IMG_0006_SweetSunday.jpg
Kalau diibaratkan potret, hari ini penuh dengan spektrum yang indah, dan Mary menyukainya.
Sepanjang perjalanan, niatnya Mary ingin menikmati suasana. Namun, ia malah ketiduran. Tahu-tahu saja mereka sudah sampai di Kebun Raya Bogor. Pohon-pohon besar nan menjulang menaungi langkah mereka berdua.
Tempat-tempat seperti ini mengingatkan Mary pada kakaknya, Isabel. Manusia yang satu itu suka sekali bunga. Apalagi anggrek. Andai kakaknya ikut ke sini atau tahu adiknya sedang jalan-jalan di tempat yang ada anggreknya, sudah pasti ia akan menitip. Heran juga, mengingat koleksi si kakak sudah puluhan dan wanita itu sibuk proyekan, tapi masih ingin menambah anak hijau. Kapan coba rawatnya? Untung sekarang mereka berjarak satu provinsi, jadi Mary bebas dari permintaan menjemput anak hijau.
Mereka tidak mengunjungi seluruh tempat di kebun raya, sayangnya. Awalnya Mary ingin menyewa sepeda, tapi teringat kalau tujuan awal mereka itu proyekan. Yah, piknik berkedok kerja, bisa dibilang. Tak apa. Setelah berminggu-minggu hanya melihat gedung dan kerumitan ibu kota, pemandangan hijau itu selingan yang menyenangkan.
Matahari sudah tepat di atas kepala ketika Harold menghamparkan alas piknik. Tidak sampai terpanggang untungnya, tapi tetap saja kulit Mary yang dasarnya terang dan mudah terbakar jadi kemerahan. Gadis itu langsung menyabet keripik kentang begitu duduk. Lapar.
"Kamu kerja apa sih sebenarnya Mar? Jadi fotografer ini sampingan doang, kan?" Harold membuka topik pembicaraan.
Mendengar pertanyaan itu, Mary sedikit heran. Bukankah pertemuan pertama mereka terjadi gara-gara kecelakaan kerja? Berarti seharusnya Harold tahu profesinya, kan?
Ah, ya. Mungkin yang diingat Harold hanyalah dirinya yang mirip anak SMA nyasar ikut tawuran. Mengingat itu saja sudah membuat Mary hendak bersungut-sungut!
Kalem, Mary. Kabur entar klien lu.
Kepala gadis dengan bobby pin yang tersemat di poni itu pun mengangguk-angguk. Setelah menelan kunyahan keripik, ia buka suara. "Gue jurnalis. Waktu gue masuk IGD dan lu kira anak SMA itu, aslinya gue lagi liputan, tuh. Malah dikira bocah!"
Harold malah terbahak. "Masih kamu inget-inget ternyata, toh."
Tentu saja Mary ingat! Sudah dikira anak SMA, diperlakukan macam bocah sungguhan, pula. Kalimat selanjutnya pun nyaris persis dengan ucapan Harold waktu itu. "Sorry, habisnya kamu ...," terdapat jeda sebentar, "awet muda, sih."
Mengingat manusia bernama Harold Tanutama ini suka mengatainya bocil di pesan singkat, tentu saja Mary tak langsung percaya dengan pembelaan itu. "Lu mau bilang bocil, kan?" Gadis itu menatap si pria sinis.
Harold malah tertawa lepas. Terlihat sangat puas, pula. Lelaki itu sampai harus melepas kacamatanya demi mengusap air matanya. Lesung pipinya tergurat jelas dan Harold tanpa kacamata terlihat lebih ... menarik.
Bukan menarik. Cuma beda, kok! Mary langsung mengoreksi penilaiannya sendiri dalam hati. Ini pasti gara-gara dia tidak pernah melihat Harold tanpa kacamata sebelumnya!
"Bukan aku yang bilang, loh, ya." Harold berujar di sela tawanya. Setelah mereda, ia kembali ke mode awal. "Emangnya kamu nggak takut ngeliput tawuran kayak gitu?"
Pertanyaan yang sama dengan para kru yang baru mengenal Mary ketika melihat mata almonnya berbinar-binar mendengar tugas turun ke lapangan. "Seru tau!" Mary mencomot keripik kentang, lagi. "Gue, tuh, demen kalau disuruh turun ke aksi kayak demo, tawuran gitu-gitu. Ada aja yang bisa ditangkap kamera. Asal nggak disuruh pas hari libur aja, sih." Senyumnya sedikit pudar kala mengingat hari Jumatnya yang direnggut Hiro akhir-akhir ini.
Oke. Bukan waktunya berpikir tentang Hiro dan orang-orang kantor. Ini hari libur!
"Kamu beneran unik, ya. Belum pernah aku ketemu cewek kayak kamu," Harold berucap.
"Lu gombal?" Mary mengernyit mendengar kata-kata yang dipilih. Walaupun kru jurnalis cewek di MiniMasa terhitung langka—hanya ia dan satu kawan lainnya yang sedang cuti—bukan berarti mereka jarang ada. Mary pernah, kok, bertemu dengan rekan wanita yang juga terjun meliput keributan!
"Dasar curigaan. Orang serius muji malah dibilang gombal. Ngapain aku gombalin kamu, nggak ada untungnya." Harold berdecak. "Tapi, hati-hati juga kalau lagi ngeliput. Jangan sampai kenapa-kenapa kayak kemarin."
Ya Gusti, dibahas lagi itu luka. Mary mendelik. "Yang kemarin mah sial aja. Buktinya gue aman sampai sekarang, kan?"
"Ya, tetep aja harus hati-hati, Mar. Keselamatan kamu itu lebih penting dari kerjaan kamu."
Sekali lagi Harold menasihati gadis itu tentang penanganan luka, Mary akan memberikan piring cantik segebok. Serius, deh!
Malas diceramahi lebih lanjut, Mary bertanya balik. "Lu gimana? Lu dokter, kan, ya? Dokter umum atau spesialis?"
"Umum. Makanya disuruh nungguin IGD mulu."
Mary membayangkan kehidupan seseorang yang terperangkap di ruang yang sama dengan tingkat stres tinggi. Untuk gadis mungil itu, diam di tempat yang sama berjam-jam adalah simulasi neraka—kecuali kalau lagi tidur. "Nggak bosen di situ-situ mulu?"
Hening sejenak.
"Nggak tahu. Nggak pernah dipikirin juga." Harold akhirnya bersuara. Helaan napas panjang mengikuti, entah apa maknanya. Pria itu memasang kembali kacamatanya. "Awalnya aku memang mau ambil spesialis, makanya balik ke Jakarta. Tapi, malah COVID, PSBB, terus sibuk bantuin di Wisma Atlet. Terus, kok, aku lihat teman-teman yang lagi PPDS pada stres, sibuk, kere. Aku jadi malas lanjut, deh. Toh, gini aja cukup buat makan. Ada duit endorse-an juga."
"Parah lu. Temen sendiri dideskripsiinnya gitu banget!" Mary terkekeh. "Emang aslinya mau ambil spesialis apa?"
"Emergency Medicine, tapi masih jarang di Indo. Sempat mau ambil obgyn juga, sih, tapi kayaknya nggak cocok."
Wah, istilah baru! Mary memang tidak terlalu paham dunia kedokteran dan jarang sekali bersinggungan dengan rumah sakit, tapi ia yakin kalau emergency ... apa tadi? Yah, pokoknya bidang yang Harold sebutkan tadi memang belum familiar di kalangan awam, sepertinya. Radar kepo Mary berdengung.
"Ih, kok kayak keren gitu?" Mata kelabu Mary menatap sang lawan bicara dengan rasa penasaran yang penuh. "Emergency Medicine, tuh, kayak gimana?"
"Fokus ke kegawatdaruratan, sih. Yang dipelajari macam-macam, kayak bedah, bedah anak, anestesi, pokoknya yang dibutuhin buat ngasih pertolongan pertama," jelas Harold. Gadis dengan rambut brunette itu berusaha mencerna penjelasan si dokter ke dalam kepala mungilnya.
"Di Indonesia belum banyak," lanjut pria itu. "Biasanya dokter umum di IGD mesti konsul dulu ke dokter spesialis kalau ada case berat. Nah, kalau EM specialist, nggak melulu harus nunggu dokter spesialis lain, soalnya dia sudah punya basic skill-nya."
EM? Oh, emergency medicine. Walau Harold sudah menerangkan dengan bahasa sederhana, sepertinya otak Mary memang belum sepenuhnya pulih dari efek samping lemburan. Mungkin sebaiknya nanti ia menyelam di mesin pencarian saja.
"Ooh, pantes lu bawel masalah luka." Mary berlagak paham. Ia manggut-manggut. "Ih, keren banget! Gue baru tau kalau ada spesialis yang kayak gitu. Kenapa nggak lanjut aja jadi spesialis ... Apa tuh tadi? Emergency medicine?"
"Programnya belum dibuka lagi di UNus. Ada, sih, di Malang, atau bisa sekalian ambil di kampus luar negeri juga sebenarnya. Tapi ... aku sudah malas pindah-pindah. Kalau jadi PPDS mesti ngirit, lebih sibuk, kayaknya aku dah nggak punya energi buat itu, deh." Harold menoleh. "Ini kamu lagi wawancara aku, ya?"
Iya juga. Dari tadi, Mary yang banyak bertanya. Menyadari hal itu, ia terkekeh. "Sori, nggak maksud. Jiwa kepo gue dah default." Lalu, gadis dalam balutan kaus hitam itu menyadari sesuatu. "Lah, dulu gue kuliah di UNus. Kok nggak pernah denger, yak, ada spesialis itu? Kudet banget, dong, gue!"
"Emang baru dibuka sekali pas sebelum Covid. Makanya aku pindah ke Jakarta lagi. Eh, habis Covid, nggak buka lagi. Kayaknya karena peminatnya dikit." Pria itu bertanya balik setelahnya. "Kamu jurusan apa emangnya? Jurnalistik?"
"Yah, sayang banget." Mary menghela napas, lalu cengar-cengir menatap Harold. "Lu kepo, ya?"
"Emangnya kamu doang yang boleh kepo?" Harold mendengkus.
Lucu juga melihat wajah yang biasanya cuma bisa senyum itu menampakkan emosi lain. Mary terkikik. "Gue anak komunikasi. Tapi iya, penjurusannya ke arah jurnalistik."
"Kenapa milih jurnalistik?"
Kenapa, ya? Mary tercenung. Baginya, bidang media sudah semacam hal yang hadir alami sejak ia bisa membuka mata. Dunia yang ia kenal berputar di antara media massa dan fotografi. Bagaimana tidak? Bapaknya yang pegang perusahaan koran—yang kini sudah merambah platform macam-macam. Ibunya penulis. Tantenya jurnalis. Kakaknya saja yang anomali karena malah mendalami bidang teknik sipil, tapi saat kuliah pun ia anggota lembaga pers mahasiswa. Untuk Mary, cinta pada dunia jurnalistik sudah ditanamkan dari napas pertamanya.
"Karena dari kecil gue dicekokin media melulu?" Akhirnya gadis itu menjawabnya dengan pertanyaan retoris. Mary angkat bahu. "Gue dari kecil udah baca koran, terus tante gue suka ngajakin jalan-jalan sambil hunting. Keren banget beliau, tuh. Jepretannya pasti bisa capture cerita-cerita menarik. Mana suka keliling Indonesia buat liputan, lagi! Jadinya gue pingin kayak gitu juga, deh. Bisa cerita lewat foto. She's my biggest muse!"
Setinggi itu tahta fotografi di hati Mary. Harold berhasil menemukan salah satu topik pembicaraan kesukaannya. Kalau diteruskan, bisa-bisa Mary bicara sepanjang esai dua halaman.
Oke, Mary. Sebaiknya jangan diteruskan, kasihan kuping anak orang pengang.
Gadis itu mengembalikan fokus percakapan pada si pria. "Lu dinas di rumah sakit yang kemarin aja atau ada tempat praktek lain?"
"Praktik juga di dua klinik," tutur Harold. Tangannya mencomot sebiji brownies. Untung doyan nih orang. Pria itu bicara lagi. "Nggak perlu minta maaf, Mar. Yang barusan bukan bawel, tapi bersemangat. You really love your job, ya?"
Kalau ditanya apakah Mary mencintai bidang ini, jawabannya sejelas langit yang terang benderang. Terlepas dari huru-hara pekerjaan yang merupakan sebuah keniscayaan—apalagi mengingat Mary hobinya cari ribut—gadis itu tak terpikirkan pekerjaan yang lebih cocok untuknya. Kepalanya mengangguk, sedikit terlalu bersemangat. "Yes, I really do!"
"Good for you."
"Sayangnya, passionate sama kerjaan nggak bikin bebas stres, sih." Mary terkekeh. "Untung hari ini banyak liat ijo-ijo. Jadi seger guenya."
"Syukurlah kalau gitu." Harold menyungging senyum. "Kalau lagi butuh jalan-jalan, WA aja aku. Siapa tahu bisa nemenin. Ntar, ongkos antar-jemputnya barter ama foto gratis."
Enteng banget itu mulut! Mary mengerang. Tidak perlu jadi orang cerdas untuk paham padatnya jadwal seorang dokter. "Ngerepotin, ih! Emangnya lu nggak kerja?"
"Ya, kan, nggak tiap hari. Biasanya ada satu-dua hari off dalam seminggu. Asal nggak dadakan aja ngabarinnya." Pria itu menoleh, lantas tersenyum. Tatapannya intens. Sejenak, Mary terbius dalam mata hitam di balik lensa milik Harold. Benar-benar sejenak, karena kalimat selanjutnya bikin Mary manyun. "Nggak ngerepotin, kok. I like being here with you. Lumayan jadi hiburan biar nggak stres."
Hiburan? Mata si gadis memicing. "Emangnya gue wanita penghibur?"
Harold tergelak. "Buat aku, secara literal, iya! Bukan dengan konotasi negatif."
Bibir mungil anak itu langsung maju beberapa senti. Memangnya dia badut, apa?
Mata Mary mengamati tumpukan camilan yang masih menggunung. "Rold, gue makanan segini banyak nggak bakal habis, sih. Habis ini masih makan soto mi, kan?"
"Iya. Mumpung lagi di sini. Nanti camilannya bawa pulang aja ke kosan," usul Harold. "Kecuali browniesnya. Yang itu aku doyan."
Apakah orang ini lupa kalau Mary tinggal di kos yang artinya ia hidup sendiri? Terus, manusia mungil sepertinya disuruh menghabiskan jajan yang rasanya bisa dibagi sekampung? "Buset. Lu mau nyuruh gue jualan apa gimana, anjir?"
"Ya terserah. Dijual juga boleh. Biar bisa buat beli susu."
Bener-bener ini orang. Padahal mukanya kayak orang bener! Mary refleks menoyor bahu si manusia galah. Sepersekian detik dan ia baru sadar kalau yang barusan ia toyor itu orang yang baru ia kenal dalam empat pertemuan. "Eh, sori-sori!"
Harold geleng-geleng. Seringainya membuat Mary gemas ingin melayangkan cubitan ke lengan si pria. Mary tahu kebiasaannya melakukan kekerasan kecil itu bukan hal yang baik, tapi orang satu ini memang bakat memancing emosi. Mau bagaimana lagi? Gadis itu sudah melakukan yang terbaik untuk menahan hasrat mencubitnya!
"Cabut yuk." Lelaki dengan rambut yang di-styling ikal itu mengebas alas duduk mereka. Tidak menanggapi permintaan maaf Mary. "Takut keburu habis soto minya. Biasanya rame banget soalnya."
Mary ikut berdiri. Tas abu-abu buluk kesayangannya sudah bertengger di pundak. Ia berjalan mendekati Harold. "Sini, kantongnya gue bawain!"
Bodohnya, Mary malah tersandung kaki sendiri. Nyaris ia mencium rumput kalau tangan Harold tidak menahannya. Wajah si gadis memanas. Padahal Mary tidak parah-parah amat cerobohnya, tapi kenapa ia selalu melakukan kebodohan saat bersama dengan Harold?
Curiga, deh. Jangan-jangan Harold yang pasang jampi-jampi biar Mary bisa jadi pasien tetap.
Keripik kentang yang masih sisa separo kini berhamburan di tanah. "Yah, jatoh," ucap Mary kecewa. Gadis itu berjongkok untuk memunguti keripik begitu dia melepaskan diri dari dekapan Harold. "Sayang banget ...."
"Malah mikirin keripik. Tar aku beliin lagi kalau masih kurang. Nggak keseleo, kan?"
"Ya, kan, sayang kalau kebuang-buang!" Mary bangkit berdiri dan menendang udara. "Aman, kok. Santai."
"Heh! Yang sudah jatuh ke tanah buang aja." Harold melotot.
Astaga. Ini Mary dikira mau makan keripik yang sudah jatuh di tanah apa gimana, sih?
"Ya emang mau dibuang! Ini gue cari tempat sampah." Mary mendengkus. Matanya menyapu sekeliling, mencari tempat sampah—tapi nihil. "Nggak boleh ninggalin kotoran, tau!"
"Masukin aja ke wadah kosong, nanti dibuang kalau dah ketemu tempat sampah."
Ya emang gitu maunya, Paijo! erang Mary dalam batin. Ia memungut wadah bekas keripik dengan tangannya yang masih kosong, lantas memasukkan sampah makanan dan berusaha menyamai langkah kaki panjang Harold.
"Jangan meleng kalau jalan. Hati-hati."
Mary sudah sangat berhati-hati, padahal. Rasanya ingin ia menyuarakan dugaan Harold dan konspirasi jampi-jampinya, tapi gadis itu sedang capek adu mulut. Meliput keributan itu seru. Memantik? Seru juga, tapi kali ini lain cerita. Dengan wajah bersungut-sungut, ia melangkah di sanding si pria berkacamata. Kenapa ada saja kelakuan orang ini yang bikin Mary elus dada, sih?
📸
Dina cuap-cuap:
Mary 'Denial' Angelica, Mary 'Suuzon' Angelica, Mary 'Ceroboh' Angelica, ayo apalagi nama tengah yang pas untuk disematkan pada anak boncel satu ini? WKWKWK.
Saya sedang berada di fase pingin tiap hari daydreaming about them, tapi lagi godog sesuatu yang lain juga, hiks. Kek AAAAA TANGAN INI GATEL?! Jadi, saya kan lagi nyari-nyari gambar buat sampel komis (ayo pesen gambar :)), terus ... saya nemu foto couple yang vibes-nya dua anak ini banget. KAN JADI GATEL MAU GAMBARNYA. TAPI KAPAAAAN?!
Oke. Curhatan ini ditulis jam sepuluh malam dan saya akhir-akhir ini ngantukan, jadi kayaknya udah dulu, deh. Tidak lupa juga mengingatkan untuk mampir juga ke POV Pak Dokter di amelaerliana, karena walaupun di bab ini bahas timeline yang sama, pemikiran mereka kan berbeda~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro