IMG_0019_KnowYouBetter.jpg
Surabaya dan dingin adalah dua kata yang agak mustahil untuk bersatu. Itu sebabnya, di awal Mary inginnya menolak hoodie biru malam kebesaran yang disodorkan oleh Harold. Namun, sejak kapan Harold menerima penolakan begitu saja? Jadilah Mary tenggelam dalam oversized hoodie itu.
Sambil menyetir motor dengan kecepatan sedang, Harold mulai bercerita. "Kemarin hari peringatan kematian ibuku, Mar. Makanya aku nggak pernah rayain ulang tahun."
Lelaki yang tengah membawanya dalam boncengan ini adalah orang yang sulit dibaca ekspresinya. Mary mencoba mengintip dari spion, tapi tetap saja dirinya gagal membaca air muka Harold. Kenapa juga orang ini diam-diam saja dari awal? Kalau dari awal sudah diberi paham kan, pesan-pesan yang menjurus spam itu tidak akan mendarat di ponsel Harold!
"Kenapa nggak cerita? Lu main ngilang aja kan gue panik—"
Oke. Mary terdengar terlalu peduli. Si mungil langsung mengalihkan, tidak ingin mengakui rasa khawatirnya sejelas itu. "Maksudnya, gue jadi nggak bisa ngertiin sikon lu—ah, udahlah!"
"Awalnya aku mau ajak kamu kemarin. Tapi, nggak nemu momen yang pas. Dan kamu pastinya masih sibuk sama urusan keluarga."
Andai Harold tahu apa yang dilakukan Mary kemarin. Padahal anak itu tinggal tanya apakah Mary bisa atau tidak. Bukankah biasanya juga begitu?
Gadis dengan mata yang dilapisi softlens abu-abu itu kembali memandangi punggung bidang Harold. Sosok yang ... entahlah. Bisa-bisanya membuat hati Mary morat-marit padahal belum kenal sejauh itu.
Kalau memang Mary betulan jatuh hati, berarti sudah waktunya Mary mengenal Harold lebih dari ini, kan? Dia bukan keledai yang mau jatuh dalam kebodohan yang sama lagi—patah hati karena tidak mengenal tambatan hatinya sebaik itu.
"Kayaknya gue banyak nggak taunya ya tentang keluarga lu." Mary menghela napas. "Gue mulu yang curcol. Lu cerita juga lah, biar gue bisa mahamin lu."
"Memangnya apa yang mau kamu tahu?" balas Harold. "Kamu bisa googling nama bapakku dan bakal tahu semua tentang dia. Kalau tentang ibuku, sudah banyak yang tadi kamu dengar dari Opa dan Oma."
Masih kurang. Masih banyak tirai yang belum bisa Mary buka. Orang ini, padahal Mary sudah segamblang itu bicaranya, kenapa tidak peka juga? Sungguh menggemaskan!
"Nggak semua hal ada di Google ye, Bambang!" Pukulan melayang ke bahu si penyetir motor. "Maksud gue tuh kayak interaksinya kek, apa yang nyebelin, apa gimana. Yang kayak gitu mana bisa di-googling?"
"Aku bingung juga jelasinnya. Aku jarang interaksi sama Bapak dan keluarga barunya. Keluargaku nggak kayak keluargamu yang hangat dan akrab."
Oh, tidak. Apakah Mary salah bicara? Gadis itu tidak tahu seberapa jauh jarak yang terbentang antara Harold dan keluarga intinya. Yang jelas, Mary merasakan setitik rasa sedih di sana.
"Sering-sering ngobrol sama Bapak gue aja berarti. Biar nggak direcokin mulu guenya." Mary terkekeh. Itu ungkapan serius, bukan formalitas belaka. Mengingat Bapak tipe orang yang welcome dengan siapa saja selama tidak menyenggol hal-hal yang berharga bagi beliau, dan hubungan mereka cukup baik di meja makan kemarin, hal itu bukannya tidak mungkin.
Harold berujar dengan ringannya, "Aku sih nggak masalah. Tapi kalau bapak kamu nodong aku biar cepat ngelamar kamu gimana?"
Duh, Mary lupa kalau Harold ini pengungkit handal! Cubitan langsung melayang ke lengan Harold. Kapan sih anak ini berhenti membahas imbas dari status pacar bohongan mereka?
Tentu Harold langsung protes. Mary sih bodo amat. Gadis itu memilih untuk menanggapi topik lamaran yang diangkat Harold. "Ya ngeles aja! Emangnya lu beneran mau ama gue?"
"Mau-mau aja. Kenapa nggak mau?"
Yang benar saja! Kali ini pukulan yang melayang ke lengan Harold. Tanpa berkunjung langsung ke tempat Harold bergaul sehari-hari pun, sudah jelas kalau banyak wanita yang jauh lebih bisa dipertimbangkan daripada dirinya. Lelaki itu dokter, anak pejabat, pembawaannya berkelas pula. Kalau Harold bilang mau hanya demi gurauan, Mary akan memastikan yang melayang bukan lagi pukulan ringan seperti biasanya. Bagaimana tidak? Mary jadi kesulitan untuk tidak berharap kalau anak itu terus-terusan begini!
Meski begitu, sebenarnya bisa dipahami kalau pada akhirnya Harold memang cuma bercanda. Mary bukan tipe wanita anggun dan kalem. Bukankah waktu itu Harold pernah bilang tipenya itu cewek kalem? Manusia pecicilan macam dirinya sudah pasti langsung terdepak.
"Lihat kakak kamu nikah, kamu nggak kepikiran buat nikah juga, Mar?" Pertanyaan Harold mengalihkan atensi Mary. Astaga, lagi-lagi topik pernikahan.
"Belum." Mary membalas cepat. "Nikah itu a whole new world. Gue masih nyaman sendiri."
Lebih tepatnya ... Mary belum siap patah hati, lagi.
Aroma hujan memang sudah menyapa penciuman Mary sejak beberapa saat lalu, tapi gadis itu sama sekali tak mengira kalau yang datang adalah hujan deras dadakan. Sebuah anomali untuk Surabaya yang nyaris tidak disinggahi hujan sama sekali beberapa waktu terakhir berdasar testimoni keluarganya. Bukan salahnya kalau Mary tidak bersiap sama sekali!
Buru-buru Harold membawa mereka menepi. Hanya ada satu jas hujan. Ditunjukkannya jas hujan itu pada Mary. "Cuma ada ini. Mau lanjut apa tunggu reda dulu?"
Mary melirik jam tangan. Sudah malam. Tidak ada jam malam spesifik, memang, tapi anak itu malas kalau disidang perkara apa saja yang ia lakukan saat menghabiskan waktu bersama Harold sampai larut. "Lanjut aja deh, nggak apa-apa."
"Tapi janji kamu mesti masuk ke dalam jas hujan? Kalau kamu sampai sakit, aku bisa dicoret dari daftar calon mantu sama bapak kamu nanti."
"Kayaknya lu seneng banget jadi calon mantu bapak gue?" Mary mendelik. Untung saja suasananya remang-remang, karena tampaknya panas mulai kembali menjalari wajah si gadis. Mana mau Mary kelihatan tersipu di depan Harold?
"Bapak kamu nyenengin. Bapakku nggak gitu soalnya. Kaku banget, jadi aku sungkan ajak ngobrol."
Sepertinya, Harold butuh sosok ayah atau bagaimana, Mary juga belum sepenuhnya paham. Mungkin nanti ia harus mencari tahu lebih lanjut tentang Lukito Wijaya. Kalau bapaknya sendiri sih, pada dasarnya memang hobi berbincang.
"Yaudah, ngobrol lah. Kalian klop juga ini." Mary melempar tatapan tajam. "Asal bukan lamaran!"
Harold selesai memakai jas hujan. Tidak menggubris larangan Mary. "Ayo lanjut. Tapi awas kalau kamu keluar dari jas hujan, aku langsung nepi."
"Iyaaa, nggak bakaaaaal." Mary bersedekap, sengaja memanjangkan akhir tiap kata. Harold memperlakukannya bagai anak kecil yang suka bandel main hujan dan itu membuatnya sebal. Yah, sebenarnya gadis itu memang punya ide untuk hujan-hujanan sepanjang jalan, tapi mengingat sebentar lagi dia harus kembali ke kantor, lebih baik diurungkan niat itu. Lagipula, dia malas kena omel.
Bagian belakang jas hujan Harold cukup lebar, tapi memang Mary harus memangkas spasi antara badannya dan punggung Harold agar seluruh tubuhnya bisa masuk dalam lindungan. Mau tidak mau, si boncel satu itu berpegangan pada pinggang Harold. Tidak mau mendekap, karena baru segini saja jantungnya sudah berdisko. Bagaimana kalau berpelukan?
Cuaca di luar boleh dingin, tapi Mary merasa begitu hangat dalam jarak sedekat ini.
📸
Esoknya, kedua manusia itu harus kembali pada realita mereka di Jakarta. Harold mengajaknya pulang bersama sekembalinya dari bandara. Normalnya, Mary menolak, tapi intuisi hatinya membuat gadis itu mengiyakan tawaran tersebut. Entahlah. Rasanya bersama dengan lelaki itu sedikit lebih lama bukan ide buruk juga.
Harold, yang tengah menyetir, berdeham. Dia melirik Mary sekilas. "Ehm, Mar. Ada yang mau kamu tanyain tentang keluargaku nggak?"
Tiba-tiba sekali. Jangan-jangan anak itu cenayang, bisa membaca kegalauan Mary dari kemarin. "Banyak sih, aslinya." Gadis dengan kaos putih yang tengah memeluk boneka kucing itu menoleh ke arah Harold. "Tapi gue nggak tau mana yang nyaman buat lu ceritain lebih dulu. Ada do and don'ts nya, nggak?"
"Sampai kita tiba di kosan kamu, kamu boleh tanya apa aja." Sang dokter tetap menatap jalanan lurus. "Anggap aja sebagai ucapan terima kasih karena sudah nemenin aku kemarin."
"Hmm." Mary berpikir sejenak. Kalau pertanyaan, jelas banyak. Mary saja tidak pernah melihat interaksi antara Harold dan keluarganya sebelum di Surabaya. Telepon pun tidak. Dari mana ia harus memulai?
Ah, iya. Ibu Harold. "Kemarin, pas di rumah Oma-Opa, beliau sempat bahas tentang makam ibu ..." Gadis itu berpikir keras mencari kalimat yang tepat. Ini topik sensitif, tapi Mary benar-benar ingin tahu. "Gue mau dengar cerita tentang ... Ibu?"
Walau tetap terlihat tenang, Mary menangkap perubahan air muka Harold. Buru-buru Mary mengoreksi. Jangan-jangan anak itu baru menginjak ranjau, dan ia takut Harold tersinggung karenanya. "Itu juga kalau lu nggak masalah buat cerita!"
Si lelaki berkacamata menarik napas dalam-dalam. "Ibuku sudah meninggal 24 tahun lalu, tepat sehari sebelum ulang tahunku. Sejak saat itu, aku nggak pernah ngerayain ulang tahun lagi, karena merasa nggak pantas. Waktu aku ngilang tanggal 1 itu, aku ziarah ke makam Mama dan mengunjungi lagi tempat-tempat yang biasa kami kunjungi."
Ada bagian dari kalimat Harold yang memancing atensi Mary. "Kenapa nggak pantas?" Mary menelengkan kepala agar bisa melihat Harold lebih seksama. "Orang tua itu, yang gue yakini, pasti mengharapkan kebahagiaan anak mereka—eh, sori, gue nggak bermaksud lancang!"
Wah, Mary mengkhawatirkan perasaan lawan bicaranya. Sesuatu yang sangat tidak Mary. "Lu lanjut dulu deh ceritanya!"
Suara bariton Harold melanjutkan tuturannya. "Mungkin karena aku masih belum sepenuhnya menerima apa yang terjadi. Di saat orang lain ngerayain pergantian milenium. Aku justru harus lihat ibuku yang sekarat. Cuma ada aku di rumah. Pengasuhku lagi pergi karena ngira aku lagi tidur siang. Bapak nggak angkat telepon karena lagi sibuk ngurusin acara partai."
Ah ....
Mary mulai bisa membayangkan situasi yang terjadi antara Harold dan Pak Lukito. Sebagai seorang politisi, sudah pasti kegiatan beliau begitu padat. Sekian bulan mereka berkenalan, ini pertama kalinya gadis itu benar-benar melihat sisi rapuh dari pria yang biasanya penuh senyum itu.
Harold kembali menarik napas panjang. Suaranya bergetar. "Ketika akhirnya ibuku dibawa ke rumah sakit—aku minta bantuan tetangga buat telepon ambulans, aku cuma bisa nangis sendirian di rumah sampai Ayi' datang nemenin. Besoknya, pas ulang tahunku, rumahku penuh dengan orang-orang yang melayat. Sejak saat itu, aku nggak mau ngerayain ulang tahunku karena jadi teringat hal itu."
Hati Mary rasanya seperti ikut diremas. Kalau itu dia, sudah pasti gadis itu akan meraung-raung sekian lama. Dengan suasana hati Harold yang ia yakin juga buruk, sepertinya melanjutkan perjalanan bukan opsi yang bagus.
"Mau ke tepi dulu?" Mary mengusulkan. Sepertinya Harold mengiyakan, karena mereka berdua menepi setelah beberapa saat.
Setelah mematikan mesin mobil, Harold menoleh ke samping. "Ada lagi yang pingin kamu tahu?"
"Lu nggak papa?"
Harold mengangkat bahu. "Kita belum sampai kosan kamu."
Bukan itu maksudnya! Mary membatin gemas. Padahal, maksud Mary, dia khawatir. Kalau sudah penasaran, kadang mulut gadis itu tidak bisa direm dan Mary takut hal itu membuat Harold tidak nyaman. Akan tetapi, berhubung yang bersangkutan juga menyuruhnya bertanya lagi, ya sudahlah. Terabas saja.
"Berarti, hubungan lu sama keluarga yang sekarang ... hm ... gimana gue bilangnya ya?" Mary menatap Harold dengan tatapan intens. Antisipasi kalau-kalau ada perubahan air muka yang menjadi sinyal untuk berhenti kepo. "Tolong ceritain, biar kalau suatu hari gue ke rumah lu, gue nggak salah sikap."
"Complicated. Aku merasa bukan bagian dari mereka. Tante Santika bukan ibu tiri jahat kayak di film-film. Tapi, dia tetap saja bukan ibuku. Sama Bapak, aku juga berjarak. Waktu kecil aku cenderung nyalahin beliau. Kayak, what if Bapak lebih perhatiin Mama, what if Bapak cepat angkat telepon." Harold mendengkus cukup keras. "Aku sudah berhenti mempertanyakan hal itu ketika sudah dewasa, sih. Tapi, jarak aku dan Bapak sudah telanjur jauh. Dengan Ronald ..."
Terdapat jeda cukup panjang. Banyak emosi yang terangkum dalam intonasi bicara sang pria. "Dulu, dia adik yang cukup menyenangkan. Tapi, jarak usia kami cukup jauh. Terus sejak aku kuliah kedokteran kami jadi jarang ketemu. Sekarang, well, dia jadi tambah menyebalkan akhir-akhir ini."
"Adik tiri lu sama gue beda umurnya jauh, nggak?" Mary tertawa kecil. Sepertinya kata menyebalkan untuk adik memang sudah jadi template untuk seluruh kakak di dunia. Dipikir-pikir, bukankah jarak usianya dan Harold juga lumayan? Lebih jauh dari jarak umurnya dengan Isabel, bahkan. "Kalau deketan, emang umurnya kali. Soalnya gue juga nyebelin kadang-kadang."
Harold berpikir sejenak. "Seumuran sih, kayaknya. Adikku kelahiran 2001."
"Ih, iya. Nggak beda jauh. Bentar, umur gue berapa sih?" Mary mencoba berhitung dengan jarinya. "Tahun ini gue 25, berarti sekarang ... Masih 24. Iya, nggak beda jauh. Pantes nyebelin." Si mungil tertawa. "Kenalin, gih. Siapa tau kami bisa duet buat gangguin lu sekali-kali."
"Nope. Aku nggak mau kamu jadi lebih dekat sama Ronald daripada aku." Harold merengut. "Nanti aja, aku kenalin kalian kalau kita sudah ... err ... yah nanti aja lah pokoknya."
Apa? Apa maksudnya kalimat terakhir? Dan kenapa pula Harold tidak mau Mary dekat dengan adiknya? Bukannya malah bagus kalau hubungan antarkeluarga mereka akur?
Mary memukul kepalanya sendiri. Bisa-bisanya barusan terlintas dugaan kalau Harold cemburu. Memangnya dia siapa?
"Anyway, ulang tahun kamu kapan?" Harold mengalihkan pembicaraan.
Kapan, ya? Gadis itu terdiam. Mendadak Mary lupa tanggal. Sudah dibilang, anak itu jarang merayakan ulang tahun. Masih untung dia ingat tahun lahirnya tadi!
"Jangan curang. Kamu sudah tahu kapan ulang tahunku. Atau ...." Harold mengeluarkan senyuman penuh makna. ".... perlu aku tanya ke Om Faris?"
Kenapa tiba-tiba Bapak ikut terseret? Tentu Mary langsung menolak ide itu mentah-mentah. Bisa-bisa dirinya kena lagi. Lagian, Mary curiga kalau Harold dan Bapak dibiarkan berkenalan lebih dalam satu sama lain, jumlah mata-mata kegiatannya bertambah satu.
Pipi kemerahan si mungil menggembung. "Heh, gitu mainnya sekarang? Mentang-mentang cocok kalian!" gerutu Mary. "Gue beneran lupa ini!"
Tanggal berapa, ya? Padahal, ulang tahunnya itu mudah diingat. Setelah berpikir beberapa saat, Mary baru mendapat pencerahan. "Oh, gue ulang tahun bareng Ibu Kita Kartini." Anak dengan bintik di muka itu tersenyum lebar. "Masih lama kok. Masih muda gue."
"Oke. Aku akan ingat-ingat." Harold menyalakan kembali mobilnya. "Ngomong-ngomong, makasih kemarin sudah nemenin aku seharian. Sekarang aku punya hal baru yang dapat dikenang saat ulang tahun. Dan ternyata merayakannya bareng kamu nggak buruk juga."
Telinga Mary memerah. Dia mau bilang kalau dia juga senang menghabiskan waktu bersama seharian, tapi tentu saja hal itu tidak akan diungkapkannya secara gamblang. Anak itu terlalu malu untuk mengakui bahwa hatinya sendiri sejak kemarin dipenuhi bunga-bunga karena kehadiran manusia yang satu itu.
"Harusnya lu bilang kalau ulang tahun. Nanti gue surprise-in kepiting hidup buat nyaplok lu." Gadis itu bergurau demi menutupi salah tingkahnya. Kemudian, Mary teringat sesuatu.
"Oh ya. Lu boleh nganggep Bapak sama Ibu gue jadi orang tua lu juga kok kalau mau. Gue udah biasa berbagi orang tua sama Acha, kayaknya mereka nggak keberatan juga nambah satu lagi anak modelan lu." Mary nyengir. "Nanti lu jadi kakak pertama, soalnya tuaan lu daripada Mbak Bel!"
"Tapi, kalau aku nikah sama kamu, bukannya Isabel bakal jadi kakak ipar aku ya?" celetuk Harold.
Mulai, deh, anak ini! Mary langsung memukul lengan Harold. "Lu nyetir lagi aja sana!"
"Ya kalau kamu pukul-pukul gini bisa oleng aku." Harold menginjak pedal gas dan kembali meluncurkan mobil di atas jalan. "Tapi, on a serious note, nih, Mar. Kamu ngerasa jarak umur kita terlalu jauh nggak?"
Pertanyaan Harold aneh. Kalau masalah jarak umur, Mary tidak pernah mempermasalahkan. Orang bukan dinilai dari usia mereka, kan? Lagipula, kolega Mary lebih banyak yang tidak sepantaran juga selama ini. "Biasa aja, kok. Kenapa?"
"Nggak apa-apa. Cuma penasaran aja."
"Dasar orang aneh." Mary memutar mata. Random sekali kuis dadakan dari Harold. Namun, setidaknya Harold tidak meneruskan topik pernikahan untuk kesekian kalinya. Bisa-bisa Mary langsung melayang nyawanya begitu tiba di kosan, akibat jantung yang bekerja terlalu keras!
Akhirnya, mereka berpamitan. Saat mobil merah Harold hilang dari pandangan, Mary menarik napas dalam-dalam. Kenapa rasanya dia jadi tidak rela kembali ke kenyataan? Andai momen-momen di Surabaya bisa diputar kembali, dengan senang hati Mary akan melakukannya.
Acha benar. Ia sudah jatuh hati, sepertinya.
📸
Dina cuap-cuap:
Wah, Januari sudah mau berakhir. Itu artinya sebentar lagi saya UAS. Oh, tidaaak! 😭 Saya sedang mengusahakan agar bab-bab yang publish di masa ujian bisa rampung, biar saya bisa fokus belajar www. Mohon doanya :))
Anyway, ada usul nama couple buat dua bocah gemesin kesayangan kita? Kemarin ada yang usul Pasangan Seafood masaa 😭 (Tebak kenapa?)
Sebenarnya kemarin kami sempat kepikiran mau kasih bonus update kalau udah mencapai angka view tertentu sebagai bentuk apresiasi tambahan, tapi kok ternyata nulisnya ngesot-ngesot yaa wkwk. Tapi bukannya nggak mungkin juga sih. Bisa dipertimbangkan sih kalau emang pada se-nggak sabar itu 👀 (syarat dan ketentuan berlaku)
Jangan lupa berkunjung ke lapak kak amelaerliana selaku maknya Harold ya! 🌻
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro