Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

22: Gundah Gulana

Disclaimer: naskah bab kali ini benar-benar raw dan tidak di proofread karena ngantuk awkwwkkw. Maafkan atas typo dan istilah asing yang tidak dimiringkan, sehingga mengurangi kenyamanan membaca.

Am tidak ingat dengan mimpinya semalam. Yang ia rasakan hanyalah hampa dan tidur jauh dari kata tenang. Dari kegelapan yang pekat itu, ada yang mengguncang tubuhnya.

"Nak, kamu nggak kerja? Sudah mau jam tujuh, lho!" Itu Mama. "Ayo, kerja!"

"Aku disuruh cuti," Am mengigau. Tentu dalam kondisi tak sadar. Nyawanya baru terkumpul sepenuhnya karena jeritan mamanya yang histeris.

Sial, ia keceplosan.

Dengan kepala yang masih pusing karena dipaksa bertransisi ke dunia nyata, Am duduk di kasur. Sementara itu, Mama memelototinya begitu intens.

"Kamu disuruh cuti? Kenapa?"

Pagi-pagi diteriaki itu rasanya sungguh tidak nyaman, apalagi ketika nyawamu baru separuh. Am menggumam dengan kesadaran yang hilang sebagian. "Disuruh Bos belajar perasaan dulu ...."

"Disuruh cuti berapa lama?" Mama terus mencecar Am dengan pertanyaan. "Kok bisa? Bosmu kok seenaknya sendiri begitu, sih?"

Orang bangun tidur tentu saja hang diserbu begitu banyak pertanyaan. Am tidak menjawab, hanya berusaha menstabilkan diri seraya memproses ujaran-ujaran Mamanya. Ketika sepenuhnya sadar apa akan yang terjadi, barulah Am duduk tegak sempurna.

"Kemarin ada insiden, tapi aman kok, Ma." Am berusaha merangkai kata sehalus mungkin agar cutinya tidak terdengar mengenaskan. "Am diminta cuti seminggu untuk mengistirahatkan diri saja. Tidak apa-apa."

"Aneh, lah! Masa tiba-tiba kamu disuruh cuti?" Mama menggerutu. "Nggak beres itu! Mama nggak terima anak Mama diginiin. Sudah, kalau begitu caranya, mending kamu langsung resign aja!"

"Jangan, dong, Ma!" Mata Am melotot. Kepalanya langsung berdenyut karena nada tinggi yang ia gunakan. Ia memijat pelipisnya. "Ma, Am senang banget, kok, kerja di Dapur Ajaib. Am banyak belajar juga. Am yakin bisa jadi juru masak yang baik di sana. Jadi, jangan suruh Am untuk mengundurkan diri, please."

Raut muka Mama jauh dari kata setuju. Beliau berdecak. "Yah, nanti kita bicarakan lagi, ya. Tapi, kalau kamu mau mempertimbangkan apa yang ditawarkan Papa, Mama akan ikut senang."

Mama Am keluar dari kamar, meninggalkan Am yang baru saja terkumpul lengkap nyawanya.

Gadis itu menatap jam dinding. Jam segini, biasanya ia sudah di dapur dan melakukan persiapan untuk memasak. Apa yang harus ia lakukan seminggu ke depan? Hati Am terasa begitu hampa.

Am membuka tirai jendela dan menatap apapun yang terlihat di luar sana. Ada apartemen Ansel di seberang. Mendadak, Am jadi emosi lagi.

Sepertinya, hari ini ia akan tidur seharian saja. Mood-nya benar-benar hancur dan Am tidak tahu harus berbuat apa.

"Sudah biasa masak berempat, rasanya aneh, ya, lihat Kak Aya cewek sendiri di dapur," celetuk Felix seraya menghaluskan kentang rebus untuk adonan perkedel. "Ada yang kurang."

Ansel mengamini dalam hati. Sejujurnya, ia benar-benar merasa bersalah. Tadi pagi, saat berangkat kerja, ia sempat menunggu di pagar beberapa menit, lupa kalau Am sedang dalam masa cuti paksanya. Felix benar, rasanya aneh karena tak ada yang melempar tatapan sinis padanya. Tak ada teman untuk mendiskusikan pesanan khusus dan berdebat terkait teknik memasaknya. Tak ada yang memenuhi dapur dengan suara tinggi cemprengnya.

Bagi Ansel, rasanya aneh untuk berada di Dapur Ajaib tanpa keberadaan Am yang seperti itu.

"Aku mau mampir ke rumahnya, tapi pasti kalau ditemui sekarang dia bakal ngamuk-ngamuk." Felix terkekeh. "Enaknya kapan, ya?"

"Samperin aja. Kalau mau ke sana, aku ikut," Aya menyahut dari konter minuman. "Sejujurnya, aku juga khawatir dengan anak itu. Bos kalau soal kualitas memang tidak bisa didebat, tapi aku juga merasa bersalah karena kemarin tidak membelanya."

Sementara kedua orang itu saling bercakap, Ansel fokus mengiris-iris tempe. Tidak sepenuhnya bisa dibilang fokus sebenarnya, karena pikirannya melayang ke tempat lain. Am yang pertama kali berkenalan dengannya dan mengatainya punya privilege orang dalam—yang baru ia sadari benar adanya.

Am yang terpaksa bekerja sama dengannya, dan di luar dugaan, bisa menjadi rekan kerja yang sangat klop dengannya.

Wajah Am yang berbinar ketika memakan nasi kepal buatannya.

Mata Am yang begitu ceria ketika sudah berkutat di dapur.

Ekspresi Am yang terharu ketika berpisah dengan Anne saat itu.

Telinga Am yang dengan senang hati menyimak masalah cintanya walaupun anak itu kesal dengan keberadaannya.

Kenapa Ansel jadi terbayang-bayang begini? Lelaki itu teringat Zee yang tak membalas pesannya hingga detik ini. Ya, ia sudah punya pacar, dan Am hanya rekan kerjanya. Bukan porsinya untuk memikirkannya seintens ini. Ia menggeleng-gelengkan kepala, berharap Am enyah dari benaknya, tapi keberadaannya malah semakin kuat.

Benar, ini pasti karena merasa bersalah. Seusai mengiris tempe tipis-tipis dan memasukkannya dalam bumbu marinasi, Ansel mendekati Aya.

"Kak, apakah dengan cuti seminggu itu, Am tetap aman setelah ini?" Ansel bertanya pada Aya yang tengah membuat es teh penenang. "Am akan tetap bekerja di sini, kan?"

Aya mengangkat bahu. "Tergantung Bos. Aku di sini hanya kepala dapur."

"Apa nggak ada cara agar Am bisa kembali bekerja?"

Gadis berambut biru itu terkekeh. "Kamu kangen, kah, sama dia?"

"Nggak gitu!" Ansel langsung membantah, tapi semu merah tipis langsung muncul di wajahnya. "Aku merasa bersalah dengan Am, karena kejadian Zee kemarin ...."

"Oh ya, Zee." Aya meninggalkan minuman yang tengah ia buat, lantas mengajak Ansel untuk pergi ke rak kristal. "Kemarin, bayarannya langsung masuk setelah ia pergi dari warung. Warnanya merah pekat. Sepertinya dia memang semarah itu denganmu, Ansel."

Ansel menunduk, semakin merasa berdosa karena membawa keributan dalam tempat kerjanya.

"Oh, lalu juga ada sebutir perasaan ... posesif?" Aya mengambil kristal biru pekat yang besarnya hanya sedikit lebih kecil daripada kerikil. "Maaf, bukannya mau ikut campur, tapi kamu tahu, kan, pengaruh pertengkaran kalian sebesar apa? Kamu beruntung karena Bos menganggap itu faktor eksterna semata."

"Ya," Ansel mencicit. Ia sangat sadar akan kesalahan yang ia perbuat.

"Bagaimana hubunganmu dan Zee sekarang?" Aya meletakkan kristal itu pada tempatnya semula. "Masih ribut?"

Dengan wajah resah, Ansel menghela napas. "Sepertinya, kami akan putus."

Aya tidak berkomentar apa-apa lagi. Ia hanya menepuk bahu Ansel sebelum dirinya kembali bekerja.

Ansel tercenung. Apa yang bisa ia lakukan untuk menebus kesalahannya?

Malamnya, Ansel sengaja mengajak Felix ke Kafe Rahasia. Kedua lelaki dengan perawakan tinggi itu mengendarai kendaraannya masing-masing beriringan. Begitu tiba di sana, Ansel langsung memesan dua kopi susu untuk dirinya dan si lelaki berkulit coklat itu.

"Kenapa, Bro? Tumben?" Felix bertanya begitu pantat mereka mendarat di sofa. Mereka duduk di pojokan yang sangat jauh dari keramaian. "Berasa mau ngomongin misi rahasia, deh, kalau begini!"

"Am sukanya apa?" Ansel langsung bertanya tanpa tedeng aling-aling. Felix terbatuk mendengarnya.

"Wah, apa nih? Kamu beneran jatuh hati sama anak itu atau gimana?" Setelah batuknya mereda, Felix menatap Ansel dengan pandangan terheran. "Kenapa tiba-tiba peduli begitu?"

Ansel mendesah. "Aku merasa bersalah, Felix. Kalau ada cara untuk menebus kesalahanku, akan kulakukan."

"Memangnya, salahmu apa?" Felix mengangkat alis. "Yakin banget kalau kamu salah?"

Orang ini sungguhan tidak tahu atau hanya ingin menguji Ansel? "Keributan kemarin ...."

"Oh, kalau itu memang salahmu, sih." Felix terkekeh. "Tapi, emosi sepekat itu adalah akumulasi dari perasaan dalam dirinya sendiri. Perasaan seseorang itu ya tanggung jawabnya masing-masing. Kenapa jadi kamu yang merasa bersalah?"

Lelaki dengan rambut coklat madu itu menundukkan kepala. "Tapi, dia kesal karena kehadiranku sejak awal, kan?"

"Am emang sensian. Aku sih mikirnya momen ini bisa jadi momen buat menetralkan hatinya. Jadi, kamu nggak usah terlalu khawatir." Felix mengedikkan bahu. "Lagipula, skill masak kalian sama-sama dewa. Aku yakin Bos nggak akan semudah itu buat melepas Am, terlepas dari sikapnya kemarin."

Walau sudah dijelaskan seperti itu oleh sahabat dekat Am yang—menurut asumsi Ansel—mengerti gadis itu luar-dalam, tetap saja rasa gelisah tak kunjung enyah dari hati Ansel.

"Tapi serius, Bro. Kamu tertarik sama Am?" Kali ini gantian Ansel yang tersedak oleh minumannya sendiri saat mendengar pertanyaan Felix. Ia langsung melayangkan pelototan pada lelaki yang cengar-cengir di hadapannya.

Untung tidak ada CCTV di sini. Kalau ada yang iseng merekam pertanyaan Felix barusan dan mengirimkannya pada Zee, matilah ia. "Itu kesimpulan dari mana? Aku masih setia sama pacarku, hoi!"

Felix mendengkus. "Cewekmu posesif banget. Maaf, Ansel, tapi aku yang cowok aja ngeri lihatnya. Apalagi Kak Aya dan Am."

Untuk yang satu itu, Ansel tidak bisa menyangkal. Sekian tahu bersama Zee membuat Am paham kalau itu memang tabiat si perempuan untuk lebih waspada, tapi yang kemarin memang keterlaluan. Mau membela pun, Ansel tahu kalau di sini gadisnya yang salah, jadi ia hanya diam.

"Kamu mau daran percintaan dariku, nggak?" Alis Felix naik sebelah.

Kenapa pula orang ini mendadak ingin jadi konsultan percintaan untuk Ansel? Padahal, urusan Am-lah yang membawa mereka berdua ke sini. Ansel melempar tatapan bombastic side eye—alias mendelik sinis—pada Felix.

"Iya maaf, aku diem, deh." Felix terkekeh, lantas menyeruput kopinya. "Terkait Am, kurasa kalau kamu tiba-tiba muncul di hadapannya, dia bakal ngamuk besar, sih. Tapi, kalian juga perlu untuk saling confront. Jadi ... gimana ya enaknya?"

Ansel mendecak. "Ya nggak tahu. Itu sebabnya aku minta tolong ke kamu!"

"Weits, santai dong, Brodi. Kenapa jadi ketularan sensinya Am?" tawa Felix. "Aku tahu tempat yang nyaman untuk pembicaraan kalian berdua. Bertiga sih, aku wasit in case mendadak kalian gelut. Tinggal agendakan aja ini bisanya kapan."

Setelah itu hening. Ansel tak menanggapi. Ia menghidu jejak sisa wangi kopi yang masih mengambang di udara, mencoba meraup ketenangan sebanyak-banyaknya dari sana. Rasa bersalah masih membumbung tinggi memenuhi hatinya.

Apa yang bisa Ansel lakukan untuk meyakinkan Bos bahwa Am masih layak bekerja di Dapur Ajaib?

Tiba-tiba, Ansel teringat sesuatu. Bukan terkait pekerjaan sebenarnya, tapi mumpung sedang bicara empat mata dengan Felix, ia jadi merasakan urgensi untuk menanyakan hal itu.

"Felix."

"Ya?"

"Kamu sendiri ada perasaan, nggak, sama Am?"

Tawa langsung menyembur dari mulut Felix, hingga orang-orang yang berada di sekitar meja mereka menoleh. Felix masih tertawa lepas hingga nyaris semenit. Setelah tawanya reda, Felix bicara dengan wajah yang dibuat-buat datarnya. "Kesimpulan dari mana itu?"

Di mata Ansel, kedekatan dua orang itu sangat lebih dari sekadar sahabat. Atau mungkin penglihatannya saja yang menangkap Am dan Felix seakrab itu? Si lelaki menjentikkan jari di dagunya. "Karena kalian nyaris selalu bersama ...?"

"Ngaco, ah. Daripada melihat dia sebagai wanita, Am itu lebih seperti saudara sendiri. Persahabatan kami bukan tipe sahabat-jadi-cinta!" Felix tertawa lagi. "Kenapa? Beneran mau dicomblangin?"

"Aku sudah punya pacar, hoi!" Ansel menggerutu.

"Oh ya, maaf." Felix cengar-cengir. "Padahal cocok, lho. Coba kamu jomblo."

Mulut Felix ini kadang-kadang lemas sekali. Ansel jadi ingin mencubit—atau lebih tepatnya, menjepret—bibirnya. Tujuan utama dari pertemuan mereka belum tercapai, tapi pembahasan mereka sudah ke mana-mana. "Balik ke topik, ah! Apa yang bisa kulakukan untuk menebus rasa bersalah ini?"

"Kalau kamu menemui dia sekarang, yang ada kamu jadi sasaran empuk korban semprot," ujar Felix. "Sejujurnya, aku juga nggak bisa jawab. Sejak aku membuatnya marah beberapa saat lalu, ia sama sekali tak menceritakan apapun padaku. Maaf, ya, kalau tidak membantu."

Ansel menghela napas.

"Mukamu suntuk banget. Semoga masalahmu cepat selesai semuanya, ya." Felix bertutur dengan nada simpatik. "Ansel, sori, tapi kayaknya aku sudah disuruh pulang sama orang rumah, nih. Ponselku getar mulu dari tadi."

Felix bangkit dan meninggalkan Ansel yang tetap diam di tempat. Lelaki itu menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi.

Apa yang bisa Ansel lakukan? Kenapa ia jadi sekhawatir ini dalam benaknya, padahal anak itu sudah membuat Ansel sakit hati karena tuduhan orang dalam yang ia lontarkan pada hari pertama perjumpaan mereka?


20/4/23
1818 kata.

Selamat hari lebaran, maafkan lahir dan batin ~~
Apakah Dapur Ajaib bisa tamat bulan ini? Ketik 1 jika Anda yakin. Ketik 2 jika Anda tidak yakin. Awkwkwkwk. Honest judgement yh. Mkci. (Kumat alaynya)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro