Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

⚘ :: dua, gegana tanpa pemilik

Jingga muncul bersama dengan hilangnya sang mentari. Ia tak akan kembali. Setidaknya untuk saat ini. Namun, ada yang menggantikannya. Sang rembulan. Semudah itulah perputaran dan hubungan di antara kedua benda angkasa itu.

Senja menjadi satu-satunya pertanda bahwa sebentar lagi hari akan usai. Menjadi bukti nyata kalau hari pun bisa berakhir. Sekaligus membuat orang-orang memilih untuk segera pulang dan menyelesaikan kegiatan apapun yang tengah mereka lakukan.

Namun, berbeda dengan kedua insan ini.

Tak ada satu pun di antaranya yang berniat untuk pulang. Mereka memilih untuk diam di atas bukit yang tak curam. Membiarkan pandangan mereka tertuju pada langit yang didominasi oleh jingga.

Untuk beberapa saat, tak ada satu pun di antara mereka yang membuka percakapan. Keduanya sama-sama memilih untuk diam. Maka, keheningan pun hadir di sana. Menciptakan suasana yang sunyi dan terasa kaku.

"Mengapa kau jadi mengikutiku, (M/n)?"

Si pemilik nama menoleh kepada sang penanya. Sebelum kemudian, ia kembali menatap ke depan. Ke sebuah pemandangan yang klise, namun membangkitkan rasa tentram.

"Tidak ada alasan khusus. Aku hanya mengikuti keinginan diriku saja," jawab (M/n) singkat. Masih tak menatap lelaki pirang di sebelahnya itu.

Decihan keluar dari bibir Aether. Mendengar reaksi yang seperti itu, (M/n) kembali menoleh. Ia menunggu perkataan selanjutnya yang akan diucapkan oleh si pirang tersebut. Namun, rupanya Aether tetap diam dan tak berkata apa-apa lagi.

"Jika kau memang tak suka padaku, kau bisa mendorongku jatuh dari atas tebing dua hari lalu," ujar (M/n) tanpa ekspresi. "Aku pasti akan langsung mati," lanjutnya.

Sontak Aether pun menoleh. "Apa kau gila?!" serunya.

"Aku tidak gila. Kaulah yang gila, Aether. Kau bahkan telah berniat untuk mengakhiri hidupmu sendiri," balas (M/n). Ia mencabut segenggam rumput dari atas tanah. Kemudian dilemparnya ke udara, terbang bersama angin.

Manik hazel itu berkilat marah. Emosi yang tertahan seketika bergemuruh di dalam dadanya. "Meskipun aku memang ingin mati, namun aku tidak segila itu hingga ingin membunuh orang lain, (M/n)," ujar Aether penuh penekanan.

(M/n) menoleh ke arah si pirang. Ia tak berkata apapun dan memilih untuk diam. Menurutnya, Aether masih dipenuhi oleh misteri. Meskipun ekspresinya mudah dibaca seperti buku, nyatanya ia tetap sulit untuk ditebak.

***

Suara kertas yang digumpalkan terdengar nyaring di telinga. Di suasana yang sesunyi itu, bunyi yang tak terlalu berisik tersebut menjadi begitu keras. Membuat orang lain yang berada di sana pun menoleh ke sumber suara.

"Apa yang kau lakukan, Aether?" tanya (M/n). Melihat air muka si lelaki pirang itu, ia tahu bahwa Aether memang sedang dalam kondisi yang tak baik.

Aether tak menjawab. Kini ia sibuk menginjak kertas yang sudah tak berbentuk itu di atas tanah. Kertas yang semula putih bersih, saat ini warnanya telah berubah dan menyatu dengan tanah.

"Apakah gadis itu terlalu malas hingga menyuruhku mengirim surat ini untuknya? Bukankah ia masih memilih kedua anggota gerak yang utuh?" ucap Aether dipenuhi amarah dan kekesalan yang kentara. Ia memang tak bisa menolak permintaan para penduduk sialan itu. Dirinya seperti sudah di-program untuk selalu berkata 'ya'.

"Oh, surat itu. Kau harus mengirimnya 'kan?" ujar (M/n) sambil menatap si kertas yang kini tergeletak di atas tanah. Ia tak berniat untuk mengambilnya juga.

"Aku tidak akan mengirimnya."

"Oh... baiklah."

Suara langkah kaki yang tergesa-gesa mendekati mereka. Dedaunan kering yang diinjak terdengar semakin dekat. Hingga pada akhirnya sosok itu pun memunculkan dirinya.

"Maaf, aku pergi terlalu lama! Apa yang terjadi?" Thoma, orang yang baru saja tiba, menatap bingung ke arah Aether dan (M/n). Namun, ketika tatapannya berhenti pada amplop kertas yang sudah tak dapat dikenali itu di atas tanah, seketika Thoma membelalak. Ia bahkan tak mengatakan apapun ketika mengambilnya dari atas tanah.

"Aku tak sengaja menjatuhkannya. Ketika aku hendak mencarinya, rupanya amplop itu sudah terinjak oleh diriku sendiri. Maaf, Thoma."

Bukan Aether yang berkata demikian. Raut wajahnya pun sama terkejutnya dengan wajah Thoma. Di sisi Thoma, ia tak menyangka jika kejadiannya seperti itu. Sementara, di sisi Aether, ia cukup terkejut atas apa yang diucapkan oleh (M/n). Yang bahkan mau menutupi kesalahan dirinya dengan kebohongan yang mudah dipercaya.

"Ah, begitu. Tak apa, aku akan meminta maaf pada Chisato nanti. Juga agar ia membuatkan surat yang baru," balas Thoma dengan senyum samar di wajahnya. Ia tak bisa marah, mengingat itu adalah kecelakaan. Kecelakaan atas dasar kebohongan.

(M/n) hanya mengangguk. Ia pun membungkuk dan memohon maaf sekali lagi. Sementara Aether tak tahu harus bereaksi seperti apa. Bingung, heran, serta kesal bercampur aduk di dalam benaknya.

***

"Mengapa kau berbohong pada Thoma, (M/n)?!"

Seruan itu menggema di dalam kamar penginapan yang berukuran sedang itu. Tak terlalu besar, juga tak begitu kecil. Ukuran yang pas. Namun, suara yang diserukan itu menciptakan kebisingan untuk sesaat.

"Aku tidak melakukannya untukmu, Aether. Kau tidak perlu salah paham," jawab (M/n) seraya melepaskan sepasang sarung tangan yang ia pakai. Kemudian diletakkan dengan begitu rapi.

Kening Aether mengernyit. Alisnya pun menyatu. "Apa maksudmu?" tanyanya.

Sejenak, (M/n) menghentikan kegiatannya. Ia menoleh pada Aether dan berkata, "Aku melindungi diriku sendiri. Juga untuk membuatmu semakin yakin bahwa mengakhiri hidupmu sendiri adalah jalan yang terbaik."

Untuk sesaat, Aether terbelalak. Jadi, (M/n) sengaja berbuat demikian agar dirinya merasa bersalah? Seperti itu? Aether mendengus seraya menyeringai.

Sungguh lucu.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro