28: Hari Penuh Salah Tingkah
Hari kedua percobaan memasak. Ansel serius ketika menawarkan apartemennya sebagai tempat Am berkunjung.
“Dinamika hubungan kalian sungguh mencengangkan.” Felix geleng-geleng kepala, mengomentari Am yang tengah menata bahan-bahan di dapur Ansel. “Beberapa hari lalu, kalian bermusuhan. Sekarang, kalian ada di satu atap?”
Am melempar sesiung bawang putih ke arah Felix. “Jangan menyatakan sesuatu yang bisa bikin orang salah paham gitu, dong!”
Felix menghindari lemparan itu dengan lihai, lantas terkekeh. Suaranya yang berat itu menggelegar di penjuru apartemen Ansel.
Untuk ukuran orang yang tinggal sendiri, apartemen Ansel cukup besar. Bukan tipe apartemen studio yang semua ruang jadi satu, melainkan apartemen 1LDK—one living dining kitchen. Sederhananya, kamar tidurnya terpisah oleh tembok. Satu-satunya bagian yang terlihat penuh di tempat tinggal lelaki berambut coklat madu itu hanyalah dapur.
Saat ini, Felix dan Juan duduk di sofa, sedangkan Aya bertopang dagu di meja pantry berbentuk L yang menyatu dengan area dapur. Gadis berambut biru itu geleng-geleng kepala melihat kelakuan anak buahnya. "Sayang bawangnya, tau, Am."
"Dia sih, Kak, cari masalah!" Am menggerutu. Ia mengikat rambutnya yang hanya sedikit di bawah telinga, membuat lapisan merah muda di balik rambut hitamnya terlihat. “Omong-omong, kalian semua kenapa pada ngikut kemari, sih, jadinya?”
“Oh, jadi kamu maunya berdua aja sama Ansel?” goda Felix. “Ya ampun, cukup tau, deh. Padahal aku sahabatmu dari kecil, lho. Parah banget ih.”
Gadis itu mendengkus. “Nggak gitu ya, Bambang!”
Ansel geleng-geleng kepala melihat keributan yang terjadi dalam apartemennya. Ia menakar beras yang akan digunakan untuk membuat lima porsi tumpeng mini. Tak lupa juga ia mengecek kristal perasaan yang dibawanya dari Dapur Ajaib, memastikan bahwa perasaannya sesuai dengan yang Am inginkan. Setelahnya, lelaki jangkung itu menepuk bahu Am.
“Bahannya sudah aman semua ya, Am. Kalau ada apa-apa dengan alat masaknya langsung bilang aja, aku duduk bareng Kak Aya di pantry.”
“Eh? I-iya.” Wajah Am merona. “Terima kasih, Ansel.”
Am memulai kegiatan masak-memasaknya. Kali ini dia berusaha ekstra teliti agar kejadian yang kemarin tidak terulang. Mulai dari menanak nasi, membuat cairan kuningnya, menambahkan bubuk bahagia, hingga membuat lauk-pauknya. Semua ia kerjakan sendirian, empat orang lain yang seruangan dengannya sibuk mengobrol. Bukan karena tak ingin membantu, tapi memang Am sudah melarang keras dan bilang kalau ia harus memasaknya sendiri agar terasa seperti sinulasi untuk hari Senin nanti.
Ternyata, jarak usia Juan dan para koki Dapur Ajaib tidak begitu jauh berbeda. Dua lelaki itu—Felix dan Juan—sedang bertarung dalam game di ponsel mereka. Sementara itu, Ansel tidak beranjak dari tempat duduknya. Mata birunya yang jernih itu selalu melihat ke arah yang sama.
“Sejak kapan?” Tahu-tahu Aya mengambil posisi di samping Ansel. Lelaki itu terlonjak, kaget dengan kehadiran seniornya yang tiba-tiba. Ansel mengerutkan dahi mendengar pertanyaan Aya.
“Apanya yang sejak kapan?”
“Kamu suka sama Am.”
Ansel langsung terbatuk mendengarnya. Aya cekikikan. “Bisa salting juga, toh?”
“Aku nggak suka sama Am.” Ekspresi Ansel datar, tapi mata Aya menangkap senyum tertahan di dalam tatapan lelaki yang punya raut wajah lembut itu. Sebagai tanggapan, gadis itu hanya mengangkat alis dan memasang muka sangsi.
Pada akhirnya, Aya tak bisa dibohongi. Bagaimana bisa Ansel mau berkilah kalau matanya seakan terpaku pada sosok gadis mungil berkulit coklat kemerahan yang tengah memasak di dapurnya? Aya tersenyum jahil. “Kalau tidak suka, kenapa dilihat terus?”
Skakmat. Ansel tak bisa mengelak karena Aya menangkapnya basah. Pria itu memberi isyarat dengan telunjuk di depan bibir agar si gadis menurunkan volume suaranya. Jangan sampai Am yang sedang asyik mengaron nasi itu sadar akan pembicaraan mereka.
“Aku nggak tahu, Kak, sebenarnya,” bisik Ansel.
“Tidak tahu apa?”
“Perasaanku.”
Aya geleng-geleng kepala. “Semua orang kalau melihat tatapanmu barusan juga pasti langsung bisa menebak, sih. Perlakuanmu juga kentara banget. Kamu sudah ada rasa sejak masih pacaran sama mantanmu, ya?”
Si lelaki terdiam. Lalu menggeleng. “Aku bukan laki-laki brengsek, Kak. Lagipula, selama ini aku hanya merasa ingin membantu Am.”
“Pertengkaran kalian itu menunjukkan hubungan yang sudah lama tidak sehat, tau.” Mendadak Aya berlagak seperti konsultan percintaan. “Kamu dan mantanmu, maksudku. Orang macam apa yang cemburu sama rekan kerja pacarnya—walaupun dalam kasusmu, sepertinya dia memang sudah bisa menangkap radar perasaanmu yang berpindah. Dari caramu menghadapinya, itu bukan pertikaian yang pertama kali, kan?”
Jujur, Ansel bingung harus menanggapi bagaimana. Kalau dijawab, itu artinya ia membuka aib Zee. Walaupun hubungan mereka tidak selesai dengan cara yang baik, Ansel bukan tipe manusia yang akan menjelek-jelekkan orang lain, separah apapun mereka. Selain itu, pertanyaan Aya membuatnya bergeming.
Sejak kapan ia mulai peduli pada gadis mungil penghuni dapurnya yang hobinya marah-marah itu?
“Sepertinya juniorku yang satu ini butuh bantuan Aya si cupid untuk menyadari perasaannya.” Aya tersenyum lebar. “Tidak apa-apa, Ansel. Walaupun dia sering sensi sama kamu, dia gadis yang baik, kok. Pekerja keras juga, totalitas pula. Wajar kamu suka dia.”
Kepala Ansel menggeleng. “Aku merasa nggak suka dia yang seperti itu, Kak. Serius, deh.”
“Oh ya?” Gadis itu menahan senyum melihat semburat merah di pipi Ansel. “Memangnya kamu mau kalau tiba-tiba dia jadian sama Felix atau Juan?”
Rahang lelaki itu mengeras. Hati Ansel tersentil. Ia langsung mengeluarkan kata-kata defensif. “Dia pernah bilang sendiri, kok, kalau hubungannya sama Felix itu platonik!"
“Memangnya hubungan platonik tidak bisa berubah jadi romansa?”
Ansel membisu, membayangkan Felix dan Am sebagai sepasang kekasih. Bukan angan-angan yang menyenangkan. Lelaki itu langsung memejamkan mata dan berusaha mengenyahkan bayangan yang ia buat sendiri.
“Tuh kan, wajahmu tidak ada ikhlas-ikhlasnya!” Aya menutup mulutnya dengan tangan, berusaha menahan diri dari tawa lepas yang sudah siap menyembur. “Saran dari aku yang sudah makan asam-garam percintaan ini, sih, jangan denial, ya. Dapur Ajaib tidak masalah kok dengan staf yang jadi kekasih, asalkan tetap profesional. Kalian kan sudah sering kerja bareng walaupun musuhan, jadi harusnya bisa kerja sebagai pasangan!”
Lelaki itu tak lagi menanggapi seniornya. Ia menyandarkan kepalanya ke permukaan meja. Mata biru laut Ansel mengintip Am yang sedang menggoreng ayam dari balik tangannya yang menelungkup. Wajah mungil gadis itu tampak begitu serius, tapi juga manis di saat bersamaan.
Padahal Ansel sudah biasa melihat Am memasak di dapur, tapi kenapa kali ini jantungnya berdebar tak karuan?
“Ansel?” Tiba-tiba Am menoleh ke arah meja pantry. Refleks, Ansel pura-pura tidur. Takut tertangkap basah. Gadis itu menghela napas dan melihat Aya yang senyum-senyum sendiri. “Yah, tidur ya dia, Kak? Mau tanya ini bumbu-bumbunya mau ditaruh mana yang sudah selesai dipakai!”
“Biarkan saja, Am. Kan itu dapurnya Ansel. Biar dia sendiri yang beres-beres.” Aya menyengir. “Sudah mau selesai? Ada yang perlu dibantu?”
Am menggeleng seraya mengangkat nampan berisi nasi tumpeng ukuran sedang. “Nggak usah repot-repot, Kak Aya. Mau makan di mana ini?”
“Weh, udah jadi?” Felix mendongak setelah tenggelam dalam permainan ponselnya. “Bentar ya, dikit lagi. Mau gacha dulu!”
“Dikit lagi, dikit lagi. Nyawamu dikit lagi!” gerutu Am. Tubuh mungilnya tampak semakin mungil dengan nasi tumpeng yang menggunung di tangannya. Saat melewati sisi Ansel, gadis itu mendecak pelan dan menggumam tentang betapa berat nampan yang ia bawa.
Telinga Ansel langsung tegak. Lelaki itu langsung bangkit dari tidur pura-puranya dan berbalik badan, lalu mengambil nampan itu dari tangan Am. “Aku aja yang bawa!”
Gadis itu bengong, tangannya tiba-tiba kosong. Ia mengernyitkan dahi. “Kukira tadi kamu tidur?”
Ansel tidak menggubris. Cowok dengan penampakan bule itu tiba-tiba jadi seksi sibuk yang mengambil lima piring segera setelah meletakkan nampan di meja tamu. Aya menahan tawanya, sedangkan Felix bingung dengan kelakuan rekan kerjanya yang satu itu.
“Semangat betul, Bro? Ngeri piringnya pecah, oi!” Felix geleng-geleng kepala saat Ansel menaruh piring terlalu keras—lebih mirip membanting, sejujurnya. Ansel tidak peduli, ia mulai membagikan piring ke semua orang.
Aya terkikik. “Tuan rumah yang baik, ya.” Gadis itu tersenyum penuh arti, lantas menyikut Am yang masih bengong. “Iya kan, Am?”
Yang disikut tergagap. Mata Am mengerjap. “Eh, iya. Makasih, Ansel.”
Mendengar itu, muka Ansel merah padam. Demi menutupi salah tingkahnya, ia langsung mempersilakan semua orang untuk duduk lesehan di bawah—terlalu bersemangat. Felix menatapnya heran, Juan tidak berkomentar apa-apa, Aya tak bisa berhenti tertawa, dan Am tersenyum tipis, tipis sekali.
Semua orang mengambil bagian nasi masing-masing. Syukurlah, rasanya aman sejauh ini, pun tak ada yang protes mengenai hal itu. Dan melihat senyuman di wajah mereka, Am rasa bubuknya bekerja dengan baik. Kualitas kristal perasaan yang murni memang berbeda.
“Enak,” komentar Aya. “Siapa yang kamu bayangkan saat memasak ini?”
“Eh?” Am menoleh ke arah si penanya.
“Rasanya penuh cinta.” Aya tersenyum simpul. “Aku belum pernah mencoba masakanmu yang seperti ini di dapur sebelumnya.”
Juan, satu-satunya manusia yang bukan koki di sana, mengangkat alis. “Memang enak, sih. Tapi, bagaimana cara kita mengetahui apakah masakan ini dimasak penuh cinta atau tidak?”
Gadis keturunan Jepang itu meletakkan piring dan menggambarkan sesuatu yang besar melalui gestur tangan. “Coba bayangkan masakan yang bikin hati berbunga-bunga. Atau, kita merasa seperti sedang kasmaran setelah makan itu. Experience tiap orang berbeda, tapi intinya, di saat kamu bisa merasa makanan itu dibuat dengan penuh kesungguhan, seharusnya ia dibuat dengan cinta juga.”
Lelaki itu manggut-manggut saja. Cara Aya mendeskripsikan hal itu terdengar begitu filosofis, penuh metafora, dan tidak masuk di otaknya. Ia hanya tahu makanan ini enak, gurihnya pas, dan ia merasa lebih bersemangat setelahnya.
Dari ujung mata, Am melirik Ansel. Lelaki itu tampak begitu menikmati suap demi suap makanannya. Mata biru lautnya berkilauan terkena cahaya matahari yang menyusup ke dalam ruangan. Kenapa bisa ada manusia dengan fitur wajah seindah itu? Am baru sadar kalau hidung Ansel begitu mancung, dan senyumnya begitu manis.
Tatapan mereka bertemu. Am buru-buru mengalihkan pandangan.
“Ih, pertanyaanku belum dijawab!” Aya merengut. Ia mengguncang-guncang lengan Am. “Kamu bayangin siapa pas masak ini?”
Am menatap Aya. Wajah Ansel muncul dalam benaknya, tapi langsung dihapusnya kelebatan sosok itu. “Rahasia, Kak.”
“Males banget, mainnya rahasia,” gerutu Aya. Gadis itu mendelik. “Nanti, pas bikin buat Bos, bayangkan orang yang sama, ya. Biar Bos luluh.”
Yang diberi wejangan mengiyakan. Mereka pun lanjut mengobrol, mulai dari mengulas rasa nasi dan lauk buatan Am satu per satu hingga makanan paling aneh yang pernah mereka coba. Perbincangan itu begitu seru hingga mereka tak sadar matahari sudah mulai tergelincir.
“Waktunya kerja, Teman-teman!” Aya bertepuk tangan. “Terima kasih atas hidangannya, ya, Am. Besok istirahat aja, oke? Biar tangannya nggak sakit duluan!”
“Terima kasih, Kak Aya. Terima kasih, semuanya.” Gadis mungil itu menunduk dalam-dalam.
Semuanya berkemas. Saat keluar dari apartemen, Felix sedikit menunduk dan berbisik pada Am. “Kamu naksir, ya, sama Ansel?”
Refleks, Am memukul bahu Felix hingga berbunyi. Tentu saja si lelaki langsung meringis. Anak itu misuh-misuh sambil menoyor kepala Am.
“Saltingnya kenapa pakai kekerasan fisik, sih?” Felix mendengkus. “Berarti benar, ya? Kamu suka—”
“Mulutmu nggak bisa, ya, nggak ngeselin sehari aja?” gerutu Am. Tangannya membekap mulut Felix. Gadis itu mendesis. Dia saja belum yakin dengan perasaannya sendiri, bisa-bisanya Felix main ambil keputusan seperti itu!
Aya, yang ada di belakang, tersenyum penuh arti. “Sepertinya dalam waktu dekat akan ada yang jadian di dapur, deh.”
"Apa sih, Kak?" Am mendengkus. Walau begitu, wajahnya tak bisa berbohong. Rona wajahnya yang memerah tercetak jelas. Mata Am melirik ke belakang, menatap Ansel yang melambai dari ujung tangga. Tanpa sadar, bibirnya tersungging.
Sungguh pengalaman yang menyenangkan. Apakah Am bisa bermain lagi ke dapur Ansel setelah ini?
✨
5/6/2023
1852 kata
Aku merasa sangat terseok dalam menulis endingnya. However, semoga lekas tamat 🥹 tetap lanjutkan tulisanmu walau tak ada yang membaca. HAHAHAH.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro