⚘ :: sepuluh, detik terakhir
Sialan kau, (M/n).
Umpatan itu diucap dalam pikiran Aether. Semenjak semalam, isi kepala lelaki itu dipenuhi oleh perkataan (M/n). Lebih tepatnya tentang cerita (M/n) mengenai temannya. Cerita itu kini malah menghantui Aether.
Jika dirinya berakhir sama dengan teman (M/n) itu, bagaimana? Karena pada dasarnya Aether membenci penyesalan. Penyesalan adalah satu-satunya tindakan dan perasaan di luar logika. Tidak ada penyesalan yang datang di awal, selalu di akhir. Itu hanyalah tindakan yang sia-sia sebab masa lalu tak dapat diubah.
"Argh, sial!" umpatnya.
Aether mengacak-acak surainya yang berantakan. Ia masih membiarkan rambut panjangnya itu tergerai, tidak dikepang. Mengingat dirinya baru saja bangun dari tidur yang sama sekali tidak nyenyak. Bayangkan, dalam tidurnya itu ia masih dibayangi oleh cerita (M/n).
Ah, tetapi jika diingat-ingat kembali, Aether memang sudah membulatkan tekadnya sejak lama. Tidak mungkin hanya karena kedatangan (M/n) saja, kini dirinya menjadi bimbang. Toh sejak awal tekadnya itu sudah tepat dan tak dapat diganggu gugat dengan mudah.
Aether tidak akan goyah. Sebab cerita (M/n) yang diselipkan asumsinya itu, tidak ada bukti yang nyata dan pasti. Apakah temannya itu benar-benar menyesal? Tidak mungkin. Jika ia memang sudah bertekad bulat seperti Aether, maka tidak mungkin ia akan merasakan penyesalan. Hal itu pasti terjadi karena kadar kegigihannya yang kurang.
"Bagaimana tidurmu semalam?"
Di ambang pintu kamarnya, (M/n) bertanya seraya bersandar pada daun pintu. Ia melihat Aether yang sedang menatapnya tajam. Juga memberikan tatapan tidak suka.
"Sangat nyenyak. Terima kasih karena itu berkatmu," jawabnya sarkas.
"Oh? Baguslah kalau begitu," (M/n) menyahut.
Ia jelas tahu bahwa Aether menjadi memikirkan tentang cerita (M/n). Tetapi, dari sana juga, ia bisa mengetahui mengenai tekad lelaki pirang itu. Berbicara tentang surai pirangnya, hari ini adalah pertama kalinya (M/n) melihat Aether dengan rambut yang tak dikepang. Jika (M/n)-lah yang memiliki rambut sepanjang itu, sudah pasti ia pangkas habis-habisan.
"Ada satu hal yang harus kau tahu, Aether."
Perkataan (M/n) itu menghentikan pergerakan Aether yang tengah mengepang rambutnya. "Apa yang harus kutahu?" tanyanya.
"Sejak kita kabur dari Raiden Shogun di hari itu, kini kita menjadi buronan nomor satunya. Ke manapun kita pergi, matanya pasti akan selalu mengawasi," jelas (M/n).
"Karena itu, tolong berhati-hatilah."
Mendapati keberadaan suara lain, (M/n) pun menoleh. Kemudian ia langsung bertemu dengan wajah Kazuha di depannya.
"Selamat pagi, teman-teman," sapa Kazuha. Tak lupa dibumbui dengan senyuman sehangat mentari pagi.
"Pagi juga, Kazuha," balas (M/n). Sementara itu, Aether hanya mengangguk samar. Ia telah selesai mengurus rambutnya. Ah, ternyata lelaki itu tidak membutuhkan cermin sama sekali.
"Kini Raiden Shogun tidak hanya mengincarku, tetapi kalian juga. Kumohon untuk tolong lebih berhati-hati ketika keluar dari tempat ini," pesan Kazuha dengan wajah yang serius. Namun, sirat khawatir pun tampak di sana.
"Ya, pasti. Terima kasih, Kazuha," sahut (M/n).
***
Perjalanan mereka masih belum berhenti. Saat ini, tujuan mereka adalah ke tempat seorang jenderal bernama Gorou. Tidak ada yang mengenalnya selain Kazuha. Tetapi, Kazuha sendiri memiliki urusan lain sehingga ia tidak hadir bersama mereka. Kini hanya menyisakan (M/n) dan Aether.
"Dulu aku juga memiliki seorang partner perjalanan. Saat itu aku sedang memancing, tetapi malah dirinya yang kudapat. Sejak saat itu, ia selalu mengikutiku," cerita Aether tiba-tiba.
(M/n) pun bertanya, "Lalu, di mana partner-mu itu sekarang?"
"Aku mengusirnya. Ia terlalu berisik. Mulutnya selalu mengiyakan permintaan tolong dari orang lain tanpa menanyakan persetujuanku terlebih dahulu. Padahal, pada akhirnya hanya aku yang bekerja keras memenuhi pertolongan orang itu. Sungguh mengesalkan." Aether menendang batu yang ia lihat di depannya. Sebagai pelampiasan emosi.
"Wajar jika kau merasa kesal. Sebagai partner perjalanan, memang sudah sepantasnya untuk menanyakan pendapat pihak yang lain," ujar (M/n) merasa maklum.
"Benar, 'kan?"
(M/n) hanya mengangguk. Ternyata Aether bisa diajak berbicara tentang hal lain selain mengenai kematian.
"Sepertinya kita sudah sampai."
Sebuah tempat seperti markas para tentara terpampang di hadapan mereka saat ini. (M/n) sibuk mengawasi sekitarnya. Melihat-lihat apa saja yang terdapat di sana. Sementara, Aether memilih untuk diam saja. Tidak berkata apapun.
Merasa tempat ini terlalu sunyi, (M/n) pun memanggil Aether. "Aether?"
Namun, yang ia dapati hanya kekosongan. Tanpa sosok yang ia cari di sana.
***
Sisi tebing menjadi tujuan Aether saat ini. Angin yang berhembus terasa dingin ketika menyentuh kulitnya. Ia merasakan rasa yang tak pernah ia rasakan sebelumnya, yakni ketenangan. Namun, dari mana ketenangan itu berasal? Tak ada satu hal pun yang bisa memberinya rasa tenang. Semuanya hanya mampu mendesak Aether dan menjadikannya boneka yang siap melakukan apapun jika disuruh atau diminta.
Tetapi, kini ia merasa bebas. Tidak akan ada orang yang mengganggunya lagi, atau menghentikannya lagi. Semuanya sudah pergi. Termasuk (M/n). Aether sengaja meninggalkannya. Toh memang sejak awal tujuan Aether bukanlah menjalin pertemanan. Ia hanya ingin tujuannya tercapai. Itu saja.
Sepatunya telah ia tanggalkan. Wind glider miliknya pun sudah dilepas. Kini benar-benar hanya tersisa antara dirinya dan langit. Langit yang akan menjadi saksi biksu akan kejadian hari ini. Meskipun ia tak bisa berbicara, tetapi setidaknya sang cakrawala tidak akan dapat menghentikan Aether sekarang.
Di sisi tebing, Aether pun terjatuh. Membiarkan gaya gravitasi menarik dirinya dengan cepat. Ia memejamkan mata. Tak ada rasa gugup, tak ada rasa takut di dalam dirinya. Yang ada hanyalah momen-momen yang paling ia tunggu.
Selama apapun Aether menunggu, tubuhnya tidak kunjung membentur tanah ataupun bebatuan. Ia malah tersangkut di dahan pohon yang cukup besar. Luka-luka goresan terdapat di sekujur tubuhnya. Seketika menimbulkan rasa perih di mana-mana.
Kali ini, bukan orang ataupun manusia yang menggagalkan dirinya. Melainkan kehendak alam sendiri. Keinginan para Archon yang entah berada di mana sekarang.
Dengan perlahan, Aether berusaha untuk turun dari atas pohon. Ia berjalan dengan terseok-seok. Tetapi, setelah beberapa langkah dilaluinya, Aether pun terjatuh tersungkur. Ia pelan-pelan bangkit hingga menjadi duduk.
Belum sempat disadari oleh Aether, cairan bening sudah tumpah dari pelupuk matanya. Kian lama, kian deras. Membasahi luka goresan di kedua pipinya dan membuat rasa perih yang teramat sangat. Namun, Aether tidak peduli. Ia hanya menangis dengan kencang. Semua beban di dalam benaknya bisa ditumpahkan melalui tangisannya itu. Tidak ada satu orang pun yang tahu.
Saudari kembarnya yang menghilang dan malah berpihak pada musuh, dirinya yang selalu dijadikan "boneka penolong", dan yang terakhir adalah Aether tak bisa memilih. Lebih tepatnya ia tidak diberikan pilihan. Sebenarnya Aether-lah yang terlalu hancur. Hanya saja ia tak menyadari hal itu.
Pernahkah ia merasa bahagia? Barang satu kali saja? Jika ditanya demikian, maka nihil adalah jawaban Aether. Tidak pernah.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro