Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

25: Sambal Jahe dan Rekonsiliasi

Hal pertama yang Am lakukan setelah bangun tidur adalah pergi ke dapur. Cuaca di Kota Harapan sedang dingin, begitu dingin hingga buku jari gadis itu terasa membeku. Ini hanya Am yang berlebihan, karena ia memang tak tahan dingin walau sudah tinggal di Kota Harapan yang ada di dataran tinggi sejak lahir, tapi tetap saja rasanya menyiksa. Sambil menyentuh leher dengan tangan kanannya, si perempuan mencari jahe di rak bumbu.

Suara yang ditimbulkan oleh tangan Am ternyata membuat Papa terbangun. Beliau keluar dari kamar seraya mengucek mata. "Kamu pagi-pagi mau ngapain, Nak?"

"Mau bikin minuman jahe, Pa. Dingin." Gigi Am bergemeletuk. "Papa mau?"

"Boleh. Terima kasih, ya." Papa duduk di meja makan, mengamati putrinya yang tengah menggeprek beberapa ruas jahe. "Nak, Papa kangen lihat kamu di dapur, deh. Papa mau minta tolong dibuatkan sambal jahe, boleh?”

Sejak Am diminta untuk cuti, gadis itu memang belum sekalipun menyentuh dapur. Baru hari ini dia mau menyentuh peralatan memasak lagi. Gadis itu mengambil beberapa ruas jahe lagi untuk diparut kulitnya, kemudian mengambil cabai dan bawang. Tak lupa ia merebus air dan merebus jahe yang telah dikepruk bersama potongan gula merah.

Mendadak, Am teringat dengan Ansel. Hari ini, Am ingin pergi ke Dapur Ajaib untuk memastikan beberapa hal. Sengaja tidak mengabari siapapun karena sebelum itu dirinya harus membuat kesepakatan dengan orangtuanya, tapi entah kenapa Ansel yang membuatkan makanan untuk meneguhkan hatinya jadi melintas di kepala.

Am menanak nasi dengan irisan daun jeruk dan santan, serta sedikit taburan garam. Sembari menunggu nasi matang, ia mencincang bawang bombay, bawang putih, cabai rawit, dan jahe dengan chopper.

Mama keluar dari kamar dan bergabung di meja makan. “Kamu masak apa, Nak?”

“Ayam goreng sambal jahe, Ma. Papa request,” ujar Am seraya mengeluarkan beberapa potong ayam ungkep dari kulkas. “Omong-omong, pagi ini Am mau ke Dapur Ajaib ya, Papa, Mama. Am mau mengusahakan agar kontrak kerja Am bisa dilanjutkan.”

Papa yang tengah menyesap minuman jahe buatan Am tersedak mendengarnya.

“Kamu nggak resign?” Mama mewakili keterkejutan Papa. “Bukannya kemarin kamu cerita kalau sempat diperlakukan tidak adil di sana?”

Bos memang tampak seperti tipe pimpinan yang tidak adil kalau dilihat dari kacamata Am. Namun, kalau mau ditelusuri ke belakang, memang sebetulnya Am membutuhkan cuti ini untuk menemukan kembali tujuan bekerja yang sebenarnya bagi dirinya, jadi Bos tidak sepenuhnya semena-mena. Gadis itu memanaskan minyak kelapa yang sudah menggenang di atas wajan. Selain panas dari kompor, Am juga merasakan tatapan panas dari kedua orangtuanya.

“Am sudah memikirkan hal itu juga, kok, Ma.” Gadis itu menyampaikan apa yang ada di pikirannya. Mama manggut-manggut walau dengan wajah yang masih ragu, sedangkan Papa mengeras rahangnya.

“Ini bukan cuma karena keinginan sahabatmu, kan, Nak?” Papa melihat Am dengan tatapan menyelidik.

Am menggeleng. “Am merasa akan berkembang juga kalau tetap mempertahankan diri untuk bekerja di sana. Rekan kerja Am punya kemampuan masak yang lebih baik, jadi Am bisa belajar dari sana.”

“Nak ….” Papa memanggil lagi. Am menoleh. Mata yang persis seperti milik Am versi lebih turun itu menatap sendu. “Keputusanmu sudah bulat?”

Gadis itu mengangguk mantap. “Kalau memang Am nanti studi di luar negeri, Am ingin menggunakan uang yang Am dapat dari kerja keras Am sendiri. Lagipula, untuk saat ini, Am masih ingin melihat wajah bahagia dari orang-orang yang Am buatkan masakan. Seperti Papa dan Mama.”

Papa menghela napas. “Sebenarnya, Papa hanya ingin kamu tidak terjebak di masa lalu lagi. Papa menyarankan untuk pergi ke luar negeri karena Papa merasa Am ingin berkembang lebih jauh lagi dan Papa masih mampu membiayai.”

“Am sudah dewasa, Pa. Am paham, kok, konsekuensi dari keputusan yang Am ambil.” Perempuan dengan bibir mungil itu tersenyum, berusaha membuat tentram hati papanya. “Am sudah membuat perhitungannya dan memastikan kalau apa yang dikhawatirkan Papa nggak terjadi. Am memang sayang sama Liz dan ingin mewujudkan mimpinya yang terakhir, tapi keputusan untuk mencoba mempertahankan ini murni inginnya Am.”

Lelaki paruh baya itu masih menatap putri semata wayangnya yang tengah menggoreng ayam dengan tatapan penuh kekhawatiran. “Keputusan ini sungguhan keinginanmu sendiri, kan, Nak?”

“Iya, Papa, Mama. Tenang aja, ya?”

Raut wajah Papa masih tampak enggan. Mama yang biasanya lebih banyak bicara pun diam, memberi kesempatan untuk Papa dan Am.

Akan tetapi, Papa hanya diam. Beliau baru angkat suara setelah Am mengangkat ayam goreng dari wajan dan menumis bahan-bahan untuk sambal jahe.

"Papa ikut kamu saja, lah."

Senyum Am mengembang. Ia menuangkan sambal yang sudah harum ke dalam piring saji. Tiba-tiba, ia kepikiran sesuatu. Am ingin membawakan bekal untuk Ansel sebagai tanda terima kasih. Ia menyisihkan sepotong ayam dan dua sendok sambal ke dalam kotak bekal.

Ansel bakal suka, nggak, ya?

Kenapa juga Am tiba-tiba kepikiran seperti itu? Am geleng-geleng kepala, berusaha mengenyahkan bayangan Ansel yang sedang tersenyum di benaknya. Tapi kepalang tanggung, kotak bekalnya sudah terisi. Gadis itu meraih ponselnya dan tahu-tahu saja menekan tombol telepon.

"Ansel, mau ayam goreng sambal jahe?"

Nada heran terdengar jelas dari ujung telepon. "Kenapa tiba-tiba?"

Kenapa, ya? Am juga tidak tahu jawabannya. Ia hanya merasakan dorongan yang kuat untuk membuatkan makanan itu. Kalau dipikir-pikir lagi, memang tawarannya itu terdengar mengherankan, apalagi dengan riwayat pertengkaran mereka selama ini. Mendadak, pipi dan kuping Am terasa panas.

"Am?"

"Anu, itu … balas budi! Ya, kemarin kan kamu ngasih aku gnocchi, dan hari ini aku kebanyakan masak ayam, jadi …."

Bohong banget. Padahal, Am sengaja melebihkan porsinya dan sudah siap diomeli Mama karena mengambil stok ayam lebih banyak. Namun, malah lebih aneh kalau dia jujur tentang hal itu, kan?

"Oh, begitu. Kebetulan aku belum sarapan," Ansel berkata dengan nada ringan. "Kapan aku bisa ambil ayamnya?"

"Se-sekarang boleh!" Am tergagap. "Eh, tapi kamu nggak masalah dengan makanan pedas? Aku baru ingat kamu sukanya makanan manis …. Tapi, sambalnya nggak terlalu banyak cabai kok, jadi harusnya kamu bisa makan—ah, aku ngomong apa, sih?"

Ansel terkekeh. "Tenang, aku masih orang sini, kok. Aku tahan pedas. Sebenarnya aku lebih kaget dengan fakta kamu masak buat aku, sih."

“Nggak boleh, kah?” Am menggerutu dengan nada judes. Walau begitu, wajahnya masih merah. “Kamu tunggu depan apartemenmu, sana!”

Gadis itu langsung menekan tombol matikan telepon setelahnya, tak ingin mendengar balasannya. Ia buru-buru mengemas kotak bekalnya dan buru-buru ke depan rumah.

Setibanya di depan, Am melihat Ansel dalam balutan kemeja putih, jaket panjang abu-abu dengan motif kotak-kotak, dan celana warna khaki.  Lelaki itu tersenyum melihat Am, dan seketika Am yang belum bersiap merasa sangat buluk di hadapan rekan kerjanya yang satu itu.

"Wah, masih hangat," puji Ansel saat tangannya menerima kotak bekal. "Wanginya enak!"

Am tersipu malu.

"Nanti aku makan di Dapur Ajaib, ya!" Ansel tersenyum. "Omong-omong, kapan kamu kembali bekerja?"

Oh, iya! Am belum cerita siapa-siapa tentang rencananya hari ini. Sudah dapat persetujuan dari orangtuanya, jadi gadis itu sudah bisa cerita. Ia pun menceritakan tentang apa yang ia pikirkan sejak semalam.

"Terima kasih, ya, Ansel. Masakan buatanmu berhasil membantuku untuk meyakinkan diri." Am memegang tengkuknya dan mengalihkan pandangan. "Aku … ingin bisa memasak seperti itu."

Senyuman Ansel semakin lebar mendengarnya. "Bisa, kok. Kita kan sudah sering membuat pesanan khusus bareng-bareng!"

Mata Am mengerjap. Entah bagaimana, detak jantungnya berubah tak beraturan. Rasanya senang, antusias, dan malu di saat yang bersamaan.

"Kamu mau ke Dapur Ajaib jam berapa?" Ansel bertanya. "Mau bareng?"

Am buru-buru menggeleng. Jantungnya tidak aman. Terlalu berbahaya. Lagipula, Ansel harus segera berangkat kerja, karena matahari sudah mulai muncul sepenuhnya. "Aku berangkat sendiri aja nggak apa, kok!"

"Oke!" Lagi-lagi lelaki itu menampilkan senyuman lembutnya. "Sampai jumpa, ya! Kalau ada yang bisa dibantu, bilang aja. Aku sangat menantikan untuk kembali bekerja bersamamu."

Hah? Apa maksudnya? Ansel sudah berbalik badan dan masuk ke dalam apartemen, meninggalkan Am yang sudah semerah tomat wajahnya.


30/04/23
1264 kata.

Iyaa. Emang lebih pendek dari biasanya. Ditulis di tengah2 liburan 🤣😭 Bab ini sekaligus menutup kebut-kebutan kata bulan ini. Chapter selanjutnya mungkin bakal lebih efektif dari segi kata, karena ku punya waktu lebih untuk proofread sebelum di-up 🙏

Tapi tapi, aku galau nih. Bulan depan sekalian namatin cerita ini apa pindah dulu ya buat namatin cerita satunya? 🙈 Komen plis andai ada yang baca 😭🤣

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro