Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

IMG_0012_Unexpected.jpg

Naufal memang suka bercanda tentang Hiro yang jatuh cinta padanya. Telinga Mary sudah kebal. Kadang-kadang, mulut anak itu memang minta dijewer, walau tentu saja tidak Mary lakukan betulan. Gitu-gitu, Mary hanya suka melakukan kontak-garis-miring-kekerasan fisik secara langsung pada manusia-manusia terpilih.

Tidak pernah Mary berpikir kalau redaktur yang satu itu bakalan sungguhan menembaknya.

Hal itu terjadi setelah jam pulang kantor. Mary masih berkutat dengan editing foto-foto yang diminta tim konten ketika Hiro datang menghampiri. Hanya ada mereka berdua di ruang kru jurnalis.

"Mar, sibuk?"

Yang dipanggil menoleh. Lelaki yang memanggilnya berdiri di sana dengan kotak beludru merah berisi gelang emas. Dahi Mary mengernyit. Gadis itu bukannya tidak peka terhadap hal-hal semacam ini, tapi ....

"Kamu ... masih jomlo, kan?" Hiro berdeham. Kentara sekali gugupnya. "Aku ... ingin mengajakmu ke jenjang hubungan yang lebih tinggi."

"Gue jadi redaktur, lu jadi direktur, gitu?" Mary berusaha mengelak dengan candaan. Akan tetapi, air muka Hiro tidak berubah. Lelaki itu sungguhan serius, dan itu bukan pertanda baik. Mary heran sendiri. Selama ini, hubungan mereka murni teman kerja. Dia tidak bodoh, dia tahu maksud di balik gelang dan pertanyaan itu.  Yang diherankan Mary adalah keberanian Hiro menembak begitu saja tanpa pendekatan yang bagus.

Pendekatan ....

Ah, ya. Segala perhatian dan barang-barang yang mendarat di meja Mary, juga si pria yang bersikeras meliput bersama walau secara teknis seharusnya tidak begitu. Jadi, Naufal selama ini benar-benar serius, ya, tentang Hiro yang menyukainya?

Mary menghela napas. "Kenapa?"

"Kamu ... beda dari cewek-cewek lain yang pernah kutemui." Hiro menatap Mary lurus-lurus. Sedikit menunduk. "Kamu mandiri, punya pendirian sendiri, dan sangat menikmati hidup tanpa memikirkan orang lain. Aku merasa kita bisa saling melengkapi sebagai pasangan."

Klasik. Bukan sekali-dua kali Mary mendengar pernyataan itu dari orang lain. Dari mulut Hiro pun ia sudah sering dengar, berhubung lelaki itu hobi memuji. "Seberapa yakin?"

"Kalau nggak yakin, aku nggak bakal bilang ke kamu," tukas Hiro dengan intonasi mantap. Begitu percaya diri, dari penglihatan Mary, seakan-akan sudah pasti diterima.

Mary harus menolak.

Gadis itu memejamkan mata, mencoba menyusun kata-kata untuk menjawab.

"Ketemu orang tuaku dulu." Mary berdiri demi menyejajari Hiro—walaupun ujung-ujungnya tinggi si mungil hanya sedikit melewati bahu si lelaki. Si gadis mendongak. "Mas Hiro sudah tahu orang tuaku siapa, kan?"

Oke. Ini terdengar arogan, tapi Mary belajar dari pengalaman. Kalau bukan untuk hal-hal serius, tak akan mau dia membawa-bawa nama Mulyabakti. "Dulu, gue pernah pacaran dua kali. Dua-duanya mundur karena keluarga." Tatapan mata almon bulat Mary yang biasanya ramah, kini menusuk. "Mas Hiro yakin bisa mengimbangi keluarga gue?"

Padahal yang Mary maksud bukan dari segi harta, tapi raut wajah Hiro berubah mengeras. Apakah lelaki ini akan sama seperti mantan terakhirnya yang minderan itu, dan berakhir mengecap Mary sebagai wanita yang hanya memandang seseorang dari segi ekonominya?

"Apa syaratnya?" Mata Hiro membalas tatapan tajam Mary. "Apa aku harus jadi direktur sungguhan? Aku bisa, kok, setara dengan direktur Jawamulya. Kamu remehin aku?"

Nah, kan.

"Mantan terakhir gue nggak miskin, tapi dia nggak bisa afford gaya hidup gue dan keluarga." Si gadis menanggapi dengan intonasi sedatar mungkin. Bicara saja memang mudah. Mantan brengsek itu juga awalnya bilang tidak masalah dengan latar belakang keluarganya, tapi ujung-ujungnya minder sampai selingkuh. "Kalaupun Mas Hiro sanggup, seberapa yakin Mas Hiro bisa bikin gue sekeluarga luluh? Biarpun di kantor gue sok-sokan kere dan mandiri, aslinya gue ini putri bungsu yang manja, lho?"

Oke, itu sedikit kelewatan. Si mungil bukan tipe orang yang suka merendahkan. Hanya saja, mulutnya refleks membela diri seperti itu. Dalam hati, Mary memohon kepada Tuhan agar sang pria tidak terlalu sakit hati.

"Lu sengaja jahat buat nolak gue, ya?" Pria yang usianya selisih lima tahun di atas Mary itu tertawa getir. Dia kembali menggunakan lu-gue alih-alih aku-kamu. "Mary yang gue kenal nggak kayak gitu."

Mary sama sekali tidak berniat jahat. Benar, gadis itu sudah biasa hidup biasa-biasa saja—sok kere, kalau kata Acha dan Naufal—tapi tak dapat dipungkiri kalau nama Mulyabakti menjadi filter alami dari para lelaki yang mendekati. Tentang gaya hidup, Mary tidak mengada-ngada. Bagaimanapun juga, dia itu putri bungsu pengusaha kaya-raya dan mau tidak mau terlibat juga dalam pergaulan sesama orang tajir nantinya, sejauh apa pun Mary berusaha menghindar. Punya pasangan yang mudah rendah diri sama sekali bukan hal yang Mary butuhkan. "Berarti lu belum cukup kenal sama gue, Mas. Terus, kenapa bisa seyakin itu?"

"Karena lu satu-satunya cewek yang bisa gue lihat dalam rencana masa depan gue." Hiro tersenyum penuh arti. Tadi sepertinya sempat ciut ketika Mary menyinggung masalah keluarga, tapi sudah kembali dengan tingkat kepercayaan diri yang lebih tinggi. "Gue nggak bakal nyerah gitu aja, Mar."

Lelaki yang sudah masuk usia kepala tiga itu menutup kembali kotak yang ia sodorkan beberapa saat lalu, lantas meletakkannya di meja Mary. "Gelang ini buktinya. Gue serius mau sama lu, Mar. Tolong disimpan sampai gue bisa setara dengan lu dan keluarga lu."

Hiro pergi begitu saja, meninggalkan Mary yang masih mencerna kejadian barusan. Saat akhirnya berhasil memahami situasi, gadis itu mendengkus. Seharusnya ia langsung menolak. Babak percintaan baru dalam drama kehidupan bukan hal yang Mary inginkan, apalagi dengan atasan sendiri. Hiro rekan kerja yang baik, tapi Mary tidak bisa membayangkan manusia itu menjadi rekan hidupnya.

Malah sosok dokter jangkung itu yang melintas.

Buru-buru Mary menghapus pikiran gila yang barusan hinggap. Mary hendak mengembalikan kotak gelang itu ke meja Hiro di ruang redaktur, tapi pintunya dikunci. Besok, Mary sudah terbang ke Surabaya. Tidak bertemu lagi sampai libur tahun baru usai. Gadis itu mendesah. Mungkin sebaiknya ia menegaskan lewat chat saja, karena kalau mengejar sekarang pasti tidak keburu.

Mary
Mas Hiro, maaf. Gue nggak mau terlibat dalam percintaan jenis apa pun untuk sekarang dan gue pikir hubungan kita sebagai rekan kerja sudah sangat baik. Tolong ambil kembali gelangnya besok.

Mas Hiro Redaktur
Lu beneran nggak mau kasih gue kesempatan sama sekali, ya?

Gadis dengan kulit putih kemerahan itu menghela napas, lagi. Dia menutup ruang percakapan tanpa balasan sepatah kata pun. Mengingat karakter Hiro selama ini, tidak mungkin ia melepaskan Mary begitu saja. Entah apa yang menyambut gadis itu tahun depan, Mary tidak ingin membayangkan. Salahkah jika ia berharap redakturnya menyerah saja secepatnya?

📷

Niat Mary, dia hanya membawa satu ransel besar dan pergi ke Soekarno-Hatta dengan kereta bandara. Namun, ada urusan mendadak dan sekarang di sinilah dia, dalam sebuah taksi yang melaju kencang demi mengejar waktu boarding-nya karena Mary nyaris terlambat. Andai tahu ini akan terjadi, tentu dia sudah mengiyakan tawaran Harold untuk berangkat bersama. Setidaknya paniknya bersama, tidak sendirian begini!

Seakan itu tidak cukup memacu adrenalin, tahu-tahu Bapak menelepon. Pertanyaan yang terlontar sukses bikin Mary melotot.

"Dek, kata Mbak Bel kamu wes nduwe—udah punya—cowok?"

Tentu gadis itu langsung membantah. "Fitnah banget. Hoax dari mana itu?"

"Lho, kata Mbak Bel kamu lagi dekat sama cowok. Ndak buat main-main, toh?"

Isabel ember banget. Untung kemarin Mary tidak menyebut nama Harold. Mary bertekad akan memiting kakaknya yang satu itu setelah resepsi usai, meskipun sepertinya kalau itu direalisasikan, dia yang bakal dipiting balik oleh kekasih Isabel. "Dekat sebagai teman, Bapak. Memangnya Mary nggak boleh sahabatan sama lawan jenis?"

"Tapi kata Mbak Bel kamu sampai galau banget gara-gara dia?"

Isabel sialan. "Bapak jangan percaya Mbak Bel. Syirik."

Bapak tergelak. "Ibu sama Bapak awalnya juga sahabatan. Sekarang buntutnya dua." Mary bisa membayangkan smirk menyebalkan milik Bapak sekarang. "Bawa aja, Mar. Bapak pingin kenalan. Siapa tau cocok."

"Cocok apaan?" Si gadis mulai resah dengan arah percakapan ini. Tangannya meremas bantal kucing calico yang dibawanya tanpa sadar.

"Calon iparnya kakakmu tuh cakep. Anak teman-temannya Bapak ya cakep-cakep. Kalau ndak bawa gandengan, tak jodohin aja, ya."

Tuh, kan. Mary mendengkus. Kenapa tiba-tiba Bapak ribut masalah pendamping hidup, sih? Kemarin-kemarin, beliau hanya fokus mengajak Mary menjadi penerus direktur. Masa gara-gara kakaknya menikah? Dikira jodoh-jodohan semudah memasangkan boneka? Dia tak habis pikir. "Lagian, kenapa tiba-tiba Bapak kepikiran banget? Biasanya juga santai aja. Bapak tahu kan aku bisa jaga diri sendiri?"

"Kalau ibumu dengar, udah diomelin kamu, Dek." Bapak terkekeh. Ada benarnya. Ibu lebih cerewet dalam urusan begini, apalagi kalau sudah bertemu Mary mode sok mandiri. Untungnya, beliau tipe orang yang tidak terlalu suka bicara lewat telepon. Bapak saja sudah cukup untuk membuat Mary tertekan. "Kamu udah 25 tahun, Dek. Pilihannya bawa cowok pilihan kamu sendiri atau dijodohin. Pilih mana?"

"Apa-apaan—"

"Kata Mbak Bel, dia punya firasat kamu bakal bawa gandengan besok." Lagi-lagi Bapak tertawa. Pria paruh baya itu memang punya hobi tertawa di atas protes penderitaan Mary. "Kalau ndak ada, kamu ndak boleh protes ya kalau Bapak mulai cariin jodoh buat kamu."

"Maksa banget, ih?"

"Kalau ndak diginiin, ndak bakal kamu cari, toh?" balas Bapak. "Bapak tahu, kamu bakal nikah sama kerjaan kalau pekerjaan itu bisa dinikahi."

Pernyataan itu menohok, tapi tentu saja Mary enggan mengakui. "Nggak separah itu juga kali!" Mary langsung protes. "Bapak kali yang kayak gitu? Kalau nggak lagi libur, di kantor melulu!"

Tawa Bapak kian membahana. Beliau baru bicara lagi setelah tawanya mereda. "Ya justru karena itu, Dek. Bapak paham, soalnya kita mirip." Nada beliau berubah serius. "Yang bikin Bapak berubah jadi lebih baik itu ya Ibu. Kalau kamu lihat mbakmu, dia juga jadi lebih baik setelah ketemu sama orang yang tepat. Kamu memang bisa mandiri, tapi namanya manusia itu butuh dilengkapi orang lain, Dek."

Mary bergeming, kehabisan alasan.

"Minimal, kalau ndak mau nerusin perusahaan Bapak, carilah suami buat bantuin kamu ngabisin warisan dari Bapak," beliau melanjutkan. Ada sendu terselip. "Bapak sudah bilang, kan? Bapak ndak bisa nemenin kamu selamanya, Dek."

"Pak—"

"Deal, ya?" Bapak memutuskan sepihak. "Kamu bawa gandengan, atau Bapak cariin jodoh buat kamu."

Bapak memutus telepon tepat di saat taksi Mary sampai. Tidak ada waktu untuk memproses reaksi atas keputusan sepihak bapaknya, Mary harus bergegas. Jam boarding sudah mepet dan gadis itu yakin Harold sudah panik setengah mati, karena itu yang dia rasakan sekarang.

Kenapa Harold beli tiket pesawat yang berangkat dari T3, sih? Mary sempat-sempatnya merutuki nasib ketika kaki pendeknya berlari menerabas panjang dan ramainya area check in pesawat. Kata Harold, dia sudah mencetak boarding pass dan tengah menunggu di dekat pintu pemeriksaan.

Gadis itu terbelalak melihat antrian yang mengular. Astaga! Panjangnya macam ular naga berbadan manusia. Untung tubuh tinggi Harold mudah ditandai di antara kumpulan orang.

Dengan terengah-engah, ia menyusul si lelaki yang sudah berada di barisan depan. Agak menyalahi aturan sebenarnya mengingat Mary menyerobot barisan, tapi bodo amat. Toh memang boarding pass-nya sudah dipegang Harold, jadi secara teknis dirinya sudah ikut dibawa dalam antrian.

Wajah Mary merah sempurna akibat lari-larian. Jantungnya masih berdegup kencang bahkan setelah melewati serangkaian pemeriksaan. Masih ada waktu untuk duduk beberapa menit. Anak itu langsung mendaratkan tubuhnya ke salah satu kursi setelah memastikan mereka sudah tiba di gate yang benar. Salah gate di Terminal 3 adalah simulasi lari jauh dan itu neraka untuk paru-paru Mary yang sudah mulai engap.

Mary mendekap bantal kucing calico yang dibawanya. Gadis itu memang punya kebiasaan mendekap sesuatu untuk menenangkan diri, tapi entah sejak kapan bantal itu menjadi objek favoritnya. Barulah ia punya waktu untuk memproses obrolannya dengan Bapak di perjalanan tadi. Belum juga menemukan solusi, pesan dari Ibu masuk.

Ibuk
Nduk, boleh tolong kirimkan profil laki-laki yang katanya mau Adek kenalkan? Kata Bapak dan Mbak, Adek mau kenalin pacarnya, tapi masih main rahasia-rahasiaan.

Jangan main rahasia-rahasiaan sama orang tua tho, Nduk. Ndak baik.

Sumpah, ya. Sebenarnya, apa yang diceritakan Isabel pada kedua orang tuanya? Padahal, Mary sama sekali tidak mengatakan sesuatu yang menjurus pada indikasi punya pacar. Demi Tuhan, dia cuma cerita kalau ada cowok yang bikin kesal gara-gara ngatain dia barbar waktu itu!

Dengan Bapak, Mary masih pandai bersilat lidah. Kalau sudah Ibu yang bersabda, Mary tidak bisa berkelit. Yang ada nanti ia diberi wejangan sepanjang jalan kenangan karena dianggap berdusta. Laki-laki mana yang harus Mary bawa ke hadapan Ibunda?

Mata kelabu Mary melirik biang kerok dari semua kejadian ini. Sang tersangka duduk-duduk santai, mengecek sesuatu di ponselnya.

Duh, masa dia harus menyeret Harold, sih?

Masalahnya, itu opsi yang paling mungkin. Mary tidak punya teman lelaki yang bisa dijadikan tumbal plus one kondangan di Surabaya. Tidak mungkin juga ia menyeret orang random. Dan secara teknis, lelaki yang dia ceritakan ke Isabel—yang kemudian membocorkan curhatannya seenak jidat itu—adalah manusia yang sedang ada bersamanya sekarang. Kalau Harold yang diseret, yah ....

Argh, gue harus gimana?

Pipi Mary memanas. Padahal dia hanya mencoba menyusun kata ajakan yang tepat. Teman kondangan? Pacar bohongan? Harold pasti bakal menertawakannya!

Apa nanti dia ngeles aja, ya? Lelaki yang diceritakan Isabel sedang tidak bisa datang. Hitung-hitung klarifikasi. Akan tetapi, kalau begitu, pasti nanti Mary bakal dikorek-korek sampai keluarganya mendapat detail informasi pacar yang tidak pernah ada itu. Atau yang paling buruk, Bapak sungguhan menjodohkan putri bungsunya dengan anak kenalan beliau yang Mary tahu saja tidak. Amit-amit, ya Allah!

Ajak, nggak, ajak, nggak, ajak—

"Panggilan untuk penumpang pesawat ...."

Gadis itu menghela napas. Walau berat hati, sepertinya memang hanya itu opsi yang mungkin. Sembari komat-kamit berdoa agar ia tak jadi bahan tertawaan, Mary naik ke dalam pesawat.

📸

Dina cuap-cuap:

Part ini ditulis tahun lalu. Sejujurnya, aku agak khawatir ceritanya kerasa cringe, berhubung saya sendiri belum nikah dan udah lama nggak jatuh cinta. Tapi, demi memenuhi kebutuhan jiwa hopeless romantic ini, semua akan kuterabas!

Gimana reaksi Harold pas tahu Mary lagi nimbang-nimbang buat nembak dia, ya? Yah walaupun boongan, sih ... WKWKWK. Ini bagian favorit aku secara pribadi tbh. Kenapa? Coba baca aja nanti bab-bab selanjutnya dan kamu bakal tahu kenapa (dilempar)

Anyway, intip kepanikan Harold si akun Kak amelaerliana~ dan tolong semangati kami yang sedang maraton di tempat yang berbeda ini :')

Sampai jumpa! Semoga 2024 menjadi awalan baik untuk kita semua!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro