Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

IMG_0005_WeekendPlan.jpg


"Cha, orang luka tuh emang harus diobatin, ya?"

Ini masih siang bolong, hari Jumat. Jam istirahat panjang di kantor Mary, dan yang gadis itu lakukan setelah makan bakso di warung dekat kantor adalah menelepon Acha. Sebagai desainer di agensi digital marketing, Mary tahu cewek berhijab itu seharusnya juga luang jam segini. Dan itu adalah kalimat pertama yang meluncur setelah telepon diangkat, padahal tadinya Mary mau sambat gara-gara terpaksa lembur di hari libur. Entahlah, muka Harold yang menyebalkan itu lewat begitu saja di benak si gadis.

"Nggak ada pertanyaan yang lebih random, Mar?" Acha mendecak.

"Gue habis ketemu orang rese, Cha. Masa dia ngomel-ngomel cuma gara-gara gue males ngobatin luka?"

Nada bicara Acha berubah menyelidik. "Mary, kamu habis ngapain lagi?"

Yang ditanya melirik posisi plester di siku yang tersembunyi di balik blus lengan panjang. Sengaja, berkaca dari pengalaman luka di jidat kemarin. "Jatuh di jalan. Terus—"

"MARY!" Seorang—bukan, gerombolan wanita menghampiri meja tempat Mary makan. Gisel salah satunya. Si gadis mengangkat alis. Ada apa pula ini?

"Lagi telponan sama siapa, Mar?" Gisel meletakkan mangkuk baksonya di sisi kanan mangkuk Mary yang sudah nyaris tandas. "Gue mau tanya-tanya, dong!"

Dahi Mary mengernyit. Rasa-rasanya, dia tidak membuat masalah apapun hari ini. Namun, berhubung Gisel bisa dihitung sebagai orang yang lebih senior di kantor, Mary mengangguk dan menutup sesi curhatnya bersama Acha. "Mau tanya apa, Kak Gisel? Lu sampai bawa rombongan gini."

"Lo kerja sama Mashtama?" Wanita dengan rambut bergelung di samping Gisel memajukan badan demi bertanya. "Dari kapan? Bukannya lo nggak kenal?"

Lah, kepo! Tentu saja Mary masih sadar diri untuk tidak melontarkan kata-kata itu secara langsung. Mulut unfiltered-nya perlu dikondisikan kalau sudah bertemu geng konten. Kalau tidak, bisa-bisa dia yang jadi konten ... gibah. "Emang nggak kenal, Kak. Kemarin Mashtama yang reach out duluan buat foto-foto."

"Ih anjir, iri beut gue!" Gisel manyun. "Gimana, Mar? Aslinya ganteng, nggak?"

Kulit bersih. Perawakan ideal. Mata sipit. Alis rapi alami. Hidung yang, yah, tidak pesek-pesek amat. Kalau untuk standar masyarakat Indonesia, cukup tampan, tapi Mary jadi tidak ikhlas mengakui hal itu gara-gara ejekan bocil yang tersematkan padanya.

"Biasa aja. Mask-fishing dia." Gadis mungil itu mendengkus. "Ini lu nyamperin cuma mau tanya Mashtama ganteng beneran, Kak?"

Gisel terkekeh. "Ya, siapa tahu ada fun fact apa gitu ... atau mintain tanda tangannya, kek."

Buat apa coba? Mary geleng-geleng kepala, heran sendiri. Artis juga bukan. Yang lebih penting, dia mau mengakhiri sesi makan siangnya dengan khidmat dan tenang, bukannya dirusuh oleh pemuja orang menyebalkan!

"Nah kan, bener, guys. Anak kantor kita ada yang punya koneksi sama Mashtama." Wanita dengan rambut bergelombang itu bicara pada kawanannya, tapi berhubung duduknya di sebelah Mary, tiap katanya terdengar dengan jelas. "Kapan-kapan kalau bikin artikel tentang doi, minta tolong sama Mary aja."

Si pemilik nama yang tengah mengunyah pentol terakhirnya nyaris tersedak.

"Ih, ogah!" Mary langsung protes. Tidak terima. "Jangan lewat gue, lah!"

"Gisel, kata gue stop obsesi sama Mashtama." Kawan Gisel yang nampaknya paling waras di antara para fangirl Harold menarik lengan temannya. "Ayo, cepet habisin makannya terus balik. Bentar lagi jam istirahat habis."

Helaan napas lega langsung meluncur dari mulut Mary begitu ia pamit dari gerombolan geng konten. Harusnya kemarin dia tidak mengiyakan saat Harold menawarkan untuk mention akunnya di media sosial. Akan tetapi, naiknya statistik pengunjung profil yang cukup drastis di akun @maryonette beberapa hari ini membuat penyesalan Mary berkurang. Yah, sudah dibayar, dapat engagement bagus pula. Fair enough.

Ah, ya. Gadis itu belum menengok foto-foto yang jadinya dipilih oleh si dokter, padahal sudah di-posting dari kapan hari.

Bagus juga. Terasa seperti memuji diri sendiri karena foto-foto itu hasil jepretannya, tapi Mary sebenarnya mengapresiasi selera Harold. Ia mengetuk layar dua kali demi meninggalkan jejak dan menekan tombol pesawat kertas untuk berbagi.

"Thanks for having me!" tulis Mary. Tentu dengan imbuhan emoji senyum. Saat Mary mendaratkan diri di kursi, Hiro datang menghampiri. Lelaki dengan rambut gondrong terikat dan peci di kepala itu mengambil tempat di kanan si gadis.

"Mar. Minggu mau hunting bareng, nggak?"

Dahi Mary mengernyit. "Sejak kapan lo suka foto-foto, Mas?"

"Sebagai redaktur yang baik, gue berusaha memahami dunia kru-kru di bawah naungan gue." Hiro mengacungkan jempol. "Mau nggak? Nanti gue ajak juga anak-anak yang lain kalau mau ramean sekalian."

Akhir pekan ini, Mary tidak ada agenda apa-apa sebenarnya. Gadis itu hanya ingin tidur dengan tenang karena sedang tidak dalam mood bersosial setelah kekacauan akhir-akhir ini. Lagipula, walau sesungguhnya orang-orang MiniMasa—media berita tempat Mary bekerja—baik-baik, Mary tak ingin sering-sering bertemu rekan kerja di luar pekerjaan untuk sekarang. Berkencan dengan kasur adalah ide terbaik, tapi kalau dijawab begitu, pasti Hiro akan mengeluarkan segala jurus bujuk rayu. Mary sudah hafal kelakuan atasannya yang satu itu. Bagaimana cara untuk menolaknya?

Oh ... tunggu dulu. Kemarin Harold bilang, weekend ini dia mau memberi Mary pekerjaan. Orang itu belum menghubunginya lagi, tapi Mary bisa meminjam namanya untuk tameng.

"Sorry banget Mas, weekend ini gue ada klien freelance." Gadis itu memasang tampang sepolos mungkin sambil garuk-garuk kepala. "Mas Hiro hunting sama anak-anak aja."

Hiro mengangguk. Tampak kecewa. "Nggak seru kalau nggak ada lo, Mar."

"Lu tuh demen banget nyuruh gue masuk hari Jumat, terus sekarang weekend disuruh ketemu lu lagi?" Mary mengomel. "Terus apa gunanya gue ambil libur Jumat, Mas Hiro?"

Sebagai jawaban, lelaki itu terkekeh. "Ya maaf. Gue butuh lo hari ini." Ia bangkit saat si pemilik meja asli menghampiri. "Kalau tiba-tiba nggak jadi nge-job, kabarin gue, ya!"

Aneh. Buat apa juga? Kalau ternyata Harold tidak jadi mengajaknya sesi foto, ya mending tidur, lah! Mary geleng-geleng kepala, heran sendiri. Ia mengecek ponselnya demi mengecek daftar pekerjaan yang perlu ia selesaikan dan refleks mengucap panjang umur gara-gara nama Harold muncul di notifikasinya. Baru saja orang itu ia jadikan tameng!


Harold - Client

Halo, Mar.

Mary

Ya, dengan Mary di sini. Ada yang bisa saya bantu?

Harold - Client

Terkait yang kemarin aku omongin. Besok pagi bisa?


Betul-betul panjang umur. Tanpa sadar, senyum Mary terkembang—dan surut lagi saat menyadari ia masih harus masuk kerja setengah hari besok. Sayang sekali, padahal memotret lelaki tampan terdengar lebih menggiurkan daripada pekerjaan kantor.

Tunggu. Lelaki tampan? Nope! Buru-buru Mary meralat ucapan batinnya sendiri. Tawaran ini menggiurkan karena ia butuh uangnya, bukan orangnya!


Mary

Buset, dadakan beut kek tahu bulat 😀

Harold - Client

Sorry. Semalem ketiduran. Lupa mau WA. Ga bisa ya?

Kalau minggu pagi?

Mary

Capek bet keknya lu jadi dokter ...

Harusnya lu ngomong semalem biar guenya bisa geser jadwal kerja, soalnya gue harusnya libur hari ini. Tapi Minggu pagi bisa, sih 🤔

Harold - Client

Hehehe. Iya. Kemarin pasienku galak dan ngeyelan soalnya.


Wah, kasihan. Mary merasa simpatik. Pantas tidak langsung dihubungi kemarin. Ternyata bukan cuma gadis itu yang sedang berat harinya. Mary mau berceletuk, sama dong kayak oknum-oknum di kantor gue, tapi ngapain juga tiba-tiba curcol sama klien? Si mungil itu menyingkirkan ide gila barusan dan mencoba fokus. Selanjutnya, mereka membicarakan teknis dan tempat untuk pemotretan Minggu pagi.


Mary

Oke. Paginya jam berapa?

Harold - Client

Kalau ga mau kena macet, jam 8 sih. Kepagian?

Seharian itu aku free. Kalau kamu mau lanjut hunting foto, aku temenin.


Jiwa sensi Mary bergejolak. Dia memang hobi nempel di kasur kalau lagi capek banget, tapi jam delapan dibilang kepagian, tuh .... Mary langsung manyun.


Mary

Aman sih. Lu pikir gue kebo apa gimana jam segitu kepagian?

Harold - Client

Curigaan banget sih ni, Bocil.


Bocil lagi! Mary mendengkus. Jarinya langsung mengirimkan balasan yang singkat, padat, menohok.


Mary

Lu tua.

Harold - Client

🤣 Dah curigaan, ngamukan.


"HIIIH!" Gadis bermata kelabu itu bersungut-sungut. Sedikit terlalu kencang karena rekan samping mejanya langsung menoleh heran, tapi Mary tak peduli.


Mary

Lu yang mancing ye, Bambang! 😒


Ekspresi Mary sudah persis seperti emoji yang ia pilih. Untungnya, Harold memilih untuk tidak melanjutkan ceng-cengan perbocilan. Bisa-bisa Mary ngereog sungguhan di kantor. Mereka kembali membahas terkait rute perjalanan, juga detail-detail foto yang hendak diambil. Lantas, lelaki setinggi galah itu pamit undur diri.


Harold - Client

Aku siap2 ke RS ya. See you on Sunday. Jangan lupa makan biar cepet gede.

Mary

APA MAKSUDNYA????


Benar-benar, deh! Kayaknya, Harold gatal-gatal kalau tidak menyinggung tinggi badannya di percakapan. Mary berdecak. Meski begitu, senyumnya mengembang karena ia jadi punya alasan sungguhan untuk menghindar dari tawaran Hiro.

Maaf, ya, Mas Hiro, Mary membuat apologi dalam hati. Gue beneran lagi capek sama kerjaan, nggak mau lihat muka kalian dulu di luar kantor!

📸

Di hari Sabtu, Mary hanya kerja setengah hari, jadi setelah zuhur ia sudah boleh pulang. Usai dari musala yang berada di lantai paling atas, si gadis turun dan melintasi pantry. Hiro sedang membuat flat white dan redaktur Mary yang satu itu langsung menyapa.

"Langsung pulang, Mar?"

"Iyalah!" Mary menyahut. "Gue mau menikmati weekend dengan tenang setelah hak libur gue direnggut seseorang."

Lelaki berkulit sawo matang itu terkekeh. "Jangan nyindir gitu, dong." Ia mengaduk kopinya. "Tadi gue naruh sesuatu di meja lo. Anggap aja permintaan maaf karena gue nyebelin beberapa hari terakhir."

Dahi Mary mengernyit. "Hah?"

"Lo kesel, kan, gara-gara lemburan mulu beberapa hari ini?" Hiro berjalan mendekat ke arah Mary. "Lagi banyak banget yang harus diliput dan gue tau lo paling nggak suka diganggu hari Jumat. Maaf, ya."

"Asal gaji nambah, mah, no problem." Mary angkat bahu. "Ya kan namanya juga kerja. Santai aja kali, Mas." Walaupun sebenarnya udah ngamuk-ngamuk dari kemarin, sih, makanya hari ini agak santai, tambah si gadis dalam hati.

Hiro langsung menggeleng. "Nggak bisa. Gue takut lo marah sama gue."

"Gue nggak, sih, yang harusnya takut?" Gadis itu mengeluarkan cengiran. "Lo ngamuk sama gue, kelar karir gue di MiniMasa!"

Hiro hanya senyum-senyum sendiri sebelum mempersilakan Mary kembali ke ruang kerjanya. Di sana, sudah ada sebungkus permen dan susu. Kertas catatan tersemat di atasnya. Dari Hiro.

Mary menghela napas, lantas memasukkan benda-benda pemberian Hiro ke tas. Kotak susu itu mengingatkan si mungil pada sesuatu.

Benar juga. Harold dan susu yang ia berikan waktu di UGD, merknya sama.

Kalau dipikir-pikir, perut Mary punya utang budi pada lelaki yang satu itu. Ia selalu memberi Mary makanan tepat saat perutnya nyaris meraung. Apa besok sekalian saja ia membawa buah tangan sebagai tanda terima kasih?

Mengingat apartemen dan pekerjaannya sebagai dokter, sepertinya gaya hidup Harold termasuk tinggi. Mary bisa membalasnya dengan apa? Gadis itu tahu referensi kue-kue enak dan mahal berkat si kakak yang hobi mengajak Mary fancy dining tiap kali ke Jakarta, tapi ia tak rela kalau harus keluar duit sebanyak itu hanya demi sepotong kue. Apa ya baiknya?

Sambil memikirkan hal itu, Mary merapikan mejanya, mengembalikan kamera kesayangan ke dalam tas. Sebuah foto yang terpasang di mini corkboard menarik perhatian si gadis. Itu potret ketika anak-anak kantor mengadakan potluck dan ia membawa brownies teflon yang jadi incaran anak satu kantor.

Ah, ya. Brownies. Bikinnya mudah, cepat, dan antigagal. Mungkin itu saja yang Mary berikan. Semoga si dokter tidak alergi coklat dan sebangsanya.

Mumpung masih siang, Mary menyempatkan diri untuk mampir ke pasar. Tepung terigu dan telur sudah ada di kos karena kedua bahan itu penyelamat Mary di kala bosan dengan lauk buatannya sendiri, jadi ia mencari bahan lain. Setelah semua bahan sudah dalam genggaman, ia pulang naik kereta. Untungnya, MRT sedang tidak begitu berdesakan. Gadis itu bersenandung sepanjang stasiun hingga kos.

Sampai kamar, bukannya ke dapur, Mary malah tepar di kasur. Kalau bukan karena alarm, tidur Mary sudah bablas lewat magrib.

"Hectic betul hidupmu, Mar." Acha terkikik saat Mary menyambung telepon dan menumpahkan segala uneg-uneg yang tertunda gara-gara Gisel kemarin siang—tentu setelah salatnya aman. "Terus, besok pagi kamu ada kerjaan lagi sama orang yang kamu sebelin gara-gara ngatain kamu bocil itu?"

"Iya!" Mary bersungut-sungut seraya memecahkan telur ke dalam mangkuk. Kos sedang sepi ditinggal kencan oleh penghuninya, jadi seharusnya tidak masalah kalau anak itu memakai loudspeaker di dapur. "Pingin tak cubit rasanya!"

Acha makin kencang ketawanya. "Tapi dia nolongin kamu terus, kan?"

"Kebetulan aja itu."

"Kalau lebih dari sekali, namanya bukan kebetulan, Mary sayang." Suara alto itu terdengar gemas. "Lagian emang kadang kelakuanmu kayak bocah, kok."

Untung mereka tidak sedang mengobrol langsung. Kalau Acha ada di depan muka, spatula sudah melayang ke wajahnya.

Acha terkekeh lagi. "Jangan parah-parah sebelnya, Mar. Awas demen."

"Mana ada?" Mary langsung menyangkal. "Udah seperempat abad kita, Cha. Udah nggak zamannya naksir orang gara-gara awalnya benci. Bocil banget."

"Mbak Isabel sama pacarnya juga bukannya gitu awalnya?" Sohibnya menyebut nama kakak Mary satu-satunya. "Sekarang mereka mau nikah, tuh."

Kenapa malah disamakan dengan kakaknya, coba? "Ini mah lu yang kebanyakan nonton drakor!" Gadis dengan rambut sewarna tanah itu mendecak. "Mending lu yang cari cowok, deh. Apa mau gue kenalin sama klien gue yang satu itu?"

"Ngapain?" Acha bertanya balik. "Aku masih setia sama yang itu. Lagian, itu kan rekanmu."

Kalau diteruskan, godaan Acha akan semakin menjadi. Memang salah menumpahkan cerita tentang lawan jenis ke anak itu. Sialnya, untuk masalah ini, memang cuma Acha yang bisa Mary percayai. "Udah, ah. Gue mau masak. Bye!" Mary langsung menutup telepon secara sepihak.

Sembari mengayak tepung, Mary mencoba menebak selera Harold. Biasanya, cowok lebih suka rasa yang tidak terlalu manis, jadi gadis dengan poni belah kiri itu hanya menambahkan sedikit gula ketika melelehkan margarin tadi. Kemudian, semua bahan diaduk rata. Adonannya kebanyakan, sehingga Mary memanaskan dua teflon sekaligus agar proses memanggang tidak perlu diulang dua kali. Aroma coklat memenuhi dapur—dan ternyata turut menyebrang ke lorong, karena ada satu teman kos yang ikutan melongok ke tempat ia memasak.

Setengah jam berlalu. Mary tersenyum bangga dengan mahakaryanya. Setelah agak dingin, gadis itu memotong kue dengan rapi dan hati-hati, lantas memasukkannya ke dalam kotak plastik yang sudah dilapisi kertas roti fancy dengan pola macam renda melingkar di sisinya.

Tunggu. Kenapa juga Mary seniat ini?

Karena lu nggak punya duit banyak, Mar. Si mungil menjawab sendiri pertanyaan aneh yang tahu-tahu mencelus di benaknya. Benar. Brownies ini tanda terima kasih. Tidak lebih!

📸

Diduga terlalu semangat membuat kue, seorang gadis tidur lebih lama dari waktu yang seharusnya. Masih bangun untuk salat subuh, tapi dilakukan dalam kondisi belum bernyawa sepenuhnya dan langsung kembali ke alam mimpi seusai salam. Oknum itu baru terbangun saat alarm ponsel berbunyi kencang, menandai setengah jam sebelum pertemuan untuk pekerjaannya.

"ANJIR!" Sang empunya ponsel langsung mengumpat saat melihat jam. Secepat kilat ia menyambar kaos dan celana training hitam, nyaris tersandung di ambang pintu kamar mandi. Untung tidak jatuh. Luka di lututnya belum sempurna sembuh, dan kalau lecet lagi lalu ketahuan tidak ditangani dengan benar, bau-baunya Mary akan mendapat ceramah panjang kali lebar dari orang yang akan ditemuinya setelah ini. Tentu saja ia tak ingin hal itu terjadi!

Lima belas menit kemudian, Mary sudah siap. Tidak sempat mengenakan apa-apa di wajah selain tabir surya, tapi buat apa juga? Toh ia mau kerja, bukan main. Yang lebih penting, sebentar lagi jam delapan dan Mary bakal malu banget kalau dia sampai telat.

Buru-buru ia menyambar kotak berisi brownies sebelum menyalakan motornya. Ia bahkan lupa sarapan. Entah terlalu semangat atau bentuk profesionalitas. Yang jelas, Mary harus tiba di apartemen Harold sebelum jam delapan.

Angkasa begitu biru. Cahayanya bagus untuk sesi pemotretan. Meskipun kemungkinan besar sesi fotonya menjelang siang, yang artinya Mary harus berjibaku dengan sinar matahari di khatulistiwa yang cenderung harsh, setidaknya tidak ada bau hujan dan itu pertanda baik. Senyum Mary melebar.

Mary tiba di parkiran motor jam delapan kurang dua menit. Padahal tidak ada yang memburu, tapi kaki kecil Mary begitu cepat melangkah, buru-buru naik lift dan pergi ke unit Harold. Berbeda dengan pertemuan pertama mereka di sana, lelaki jangkung itu sudah siap kali ini.

Semoga mood Mary hari ini secerah langit di luar sana!

📸

Dina cuap-cuap:

Kembali lagi bersama Mary di malam Minggu! Hamdalah, kali ini menulisnya tidak kejar tayang. Sejujurnya aku merasa narasi yang kubuat di chapter ini rada boros kata, so lemme know kalau ada yang berasa aneh pas bacanya, ya!

Setelah lima bab (enam, kalau sama prolog), apakah kalian mulai sayang sama Mary dan Harold? Kalau aku dan Kak amelaerliana jangan ditanya. Hasrat ingin berbagi spoiler stonks (itu saya sih). Plis jawab iya (maksa banget)!!

Kalau ada momen yang paling diingat sepanjang lima bab ini, coba komen, dong :))

Kemarin, saya bikin sketsa lucu buat Mary dan Harold, tapi karena nggak tahu kapan dilanjut, biarlah gambar itu buat dilihat saya dan Kak Mela aja. WKWKWK. Btw, kalau Mary heboh bikin bronis, Harold persiapannya lebih lagi. Coba kalian cek sendiri aja, deh, di POV Harold! XD

Oke, sekian. Sampai jumpa hari Rabu! Andai headcanon itu bisa bikin narasi secara mandiri tanpa perlu kami tulis, mungkin bisa update lebih sering, ya. (Lalu dilempar)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro