⚘ :: sembilan, secangkir kedustaan
Tujuh belas menit telah berlalu semenjak Thoma memberitahu yang lain mengenai Aether. Lelaki pirang itu telah siuman dari pingsannya yang cukup lama, yakni dua hari lamanya. Selama tujuh belas menit itu juga, Xiao masuk ke dalam ruangan Aether dan belum keluar hingga saat ini. Entah apa yang mereka bicarakan di dalam sana.
Seusai mendengar kabar siuman Aether, (M/n) sendiri hanya memilih diam. Ia tidak langsung masuk ke dalam ruangannya dan menyapa Aether seperti yang lain. Bukan sekarang saat yang tepat untuk melakukan itu.
Menurut (M/n), sepertinya saat ini Aether tengah kecewa. Kecewa sebab menyadari bahwa dirinya belum mati juga. Pastinya lelaki pirang itu berharap bahwa ia tak akan bangun-bangun lagi. Berbanding terbalik dengan harapan yang lainnya.
Namun, berbeda dengan yang lain, (M/n) sendiri hanya menatap dari kejauhan saja sebagai penonton. Ia tak tahu apa yang akan terjadi ke depannya. Sebab itulah (M/n) memilih untuk diam dan mengobservasi. Dengan demikian, ia tak terlibat apapun.
Beberapa saat kemudian, Xiao keluar dari ruangan Aether. Raut wajahnya tampak sama seperti sebelumnya. Tetapi, jika diperhatikan lebih dekat, garis rahangnya terlihat lebih tegas. Seperti tengah menahan amarah akan sesuatu.
Pandangan Xiao langsung tertuju pada (M/n). Yang ditatap hanya diam saja, tak bereaksi apapun. Bahkan ketika Xiao berjalan mendekat, (M/n) masih diam.
"Sudah berapa lama kau mengenal Aether?" tanyanya terus terang.
(M/n) hanya menghela napas. "Aku bahkan tidak tahu siapa dirimu, Tuan," ujarnya sarkas.
"Kau bisa memanggilku Xiao, dan Liyue adalah asalku."
"Oh..."
"Bukankah kau seharusnya juga memperkenalkan diri?" Xiao balik bertanya. Ia melirik (M/n) yang masih diam saja.
"Oh, begitukah?" balas lelaki itu. "(M/n) Kistley. Itu namaku."
Tangan dilipat di depan dada. Tatapannya itu tertuju ke arah si lawan bicara. "Tolong jawab pertanyaanku, (M/n)," titah Xiao. Ia masih merasa penasaran tentang identitas lelaki di depannya ini.
"Aku sudah mengenal Aether selama kurang lebih beberapa bulan. Tidak terlalu lama, namun cukup untuk mengetahui tentang dirinya," jelas (M/n) singkat. Otaknya memutar kembali momen di mana ia bertemu dengan Aether untuk pertama kalinya. Bukan merupakan pertemuan yang hangat, malah diliputi oleh amarah yang berasal dari si pirang.
"Apa yang kau tahu tentangnya?" tanya Xiao lagi.
Dilihat dari jawaban (M/n) tadi, Xiao-lah yang lebih dulu mengenal Aether. Tetapi, bukan hal itu yang mengganggu pikirannya. Melainkan tentang perkataan (M/n) yang menyatakan bahwa waktu yang tak lama itu sudah cukup baginya untuk mengenali Aether. Apakah karena mereka sama-sama paham tentang emosi manusia, sehingga bisa dengan mudah saling mengenal dalam waktu singkat?
Pandangan (M/n) tertuju pada jingga yang mendominasi cakrawala. "Tidak banyak yang aku tahu tentangnya. Tetapi, mungkin aku tahu apa yang ia pikirkan," tuturnya.
Xiao memilih untuk diam dan tidak bertanya lebih jauh. Mendengar semua jawaban (M/n) membuatnya sadar bahwa ia tidak memahami apa-apa tentang Aether. Seorang teman macam apa dirinya itu? Satu-satunya hal pasti yang bisa Xiao lakukan adalah datang ketika dirinya dipanggil. Terlebih dipanggil oleh Aether, si pengembara. Selain itu, nihil perbuatannya dalam mengenal Aether lebih jauh.
***
Dengan perlahan, jingga dilahap oleh malam. Langit gelap gulitalah yang menaungi mereka saat ini. Hanya penerangan dari lampu gantung yang seadanya saja yang menjadi satu-satunya sumber cahaya.
Di dalam gelap itu dua orang insan sedang duduk bersisian. Mereka berada di luar, jauh dari teman-temannya yang lain. Angin malam yang berhembus tidak membuat keduanya ingin masuk ke dalam kediaman Kamisato. Justru mereka tetap memilih untuk duduk di luar.
"Apa yang sedang kau pikirkan?"
Si pirang membuka pembicaraan setelah sunyi beberapa menit. Ia melirik lelaki bersurai (h/c) di sebelahnya itu. Menunggu sebuah jawaban.
"Tidak ada. Aku hanya tengah melamun," jawab (M/n) apa adanya. Tatapannya mengarah pada langit malam. Dalam benaknya, ia menghitung jumlah bintang yang tersebar di angkasa. Jumlahnya bahkan tidak mencapai angka sepuluh. Tetapi sudah menjadi pertanda bahwa tidak akan turun hujan malam ini.
Keheningan mulai menyatu dengan keadaan. Mereka berdua sama-sama diam dan sibuk dalam pikiran masing-masing. Namun, hanya bersama (M/n) saja, Aether tidak merasa terganggu. Jika dirinya duduk bersebelahan dengan yang lain, ia merasa ingin cepat-cepat pergi dari sana. Berbanding terbalik jika (M/n) ada di sebelahnya. Ia malah menikmati kesunyian yang ada.
Apa penyebabnya? Entahlah, Aether pun tidak tahu.
"Aether."
Untuk pertama kalinya Aether mendengar namanya dipanggil oleh (M/n) dengan nada yang tegas seperti itu. Biasanya ia hampir tidak pernah menyebut nama si pirang.
"Apa?" sahutnya.
"Apa kau merasa kesal di saat rencanamu kembali gagal saat itu?" tanya (M/n) kemudian.
Aether mendengus kencang. "Tentu saja! Tentu saja aku kesal. Mengapa orang-orang di sekitarku terus saja menggagalkan rencanaku ketika saatnya sudah tepat? Mengesalkan sekali," gerutunya. Ia kesal, juga marah. Di kala tekadnya sudah bulat, orang lain malah menghentikannya.
"Mungkin, kau tidak benar-benar ingin mati."
Mendengar itu, Aether menatap (M/n) tajam. "Apa yang kau bilang? Bukankah kau sendiri sudah tahu kalau aku benar-benar ingin mati? Kau sudah tahu tentang tekadku tentang keinginan terbesarku itu, (M/n)!" serunya emosi. Kilatan amarah terlihat di bola mata hazel milik Aether itu.
"Aku tahu, Aether. Tetapi, dengarkanlah sebuah kisah dariku ini," balas (M/n) tenang. Tatapannya menerawang, pikirannya mulai memikirkan hal lain.
Melihat Aether yang diam saja, (M/n) pun mengganggapnya sebagai persetujuan. Sepertinya lelaki pirang itu merasa ingin tahu tentang cerita yang akan ia katakan.
"Dulu aku memiliki seorang teman. Ia merupakan teman yang baik, selalu ada bersamaku. Di saat apapun itu, ia pasti akan menolongku. Kupikir saat itu aku menemukan seseorang yang benar-benar bisa kujadikan teman sejati," cerita (M/n).
Kini tatapannya tertuju ke arah lapisan bebatuan yang ia pijak. "Tetapi, rupanya aku salah. Salah besar. Di hari ulang tahunku, setelah ia mengucapkan selamat, ia pergi dari kehidupanku. Ia memilih untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Saat itu aku merasa begitu terpuruk. Aku bertanya-tanya dalam benakku. Apa yang salah? Apa yang telah kulakukan? Seperti itu, terus-menerus, berulang kali.
"Pada akhirnya aku tahu satu hal. Ia memang bisa menolong semua orang. Termasuk aku juga. Namun, ia gagal menolong seseorang, yaitu dirinya sendiri. Ia tidak berhasil menyelamatkan dirinya yang sedang berenang di lautan keputusasaan dan memilih jalan paling singkat, yakni kematian."
(M/n) diam sejenak. Membiarkan Aether mencerna perkataannya untuk sejenak. "Temanku itu pasti sangat menyesal tentang keputusannya. Benar-benar menyesal. Sebab setelah kematiannya, tidak ada perubahan apapun. Semua hal masih berjalan sama. Hanya aku dan keluarganya saja yang merasakan perbedaan itu."
Seusai bercerita, (M/n) kembali menatap Aether. Tepat tertuju ke arah netra hazel-nya itu. Yang tampak berkilau di bawah sinar rembulan.
"Jika suatu hari kau benar-benar akan meninggalkan dunia ini, apakah kau tidak akan menyesalinya, Aether?"
Untuk sesaat, Aether tampak dipenuhi oleh kebimbangan.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro