Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

IMG_0016_Realization.jpg


Hubungan Mary dan kedua orang tuanya baik. Baik banget, malah. Entah sudah berapa pertikaian yang dilalui sejak Mary kecil, dan mereka masih bisa berbaikan setelah itu, sehebat apa pun konfliknya.

Mary sungguh berharap yang ini juga sama.

"Bapak, Mary paham kok kalau ini bentuk kasih sayang karena nggak mau anak-anaknya hidup susah." Wanita dengan bintik di muka itu menelan ludah. "Mary beruntung punya Bapak yang bertanggung jawab dengan keluarga, tapi ...."

Mata Mary memejam sejenak. Ia sudah hati-hati dalam merangkai kata. Seharusnya aman. "Mary nggak mau terus-terusan ada di bawah bayang-bayang nama besar Bapak. Mary cuma mau buktiin kalau Mary bisa kerja bagus di bidang media karena memang Mary mampu, bukan karena Mary anaknya direktur Jawamulya."

Akhirnya keluar juga. Mary tidak pernah mau menceritakan sisinya yang itu ke orang lain. Pada Acha pun tidak, tapi entah bagaimana ceritanya sahabatnya itu bisa tahu. Kata-kata semacam itu bisa mengusik perasaan orang tua yang meyakini keputusan mereka untuk anak-anak mereka adalah yang terbaik, makanya Mary tidak pernah bilang.

Akan tetapi, sepertinya memang ini satu-satunya cara untuk memahamkan.

Takut-takut, Mary kembali menatap Bapak. Beliau tercenung dan rasa bersalah merayapi hati si putri bungsu. Seharusnya ia tetap memendam saja. Kenapa diucapkan, sih?

Bapak mengambil napas panjang. "Ini gara-gara cowok yang waktu itu selingkuh gara-gara minder sama Bapak? Atau pernah ada yang bilang kamu ndak kompeten gara-gara nama Mulyabakti?"

Kenapa kesimpulannya jadi ke arah sana? Mary langsung menggeleng. Sungguh, bukan itu maksudnya—walaupun, tak bisa dipungkiri, pemikiran itu memang mulai tumbuh sejak gadis itu tak sengaja mencuri dengar orang yang meremehkan dirinya di masa sekolah. Mary tidak ingin Bapak dan Ibu berpikir itu salah mereka. "Aku cuma ingin hidup dan berbakti dengan caraku sendiri."

Meja makan hening. Mary jadi takut sendiri. Lamat-lamat, ia mengedarkan pandangan. Ibu, Bapak ... Harold.

Ah, benar juga. Malam ini, isi meja makannya tidak hanya keluarga inti.

Mary jadi merasa bersalah karena membuat Harold terjebak dalam perdebatannya dengan Bapak. Sumpah, ia tidak bermaksud! Setelah ini, Mary harus minta maaf pada kawannya yang satu itu.

"Kok ndak ket mbiyen tho—nggak dari dulu—ngomongnya?" Senyum terbit di wajah Bapak. "Tahu gitu kan Bapak ndak maksa-maksa kamu, Dek."

"Lah, dari dulu aku udah nolak!"

"Iya, tapi Bapak mikirnya kamu sek isa dibujuk, alasan nolakmu selama ini ndak make sense soalnya." Bapak tertawa. "Kalau gini kan, Bapak langsung paham."

Harus bagaimanakah Mary merespons? Setelah diam sejenak dan berpikir, Mary menangkupkan kedua tangannya. Mestinya diiringi permintaan maaf, tapi lidah anak itu sudah kelu duluan. Ibu yang memecah keheningan setelah sekian detik. "Yang penting kamu bisa tanggung jawab sama pilihanmu sendiri wes, Nduk. Ya tho, Pak?"

Bapak mengacungkan jempol. "Tapi, nek kamu wes bosen di Jakarta terus pingin njajal dadi direktur, Bapak tetap welcome kok, Dek."

Rasanya beban berat yang menyelimuti benak Mary beberapa saat lalu langsung terangkat. Setelah ini tidak akan ada lagi paksaan untuk kembali ke Surabaya menjadi direktur. Yah, setidaknya untuk saat ini. Yang paling penting, Bapak dan Ibu tidak sakit hati. Itu saja Mary sudah bersyukur.

"Ndak kamu, ndak Isabel, keras kepalanya sama saja." Ibu geleng-geleng, heran. "Nurun dari Mas Faris ini mesti."

"Lah, kok aku, Yang?" Bapak langsung protes mendengar keluhan istrinya.

Ibu tidak menggubris. Beliau malah bicara pada Harold yang sejak tadi hanya bisa terdiam. "Maaf ya, Mas Harold. Bapak-anak ini kalau tengkar senengane ndak tau tempat."

Lelaki berkacamata itu tersenyum sopan. "Nggak apa-apa, Tante. Itu juga yang buat saya suka sama Mary. Dia tahu apa yang dia mau dan nggak ragu buat menyuarakan pendapatnya."

Saat berkata suka, Harold menoleh ke arah Mary. Tersenyum lebih manis. Pria itu kembali menatap Ibu setelahnya. "Saya suka sama Mary termasuk dengan sifat keras kepala dan ngeyelannya ini. Mungkin saya nggak selalu bisa mengiyakan keinginan Mary, tapi saya janji untuk mendengarkan pendapat Mary dan berdiskusi dengannya."

Tidak salah memang Mary merekrut Harold menjadi pacar kontraknya hari ini. Lihatlah betapa manis kata-kata yang ia lontarkan untuk mengambil hati orang tua si gadis. Going extra miles, kalau kata para motivator. Padahal, tidak perlu sampai segitunya!

Kalau cuma setting-an, kenapa niat banget bikin image bagus dari tadi? Mary menghela napas. Perasaan aneh yang akhir-akhir ini sering hinggap kian merajalela di hatinya. Lu baik, but at what cost?

​​Akhirnya, makan malam berakhir. Untungnya ditutup dengan jokes bapak-bapak dan gelak tawa. Tidak ada makanan yang terbuang sia-sia walau ada sedikit keributan. Situasi aman.

Mary mengantar Harold keluar rumah. Saat hendak berpamitan, gadis itu baru ingat kalau dia mau melayangkan protes tentang fakta yang baru ia ketahui malam ini.

"Eh, Rold. Selama ini gue ngatain bapak lu depan anaknya langsung, dong?" celetuk Mary.

Sebagai jawaban, Harold cuma cengengesan. Entah itu artinya tersinggung atau tidak masalah. Mary tidak suka menebak-nebak, jadi lebih baik dia langsung saja.

"Duh, maaf yak, gue nyablak gini juga bakal mikir-mikir kok kalau mau ngejelekin bapak orang!" Wajah gadis itu macam kucing melas. Akan tetapi, ekspresi memelas itu dengan cepat berganti gemas. Gemas ingin memukul, bukan gemas yang lucu. "Mohon maaf nih, ngapa lu nggak bilang sih dari awal? Tau gitu kan gue bisa ngerem dikit maki-makinya!"

Senyum Harold memudar. "Kamu nggak pernah tanya."

Ya gue mana kepikiran, Bambang? Ingin rasanya Mary langsung protes begitu, tapi kalau dipikir-pikir di sini dia yang salah. Sudah cukup hari ini anak itu memantik keributan dengan Bapak, tidak perlu menambah satu lawan lagi.

"Maafin gue yak. Nggak maksud menghina ortu lu, sumpah. Lagian—"

"Bisa nggak, sih, Mar, kita bahas ini lain kali aja?" Suara Harold berubah dingin. Lelaki itu mengecek ponsel sepintas dengan ekspresi yang sulit terbaca.

Harold tidak berkata apa-apa lagi setelahnya. Ia masuk ke dalam mobil dan pergi begitu saja, meninggalkan Mary yang bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi.

📸

Mary panik!

Beberapa menit setelah Harold pergi, Mary mengirim pesan permintaan maaf, berhubung gadis itu belum yakin ia sudah benar-benar dimaafkan. Centang satu. Mungkin orang itu sedang ada keperluan lain. Itu pikiran awal Mary. Masalahnya, sampai bulan terbenam, centang satu itu tak kunjung bertambah. Sampai detik ini pun, ketika Mary pergi ke rumah Acha setelah matahari meninggi.

"Cha. Si Harold nggak bisa dihubungi masa?" Gadis mungil itu menghempaskan badannya ke kasur Acha hingga bunyi derak terdengar. Acha sudah memaklumi kelakuan kawan dekatnya yang suka kebanyakan tingkah, tapi heran karena anak itu galau brutal gara-gara makhluk berjenis kelamin laki-laki.

"Terus urusannya sama aku apa?" Acha memutar mata. "Tengkar? Bukannya kemarin kalian baru pacaran?"

Bantal polkadot langsung melayang ke muka Acha. Muka Mary bersungut-sungut. "Matamu pacaran!"

"Mata pacaran itu gimana, Mar?"

Kali ini, guling menjadi senjata Mary untuk menimpuk si empunya kamar. Yang diserang menghindar dengan cekatan. "Kamu kalau ke sini cuma mau KDRT, mending pulang, sana!"

Pipi Mary menggembung. Sebal. Bapak dan Ibu sedang menghadiri undangan dan kakaknya jelas sedang bulan madu. Mary juga tidak mau menjadi pengganggu malam-malam pertama. Itu sebabnya, rumah sobatnya yang berhijab itu jadi sasaran.

Acha memperhatikan perempuan dalam balutan kaos putih dan celana jins yang tengah berguling-guling gelisah di teritorialnya itu. Ia geleng-geleng kepala. "Kataku sih kamu udah jatuh beneran, ya, Mar."

"Siapa yang jatuh cinta, sih?"

"Yang ngomong jatuh cinta tuh siapa?"

Sial, Mary kena jebakan permainan kata. Acha terkekeh melihat ekspresi merengut si mungil. "Ada acara keluarga kali, Mar. Atau coba ingat-ingat dulu, kamu ada bikin salah, nggak? Kamu nih suka nggak sadar bikin kesal orang, tau!"

Kalau dipikir-pikir, Mary sudah menyeret lelaki jangkung itu dalam sandiwaranya, bikin repot perkara kaki lecet, harus menggandeng Mary sepanjang resepsi, dipaksa foto bersama, membuat si pria menonton pergulatannya dengan Bapak, tidak tahu nama bapak pacar sendiri. Dan ia belum sempat bilang terima kasih setelah semua kejadian itu.

Memang bikin kesal, sih, setelah ditelaah kembali.

"Aku jadi Mas Harold juga sebel sih, Mar." si gadis dalam balutan daster tergelak usai Mary merinci dosanya. "Untung itu orang udah kepelet sama kamu."

"Ngaco!" Mary memukul lengan Acha, pelan. "Ini gimana gue minta maafnya? Bantuin, dong!"

"Ya chat, lah?" Acha berkacak pinggang. "VN kek, apa samperin langsung. Kamu nggak tahu rumahnya?"

"Dibilang orangnya centang satu juga!"

"Ya berarti kamu kudu ke rumahnya langsung."

"Enteng bat itu lambenya ngomong." Mary menggerutu. "Gue cuma tahu rumahnya di Bubutan. Masa gue ketokin satu-satu?"

Alih-alih memberi solusi, Acha terkekeh. Anak itu memperbaiki posisi duduknya. Kalau tadi muka bulatnya dipenuhi cengiran jahil, sekarang ekspresinya lebih sungguh-sungguh. "Sampai kapan mau denial, Mar?"

Wanita pekerja agensi itu tukang bercanda. Kalau mata bulatnya menyorotkan keseriusan, berarti memang ini bukan urusan main-main untuknya. Mary berdecak. Kenapa Acha jadi serius banget? "Sampai kapan lu mau stick sama teori cinta-cintaan itu?"

"Sampai kamu sadar dan menerima kalau kamu sedang jatuh cinta."

Kalau obrolan itu dilakukan saat mereka berdua masih SMA atau awal duduk di bangku kuliah, Mary masih bisa paham. Walaupun tetap menyebalkan, memang masa-masa itu umurnya manusia mudah kasmaran. Sekarang mereka sudah seperempat abad. Bukan waktunya membahas romansa seringan itu. "Udah nggak umurnya, Cha."

"Sejak kapan naksir orang dibatasin umur?" gerutu Acha. "Kalau kayak gitu, semua orang di atas kepala dua bakal jomblo, dong!"

Benar juga, sih. Akan tetapi, tetap saja. Kalau diteruskan, pembahasan cinta ini tidak akan ada habisnya. Mary memutuskan untuk mengganti topik. "By the way, gue baru tahu nama bapaknya Harold semalam dan gue pernah ngejelekin si bapak di depan anaknya langsung. Masa ngamuk gara-gara itu?"

Alis Acha terangkat. "Siapa?"

"Lukito Wijaya. Itu lho, orang DPR yang kadang nongol di TV." Mary tahu Acha bukan tipe orang yang mengikuti politik, dan normalnya memang anggota DPR bukan sosok yang disorot hingga mereka melakukan sesuatu yang luar biasa di negara ini—dalam arti baik atau buruk. "Ya lu tahu lah gue kalau ngejulid kelakuan oknum pejabat gimana."

Tawa Acha langsung menyembur. Anak itu terpingkal-pingkal hingga meneteskan air mata dan nyaris menggelinding dari kasur.

Mary merengut. "Apa yang lucu?"

"Kamu nggak pernah nanya-nanya tentang keluarganya apa gimana, Mar?" Acha bertanya di sela tawanya. "Gimana, sih? Masa camer sendiri nggak kenal?"

"Camer matamu!"

Gadis dengan tinggi yang tidak beda jauh dari Mary itu masih terpingkal. Butuh semenit sebelum tawanya mereda. Cubitan di lengan tidak mempan untuk Acha yang sudah jadi korban kebrutalan Mary sejak SD. Setelah bisa mengendalikan diri, gadis itu beringsut, merapat ke dinding kamar. Bersandar.

"Mary Denial Angelica, stop denial dan akui rasa cintamu sebelum kamu kehilangan Mas Harold," ujar Acha tegas. "Sekali lihat juga semua orang tau kalian lagi kasmaran. Cuma kalian yang nggak sadar satu sama lain."

"Siapa yang—" Protes Mary tertahan karena bantal yang dijejalkan Acha pada mukanya.

"Aku serius. Kalau kamu gini terus, nggak menutup kemungkinan dia bakal capek dan nyerah ngejar kamu." Gadis bermata bulat itu memberi peringatan. "Jangan sampai kamu baru nyesel pas itu."

Acha mendeklarasikan hal itu seakan-akan perasaan Mary sudah seterang foto di siang hari. Kalau boleh jujur, anak itu bingung dengan dirinya sendiri. Memang ada yang bilang kalau persahabatan antara lawan jenis adalah tidak mungkin. Namun, dalam kasus ini, Mary merasa dirinya sudah berhasil mematahkan teori yang satu itu. Bukan sahabat macam Acha memang, tapi ia dan rekan-rekan satu timnya cukup dekat hingga gadis itu juga mengenal pasangan mereka masing-masing. Sejauh ini pertemanan mereka sangat aman dan tidak ada intrik perasaan.

Harold ... entahlah. Rasanya beda.

Apakah ini efek pertemuan yang terlalu sering? Dua anak itu memang nyaris tiap pekan bertemu. Tidak hanya ketika ada pekerjaan. Seringnya malah hanya main-main melepas penat. Dengan latar belakang dunia Harold dan Mary yang bertolak belakang, mereka masih bisa nyambung ketika menghabiskan waktu dan itu momen yang menyenangkan.

Lelaki itu memang memperlakukannya dengan baik (di luar isengnya yang kadang kumat dan minta dipukul), tapi untuk Mary, itu karena dia memang baik saja. Ingat cerita Ario? He's the gentleman in the world full of man. Hanya itu.

Itu pandangan Mary sebelum insiden pertikaian kecil dan pernyataan Hiro.

Sejak kapan satu hari tanpa kehadiran si jangkung terasa kurang? Sejak kapan jantungnya berdegup lebih kencang hanya dengan mendengar namanya? Sejak kapan matanya tanpa sadar mencari sosok berkacamata itu bila tidak sengaja melewati tempat yang sering mereka singgahi? Sejak kapan gadis itu takut kehilangan hanya karena pesan yang belum berbalas beberapa jam?

"Udah nyadar kalau kamu jatuh cinta?" Pertanyaan Acha membuyarkan lamunan Mary. Yang ditanyai mengerjap, tidak siap dengan jawabannya sendiri walau hati kecilnya sudah memutuskan. Pada akhirnya, Mary hanya menggeleng.

Acha mendengkus. "Bebal banget, sih?" Anak itu meraih tablet yang tergeletak di nakas, lantas membuka aplikasi untuk coret-coret. "Ayo, mumpung ketemu langsung, kita analisis sebenarnya perasaanmu sekarang itu gimana ke Mas Harold."

"Buat apa?" Mary mengerang. "Gue nggak mau urusan sama cinta-cintaan lagi!"

"Mar, nggak semua cowok sebrengsek si mantan yang nggak perlu disebut namanya itu." Nada bicara Acha melembut. "Nah, checklist pertama. Dia pernah kasar nggak sama kamu?"

Mary menggeleng.

"Pernah tengkar?"

"Pernah. Yang gue cerita pas ulang tahun Kak Rio itu, lho. Masa lupa, sih?"

Acha mengabaikan protes sohibnya. "Bisa selesai dengan baik?"

Mary mengangguk pelan, meskipun jika ditilik kembali, Harold-lah yang berinisiatif untuk menghubungi lebih dulu. Yah, mengingat saat itu memang masalahnya ada di pernyataan si lelaki, wajar kalau dia yang minta maaf duluan.

"Apakah dia minder saat bertemu dengan keluargamu dan tahu tentang Jawamulya?"

Semalam, Bapak dan Harold malah mengobrol akrab di meja makan. Ibu pun bisa menerima kehadirannya dengan baik. Mary menggeleng sebagai jawaban.

"Apakah kamu nyaman ketika menghabiskan waktu bersama dengannya?"

Kalau tidak nyaman, tentu Mary tidak akan menyetujui ajakan bertemu tiap pekan. Mary mengangguk.

"Apakah kamu nyaman menjadi diri sendiri di hadapannya?"

Selama ini, rasanya Mary tidak pernah menggunakan filter ketika bergaul dengan siapa pun. Pertanyaan Acha agak aneh. Akan tetapi, kalau dipikir lagi, bahkan gadis itu bisa begitu santai membicarakan masalah direktur yang selama ini disimpan rapat-rapat di hadapan si lelaki. Sampai jadi saksi di meja makan, pula. Apakah itu bisa dikategorikan sebagai nyaman jadi diri sendiri? Sepertinya iya. Mary mengangguk.

"Terakhir, apakah dia cocok sama orang tuamu?"

"Cocok banget," jawab Mary tanpa sadar. Itu isi kepalanya, tapi tahu-tahu saja disuarakan. Acha tersenyum penuh kemenangan seraya menunjukkan hasil corat-coretnya.

"Kecentang semua, tuh, kriteriamu." Acha nyengir. "Udah nggak bisa denial kamu, Mar. Mana mukanya sumringah banget. Harusnya tadi aku rekam sekalian buat bukti."

Seketika, wajah Mary merah padam.

"Pas aku ngobrol sama Mas Harold, dia jelas-jelas suka sama kamu, kok." Acha mengembalikan tablet ke nakas. Cuek dengan salah tingkah sahabatnya. "Kenapa nggak langsung confess aja, sih?"

Mary menghela napas. Acha betulan kebanyakan nonton drama romantis. "Gue belum sekenal itu, Cha. Nama bapaknya aja gue baru tahu semalam."

"Ya kenalan, lah?" Acha menggerutu. "Makanya, jangan denial dan mulailah pedekate!"

Gadis berambut brunette pendek itu termenung. Masa dia beneran suka, sih, sama Harold? Mary bingung mendefinisikan apa yang sebenarnya tengah berkecamuk dalam hatinya. Mana berani anak itu langsung mendeklarasikan bahwa ia sedang jatuh cinta? Lagipula, Acha ini ada-ada saja. Tahu dari mana dia kalau Harold juga suka padanya?

"Mikir apa lagi, sih?" Lagi-lagi Acha bercerocos, gemas. "Kalau kelamaan mikir, nanti botak kayak Om Faris, lho."

"Hei, cuma gue yang boleh ngatain bapak gue botak!" Mary langsung melayangkan cubitan ke lengan sahabatnya. Namun, Acha ada benarnya. Ia tidak boleh terlalu lama berpikir.

Bukan berarti Mary tidak bisa mengambil waktu untuk menganalisis perasaan yang sebenarnya, kan?

Gadis mungil itu menghela napas. Kenapa hidupnya jadi ribet gini, deh?

📸

Dina cuap-cuap:

Nggak ada. SAYA MUMEEET 😭

Pesan saya hanya satu. Kalian jangan lupa mampir ke lapaknya Harold di Kak amelaerliana, ya!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro