IMG_0009_Unfiltered.jpg
Kapan, ya, terakhir kali Mary makan nasi padang? Rasanya sudah lama sekali. Selain mahal, dia juga lebih suka ayam geprek. Namun, entah mengapa hari ini dia merindukan rumah makan padang yang konon sudah dinobatkan menjadi hidden gem itu. Wangi santan dan rerempahan yang kuat langsung menyapa penciuman Mary begitu dua manusia itu tiba di sana.
Gadis itu baru hendak memesan ketika Harold minta tolong pada salah satu pegawai untuk menyajikan seluruh lauk yang ada di sana ke meja mereka. Astaga. Mata kelabu Mary melotot, lantas teringat kalau orang yang sedang berjalan bersamanya ini adalah kliennya. Ya sudahlah. Suka-suka dia saja.
Harold menyendok nasi, meraih mangkok berisi gulai gajebo, dan mencomot telur barendo. Banyak sekali. Mulutnya berceletuk, "Makan yang banyak, Mar. Biar cepet gede."
Andai bisa, Mary juga mau tinggi. Ia sering merutuki nasibnya yang tak mewarisi tubuh jenjang Ibu dan kakaknya. Bibirnya mencebik.
"Lu bisa, nggak, melihat gue sebagai wanita dewasa yang sudah besar, sekali aja?" Mary menggerutu sembari mengambil bagian gulai gajebo miliknya. "Umur segini udah mentok badan gue mau makan kayak gimana juga!"
Harold menghentikan gerakannya dan menatap intens ke Mary. Ekspresinya melembut. "Kayak gini?" tanya pria itu dengan suara baritonnya.
Ditatap begitu, Mary jadi salah tingkah. Rasanya aneh. Entah ke mana menguapnya omelan yang biasa bersarang di mulut si mungil. Ia tidak membalas apa-apa, hanya menatap televisi sembari mengunyah nasi gulai. Lebih tepatnya, gadis itu tidak tahu bagaimana cara merespon detak jantungnya yang sudah macam diajak lari maraton.
Kenapa cara lihatnya harus gitu banget, coba?
Poni Mary, yang sudah diselipkan di balik telinga, jatuh lagi ke wajah untuk kesekian kalinya. Yah, setidaknya kehilangan jepit bisa membuat Mary beralih fokus untuk membenahi rambut alih-alih perasaan aneh yang menggelayuti.
Untung saja mata sipit di balik lensa itu tidak mengamati Mary lama-lama. Lelaki itu bangkit dari tempat duduk, menghampiri salah satu pelayan. Kemudian, ia kembali dengan karet gelang.
"Ikat dulu nih rambutmu. Lama-lama bisa maskeran sambal ijo itu rambutmu kalau dibiarin gitu."
Mary melongo. Matanya menatap Harold dan karet gelang bergantian. "Gue disuruh ngiket poni pakai karet gelang?"
"Daripada ngalangin mata. Dengan tingkat kecerobohan yang kamu punya, aku nggak bakal heran kalau tangan kamu yang penuh sambal itu nggak sengaja colek mata pas lagi benerin poni."
Kurang ajar! "Gue nggak separah itu—" Mary mengucapkan pembelaan saat ia nyaris menggunakan tangan kanannya yang belepotan untuk membenahi poni. Buru-buru ia menurunkan tangan. Tidak lucu kalau ia ketahuan nyaris membuktikan omongan si udang galah dalam jeda kurang dari semenit. Tentu saja wajah jutek turut dipasang demi menutupi rasa salah tingkah.
"It's your choice. Aku bakal ketawa paling keras kalau kamu sampai nangis-nangis keperihan." Harold nyengir.
"Nyebelin lu." Mary menggembungkan pipinya. Ia mengambil karet yang Harold ulurkan dengan tangan kirinya dan meletakkannya di samping piring.
Tempat duduk yang mereka pilih memang dekat dengan televisi. Dalam kotak kaca, berita tentang rombongan anggota DPR tengah tayang. Mary menangkap bahasan tentang tinjauan lokasi bencana longsor di Banten. Di sana, ada beberapa orang yang lumayan Mary hafal saking seringnya gadis itu seliweran ke kantor DPR.
"Saya harap ini jadi pelajaran kita bersama untuk menjaga lingkungan. Bencana banjir dan longsor makin banyak terjadi karena banyak lahan hijau yang beralih fungsi jadi pemukiman ...."
"Bullshit," gumam Mary pelan di sela kunyahannya. Lukito siapalah itu, nama orang yang barusan bicara di TV. Bisa-bisanya dia menyalahkan pemukiman di saat dia sendiri punya bisnis yang jauh lebih merusak hutan. Entah apa yang ada dalam jalan pikiran orang-orang aneh itu. Biarpun namanya Dewan Perwakilan Rakyat, di mata si mungil, oknum-oknum sebangsa yang bicara di TV itu lebih terlihat seperti Dewan Pembodohan Rakyat. Itu bahas-bahas pemukiman, memangnya mereka tidak sadar diri, kah, dengan sumber masalah sebenarnya?
Mary baru sadar umpatannya sedikit kelewat keras saat ia tak sengaja menoleh pada Harold dan melihat lelaki itu menatapnya. "Eh, sori." Mary mengemut jari-jarinya yang penuh sambal, lantas meneguk es teh pesanannya. "Sebel gue liat pejabat nggak bener. Lu tau dia, nggak, sih?" Dengan isyarat dagu, ia menunjuk Pak Lukito yang muncul di televisi.
"Anggota DPR, kan?"
"Iya. Heran gue. Kenapa pejabat yang gue tau modelannya kayak dia semua, coba?" Mary memasang tampang jijik. "Bapaknya loh aneh. Nyuruh jaga lingkungan padahal dia sendiri rusakin hutan. Lu kata bikin kebun sawit kagak gusur hutan, apa? Dia bilang lahan abis buat pemukiman, lah kroco-kroco dia gusur rumah warga buat proyek mangkrak, cuy!"
Si boncel teringat saat ia ditugasi meliput sesama pejabat yang tersandung kasus korupsi lahan. Ya, itu kawannya Pak Lukito. Oknum-oknum yang menggusur rumah orang, tidak bertanggung jawab, dan malah balik menyalahkan korban. Kurang ajar.
Mary mendecak. Mukanya sudah bersungut-sungut. "Tuh ya, kalau beritanya dia nongol di medsos, udah gue respon pakai gambar anjing kagak jelas, dah!"
"Kamu nggak suka banget sama politisi, ya?" Harold bertanya dengan intonasi santai.
"Gimana ya ngomongnya?" Mary tertawa kecil, baru menyadari betapa kontras kekaleman Harold dengan bicaranya yang menggebu-gebu. "Walaupun ada juga yang baik-baik, berasanya malah mereka yang oknum di antara para curut. Kebanyakan aneh-aneh, tapi kalau dipikir-pikir kadang gue ditugasin buat ngeliput keanehan mereka, jadi mereka ngasih gue kerjaan. Gue suka kerja."
Mary mencomot perkedel, lalu mengunyahnya. Marah-marah juga butuh energi. "Nih, ya, Rold," ia bicara di sela kunyahannya. "Andai wakil rakyat ini semuanya beneran ngewakilin rakyat—ohok!"
Harold buru-buru menuang air ke gelas dan menyodorkannya kepada Mary. "Pelan-pelan, Mar."
"Thank you." Mary menenggak air macam orang kehausan, tidak belajar dari pengalaman. Tentu saja ia tersedak lagi karena buru-buru. Apakah ini karma karena membicarakan keburukan orang lain?
Ini gue ngomongin kebodohan yang mereka umbar sendiri, kok! Mary membuat pembelaan untuk dirinya sendiri. Gadis itu batuk-batuk sebentar sebelum kembali mengendalikan diri seakan tak terjadi apa-apa. "Kayaknya gue nggak direstuin ghibah, deh, Rold." Ia tertawa.
Harold menyodorkan tisu. "Ghibahnya habis makan aja."
"Jangan mancing lu," Mary menanggapi seraya membersihkan bibirnya. "Bisa jadi materi kuliah lima SKS itu bahan gibahnya."
"Nggak apa-apa. Aku selalu suka dengerin kamu ngoceh, kok," kata Harold sambil mengambil sepotong ayam pop. Agak lain orang ini. Perasaan dari tadi cara Mary cerita berpotensi bikin orang ikutan emosi, tapi dia bisa merespon dengan chill. Aneh. Akan tetapi, berhubung nanggung juga kalau uneg-unegnya tertahan dan Harold sudah mengizinkan untuk lanjut, jadi Mary meneruskan bicaranya.
"Nih, yak. DPR itu kan kepanjangannya Dewan Perwakilan Rakyat, yak? Tapi kita mau kenal perwakilan kita aja susah. Sekalinya gue punya kesempatan buat kenal lebih dekat, malah kepake buat tau borok-boroknya. Suram banget, dah!" Gadis dengan bintik di wajah itu berapi-api mengutarakan opininya. "Aturan yang mereka wakilin itu kepentingan rakyat, bukan enak-enaknya doang!"
"Tuh, si Pak Luki tadi contohnya." Mary memutar mata. "Sok-sokan nyalahin orang yang buka lahan buat pemukiman padahal dianya malah gusur hutan. Apa nggak rampas kebutuhan masyarakat akan udara segar itu namanya?"
Harold manggut-manggut lagi. "Aku setuju, sih, sama kamu."
Sesuatu muncul dalam ingatan Mary. "Oiya. Lu dokter, ya. Kalau nggak salah beberapa bulan lalu ada protes tentang RUU Kesehatan, kan? Gue ngeliput nakes-nakes yang demo di jalan, tuh." Mary melanjutkan makannya seraya mencoba mengalihkan pembicaraan pada Harold. Capek juga berkhotbah sepanjang jalan kenangan. "Lu sendiri gimana? Nggak kesel sama oknum-oknum pejabat yang semena-mena kayak gitu?"
"Mau komentar sekarang juga sudah telat bukan, sih? Sudah ditetapkan juga," jawab Harold. Tampak tidak peduli dan cuek-cuek saja. Padahal, setahu Mary, gelombang protes terhadap rancangan undang-undang kala itu cukup masif. Rasanya gadis itu ingin mencubit lengan Harold karena gemas dengan sikapnya yang terkesan apatis. Selain itu, dia juga berekspektasi bisa melihat ekspresi Harold yang lain dengan menyinggung ranah yang dekat dengan pekerjaan orang itu, sebenarnya. Gagal.
Ya tapi siapa lu, Mar, ngatur-ngatur pemikiran dan tindakan orang?
"Ya juga sih, tapi kan—yah, mau gimana lagi, ya?" Mary cemberut. "Gue nggak antipati sama politik, kok, in case lu nangkepnya gitu. Yang gue anti itu oknum-oknum nggak bener di dalamnya. Masalahnya yang nggak bener tuh kebanyakan, anjir! Emosi gue jadinya kalau ngeliat mereka lagi pencitraan tuh!"
Tidak akan ada habisnya kalau sudah bicara politik. Sebagai manusia yang kepo akan segala hal, Mary punya daftar panjang dosa-dosa politisi yang ia rekam dalam benaknya, tapi membahasnya satu-satu hanya bikin bad mood saja. Lagipula, nasi padang di hadapannya sudah menjerit minta ditandaskan. "Ih, jadi ngomongin politik. Lu mancing, sih."
Harold menghela napas panjang. "Mau sekalian bungkus buat dibawa pulang, nggak?" tawarnya, sama sekali tak merespon gerutuan Mary.
Mary menimbang-nimbang. Dengan porsi sebanyak ini untuk makan siang, Mary bakal kenyang seharian. Lagipula, kalau ada opsi bungkus, lebih baik ia bungkus makanan dari warteg dekat kosan yang lebih murah. Ia menggeleng setelah berpikir beberapa saat.
"Oke. Aku bayar dulu." Si jangkung melenggang ke kasir. Mary mengelus perutnya. Semoga energi marah-marahnya tadi tidak sebesar itu dan ia bisa bertahan sampai malam tanpa makan. Kapan lagi dia bisa penghematan?
📸
Mary dan Harold sedang berada dalam perjalanan pulang ketika ada telepon masuk ke ponsel si gadis. Dahi Mary sedikit mengernyit melihat nama penelepon. "Halo, Pak? Tumben siang-siang telepon."
"Bapak ndak boleh nelpon anaknya sendiri, ta?" Dengkusan terdengar dari ujung telepon. Mary ingin tergelak membayangkan wajah kesal Bapak.
"Nggak gitu maksudnya, Bapaaaak." Mary sengaja memanjangkan kata terakhirnya. "Kan biasanya Bapak sama Ibu teleponnya sore apa malam. Ini tumben siang."
"Ya pingin aja, emang ndak boleh?" gerutu Bapak. "Kamu lagi ngapain, Dek?"
Wah. Kalau dijawab lagi berduaan sama cowok, pasti Bapak bakal heboh sendiri, dan gadis itu tak mengharapkannya. "Aku habis ...." Mary melirik Harold sekilas, menimbang jawaban. ".... makan siang sama temen, Pak."
"Temen yang mana?"
"Ada, lah. Bapak nggak kenal." Mary tertawa kecil. "Jadi, ngapain Bapak telepon?"
"Udah beli tiket ke Surabaya belum?"
Astaga. Mary baru ingat kalau dia menunda beli tiket untuk pulang kampung sejak kemarin! "Oh iya. Belum. Lagi nunggu diskon kereta api, siapa tau ke Surabaya akhir tahun ada diskon." Gadis itu ngeles.
Heran tercetak jelas dalam suara sang bapak. "Lah, lapo naik kereta api? Langsung pesawat aja lho! Pegel nanti kamu, Dek."
"Mahal, Pak, pesawat," jawab Mary sekenanya.
"Ya Bapak bayarin, lah." Bapak mendengkus. "Kamu ini kayak orang susah aja lagaknya!"
Mary tergelak. Sebenarnya dia sudah menyediakan anggaran untuk naik pesawat sendiri dari jauh-jauh hari, karena bagaimanapun juga pernikahan kakaknya adalah momen sakral dan Mary tidak mau sakit di hari H gara-gara kecapekan di jalan. Namun, sepertinya seru untuk menggoda Bapak dengan sikap sok kerenya. "Nggak mau. Dulu kata Bapak, kan, susah-susah dahulu, senang-senang kemudian?"
"Ya kamu susahnya kelamaan, Dek. Padahal tinggal nerusin jabatannya Bapak lak mari—sudah kelar."
Heran. Bapak ini selalu punya celah untuk kembali ke topik perusahaan. "Halah, mulai kan." Mary berdecak. Ia mengembalikan topik pada rangkaian pernikahan Isabel—kakaknya. "Kemarin Acha jadi datang ke pengajiannya Mbak Bel?"
"Jadi," jawab pria paruh baya tersebut. "Kamu beneran ndak bisa pulang sebelum akad?"
"Ya paling tanggal 29 apa 30 tuh. Kosongnya tanggal itu. Jatah cutiku tahun ini udah habis, nggak bisa bablasin Nataru."
Terdengar dengkusan Bapak. "Kamu sih, Dek. Ngapain sih kerja jauh-jauh?"
Mary ketawa lagi. Respons bapaknya yang ekspresif selalu lucu di matanya. "Ini Bapak nelpon aku cuma mastiin aku udah beli tiket?"
"Apa lagi yang mau dicek?" Bapak terkekeh. "Ada gandengan yang mau dikenalin, ndak?"
Kenapa tiba-tiba jadi bahas gandengan? Mary jadi teringat ujaran Naufal beberapa hari lalu. "Nggak ada gandengan-gandengan!" gerutu Mary. "Mending fokus ngurus Mbak Bel sama calonnya, deh, Pak."
"Lho, suaminya mbakmu kan udah pacaran dari zaman kuliah. Sekeluarga udah kenal semua. Lah kamu?" Lagi-lagi Bapak tergelak. "Kalau kamu ndak bawa gandengan, ndak boleh lanjut kerja di Jakarta, ya."
"KOK GITU?" Mary menjerit. Ancaman macam apa itu? "Mana bisa begitu?!"
"Ya bisa, Dek. Bapak tinggal nyuratin kantormu buat nyuruh kamu resign," jawab Bapak. Begitu enteng.
Mary tahu Bapak tidak akan sungguhan melakukan hal itu. Bapaknya bukan tipe orang yang aji mumpung dengan posisi yang ada di tangan beliau. Meski begitu, hal itu bukannya tidak mungkin kejadian. Gadis itu langsung bergidik begitu membayangkan.
"Bapak jangan jadi orang tua yang semena-mena dan memanfaatkan kekuasaan seenak jidat, deh," protes Mary. "Kalau Bapak lakuin itu beneran, Mary kabur ke luar pulau!"
Bapak tertawa, terdengar begitu menikmati kepanikan anak bungsunya. "Bercanda, Dek. Tapi kamu apa ndak pingin ada yang jagain gitu? Bapak udah ndak muda lagi, ndak tau bisa sampai kapan mantau Adek."
Kenapa mendadak jadi mellow? Mary tidak suka kalau orang tuanya sudah mulai membahas usia. Biasanya Ibu yang suka begini kalau sedang dalam mode mengomel. Kenapa pula sekarang Bapak ikut-ikutan? "Bapak ngomongnya aneh-aneh, ih. Males!"
"Jangan keasyikan kerja, Dek. Bawa gandengan, ya. Ancaman Bapak tadi bisa Bapak lakuin beneran."
"Lah, Pak, aku aja nggak punya—"
Telepon diputus sepihak. Mary menatap layar ponselnya dengan muka merengut. Kenapa sih orang-orang ini? Kemarin Naufal, sekarang bapaknya sendiri. Acha juga sempat protes karena Mary kelewat mandiri. Padahal anak itu juga nyaris tiada beda dengan Mary dalam hal ini. Heran.
"Bapak kamu, Mar?"
Suara Harold mengembalikan gadis itu pada kenyataan. Dari tadi, Mary berbincang dengan Bapak dalam suara kencang dan setengah mencak-mencak. Menyadari hal itu, Mary jadi malu sendiri. "Sori, sori. Gue kenceng banget yak ngomongnya?"
"Nggak apa-apa. Tapi, ya, aku jadi denger sebagian, sih," jawab Harold. "Kamu bulan depan mau pulang ke Surabaya?"
Mary mengangguk. "Kakak gue mau nikah akhir Desember. Kenapa?"
"Aku juga rencananya mudik tanggal segitu, sih."
"Oh ...." Mary bingung harus merespon apa terhadap informasi itu. Lalu, ia menyadari sesuatu. "Lah, orang Surabaya?"
Harold memutar bola mata. "Lah, aku bukannya pernah cerita pernah sekolah di Surabaya?"
Mary mengerutkan dahi, berusaha mengingat-ingat. Kapan? Apakah kekuatan ingatannya memudar? Demi apa pun, Mary sama sekali tidak ingat!
"Pernah, ya?" Mary malah balik bertanya.
"Ah, mungkin aku cerita sama cewek lain." Harold berseloroh. "Keluargaku memang sekarang di Jakarta, tapi kakek nenekku dari pihak Ibu masih di Bubutan."
Mary hampir lupa kalau makhluk yang tengah mengantarnya pulang ini punya aura titisan buaya. "Kebanyakan tepe-tepe lu," gerutu Mary. "Gue di daerah Kertajaya tuh. Agak jauh, sih, ya."
"Lumayan. Tapi masih bisa motoran nggak sih?" Harold diam sejenak. "Kamu ada acara keluarga ya? Padet banget dong? Nggak bisa ya kalau kita nyelipin pemotretan satu hari gitu?"
Sama sekali tak ada ekspektasi kalau Harold akan menawarkan mereka bertemu di Surabaya. Memangnya orang ini tidak bosan ketemu Mary melulu? Sudah ketagihan difoto apa gimana ini anak?
Bukannya Mary enggan juga, sih. Namun, tetap saja mengherankan.
"Lu doyan kerja apa gimana?" Mary mengangkat alis. "Ya paling sibuk ngurus nikahan sampai tanggal 31. Habis itu nontonin orang siap-siap honeymoon, kali?" Ia terkikik membayangkan keberadaannya yang macam setan di antara dua sejoli. Tak mungkin juga, sih. Pasti Isabel sudah mengusirnya duluan.
"Kerja sambil jalan-jalan. Kan, di Surabaya banyak spot outdoor bagus tuh. Tapi kalau kamu sibuk, nggak usah deh."
Mary menimbang-nimbang sejenak. Sepanjang pengetahuan si mungil, tidak ada acara khusus setelah resepsi. Ada sanak saudara yang berkunjung, jelas, tapi mereka sudah tentu mencari Isabel atau orang tuanya. Bukan Mary. "Nggak papa, sih. Emang lu balik kapan?"
"Kalau nggak 30, 31. Kamu belum beli tiket, kan? Bareng aku aja yuk tanggal 30. Aku yang beliin tiket."
Enteng sekali dia bicara. Menawarkan tiket pesawat macam beli gorengan. Tentu saja Mary langsung menolak. "Lu kata pesawat murah apa?"
"Anggap aja bayaran fotoin aku?" Harold malah bertanya balik.
"Lu sukanya ngomong gitu, tapi nanti ditransfer lagi. Nggak enak di guenya," gerutu Mary. Masalahnya, tidak sekali-dua kali dia begitu. Sudah berapa banyak pertemuan mereka yang berakhir dengan Mary yang nyaris tak mengeluarkan uang sepeser pun? Gadis itu sungkan! "Nanti gue bisa beli sendiri, kok, kalau udah gajian!"
"Iya. Terserah kamu. Jadi deal, ya, pulang bareng aku tanggal 30. Kamu rencana balik ke Jakarta kapan?"
Orang aneh. "Terserah gue tapi lu tentuin seenak jidat itu gimana konsepnya, Bambang?" Mary berdecak. "Balik tanggal 3, sih. Harus kerja, kan?"
"Biar kamu nggak berubah pikiran." Harold tergelak. "Tanggal 2-nya jalan-jalan sekalian pemotretan bisa? Kebetulan aku juga balik tanggal 3."
"Iya dah, serah lu." Mary mendelik. "Boleh tanggal dua."
Senyum merekah di bibir Harold. "Oke. Deal. Kosongin jadwal kamu tanggal dua."
"Kakek-nenek lu nggak papa, tuh?" Mary mengernyitkan dahi. "Cucunya pulang, jarang ketemu, malah ditinggal kerja pula!"
"Nggak apa-apa. Mereka malah bakal senang kalau aku menghabiskan waktu di luar."
"Oh, yaudah kalau gitu ... Nanti kabar-kabaran lagi, deh." Mary manggut-manggut. Entah mengapa, prospek jalan-jalan di kota kelahiran bersama orang yang beberapa minggu ini mengisi akhir pekannya menerbitkan rasa bahagia.
Mikir apa, sih, Mar? Buru-buru Mary mengenyahkan bayangan mereka berdua yang berjalan di tepian kali sore hari, menyaksikan perahu dan lalu-lalang kendaraan. Kebetulan doang itu, Mar. Lu tuh mau gawe!
Ujaran Bapak kembali terngiang di kepalanya. Ada ide gila yang melintas, tapi Mary berusaha menghapuskannya dari kepala. Yang benar saja. Harold itu temannya. Tidak lebih, tidak kurang. Lagipula, Mary belum siap untuk jatuh cinta lagi.
Siapa yang jatuh cinta sih, elah? Gadis itu menangkis omongan batinnya sendiri. Ini pasti gara-gara Acha yang lagi hobi nonton drakor cinta-cintaan, terus jadi memproyeksikan segala teori romansanya pada Mary!
📸
Dina cuap-cuap:
Bagian awal dari bab ini ditulis sambil nontonin debat cawapres semalam dan baru selesai pagi ini. Sungguh speedrun. RP percakapan sama Harold-nya sih sudah kemarin, ya, tapi baru disentuh lagi ya tadi malam. Saya perlu disclaimer dulu kalau INI FIKSI YAAA. TOLONG JANGAN DIKAIT-KAITIN SAMA SIKON POLITIK SEKARANG WKWKWK. Yah, walaupun oknum-oknum semacam itu ada di RL dalam bentukan berbeda, tapi yaa mohon kerjasamanya wkwk.
Saya baca POV Harold tuh kayak, ya Allah, Harold Bucin Tanutama. Nurut-nurut bae lo sama Mary T-T Kalau saya pantau dari docs-nya sih, Kak amelaerliana juga rada speedrun ya nulisnya :)) tapi dapat dipahami karena beliau sedang menyiapkan naskah lain juga.
(Kamu juga lagi ikut lomba bikin naskah, Bambang.)
Btw, saya lagi suka banget sama nama Bambang, sampai-sampai saya jadikan nama tokoh di cerita yang saya bilang buat lomba itu. Sayangnya nggak di-up di WP untuk sekarang, tapi siapa tau ada yang mau mampir? Ada di GWP, username-nya sama. Cari ajaa wkwk.
Nah, karena itu, kami bakal senang sekali kalau para hadirin, eh, pembaca sekalian meninggalkan jejak. Bintang boleh, komentar sangat boleeeh! Jejakmu bahagiaku~
Semoga kalian nggak bosan-bosan ngikutin dua insan ini sampai akhir, ya! Let us know andai pace-nya terlalu cepat/lambat ;)
Kotak pesan-kesan (siapa tau ada yang mau ngisi)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro