IMG_0002_BrokeWallet.jpg
Seisi kantor heboh ketika Mary muncul dengan luka gores di jidat, Senin paginya. Orang-orang sudah tahu apa yang terjadi pada Hiro dan Mary, karena Hiro bikin pengumuman di grup, tapi tetap saja.
"Cakep kok. Kayak Harry Potter. Miring dikit aja." Begitu alasan ngeles Mary yang malas ditanya-tanya tentang kondisi lukanya. "Nanti sembuh-sembuh sendiri juga."
Kepalanya memang sudah aman-aman saja dari awal. Biaya perawatan dan obatnya pun sungguhan masuk reimburse kantor seperti janji Hiro. Yang jadi masalah adalah lensa kesayangannya.
Mahal, anjir. Mana susah dapatnya! Mary terus-menerus merutuk sepanjang akhir pekan. Bukannya ia tak punya lensa lain; ia punya tiga lensa berbeda untuk menunjang pekerjaan, hasil kerjaan sejak kuliah. Namun, yang rusak itu adalah yang paling mahal dan baru bisa terbeli dengan jatah tabungan Mary belasan bulan. Harusnya kantor reimburse lensa gue, bukan kepala gue!
Tentu saja Mary sudah mencoba negosiasi dengan redakturnya yang satu itu. Hanya saja, nilai lensa Mary ada di luar anggaran cover kecelakaan kerja dan tidak bisa dimasukkan begitu saja ke dalam laporan keuangan. Jadilah Mary uring-uringan sampai Senin ini, terbayang berapa banyak proyek freelance yang harus ia bidik demi mengganti lensa itu.
Sebenarnya, ada sumber uang yang lain ... tapi Mary tak akan mau menyentuhnya kecuali memang sudah menyangkut urusan nyawa.
Gadis dengan kulit putih kemerahan itu sedang bertandang ke lantai teratas atas demi berkoordinasi dengan tim konten ketika seisi ruangan tengah heboh.
"Mashtama cakep banget, aaaa!" Salah satu wanita yang berkontribusi dalam keributan itu berseru penuh antusias. "Kenapa cowok kayak dia nggak kerja di tempat kayak kita-kita aja, sih?"
"Emang lu tau Mashtama aslinya siapa?" Rekannya menyahut. "Kayak bakal mau aja dia sama lu."
"Kenapa, sih, lo nggak biarin gue halu dikit aja gitu, kek?" Si wanita mencebik.
Mary menyempil di antara wanita-wanita heboh itu. Entah apa atau siapa yang dihebohkan, yang jelas Mary ingin cepat-cepat mengerjakan bagian pekerjaannya, jadi ia harus menyela mau tak mau. "Halo, Kak. Lagi ngomongin apa, sih?"
"Eh, Mary." Wanita pemuja Mashtama nomor satu tersenyum lebar. Ia menunjukkan foto seorang lelaki bermasker dalam balutan kemeja putih dan celana chino di layar ponsel boba-nya. "Lo tau Mashtama, nggak?"
Mashtama? Siapa? Mary mengernyit melihat foto yang disodorkan rekan kerjanya. Sama sekali tidak berkorelasi dengan siapa pun di kepalanya. "Dia influencer, Kak?"
"Wah, ada satu orang yang bisa kita cekokin ketampanan Mashtama, guys!" Kru tim konten dengan rambut bergelombang itu berseru girang. "Coba lo cari mashtama183, deh, Mar!"
"Emangnya itu siapa?" Mary sama sekali tak tertarik. Bukannya ia tidak suka melihat cowok tampan, hanya saja penampilan si model ditutupi masker semua. Ada tren yang namanya mask fishing dan Mary yakin kemungkinan besar dia salah satu pelakunya. "Eh, Kak, gue mau tanya buat kebutuhan konten yang harus diliput ...."
"Bentar, ya, Mary. Anak ini lagi mode bucin akut, nggak bisa diajak ngobrol kerjaan dulu." Kawannya, wanita kurus tinggi berambut lurus sebahu, menyahut. Ia menyikut lengan si wanita rambut gelombang. "Gisel, lo fangirling-nya pas jam istirahat aja bisa, nggak?"
Masalahnya, Gisel sudah dimabuk pesona lelaki bernama Mashtama itu. Teguran rekannya tak digubris. Kawannya geleng-geleng kepala, lantas menoleh lagi pada Mary. "Aslinya si Gisel yang pegang brief lengkapnya, tapi lo buru-buru, nggak? Kalau iya, sama gue aja diskusinya."
"Santai, sih, Kak." Mary mengangkat bahu. Hiro melarangnya terjun ke lapangan beberapa minggu ini. Untuk antisipasi kecelakaan kerja, katanya. Saat alasan itu dilontarkan, Mary ingin mencak-mencak. Padahal lu yang nyuruh gue datengin tawuran waktu itu! "Gue seminggu ini kayaknya cuma bisa cari bahan di sekitar kantor tapi, Kak. Nggak dikasih pergi jauh-jauh sama Mas Hiro. Paling nanti gue operin lagi ke anak-anak kalau ada yang butuh foto aneh-aneh."
"Lho, kenapa?"
Mary mendengkus. "Ya gara-gara jidat gue kesambit batu kemarin. Lebay banget nggak sih, Kak? Padahal nyisa luka doang, otaknya aman."
Wanita itu terkekeh, mengangguk-angguk. Ia bergeser, menarik kursi kosong terdekat dari kubikelnya, lantas menyuruh Mary duduk di sana untuk berdiskusi. Untunglah pesona Mashtama-Mashtama itu tidak bertahan cukup lama hingga Mary harus menunggu seharian. Setelah diskusi kelar dan Mary mengantongi arahan untuk tim jurnalis, ia kembali ke mejanya sendiri di lantai dua.
"Gimana kerjaan lu, Mar?" Tahu-tahu saja Hiro menghampiri dengan dua kotak kuning. Aroma beef teriyaki menguar dari sana. Lelaki berkulit sawo matang itu meletakkan satu kotak di meja Mary. "Kepala lo beneran aman?"
"Gue kepentok batu, bukan gegar otak, Mas." Mata Mary yang dilapisi softlens abu-abu itu mendelik. "Kalau nggak aman, gue nggak ngantor kali, Mas."
Hiro malah tertawa setelah dijutekin. Entah apa yang lucu, Mary tak tahu. Gadis itu baru menyadari keberadaan kotak kertas kuning dengan wangi daging di mejanya. "Buat gue?"
"Iya. Gue beliin makan siang seminggu ini. Permintaan maaf pribadi."
"Wah, tahu gitu lo ngajak gue aja, Mas, ke tawuran itu." Lelaki rekan sederet Mary menimpali. "Mau juga gue ditraktir maksi seminggu!"
"Elu mah cocoknya malak rokok, bukan makan!" sahut kru lain yang ada di meja seberang. Mereka semua terkekeh.
Sang redaktur turut tertawa. "Kepala lu pada bocor dulu habis gue suruh liputan ke medan perang, baru boleh request gitu."
Ya Gusti. Kepala bocor katanya. Lebay banget orang ini. Mary memberesi kertas-kertas berisi hasil brainstorming, lantas menoleh pada Hiro yang malah mengambil tempat duduk di meja sebelah Mary. "Gue mau take gambar di daerah Ancol dong, Mas, buat konten minggu ini. Boleh ya?"
"Nggak boleh."
"Mas, gue cuma luka di jidat. Kenapa sih?" Gadis dengan bibir mungil itu mencebik. "Nih, buktinya gue berangkat kerja aman-aman aja, kok!"
"Lu tanggung jawab gue. Kalau lu kenapa-napa, gue yang susah."
Mary langsung melempar bombastic side eye mendengar diksi yang dipilih oleh si redaktur gondrong. "Lebay. Kasih gue lemburan kalau gitu. Gue butuh uang, kalau nggak ada uang gue kenapa-napa, nih."
"Yee, kalau itu mah kita juga!" Si rekan sederet berceletuk. "Lain kali, kalau lo disuruh liput aneh-aneh lagi, call kita, lah, Mar. Mana tega kita biarin cewek bocil kayak lo kejebak tawuran?"
Buku catatan kecil langsung melayang ke kepala cowok kuning langsat dengan tubuh atletis itu. Mary melempar deathglare. "Gue bukan bocil, anjir!"
"Udah, udah. Malah gelut." Hiro geleng-geleng kepala melihat kelakuan para kru. "Makan dulu, Mary. Keburu dingin."
Jam kecil di pergelangan tangan kiri Mary memang sudah menunjukkan pukul dua belas tepat. Ya sudahlah, rezekinya. Setidaknya seminggu ini dia bisa berhemat.
📸
Beberapa hari lagi berlalu. Atau pekan? Yang jelas, tak banyak kejadian yang bisa Mary dokumentasikan. Entah bagaimana, waktunya tersita untuk membantu tim konten merancang visual board dan tipe foto yang dimau untuk program baru mereka. Nasib kru semi palugada—apa lu cari, gue ada. Dan, yah, ia sudah melewatkan sekian kesempatan untuk meliput festival, demo, aksi damai, you name it.
Ini adalah akal-akalan redaktur yang bersekongkol dengan para kru. Mary yakin sekali.
"Lu nggak boleh motret aneh-aneh dulu sampai bekas luka lu ilang!" titah Hiro. Agak tidak masuk akal karena bekas luka tidak berpengaruh pada kinerja, tapi entah bagaimana satu divisi jurnalis menyetujuinya. Segala pakai embel-embel bocil harus nurut pula. Mary sempat bandel beberapa waktu lalu, diam-diam membuntuti salah satu rekan kerjanya yang hendak berangkat ke area demo, tapi malah kena sial nyaris ketabrak di jalan dan ketahuan. Jadilah larangan Hiro bertambah. "Lu cuma boleh bantu-bantu di studio kantor sampai luka lu beneran ilang."
Lu pada siapa ngatur-ngatur gue, hah? Mary mengerang—tapi toh faktanya larangan itu benar-benar ia lakukan. Ia masih sayang pekerjaan. Alasan keduanya, yah, karena uangnya belum cukup untuk mengganti si lensa kesayangan. Agak sulit jadinya untuk memotret keributan jarak jauh dan Mary tak mau mengambil risiko meminjam lensa orang di momen seperti itu. Kalau ia jadi harus mengganti dua lensa, kan, tidak lucu.
Setelah istirahat salat, Mary meraih ponsel dan mengirim pesan sambat pada sahabat. Mary butuh masukan untuk mengganti lensa itu secepatnya. Chat-nya hanya dibalas stiker kucing memegang plang stop, tanda Khansa Mutia alias Acha sobat setia Mary masih sibuk dengan kegiatan di agensinya.
Nasib punya sahabat beda kota. Mary menghela napas, tak berharap pesannya dibalas cepat oleh Acha. Anak itu kalau sudah bekerja bakal lupa waktu.
Yah, seperti dirinya sendiri, sih. Tak heran mereka bersahabat.
Balasan datang satu jam kemudian. Gadis dengan foto profil kucing mengamuk itu hanya mengirimkan emoji wajah sinis. Pesan suara yang menyertai:
"Kamu ini pewaris perusahaan media terbesar di Indonesia, Mary. Kenapa kayak orang susah aja, sih, curhatnya?"
Sepertinya Mary dan Acha sudah cukup lama berteman untuk paham kenapa gadis berkulit putih kemerahan itu memilih untuk tidak memakai uang Bapak. Gadis itu berdecak sebal.
"Oalah, gemblung." Mary langsung mengirim balasan. Dalam bentuk pesan suara juga demi emosi yang lebih mantap tersalurkan. "Lu ngerti alasannya, kan?"
"La-lu-la-lu. Kelamaan di Jakarta lu!"
Mary terkekeh mendengar jawaban kawannya yang satu itu. "Ya maaf, sih. Gue menyesuaikan lingkungan sekitar aja. Itu namanya adaptasi. Nah, sekarang lu ada ide nggak gimana cara gue bisa ganti lensa dalam waktu cepat?"
"Pinjol. Ngepet. Jadi sugar baby."
"Kagak ada yang bener, anjir!" Umpatan meluncur begitu saja dari bibir Mary. Memang salah ia bertanya pada orang yang sharing the same brain cell with her. Alias, otaknya sama saja.
"Anda influencer fotografi di Instagram, Mary Angelica Mulyabakti. Kenapa nggak gencarin lagi iklan freelance foto-fotomu aja, sih?"
Itu opsi paling pertama yang Mary pikirkan, sebenarnya. Foto yang ia hasilkan bagus, kok. Banyak yang suka juga. Tapi, mencari orang yang mau membayar jasanya itu beda cerita. Andai mencari klien semudah itu. Mary menghela napas, lantas meninggalkan emoji jempol sebagai reaksi balasan sebelum menutup aplikasi.
Tak ada lagi yang bisa Mary lakukan, dan waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Jam jalanan padat, pasti. Gadis itu membuat pertimbangan. Kalau balik sekarang, ia pasti jadi ikan pindang, tapi kalau berkelana sampai malam, isi dompetnya kelam. Sungguh pilihan sulit. Ia memutuskan untuk membuka media sosial sembari menimbang-nimbang.
Tahu-tahu saja, ada permintaan yang masuk ke kotak pesan akun maryonette—akun yang Mary gunakan untuk mengarsip hasil pemotretannya sejak kuliah. Mary mencoba mengingat-ingat kapan terakhir kali ia mengunggah foto di akun portofolionya yang satu itu. Belum lama, sih. Apakah ini calon klien baru?
Nama akun yang ada di daftar teratas permintaan pesan itu membuat alis Mary terangkat.
mashtama183
Lah, ini mah akun yang dihebohin sama Kak Gisel tadi!
Mary berdoa agar orang ini menanyakan jasa fotografinya—syukur-syukur kalau disewa sekalian. Saat pesannya dibuka, senyum di bibir mungil Mary melebar. Tuhan mendengar doanya!
mashtama183
Hi. Saya lihat di IG kalau mbak/mas Maryonette terima freelance job fotografi ya?
Kebetulan saya lagi butuh fotografer buat konten IG saya. Rencananya foto indoor aja di apartemen saya, tapi kalau cocok mungkin bisa langganan.
Boleh saya minta pricelist dan t&c nya?
"BOLEH BANGET!" Nyaris Mary mengirim balasan penuh capslock. Untung belum sungguhan dikirim. Harus profesional pada calon klien. Gadis itu membalas dengan kalimat senada.
maryonette
Boleh, Kak.
Kalau cocok, nanti kita ngobrolnya di WA aja, ya, Kak. Biar lebih enak kontak-kontakannya. Terima kasih!
Tak lupa Mary menyematkan laman yang biasa ia pakai untuk portofolio dan mencantumkan harga jasanya. Walaupun sebenarnya foto indoor bukan keahlian utamanya, memilih-milih pekerjaan bukan tindakan bijak untuk seseorang yang sedang desperate mencari uang. Bismillah kecantol, Mary merapal doa.
Sepertinya, pemilik akun mashtama183 ini memang jalur rezeki untuk Mary. Baru berselang sekian menit, lelaki itu sudah menghubunginya lagi melalui WA. Apakah orang ini benar-benar butuh fotografer secepat itu? Berhubung biasanya Mary di-ghosting calon klien, ini keajaiban. Senyumnya merekah. Semoga ini awal yang baik!
📸
Dina cuap-cuap:
Apa reaksi Mary pas tahu mashtama itu si dokter yang ngebocilin doi, yak? Wkwk. Nggak sabar posting bab 3, deh ;-;
Btw, anak kantor Mary tuh emang pada lebay. But somehow itu yang bikin Mary masih betah kerja di sana, selain gajinya yang terhitung manusiawi tentu. Jadi tolong dimaklumi kalau interaksi mereka agak gimana gitu HAHAHA.
Jangan lupa mampir ke tempatnya Harold, gengs! Lumayan, lihat sisi kalem Pak Dokter habis membaca kelakuan Mary. Langsung cus ke profil
Sampai jumpa hari Sabtu! Nggak ada batas vote comment sih, tapi kalau ada jejak, kami akan sangat senang :')
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro