Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

IMG_0025_SpaceBetweenUs.jpg

Tinggalkan jejak untuk si boncel dan udang galah, please. 🫶

Beberapa kali Harold bertanya tentang kesediaan waktunya. Sebanyak itu pula Mary membuat penolakan. Hari ini pun, lelaki itu bertanya tentang waktu luangnya. Untung saja waktu itu Mary memutuskan untuk mendaftar kegiatan hunting sekaligus bakti sosial yang diadakan oleh komunitasnya. Ada alasan konkret yang bisa dijadikan tameng.

Usaha menghapus Harold dalam ingatan ternyata lebih sulit dari dugaan. Segala hal yang ada di sekitar Mary rasanya mendadak jadi punya hubungan dengan momen yang pernah dilalui bersama. Bahkan setelah Mary menyimpan boneka pemberian Harold di sudut lemari demi melupakan, gadis itu sering tergoda dan malah berakhir tidur memeluk si bantal kucing. Berulang nyaris tiap hari, pula.

Kenapa Harold tetap keukeuh menghubungi? Jalan berdua di luar kerjaan dengan kekasih orang bukan hal yang akan Mary lakukan. Tidak sadarkah ia kalau kedekatannya dengan Mary bisa jadi bumerang untuk hubungan percintaannya? Atau memang pria itu sengaja?

Ingin rasanya Mary memblokir semua kontak yang terhubung, tapi jarinya tidak mampu. Kesanggupannya hanya sebatas menyembunyikan akun media sosial Harold dari pandangan. Menghapus jejak percakapan pun ia tak sanggup.

Mary sudah tertambat. Terlalu kuat. Dan ia tidak tahu bagaimana cara melepaskan jangkar, padahal sudah harus berlayar pergi.

Hari-harinya mendadak kelabu, seperti warna lensa kontak yang selama ini menghiasi mata Mary. Bahkan tawa tulus anak-anak yang berada di sekelilingnya beberapa saat lalu hanya berhasil memberi warna sekilas—yang langsung pudar begitu mereka hengkang. Terakhir kali Mary berkunjung ke Taman Ismail Marzuki, dia sempat bikin heboh gara-gara jejeritan salah tingkah setelah mendapat pujian dari Harold. Hari ini, ia berkunjung lagi dalam kondisi patah hati gara-gara orang yang sama. Sungguh ironis.

"Mar, muka lo kayak mau makan orang." Naufal berceletuk saat mereka sedang hunting foto. Yang dikomentari bergeming.

Lelaki berambut cepak itu mengambil gambar segerombol anak SMA yang sedang belajar untuk persiapan ujian di dekat kolam. "Biasanya lo ngamuk dibilang kayak gitu. Lo kenapa, sih?"

Mary masih bergeming.

"Lo potek gara-gara Mashtama?"

Kamera di tangan Mary nyaris tergelincir dari genggaman. Anak itu langsung melotot. "Dari mana coba dapat kesimpulan kayak gitu?"

"Lo jadi aneh sejak gosip Mashtama dan Abigail menyebar." Si ceking mengatur fokus lensa. "Lo percaya sama lambemerah dan kawanannya?"

Gue udah jadi saksi mata. Hampir saja kalimat itu terlontar. Untung urung. "Nggak ada hubungannya."

"Nggak usah denial. Gue lihat foto lo sama dia di dompet lo." Naufal berhenti memotret. Waktu juga seakan terhenti untuk Mary. Gadis itu membeku di tempat. Bagaimana bisa Naufal tahu?

Seakan bisa membaca keheranan si gadis, Naufal melanjutkan ujarannya, "Lo ada beberapa kali ngasih dompet ke gue pas mau bayar makan. Yang hari Sabtu lo masih cengar-cengir itu juga. Habis itu lo jadi surem gini." Lelaki itu menutup lensa kameranya. "Gue emang cuma rekan kantor, tapi kalau lo galau kelamaan, bakal ngaruh juga ke kerjaan. Jadi, ada yang bisa gue bantu?"

Mary Bodoh Angelica. Foto yang dimaksud Naufal masih tersemat di dompet, bahkan hingga detik ini. Padahal Harold sudah bersama Abigail, tapi kenapa Mary belum rela menyingkirkan kenangan itu?

"Mar, Faya yang kadang lebih bucin ke Mashtama daripada pacarnya aja nggak percaya, kok, sama lambemerah." Naufal berkacak pinggang. "Kalau si Faya jadi ikut, udah gue suruh dia ngasih kesaksian, dah!"

Di kondisi normal, Mary akan menertawakan Naufal dan mengejeknya. Bisa-bisanya pacar sendiri dibilang lebih cinta ke cowok lain, padahal dua sejoli ini termasuk pasangan paling bucin yang pernah Mary kenal—setelah Isabel dan Satya. Sayangnya, sekadar tersenyum saja Mary enggan untuk sekarang. Lagipula, bukan Faya yang sebelum ini nyaris tiap pekan bertemu dengan Harold dan mengamati gerak-geriknya.

"Sotoy amat lu." Mary memilih untuk mengelak. Wajahnya merengut. "Dibilang nggak ada hubungannya juga!"

"Terserah lo, deh." Pria dengan alis tebal itu memasukkan kameranya ke dalam tas selempang hitam yang tersampir di pundak. "Lo bisa curhat ke Faya kalau mau. Ke gue nggak papa sih, asal udah ijin sama Faya."

Naufal bukan tipe rekan yang cuma kepo dan haus gosip, Mary tahu. Masalahnya, apa lagi yang harus diceritakan? Semua sudah berakhir. Mary hanya ingin move on sepenuhnya, walaupun hatinya menolak.

Sifat Naufal yang suka sok tahu memang menyebalkan, tapi fakta bahwa rekan kerjanya saja bisa tepat menebak isi hati membuat Mary lebih kesal lagi.

📸

Nyaris seluruh kegiatan yang mengisi hidup Mary berlangsung dalam mode autopilot gara-gara patah hati. Bahkan euforia dari acara-acara politik dan aneka macam kerusuhan yang biasanya menggugah anak itu tidak lagi menarik.

Kepalanya kosong.

Mary tengah menonton konten perbandingan kampanye para calon presiden di akhir pekan ketika telepon berdering. Tadinya ia hendak mengabaikan, tapi nama Bapak berkedip-kedip di layar.

"Dek, apa kabar?" Bapak langsung menyapa tanpa basa-basi.

Dahi si mungil mengernyit. "Baik, Pak. Kenapa kok ndadak telepon?"

"Tumben telepon Bapak diangkat, Dek." Alih-alih menjawab, sang pemilik suara rendah berwibawa malah menggoda putrinya. Mary, yang sedang tidak dalam kondisi bisa diajak bercanda, menghela napas kasar.

Tahan, Mar. Ngamuk sama Bapak itu durhaka.

"Mau kututup lagi?" Mary mendengkus.

Bapak terkekeh. "Kangen anaknya masa ndak boleh?" Pria paruh baya itu berdeham. "Lagi bareng Mas Harold?"

Aduh, Bapak. Dari semua pertanyaan yang bisa diajukan, beliau malah menyebut nama yang paling enggan Mary dengar saat ini. Mau bilang Bapak tidak peka, tapi nyatanya Mary memang tidak cerita apa-apa. Bagaimana bilangnya? Mary tidak mau nama Harold jatuh di mata orang tuanya, bagaimanapun juga. Hanya saja, kalau mengakui yang waktu itu hanyalah sandiwara, pasti akan semakin runyam!

"Lagi kerja, Pak. Masa aku bareng Ha—Mas Harold terus?"

"Ini Mas Harold lagi digosipin sama anaknya Pak Bekti, ya?" Tahu-tahu Bapak membelokkan arah pembicaraan.

"Hah? Pak Bekti siapa?"

"Bekti Sanggabuana, Dek. Masa kamu ndak update sama rumor pacar sendiri?"

Andai Bapak tahu kalau berita itu yang membuat Mary murung beberapa hari terakhir. Lagipula, itu bukan rumor—tapi kalau Mary bilang begitu, pasti dia akan diinterogasi. Bukan hal yang menyenangkan. Jadi, Mary hanya menggeleng dan ngeles.

"Kalian kapan siap tunangan? Bapak sama Ibu ben ndang siap-siap kalau keluarganya Pak Lukito ke rumah!"

Ini pula. Tunangan? Bapak ngaco banget. Mustahil hal itu terwujud. Kalau diteruskan, Mary curiga akan lebih banyak bombardir pertanyaan dari beliau dan gadis itu tidak yakin bisa berdusta lebih jauh. "Udah dulu ya, Pak. Mary mau kerja."

"Lho, tapi kan sekarang tanggal merah—"

Telepon ditutup. Mary menyandarkan diri ke dinding. Memejamkan mata. Rasanya melelahkan.

Raungan asam lambung menyadarkan Mary bahwa ia belum makan sejak pagi. Sejak saat itu, tiap hari anak boncel itu nyaris selalu lupa sarapan. Kalau Harold tahu, pasti sudah diomeli—

Harold lagi.

Belum ada setahun mereka berkenalan. Dipikir-pikir lagi, setengah tahun saja tak sampai. Jadi, kenapa presensi Harold di hati Mary bisa bercokol sekuat ini?

Gadis itu menatap langit-langit kamar. Kilas balik berputar di kepala. Awal pertemuan mereka di IGD. Harold yang mengontaknya melalui akun Mashtama. Pertama kali Mary menginjakkan kaki di apartemen Harold. Pemotretan perdana yang menyinggung tinggi badan—dan terbawa hingga pertemuan-pertemuan selanjutnya. Insiden tabrakan gerobak. Harold yang mulai sering mengajaknya pergi bersama. Pertengkaran di pesta orang. Permintaan maaf Harold yang begitu effort hingga mendatangi kantor. Permintaan untuk jadi pacar kontrak sehari yang keterusan selama di Surabaya. Foto berdua yang sudah mirip foto pernikahan. Berlindung di dalam jas hujan yang sama. Kunjungan keluarga. Masakan spesial untuk Harold. Lelaki yang selalu mengkhawatirkan tingkah laku si gadis hingga Mary emosi.

Sebanyak itu kenangan yang sudah mereka lalui bersama. Pantas saja Mary kesulitan. Sebanyak itu dan semuanya tidak berarti karena Harold akhirnya memilih yang lain.

"Lu aja kagak pernah confess, Mar." Anak itu bermonolog kencang-kencang dalam kamar. Air matanya kembali menggenang, dan tawa yang dipaksakan sama sekali tak berhasil membendung tangis yang mengalir setitik. "Tapi buat apa juga, ya? Gue kan bukan tipenya."

Mary harus melupakan Harold. Secepatnya.

Akan tetapi, bagaimana caranya?

Si mungil menghirup udara sebanyak-banyaknya, berharap hal itu bisa mengurangi sesak di dada. Untuk sekarang, sebaiknya dia makan sebelum lambungnya makin menjadi-jadi. Mary memaksa dirinya berpisah dengan kasur. Saat beranjak ke dapur dan mengecek kulkas, barulah ia sadar kalau bahan-bahan masaknya habis pula. Mau tidak mau harus keluar.

Menyetir motor saat otak tidak bisa diajak bekerjasama penuh bukan keputusan yang bagus. Meski begitu, ojek daring juga bukan opsi yang akan Mary pilih untuk pergi ke tempat yang jaraknya tanggung. Gadis itu memaksa pikirannya agar fokus ke jalan sepanjang berkendara, dan untungnya berhasil.

Keren juga otaknya, bisa diajak bekerjasama. Andai hatinya begitu juga.

Setibanya di supermarket, Mary langsung mengambil semua isi dapur yang ia perlukan untuk sepekan ke depan. Biasanya anak itu membeli satu-dua bahan untuk membuat variasi menu unik, tapi untuk sekarang, bisa masak saja sudah syukur. Yah, ini masih jauh lebih baik daripada kondisinya beberapa tahun lalu, sih. Ketika diselingkuhi si brengsek, Acha sampai harus berkali-kali menyeretnya keluar kamar.

Perkembangan karakter yang bagus, setidaknya. Mungkin itu masuk dalam hal yang bisa Mary banggakan, walaupun rasanya perih.

Saat pergi ke kasir, Mary masuk ke dalam antrian terpendek. Di depannya, ada laki-laki dan perempuan yang kelihatannya merupakan sepasang kekasih. Sebenarnya bukan urusan anak itu, tapi suara wanitanya membuat fokus Mary mengarah pada mereka.

Suaranya mirip banget dengan Abigail.

Mary malu mengakui ini, tapi sejak rumor Harold dan Abigail menyebar, anak itu jadi sering berkunjung ke laman influencer yang satu itu. Entah apa yang sebetulnya dicari, karena semakin Mary menyelami profil wanita dewasa yang berkecimpung di dunia kesehatan itu, semakin terkikis tingkat kepercayaan dirinya. Akibat terlalu sering menyaksikan reels milik Abigail, Mary jadi hafal dengan suara renyahnya yang lembut di saat bersamaan. Dan suara milik orang yang tengah berbincang di depannya saat ini, mirip sekali dengan Abigail.

Tapi, kalau memang benar itu Abigail, kenapa dia malah pergi dengan pria lain?

Sayang Mary tidak bisa melihat wajahnya, karena wanita itu mengenakan topi dan kacamata hitam. Rambutnya pun tersembunyi di balik hoodie kebesaran yang ia kenakan. Sepertinya Mary terlalu intens dalam memandangi, karena tiba-tiba objek pengamatan menoleh ke arahnya. Buru-buru si boncel mengalihkan pandangan. Apakah ia tampak begitu mencurigakan barusan?

Duh, Mary. Kalaupun benar itu ceweknya Harold, apa yang mereka lakukan juga bukan urusan anak itu, kan?

Si mungil menghela napas. Kalau dibiarkan, bisa-bisa ia terobsesi dengan orang yang jelas-jelas sudah punya pacar. Ia harus benar-benar move on secepatnya.

📸

Dina cuap-cuap:

Pekan ini padat sekali rasanya. Rabu lalu saya jadi abdi negara sehari (re: jadi saksi rasa petugas KPPS), Kamis terkapar, Jumat belanja, Sabtu pindahan. Benar, Dina mau merantau ke planet lain. TMI banget tapi ya sudahlah ya :')

Maka dari itu, aku belum sempat balas-balasin komen di manapun. Udah rontok duluan ini punggung. Iya maap aku jompo wkk. Semoga malam ini pas eps ini terbit sudah mulai sanggup berbalas pesan o<—< makasih loh yang udah ninggalin jejak, kalian melipur laraku.

Selain karena memang jadwalnya sedang padat, aku nggak suka nulis bagian Mary galau, sebenarnya. Habisnya, saya jadi ikutan merasa tersiksa T-T Mari kita usahakan untuk menyadarkan Mary secepatnya!!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro