Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

29: Masakan Penentuan

Hari ini, hari penentuan.

Am menyemprot banyak sekali cairan penenang di permukaan baju dan kamarnya. Walaupun gadis itu masih belum bisa merasakan dampaknya, setidaknya tindakan itu bisa memberikan efek placebo. Gadis itu mematut dirinya sendiri di depan kaca, dengan tas PVC berisi seragam kerja dan celemek merah marun. Ia menatap wajahnya yang digelayuti gelisah.

Apakah hari ini ia akan berhasil?

Celemek yang ada di tangan Am seakan meminta untuk dipakai segera setelah seminggu menganggur. Gadis itu sudah menuruti saran orang-orang untuk beristirahat di hari Minggu-lebih tepatnya, tidak menyentuh dapur karena mendadak Felix dan Ansel sudah berada di depan pintu rumahnya, mengajak Am jalan-jalan keliling kota dengan mobil sewaan entah dari mana. Cairan penenang itu kado dari Ansel, bersama dengan gelang rose gold berliontin semanggi daun empat yang kini melingkar di tangannya.

"Biar bisa lebih tenang," katanya.

Mengingat hal itu membuat wajah Am merah padam. Buru-buru ia menghapus sosok Ansel dari benaknya, demi kesehatan jantungnya. Setelah puas melihat bayangan dirinya sendiri, Am keluar kamar dan menemui orangtuanya yang sedang bercengkrama di teras depan.

"Sudah mau berangkat kerja lagi, Nak?" Mama mendongak. Am mengangguk. Tangan Mama meraih puncak kepala si gadis, memberikan usapan lembut di sana.

Papa Am menatap putrinya dengan pandangan campur aduk. "Keputusanmu sudah bulat, Nak?"

Gadis itu mengangguk mantap.

Lelaki paruh baya itu tak mengatakan apa-apa lagi. Beliau hanya melambaikan tangan dan sama sekali tak berpaling arah pantau matanya hingga Am meninggalkan rumah dengan skuter pink kesayangannya.

Am bukan tipe orang yang mendengarkan musik ataupun suka menyanyi, tapi rasanya ia ingin bersenandung untuk mengalihkan panik yang menjalari hati. Ia berdendang dengan nada asal, melintasi jalanan yang sudah mulai ramai oleh anak-anak yang berangkat sekolah.

Sebuah motor mendekati Am yang sedang mengemudikan skuternya di pinggir jalan. Sosok dengan helm yang menjadi pengemudi itu menaikkan visornya. Ansel.

"Wah, gelangnya dipakai!" Ansel tersenyum. "Tuh, kan, benar. Gelang itu cocok untukmu."

Rasanya, Am ingin menghindar. Jantungnya serasa akan meledak dan itu bukan hal yang bagus pagi ini. Ia bingung bagaimana merespon Ansel, karena malu sudah menguasai sekujur tubuh. Namun, di saat yang sama, senyumnya tak bisa ditahan.

"Terima kasih," gumam Am pelan. Sangat pelan hingga rasanya lebih cocok disebut berbisik.

"Anu ... itu rantainya bisa diatur panjangnya. Nanti, saat memasak kamu jadikan kalung saja agar tanganmu tetap steril." Sekilas, Am bisa melihat kalau lelaki dengan postur bidang itu juga tersipu. "Sampai jumpa di Dapur Ajaib!"

Motor Ansel langsung melesat maju, meninggalkan Am dan skuternya. Lucu sekali lelaki itu. Tanpa sadar senyum terbit di wajah Am. Namun, ini bukan waktunya salah tingkah. Gadis itu mengecek jam di pergelangan tangan. Sudah mau jam tujuh. Ia harus bergegas!

Doa Am hanya satu: ia berhasil. Demi semua orang yang sudah mendukungnya, juga untuk dirinya sendiri.

Bos tiba di Dapur Ajaib jam sembilan pagi. Beliau masuk ke dapur, membuat suasana hening seketika.

"Selamat pagi, Amilya." Suara beliau yang berat memenuhi ruangan. "Pesan dari saya sudah disampaikan oleh Aya, ya?"

Yang dipanggil mengangguk dan menunduk dalam-dalam setelahnya.

Sosok paruh baya itu mengeluarkan kursi portabel dari dalam tas dan memasangnya di pojokan dekat rak kristal perasaan. Mata Bos menatap datar para juru masak yang ada di ruangan itu. "Saya tunggu di sini. Silakan mulai memasak."

Tanpa tedeng aling-aling. Tak ada basa-basi. Mendadak Am merinding sendiri, kegagalan membayangi kepalanya. Walau Bos hanya duduk dan tidak melakukan apa-apa, hawa mengintimidasi yang menguar dari sosok beliau sudah cukup untuk membuat Am ngeri.

Ansel, yang tengah menyiapkan bahan-bahan untuk sop bening, sedikit merunduk demi menyejajarkan diri dengan Am yang jauh lebih mungil darinya. "Semangat, kamu pasti bisa," bisiknya.

Wajah Am jadi hangat. Di saat yang sama, kehangatan itu juga mengaliri hatinya, sedikit mengikis rasa gugup yang mendominasi diri. Ia pun memulai prosesi pembuatan tumpeng mininya. Selama proses pembuatannya, entah sudah berapa kali Am merapal doa dalam hati.

Singkat cerita, makanan siap disajikan beberapa waktu kemudian. Sudah hampir masuk jam makan siang. Am menyajikan piring kecil berisi tumpeng nasi kuning mini yang sudah ditaburi bubuk pembuat hati bahagia di atas meja panjang yang ada di tengah-tengah area dapur. Bos menatap sajian itu dengan ekspresi yang sulit untuk diterjemahkan.

"Kamu yakin, menu seperti ini bisa dibuat menjadi menu khusus yang dibawa pulang?" Bos menatap Am tajam.

Am diam saja. Sebenarnya ia sudah menyiapkan jawaban untuk pertanyaan semacam ini, nyalinya ciut. Rasanya anak itu ingin menghilang saja saat Bos mulai menyendok puncak nasi kuning dan telur dadar iris. Tak ada komentar apa-apa hingga beberapa menit kemudian.

Gadis itu meringis. Ia sudah memastikan tak ada yang salah di masakannya kali ini. Bumbunya pun sudah dibubuhkan secara proporsional. Dan sesuai saran Aya, ia membayangkan seseorang yang ia cintai saat memasak hidangan itu. Apakah ada yang kurang hingga Bos tak berkomentar apa-apa?

Felix mendekati Am dan menggenggam tangan mungil gadis itu dengan jemarinya yang besar.

"Dingin amat, tangan apa es?" Felix berbisik agar Bos tidak mendengar celetukannya. "Tenang aja, Am. Aku yakin seratus persen Bos cuma ngetes, kok. Aslinya mah beliau maunya kamu tetap lanjut!"

Mata bulan sabit milik Am mendelik. "Keyakinan dari mana itu?" Si gadis mendesis, bicara dengan nada yang sama rendahnya.

"Aih, dasar kamu. Orang lain percaya sama kamu, dirinya sendiri malah nggak percaya." Felix geleng-geleng, berlagak seakan dia adalah orang paling bijak di ruangan ini. "Ke mana Am yang begitu pede dengan dirinya sendiri?"

"Diam kau," gerutu Am lirih.

Bos sudah menandaskan hidangan yang Am buat, tapi masih tidak ada sepatah kata pun yang meluncur dari beliau.

Apakah ada yang salah dari masakan Am? Gadis itu melirik orang lain yang ada di dapur. Tidak ada yang berani angkat bicara juga. Suasana ruangan jadi mencekam. Dalam hati, Am menjerit. Tak adakah yang ingin memecah keheningan ganjil ini? Suaranya serasa tersangkut di tenggorokan.

Am melirik Bos yang kini duduk rapi dan memasang ekspresi datar. Setidaknya, tolong beritahu aku jika memang aku tidak bisa melanjutkan karir di sini! Ia mengerang dalam hati.

"Um, Bos? Apakah ada yang kurang berkenan dari masakan Am?"

Hati Am bersorak. Syukurlah, Aya buka suara!

"Apa yang kamu bayangkan ketika memasak ini?" Akhirnya suara Bos keluar. Ayolah, Am, kamu sudah bersiap! Ini pertanyaan yang masuk daftar perkiraan interogasi versi Am. Gadis itu langsung menjelaskan proses berpikirnya hingga ide tumpeng mini itu tercetus. Tentu saja, Am juga menjelaskan kalau makanan itu adalah makanan yang cocok dengan selera penduduk Kota Harapan selaku pelanggan mayoritas. Sebisa mungkin, Am menunjukkan sisi mindful-nya dalam pembuatan masakan.

"Oh, begitu." Bos mengangguk-angguk, tapi wajahnya tidak tampak puas sama sekali. "Kamu yakin masakan ini cocok untuk saya?"

Respon Bos sungguh di luar dugaan. Am sudah menyiapkan hati apabila yang dikomentari adalah rasa masakan, penampilan, maupun ketulusan perasaannya, tapi kenapa Bos bertanya seperti itu? "Tentu saja!"

"Kenapa?"

Gadis itu meneguk ludah. Tidakkah penjelasannya yang sepanjang kereta api sudah cukup untuk menjawab hal itu? "Karena menu ini saya buat dengan mempertimbangkan kesukaan pelanggan ...?"

"Memangnya kamu tahu saya suka apa?"

Mana kutahu? Di batinnya, Am menjerit. Anda, kan, cuma bilang kalau saya perlu bikin masakan yang bisa jadi menu spesial dan cocok untuk semua orang!

Mata Bos yang memancarkan aura intimidasi itu mendelik. "Sebelum masak, kamu sama sekali tidak bertanya apapun tentang saya. Untungnya, tidak ada bahan yang memicu alergi." Beliau mengubah posisi duduknya dan bersedekap, membuat Am makin ingin menciut saja. "Padahal, poin menu spesial itu, walaupun menunya sama, isinya harus disesuaikan dengan kebutuhan dan selera pelanggan."

"Ma-maaf," gumam Am. Hanya gumaman, karena nyalinya sudah benar-benar habis.

Sosok itu menatap Am tajam. "Kata Aya, kamu dan Ansel sudah beberapa kali melayani pelanggan spesial. Apa kamu tidak menganggap saya pelanggan, hingga merasa tidak perlu bertanya apapun tentang saya sebelum memasak?"

Kalau Am boleh menghilang sekarang juga, sudah pasti akan Am lakukan. Cara Bos menyampaikan pendapatnya, suasana tempat yang mencekam ... Am ingin kabur!

Bos mendengkus, tampak bosan. "Satu lagi. Meski bubuk perasaan berefek pada semua orang, kerjanya paling kuat jika hidangan itu dimakan orang yang memang kamu tuju." Alis beliau terangkat. "Dari situ saja, saya sudah tahu kalau kamu membuat masakan ini tanpa memikirkan saya dengan benar, Amilya."

Apa benar-benar tidak ada hal yang bisa diapresiasi dari hidangan yang Am buat? Gadis itu meringis melihat wadah makanan yang sudah tandas isinya. Kalau Bos menghabiskan semuanya, berarti seharusnya makanan itu cocok, kan? Namun, kenapa sejak tadi hanya rasa tidak puas yang Am tangkap dari Bos?

"Saya mengapresiasi rasa dan kesungguhan yang kamu berikan, walau banyak yang harus ditinjau jika menu ini resmi menjadi menu spesial." Bibir Bos tersungging, begitu tipis hingga nyaris tak terlihat. "Untuk kedepannya, tolong lebih perhatikan pelanggan dan masalah mereka dengan sungguh-sungguh, ya, Amilya."

Begitu saja, Bos melipat kembali kursinya dan berlalu. Beliau meninggalkan dapur dalam suasana yang masih tegang.

Lutut Am terasa seperti agar-agar. Gadis itu merosot ke lantai. "Jadi, gimana ...?"

Aya berjongkok, menepuk bahu Am yang sedikit gemetaran. Senyumnya begitu lebar. "Itu artinya berhasil, Am. Selamat, ya!"

"Bagian mana yang menyatakan aku berhasil ...?"

"Bos itu tidak suka pakai kalimat yang terlalu lugas." Aya terkekeh. Ia bangkit dan mengulurkan tangan. "Ayo, berdiri! Seragammu kotor, tuh, kena lantai!"

"Ah, iya, maaf!" Am menyambut tangan kepala dapurnya, lalu berdiri. Mata bulan sabitnya berkaca-kaca. "Jadi, masakanku ...?"

"Ingat-ingat saja wejangan Bos tadi." Gadis berambut biru itu tersenyum kalem. "Kebetulan, sudah mau jam makan siang. Bagaimana kalau kita makan siang bersama dengan hasil masakanmu?"

Felix langsung merangkul tubuh mungil sahabatnya yang satu itu. "Tuh, kan? Kubilang juga apa!"

Tangan Felix yang besarnya nyaris dua kali lipat lengan Am membuat yang dipeluk megap-megap. Am protes, berusaha meloloskan diri dari rengkuhan si lelaki berambut pirang. Gadis itu menoleh dan bertemu pandang dengan Ansel. Senyum muncul di wajah Ansel yang tampak tenang-menenangkan.

"Good job, Am." Ansel menyungging bibir, senyuman paling manis yang pernah Am lihat dari lelaki itu.

Pipi Am langsung merah.


10/06/2023
1615 kata.

SATU BAB LAGI DAN INI AKAN TAMAT!!!! 😭✨

Jangan mager ya @ izaddina plis I beg u 👊😭

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro