Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

27: Insiden Tumpeng Mini

Hari pertama percobaan memasak.

Am mencari resep nasi tumpeng dan pusing sendiri. Setiap daerah punya varian nasi tumpeng yang berbeda, juga karakter rasa yang tentu tidak sama satu sama lain. Akhirnya, gadis itu memilih tumpeng nasi kuning. Selain variasi lauknya yang beraneka rupa dan bisa disesuaikan dengan kebutuhan, siapa yang tidak suka nasi kuning? Warnanya yang meriah bisa membantu untuk menggugah selera para penikmatnya.

Karena sungkan jika harus meminta kristal perasaan di Dapur Ajaib, Am harus rela merogoh kocek lebih dalam untuk membeli bubuk perasaan artifisial. Hanya untuk percobaan, jadi pakai perasaan yang tidak benar-benar murni pun tidak masalah seharusnya. Gadis itu juga belanja membeli bahan-bahan yang tak ada di rumahnya. Mama yang melihat anak gadisnya ribet sendiri di dapur datang menghampiri.

"Mau bikin apa, toh?" Mama berdiri di samping Am yang sedang mencuci beras putih. "Banyak banget bahan yang kamu beli."

"Tumpeng mini, Ma." Am meniriskan air. "Mau percobaan masak buat menu barunya Dapur Ajaib."

Dahi Mama mengerut. "Kenapa nggak di dapur mereka aja?"

Mana mungkin Am bilang kalau menu ini syarat agar ia bisa diterima kembali di sana? Bisa-bisa Mama langsung menyuruhnya untuk resign detik itu juga. "Dapurnya kan penuh, Ma. Jadi, Am coba latihan masak di rumah."

"Duit bahannya dari mereka?"

Demi tidak memperpanjang daftar pertanyaan Mama, Am hanya mengangguk mengiyakan. Selesai meniriskan beras dan beras ketan yang sudah dicuci, gadis itu menanak nasi ke dalam panci. Tidak terlalu matang, karena ia menggunakan teknik aron—merebus nasi hingga air meniris, kemudian diaduk dengan air panas sebelum dikukus kembali hingga matang. Seraya menunggu airnya tiris, Am memasak santan dengan helaian daun salam, kunyit bubuk, pandan, irisan serai, dan daun jeruk.

"Kenapa tidak dimasak di rice cooker saja?" Ternyata, Mama masih setia menunggui Am memasak dan bertanya-tanya.

"Nasinya beda, Ma. Yang ini perlu banyak sentuhan tangan dari Am," jawab gadis itu sembari menabur bubuk bahagia ke dalam santan. "Biar perasaannya benar-benar meresap, sebisa mungkin Am masak dengan penuh kehati-hatian. Lagipula, nasi yang ditanak dengan cara seperti ini hasilnya lebih sedap, kan, Ma?"

Mama mengangguk saja. Beliau pergi dari dapur setelah menepuk bahu putri semata wayangnya. "Berusahalah sebaik mungkin untuk dirimu sendiri, ya? Jangan terjebak di masa lalu lagi."

Am paham maksud mamanya. "Tenang aja, Ma. Kan, kemarin Am sudah jelasin panjang lebar."

Beliau menatap Am lekat-lekat, seakan ingin mengatakan sesuatu, tetapi urung. Mama hengkang dari dapur, bersamaan dengan santan yang mendidih. Setelah beras jadi setengah matang, Am mengeluarkannya dari panci dan memasukkannya ke dalam santan. Beras itu diaduk rata, kemudian didiamkan hingga santan meresap habis. Sembari menunggu santannya meresap, Am duduk di meja makan.

Kemampuan memasak Am tak perlu diragukan. Namun, tetap saja rasanya Am deg-degan. Bagaimana kalau ia gagal? Perasaannya saat ini cukup baik dan ia mengerahkan seluruh isi hatinya ke dalam masakan, tapi bagaimana kalau ternyata ia belum bisa mentransfer ketulusan itu ke sana?

"Nggak boleh ragu," Am berbisik pada dirinya sendiri. "Kamu bisa, kok!"

Nasi yang sudah menyerap santan dan berwarna kekuningan itu dikukus oleh Am. Ia pun menyiapkan lauk pendamping untuk tumpeng mini dan mencari tempatnya. Hasil jadi dari nasi yang Am masak cukup banyak, sehingga gadis itu menyiapkan dua wadah: untuk Juan dan anak-anak dapur. Untuk lauk pendamping, ia mengukir wortel, tomat, dan timun. Tak lupa juga telur dadar, perkedel, dan tempe kering yang selalu jadi pendamping favorit untuk nasi kuning.

"Kak Juan, kamu ada di kafe?" Am mengetik pesan sembari menunggu nasi agak dingin sebelum dicetak. "Hari ini aku mau antar makanan pertama untuk tester, kira-kira bisa jam berapa ya, Kak?"

Am melirik jam, lantas melotot. Sudah jam dua belas siang! Ia buru-buru menyelesaikan pekerjaannya, tidak sempat mencicipi nasinya. Seharusnya aman. Gadis itu menumpuk wadah plastik yang mirip wadah kue ulang tahun versi mini di atas wadah tumpeng yang lebih besar.

Nah, sekarang bagaimana caranya membawa makanan ini? Keranjang skuternya jelas tidak akan cukup!

Gadis itu mengecek dompet digitalnya. Mau tak mau, ia harus menyewa taksi daring. Namun, sayang uangnya. Pengeluarannya sudah cukup banyak untuk bahan-bahan percobaan dan gajinya baru turun pekan depan.

Sayangnya, Am tidak terpikirkan solusi yang lebih menguntungkan. Yah, mau bagaimana lagi? Dengan berat hati, ia memesan taksi daring dan berdoa agar pengeluarannya minggu ini bisa tergantikan.

"Hai, Kak Juan!" Am meletakkan tas berisi kotak nasi tumpeng di meja yang ada di dekat kasir. "Apa kabar?"

"Baik, baik!" Lelaki ceking itu memperhatikan tas besar yang dibawa Am. "Itu isinya apa? Kemarin katanya tumpeng mini?"

Perempuan dengan mata bulan sabit itu tersenyum seraya mengeluarkan kotak kecil milik Juan. "Buat kubawa ke toko, Kak."

Juan mengangguk paham. "Ini langsung ke Dapur Ajaib habis ini?"

Am mengangguk.

"Jalan kaki? Bawa-bawa nasi tumpeng segede gaban?"

"Nggak sebesar itu, kok. Mau gimana lagi?" Am mengangkat bahu, pasrah.

"Ih, jangan!" Lelaki itu bersedekap. "Aku antar naik motor, ya? Nanti aku izin ke Bos sebentar. Dekat juga ini tempatnya."

Wanita itu kontan menolak. "Aku nggak mau ngerepotin Kak Juan, lagipula kan Kak Juan masih kerja!"

"Kalau orang menawarkan bantuan itu nggak boleh ditolak, tau." Juan menyengir. Ia pergi ke meja barista dan bercakap-cakap sebentar, kemudian kembali lagi. "Tuh, teman aku juga nggak masalah, kok, ditinggal sebentar!"

Aduh. Am meringis, merasa tak enak hati. Rasanya dia jadi sangat merepotkan kalau seperti itu, tapi tak dapat dipungkiri ia juga enggan jalan kaki di bawah terik matahari membawa nasi tumpeng, walaupun jarak Kafe Rahasia dan Dapur Ajaib tak sejauh itu. Akhirnya gadis itu mengikuti Juan yang sudah berjalan lebih dulu ke parkiran.

Tidak ada percakapan di jalan. Hanya ucapan terima kasih ketika mereka berdua tiba di depan Dapur Ajaib. Am naik ke lantai dua, tidak mau ke dapur dulu karena tak ingin mengganggu konsentrasi orang-orang. Toh sebentar lagi waktu makan siang tiba, jadi harusnya mereka akan bertemu sebentar lagi.

"Loh, ada Am. Nasi tumpeng dari mana ini, kok cakep?" Ternyata, Aya yang pertama kali naik dan menyadari keberadaan gunung mini nasi kuning di sana. "Kamu ulang tahun?"

Am menggeleng.

"Terus, buat apa?" Gadis berambut biru itu terus menyerocos. "Cantik banget garnish-nya! Bikin sendiri?"

"Ya iyalah, Kak. Dia lagi latihan buat ketemu Bos." Felix menyahut dari balik punggung Aya. Ia mendekati Am. "Katanya tumpeng mini, kok gede?"

"Kan digabung," gerutu gadis itu. "Aku mau uji coba rasanya dulu. Bikin versi mininya, mah, pas udah pada cocok aja!"

Felix, Ansel, dan Aya duduk di atas tatami. Am membagikan piring kertas dengan perasaan campur aduk. Seharusnya masakannya enak, kan? Tidak ada bubuk perasaan yang salah masuk, kan? Gadis itu mengamati wajah ketiga orang yang ada di sekitarnya ketika mereka mulai menyendok nasi dan lauk.

"Kebelet nikah lu?" Dahi Felix mengerut. "Asin bener!"

"Serius keasinan?" Jantung Am rasanya seperti dibawa melesak ke dasar.

Felix menyodorkan sendok berisi nasi dan dadar suwir. "Nggak parah-parah banget, sih. Masih bisa dimakan, tapi asin. Memangnya kamu nggak nyicipin pas masak, apa?"

Am menggigit bibir setelah mencicipi masakannya sendiri. Memang asin. Berarti, nasi yang ia berikan ke Juan juga keasinan, dong? Gadis itu jadi merasa bersalah. Kenapa bisa ia melakukan kesalahan sefatal itu?

Wajah Aya berubah sendu setelah makanan bagiannya tandas. Wanita berambut biru itu berkaca-kaca matanya. "Kenapa aku tiba-tiba merasa gloomy, ya?"

Selain salah takaran garam, apakah Am juga salah memasukkan bubuk perasaan? Ia menatap Ansel dan Felix dengan pandangan panik. Syukurlah, kedua bujang itu tidak menunjukkan perubahan emosi yang berarti. Meski begitu, efek bubuk bahagia yang seharusnya muncul juga tidak terlihat.

"Aku curiga pas kamu masak kamu ada nyenggol sesuatu, deh." Felix mengerutkan dahi. "Soalnya seharian ini Kak Aya lagi mode girang dan nggak ada alasan buat sedih. Kenapa tiba-tiba jadi gloomy?"

"Kamu jangan pedas-pedas, dong, ngomongnya!" Aya merengek. "Aku tambah sedih, tau, dengernya. Masa kamu ngomong sejahat itu sama sahabatmu sendiri, sih?"

"Waduh, beneran kena ini." Felix mendengkus. "Sebentar, ya. Aku bawa Kak Aya ke bawah dulu untuk dinetralkan!"

Tangan Am mengepal. Bahu mungil gadis itu bergetar. Apakah ia memang tidak berbakat dengan urusan masakan berperasaan? Rasanya, ia sudah memasak dengan sungguh-sungguh dan teliti. Ia memang masih kesulitan untuk merasakan efek perasaan, tapi Am yakin seratus persen ia tidak memasukkan bumbu apapun dengan unsur kesedihan di dalamnya selama proses memasaknya. Am memang membeli bubuk kegelapan, tapi bubuk itu bukan untuk uji coba masakan. Apakah bubuk itu tak sengaja tercampur dengan bahan-bahan lain? Bagaimana ini?

Ansel tidak berkata apa-apa. Hanya tangannya yang menepuk lembut punggung Am sebagai bentuk usaha untuk menenangkan. Sementara itu, Am takut kalau Juan kenapa-kenapa. Ia buru-buru meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja dan mengirim pesan agar Juan tidak memakan tumpengnya.

"Kenapa?" Ternyata balasan dari Juan cukup cepat datangnya. "Aman, kok. Sedikit asin, tapi enak-enak saja. Tapi, ini memang tumpeng biasa, ya? Soalnya, aku sama temanku tidak merasakan apapun setelah makan tumpeng ini."

Di saat yang bersamaan, Am merasa lega sekaligus kecewa. Setidaknya tak ada hal aneh yang terjadi, tapi kalau tak terjadi apa-apa setelahnya, artinya ia belum berhasil mengolah bumbu bahagia dengan baik. Bisa saja karena kekuatan dan kualitas bumbu artifisial yang berbeda dengan kristal perasaan milik Dapur Ajaib. Meski begitu, kalau Am bisa memasaknya dengan penuh perasaan, harusnya tetap ada efeknya.

Air muka Am jadi keruh.

"Besok akhir pekan, kan? Bagaimana kalau ke apartemenku?" Tahu-tahu saja Ansel menawarkan ajakan.

"Hah?"

Lelaki itu berdeham, baru sadar kalimatnya terasa ambigu. "Itu ... untuk masak. Tentu saja bertiga. Bisa ajak Juan atau Felix, kalau kamu merasa lebih nyaman begitu ...."

Am terlalu terkejut untuk menanggapi. Ia sama sekali tak berkata-kata, tapi pipinya memanas. Canggung menggantung di udara. Untungnya, tak lama kemudian Felix naik bersama Aya. Kepala dapur yang sudah terbebas dari pengaruh kemurungan mengacak rambut Am, menenangkan anak buahnya yang satu itu.

"Jadi gimana, Am? Besok mau ke apartemenku?" Di saat begitu, Ansel malah mencoba mengkonfirmasi ulang kesediaan Am untuk pergi ke dapur apartemennya. Dua pasang mata langsung melotot mendengarnya.


27/05/2023
1625 kata.

Dina terpantau mleyot. PADAHAL DIKIT LAGIII YA ALLAH. Plislah wkwkkw T_T
Maaf yaa makin ke sini makin acfvhbwejfbdkvd. Semoga bisa tamat sebelum Juni (amin paling serius), soalnya Dina ingin coba peruntungan lomba HAHAHA.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro