Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3: Harus Bagaimana?

"Am, habis ini sudah dulu ya masaknya, kita istirahat." Aya menepuk bahu Am yang tengah mengaduk kentang balado. "Kalau sudah matang, kasih ke Ester atau Canary, habis itu gabung ke lantai dua, ya!"

"Oke, Kak Aya!" Am mengangguk mengiyakan. "Ester dan Canary nggak join, Kak?"

Aya terkekeh. "Nanti yang jaga kasir siapa, dong? Mereka bisa atur jadwal istirahat sendiri, kok! Tenang aja."

Am mengangguk lagi. Ia mematikan kompor dan menaruh kentang balado di wadah etalase, lantas memasukkan wajan ke bawah wastafel dan menabur sejumput perasaan agresif agar dia bisa tercuci otomatis. Setelah memastikan tak ada kompor dan kran yang masih menyala, Am naik ke lantai dua. Di sana, sudah ada Felix, Aya, dan sekotak ayam krispi.

"Bukan ayam krispi dengan bumbu bahagia atau semacamnya, sih." Gadis keturunan Jepang itu memegang tengkuk dan menyengir. "Tapi, ini ucapan selamat datang buat kamu!"

Felix mengulurkan tangan, hendak mencomot paha ayam, tapi langsung ditepis Aya. "Yang mau disambut itu Am! Nggak boleh comot duluan!"

"Dasar Bu Aya," Felix menggumam.

"Wah, terima kasih, Kak Aya ...." Am bergabung duduk di atas tatami. Ia menangkupkan kedua tangan untuk berdoa sebelum mengambil piring kertas perak yang ada di meja. Ayam krispi yang berwarna coklat keemasan itu sudah menguarkan aroma menggoda. Tangan Am sudah hendak menyendok nasi hangat yang mengepul di sebelah ayam, tapi urung. "Kak Aya nggak ambil duluan?"

"Kamu dulu aja!" Aya tersenyum. Akhirnya, Am menyendok secentong nasi dan potongan dada ayam. Tak lupa juga saus sambalnya. Gadis itu iseng-iseng mengecek tulisan di bungkusnya. "Sambalnya mengandung gairah?"

"Ah, bukan perasaan murni itu." Felix menyahut sembari mengambil nasi dan ayam bagiannya. "Paling juga setengah jam hilang efeknya."

"Kamu berharap apa dari makanan cepat saji?" Aya memutar mata. "Mereka itu manusia robot yang masak. Beda sama kita yang memasak dengan hati sungguh-sungguh!"

Am tercenung. Lagi-lagi masalah hati. Ia melirik Aya. Entah kenapa, hari ini Aya begitu sibuk, sehingga sepagian ini ia hanya berdua dengan Felix di dapur. Sejujurnya, Am penasaran dengan pendapat Aya mengenai masakannya setelah diceramahi soal ketulusan oleh Felix.

Saus sambal yang merah-oranye itu habis dalam lima suapan. Am menanti reaksi macam apa yang akan terjadi dalam dirinya, tapi nihil. Selalu begitu setiap kali ia mencoba makanan apapun yang mengandung perasaan. Ironis kalau mengingat ia lahir di Kota Harapan, pemasok bubuk perasaan terbaik seantero negara. Dalam salah satu kuliahnya di akademi, dosennya pernah bilang kalau jarang sekali ada orang yang tidak bisa merasakan efek dari bubuk perasaan. Kalaupun ada, biasanya yang bersangkutan memang memiliki hati yang sangat keras.

Lucu juga. Am bekerja untuk membuat makanan yang bikin orang lain bisa merasakan sesuatu, tapi dia sendiri tak tahu rasanya. Tapi, sejauh ini masakannya aman dan berpengaruh. Berarti tidak masalah, kan, kalau hatinya tidak terlibat dalam proses memasak?

Gadis itu ingin bertanya pada Aya, tapi bingung bagaimana memulainya. Kenapa pula dia jadi bingung begini? Ia sama sekali tak pernah mempermasalahkan hal itu sampai hari ini.

"Am, kenapa kamu memilih untuk bekerja di Dapur Ajaib?"

"Ya?" Am tersentak. Mata bulan sabitnya mengerjap. "Gimana?"

"Teman kecilmu belum ada sehari udah ngelamun aja," Aya terkekeh seraya menoyor bahu Felix.

Yang kena pukul meringis. "Kok jadi aku yang kena?!"

"Nggak papa. Soalnya seru ngerjain anak buah kurang ajar kayak kamu." Aya nyengir. "Kembali ke pertanyaan awal! Kenapa kamu pilih kerja di Dapur Ajaib, Am?"

Sekelebat memori melintas di kepala Am. Tentang ambisinya menjadi juru masak terbaik. Orang-orang yang meremehkan dirinya hanya karena ia lahir dari keluarga yang tidak punya latar belakang di dunia memasak. Perjuangan kerasnya memahami bubuk perasaan sekalipun ia tak bisa merasakan apapun darinya.

"Aku ingin jadi bagian dari juru masak terbaik di kota ini." Am tersenyum. "Kurasa, Dapur Ajaib merupakan tempat yang cocok untuk itu."

Aya manggut-manggut. "Penuh percaya diri, ya. Bagus, deh. Aku nggak suka orang yang rendah diri."

"Kak Aya, aku kasih warning ya, anak satu ini ambisnya kelewatan. Kalau dia mau lembur jangan dikasih, ya, Kak!" Felix tahu-tahu saja menimpali dengan daging ayam di mulut. Ia meringis kala tulang kering kakinya ditendang di bawah meja. "Kalian kenapa, sih? Nggak Am, nggak Kak Aya, semuanya pakai cara kekerasan!"

"Lelaki macam Felix ini memang harus dikerasi." Aya tertawa ringan. "Ya kan, Am?"

Am tertawa. "Setuju, Kak!"

"Para wanita menyebalkan," gerutu Felix. Ia memberesi sisa peralatan makan dan tulang-tulang sebelum membuangnya di tempat sampah. Ia mengambil celemeknya yang tergantung di dekat pintu kamar. "Kalian sama saja! Aku ke bawah!"

Kedua gadis melihat arloji masing-masing. Sudah setengah jam. Waktu istirahat mereka memang sudah mau habis.

"Am, kamu mau ambil tugas masak yang mana setelah ini?" Aya memasang kembali celemek merah marunnya. "Kalau telur dadar pereda lelah, kamu mau?"

"Boleh, Kak." Am mengangguk. Sebagai tanda setuju, ia juga mengacungkan jempol. Aya manggut-manggut.

Saat mereka memasang sepatu karet, Aya menoleh ke arah Am.

"Oh iya, aku belum testing rasa masakanmu. Nanti sekalian, ya?"

Felix menawarkan Am jasa menyetir skuter lagi ketika jam kerja usai.

"Kamu duduk aja, nanti aku setirin sampai rumah, habis itu aku jalan ke rumahku." Lelaki dengan kulit eksotis itu sudah kembali mengenakan kaus putih dan celana jins. Ia sengaja jalan mendekati Am. "Gimana, Am?"

Am bergeming. Wajahnya kusut.

"Kenapa anak ini?" Felix mencolek bahu Am. "Malam-malam jangan bengong!"

Gadis itu mengambil skuternya dan mengabaikan ajakan Felix. Ia meluncur begitu saja dengan isi kepala penuh. Komentar Aya masih terngiang-ngiang di benaknya.

"Am, ini beneran udah ikut takaran? Bubuk perasaannya sama sekali nggak terasa!" Aya mengerutkan dahi saat mencicip bumbu balado yang dibuat Am. "Coba kamu tambahin lagi?"

Satu jumput. Dua jumput. Komentar Aya masih sama. "Efeknya ada, tapi nggak sesuai sama standar Dapur Ajaib. Am! Kamu masaknya nggak pakai hati, ya?"

Masak pakai hati. Masak pakai hati. Masak pakai hati itu bagaimana caranya? Am membuang napas dengan kasar. Padahal gadis itu sudah sungguh-sungguh dalam memasak. Teknik yang dipakai pun cara terbaik yang ia kuasai. Kalau dipadukan dengan bahan-bahan terbaik dari Dapur Ajaib, seharusnya sudah jadi masterpiece, kan?

"Untuk sementara, kamu kalau masak jumlah bubuk perasaannya ditambah 3-4 kali lipat, ya. Tapi kamu juga harus belajar lebih tulus dalam memasak, agar bubuk perasaan bisa bekerja maksimal!" Begitu ujar Aya saat mereka berganti sif dengan pekerja malam. "Felix tadi nggak bilang apa-apa tentang ini? Dasar, padahal anak itu sudah tahu standar Dapur Ajaib. Besok belajar masak lagi sama aku, deh. Datang jam enam ya besok!"

Semasa sekolah, Am selalu mendapat peringkat tertinggi untuk bidang citarasa. Bahkan, ia menjadi asisten dosen untuk mata kuliah Estetika Rasa. Hidangannya terasa nikmat, dan itu bukan hanya kata kedua orangtuanya. Kunci masakan enak itu terletak pada rasa dan tampilannya. Kenapa pula masakannya tidak masuk standar, kalau kata Aya? Hanya karena efek perasaan?

Oke, itu bukan "hanya". Am paham kalau keajaiban bubuk perasaan itu nilai jual utama dari Dapur Ajaib. Namun, sekali lagi, ia sudah melalui tes masak dan berhasil lolos, jadi seharusnya masakannya aman, kan?

"Am, awaaas!"

Nyaris. Nyaris sekali mobil yang melaju kencang menyerempet Am dan skuternya. Telat minggir sedetik saja, entah apa yang terjadi. Gadis itu termangu.

"Mikirin apa, sih?" Felix lari terengah-engah. "Mending aku aja yang nganterin kamu sampai rumah daripada kamu oleng gitu!"

"Kamu dari tadi ngejar aku lari-lari?" Dahi Am mengerut. "Ngapain ngikutin?"

Felix mendengus. "Pede banget. Rumah kita searah!"

"Oh, oke." Am manggut-manggut sebelum kembali menjalankan skuternya, meninggalkan Felix. Lelaki itu berdecak dan berlari lagi demi mengimbangi kecepatan Am.

"Am, kenapa sih dari tadi diem aja?" Felix berseru ketika kakinya tak lagi mampu mengimbangi kecepatan skuter teman perempuannya yang satu itu. "Kamu kesal sama Kak Aya? Atau sama aku?"

Am tidak menjawab. Ia terus melesat dengan kepala yang penuh dan hati yang berat. Seharusnya ia senang di hari pertamanya masuk tempat kerja impian, tapi kenapa dirinya malah tidak karuan?

Apakah masuk Dapur Ajaib tidak cukup untuk membuktikan kemahirannya?

2/4/23
1288 kata.
Dari tiga bab ini, menurut kamu Am anaknya gimana, sih?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro