Gue juga kacau banget kemarin gara-gara lu. Gila, gue kedengeran cringe banget kalau gini." Mary berpaling demi meredakan jantungnya yang berdegup kian kencang. "Gimana ini gue jawabnya?"
"Ini yes-no question, bukan soal esai. Kamu cukup bilang iya atau nggak."
Apa lagi yang lu raguin, Mar?
Memang belum ada setahun mereka berkenalan, tapi dengan segala dinamika yang sudah mereka lalui, rasanya tidak ada alasan untuk berkata tidak. Kalaupun ternyata di masa depan ada sesuatu yang tidak sesuai harapan, itu belum tentu terjadi. Yang perlu dijawab Mary adalah pertanyaan saat ini.
Lagipula, hati Mary sendiri sudah tertawan oleh sosok berkacamata itu, kan?
"... Iya." Suara Mary mencicit. Sekujur mukanya sudah merah sampai ke telinga. Ia menangkupkan tangan ke muka demi menutupi wajahnya yang macam kepiting rebus.
Harold mengembuskan napas lega. Senyumnya begitu lebar. "Makasih, Mar. I will cherish every moment I spend with you."
Bagaimana bisa Harold mengutarakan perasaan dalam kata-kata dengan lancar? Mary ingin membalas dengan kalimat "I love you too" atau semacamnya, tapi ia terlalu gugup. Tanpa bicara apa-apa, Mary meraih tangan Harold dan menggenggam tangan lelaki itu erat-erat. Matanya memejam. Semoga dengan cara ini, Harold bisa mendapat gambaran betapa besar rasa cinta yang bersemayam di hatinya.
Lelaki itu balas mengaitkan jari jemari mereka. Tangan mungil Mary rasanya bisa tergenggam sempurna di dalam kehangatan tangan Harold. Andai momen bisa diawetkan, jelas Mary akan memilih saat-saat ini untuk diabadikan.
"Besok Bapak ulang tahun. Kamu mau ikut, nggak?" Tiba-tiba, Harold berceletuk.
"Hah, dadakan amat?" protes Mary.
Senyuman terbit di muka sang pria. "Ya, masalahnya dari kemarin kamu nggak mau diajak ketemu."
Ngeselin banget, ungkit aja terus. Untung sayang! Gadis dengan rambut sewarna tanah itu mendadak teringat sesuatu. "Eh iya. Lu sama Ronald gimana jadinya kemarin?"
"Dia nyamper ke apartemen akhirnya. Minta maaf. Tapi, karena takut aku nggak dateng ke acara ultah Bapak," jawab Harold. "Jadi aku bilang belum kumaafin, walau yah, aku dah nggak mikirin itu lagi."
Padahal Mary sudah mengharapkan adegan tonjok-tonjokan, atau minimal digeplak. Gadis itu serius saat bilang Ronald perlu dipukul sekali-kali. "Yah. Nggak baku hantam dulu?"
"Kamu aja yang wakilin besok gimana?"
"Boleh, tapi nanti bantu belain ya kalau dicecar sama ortu lu." Mary tergelak. "Yang bener aja. Nanti gue di-blacklist, dong!"
Harold ikut tertawa. "Seperti yang kubilang waktu di Surabaya. Aku nggak peduli. Kalau mereka nggak setuju, kita kawin lari aja."
"Ada gila-gilanya ini orang." Mary menggembungkan pipi, sebal. Senang juga, tapi kesal. Enteng banget Harold bilang kawin lari. Cinta buta itu namanya!
"So, besok kujemput jam empat sore?" Lelaki yang rambutnya tertata rapi macam mau dinas ke rumah sakit itu kembali mengonfirmasi. Mary mengangguk sebagai jawaban. Kemudian, Harold mengeluarkan plester dari saku kemejanya dan memasangnya di jari manis Mary tanpa berkata apa-apa.
Kening Mary mengerut. "Apa nih? Gue kan nggak luka?"
"Anggap aja pengganti cincin. Nanti aku beliin yang beneran kalau kamu sudah mau dilamar."
Muka Mary langsung merah padam. Kali ini, ia sudah tidak perlu menahan diri memukul tangan Harold. Jari manisnya yang kini dihiasi plester itu tidak pernah terlihat lebih indah sebelum hari ini. Inikah efek jatuh cinta?
Freak, memang, tapi Mary suka.
📸 END ...
... beberapa bab lagi. HEHE.
Dina cuap-cuap:
Aku mengetik bagian ini sambil ikutan cengar-cengir. Parah. PARAAH. LUCU BANGET AAAA. Memang halu itu nikmat //dibuang
Masih belum bosan kan ya? Atau emang baiknya diakhiri di sini saja? Komen coba, kalau nggak komen nanti kami end di chapter ini aja, nyahaha :))
Tidak hanya Mary yang berbunga-bunga, tentu. Maka dari itu, sila kunjungi lapak Kak amelaerliana untuk intipin si udang galah tukang ungkit nan bucin ;)
Bonus sketsa (yang lebih mirip adu panco):
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro