21: Cuti Tiba-tiba
Akhir-akhir ini, semakin banyak komplain yang melayang ke Dapur Ajaib. Aya membuka-tutup laporan penjualan harian dengan frustasi. Penjualan memang masih aman, tapi grafiknya jelas menurun. Lalu, jika Bos yang nyaris tak pernah muncul di Dapur Ajaib itu sudah turun tangan, itu artinya memang protes yang dikirimkan pelanggan separah itu.
Saat ini, Bos sedang duduk berhadapan dengan Aya.
“Kenapa akhir-akhir ini banyak yang mengeluhkan kualitas rasa?” Bos membuka aplikasi di tabletnya yang menampilkan sejumlah komplain. “Apa yang sebenarnya terjadi di dapur, Aya? Memangnya kamu tidak melakukan controlling?”
Apa yang terjadi? Banyak sekali. Aya sampai gila sendiri. Padahal besok hari gajian, dan dua di antara tiga juru masak yang berada di bawah tanggung jawabnya bahkan belum menerima upah pertama mereka, tapi justru dua orang itu yang jadi sumber permasalahan. Gadis itu sudah merekap semua yang terjadi dalam buku laporan, tapi tidak sanggup untuk menceritakan dengan mulutnya sendiri, jadi ia memilih untuk menyodorkan buku bersampul merah marun itu pada Bos.
Bos mengerutkan dahi setelah membaca kronologi laporan yang ditulis oleh Aya. “Kenapa bisa banyak masalah pribadi seperti ini? Harusnya ini bisa kamu tangani, Aya. Kamu ini kepala dapur!"
"Dua-duanya keras kepala dengan cara yang berbeda." Aya memijat dahinya yang berdenyut. "Akhir-akhir ini sebenarnya hubungan mereka sudah membaik, tapi insiden kemarin sungguh ... di luar dugaan."
Yang Aya maksudkan adalah insiden Zee yang melabrak Am di dapur.
"Dari keluhan yang ada, sepertinya ada energi negatif dari permusuhan mereka yang pengaruhnya besar pada cita rasa masakan." Bos mengetuk jari beberapa kali, merasa gemas. "Rasanya kita sudah melakukan seleksi seketat mungkin untuk menghindari hal semacam ini terjadi. Kenapa masih luput, ya? Bagaimana, sih, caramu menyeleksi kandidat kemarin?”
Bos sendiri yang memilih dua anak itu, aku hanya memfasilitasi—bahkan untuk Ansel, aku hanya terima jadi rekomendasi dari Bos! Aya mengerang dalam hati. Tentu saja ia tidak menyuarakannya begitu saja—bisa-bisa ia yang dipecat.
“Yang terjadi kemarin—pacar Ansel—memang di luar kendali, Bos. Am dan Ansel sudah menunjukkan perkembangan signifikan sebenarnya." Aya menatap Bos dengan tatapan penuh keyakinan. "Yah, pada dasarnya mereka memang sudah pintar, sih, jadi masakannya masih aman terkendali, walau memang untuk Am harus dilatih lagi terkait ketulusan memasaknya. Tapi aman, kok, Bos, serius. Masalah yang terjadi ini sepertinya merupakan bagian dari adaptasi mereka, dan seharusnya akan mereda beberapa saat lagi.”
Kepala Bos menggeleng. "Taruhannya kualitas Dapur Ajaib, Aya. Harus ditindaklanjuti." Jas panjang yang melingkupi tubuh gempal Bos dilepas, menampakkan pakaian putih yang sama dengan seragam kerja para juru masak Dapur Ajaib.
Mata Bos melirik Aya sekilas. “Ayo, kita cek dapur sekarang. Aku curiga ada bagian dapur yang terpengaruh karena permusuhan mereka.”
Dengan gontai, Aya mengikuti langkah Bos yang sudah turun lebih dulu. Sepertinya ia harus menyiapkan mental dan telinga setelah ini.
Kalau dilihat sekilas, sebetulnya kondisi dapur sama saja seperti hari-hari biasa. Hanya saja, sejak insiden Zee yang mengamuk kemarin, suasana ketiga orang jadi canggung. Tidak ada canda tawa di sela-sela proses memasak, pun suasana hangat yang entah pergi ke mana.
Bos dan Aya masuk ke dalam dapur. Gadis itu menginstruksikan Am, Ansel, dan Felix untuk mendekat. Wajah Bos mengernyit begitu masuk, seakan mencium wangi tak sedap di dalam dapur.
"Terlalu banyak aura negatif di sini." Raut muka Bos seperti nyaris tercekik. Suaranya pun ikutan serak. "Ansel? Amilya?"
Sejujurnya, baru pertama kali ini Am bertemu dengan Bos. Nada Bos saat memanggilnya jauh dari kata ramah. Am jadi tegang, jantungnya berdegup tak beraturan. Takut-takut, ia mendekat ke arah Bos.
Sekilas ia melirik ke arah Ansel. Wajah anak itu tampak biasa saja. Am mendecih. Ya iyalah, Am. Anak emas dia. Kamu berekspektasi apa? Buru-buru Am memalingkan wajah.
"Sini, kemarikan tangan kalian," titah Bos. Am dan Ansel menyodorkan kedua telapak tangan mereka untuk kemudian dipijat keras-keras pada bagian ujung jari. Asap hitam pekat keluar dari jemari Am, sedangkan sesuatu yang tampak seperti kabut merah tua muncul sekilas di tangan Ansel. Semakin intens pijatan Bos di ujung jari, semakin pekat warnanya. Kemudian, Bos menekan area di bawah pangkal jari keras-keras. Am terbatuk keras.
Bos menghela napas setelah memijat tangan kedua anak itu. Ia menatap Am dengan sorot mata pilu. "Apa yang mengganggumu, Amilya? Kenapa perasaan burukmu begitu pekat?"
Am sama sekali tak bisa menjawab. Ia hanya bisa bergeming. Bos menyuruh Aya dan Felix untuk maju juga dan dipijat tangannya dengan cara yang persis sama, tapi dari jari mereka hanya keluar warna abu-abu yang hilang dalam sekejap. Tak ada yang reaksi tubuhnya seperti Am.
"Ansel, kamu sedang tertekan karena pacarmu, jadi aura ini masih bisa saya maklumi. Tapi, Amilya, aura milikmu benar-benar gelap." Bos geleng-geleng kepala.
Apa ini karena penuhnya kepala Am akhir-akhir ini? Atau karena emosinya yang seringkali tersulut sejak kehadiran Ansel?
"Setiap orang punya dua sisi, dan keduanya harus saling menyeimbangkan. Untuk memasak sesuatu yang punya kekuatan perasaan, bagaimanapun caranya, kita harus mengeluarkan lebih porsi positifnya agar masakan bisa bekerja maksimal." Mata Bos yang sedikit sayu menatap bola mata Am lurus-lurus. "Sedangkan kamu, unsur negatif dalam dirimu terlalu dominan. Buktinya, setelah dikeluarkan tadi pun masih membumbung dari dalam jari. Beda dengan teman-temanmu."
Mata Am menatap tangannya yang masih diselimuti kabut hitam walaupun sudah memudar.
"Tak hanya jago di teknik masak, untuk jadi juru masak yang baik kamu juga harus bisa mengendalikan perasaan," tegas Bos. "Dengan energi negatif separah ini, kesal sedikit saja bisa mempengaruhi citarasa masakan dan bahan-bahan di sekitarmu."
Padahal, sebulan ini Am sudah sangat belajar untuk mengendalikan perasaannya, juga menyertakan hatinya ketika memasak. Bahkan, Am sudah bisa memasak dengan tulus, membuat pesanan khusus, dan mendapat respons yang baik. Akhir-akhir ini pun, gadis itu mencoba untuk tidak terlalu meladeni rasa irinya—walaupun untuk yang satu ini disebabkan tuntutan orangtuanya.
Apakah usaha Am sebulan ini sia-sia?
Wajah Am muram seketika.
Aya ingin membela. Gadis itu tahu betul usaha keras Am dengan segala kekurangannya di bidang hati. Akan tetapi, Bos adalah orang yang tak suka dibantah di muka umum. Apalagi kalau sudah terkait standar bisnis, tak ada toleransi.
"Amilya, kamu cuti seminggu, ya. Pekan depan kita lihat apakah kamu masih pantas untuk bekerja di sini. Selama itu, tolong belajar untuk lebih mengontrol emosimu."
Hati Am mencelus. Hanya dirinya? Bukankah Ansel juga turut andil, terutama dalam kekacauan dapur akhir-akhir ini? Bukankah tadi aura Ansel juga cenderung lebih gelap daripada Felix dan Aya?
Bos tidak berkata apa-apa lagi setelahnya. Begitu saja ia melenggang, meninggalkan keempat juru masak di dapur dengan atmosfer yang sama sekali jauh dari kata menyenangkan.
Mata Am berkilat, campuran kecewa dan marah. Ia menatap Aya dengan mata bulan sabitnya yang sudah tergenang air mata. "Kak, kenapa cuma aku?"
"Am …."
"Oh, aku tahu. Karena Ansel anak emasnya Dapur Ajaib, kan?" Am tertawa getir. Ia berbalik menatap Ansel dengan ekspresi rumit. "Aku benci banget sama kamu. Enak, ya, kalau sudah kenal orang dalam? Padahal, semua ini terjadi gara-gara kamu!"
Tanpa berujar sepatah kata pun, Am keluar dari dapur membawa seluruh sakit dan kecewa yang tumbuh subur dalam hati.
✨
Am tidak mau pulang. Pasti nanti akan dipertanyakan alasannya. Kalau Papa tahu, akan semakin kuat alasan beliau untuk menyuruhnya mundur dari pekerjaan. Akan semakin mustahil usahanya mewujudkan mimpi Liz.
Tapi, apa iya ini hanya untuk Liz? Karena, hati Am benar-benar terasa hampa, seakan hal yang paling berharga baginya diambil begitu saja.
Tidak ada yang mengejarnya saat ia keluar dari warung. Tentu saja, pekerjaan lebih penting daripada memedulikan seseorang yang sudah hampir pasti dibuang. Am memandangi jemari mungilnya.
Sepayah itukah dia?
Apron merah marun dengan bordiran emas di tangannya adalah hal yang paling Am inginkan sebulan lalu, dan hari ini ia berubah menjelma benda yang paling Am benci. Ia duduk di ayunan Taman Para Pemimpi, di antara anak-anak kecil yang tengah bermain dengan orangtua mereka.
Langit kian memerah. Sebentar lagi, Am harus pulang sungguhan, dan Am masih belum menemukan cara yang tepat untuk menyampaikan berita ini pada orangtuanya. Bagaimana reaksi Mama dan Papa? Pasti Papa akan sangat senang dan dengan sukarela menguruskan administrasi untuk pengunduran kerja. Mamanya mungkin akan heboh merutuk Bos yang tidak bisa melihat kehebatan anaknya, kemudian mendukung Papa untuk cabut dari Dapur Ajaib.
Am tidak rela.
Ini semua salah Ansel.
Air mata mengalir deras dari ujung mata Am. Gadis itu amat jarang menangis, tapi kali ini berbeda. Rasanya tidak adil. Rasanya menyebalkan dan Am tidak tahu bagaimana cara terbaik untuk keluar dari situasi ini.
Langit sudah sempurna gelap, anak-anak dan orangtua mereka sudah pulang, dan Am masih tetap dalam posisi yang sama. Mata coklatnya mengamati pohon sakura abadi yang ada di hadapannya. Ia seperti tak lekang oleh waktu, terus berbunga tak peduli musim kemarau atau hujan. Pohon sakura itu sudah ada sejak Am belum lahir, katanya.
Berapa banyak badai yang sudah dilaluinya? Apa yang membuatnya begitu kuat bertahan—atau lebih tepatnya, bagaimana bisa energi perasaan yang bermacam-macam di kota ini dapat membuat pohon itu tetap hidup?
Am menyepak tanah kosong. Perutnya lapar, tapi ia enggan makan. Sudah mulai ada tanda masuk angin karena perutnya terasa mual, tapi lebih baik masuk angin daripada bertemu orangtuanya dalam kondisi begini.
Andai kamu masih ada, Liz.
Angin malam begitu kencang menerpa wajah Am. Lama-lama, gadis itu menggigil juga. Ia mengecek arloji. Sudah jam tujuh malam, kalau pulang sekarang sepertinya tak akan dicurigai, kan?
Gadis itu turun dari ayunan dan kembali menyetir skuternya menuju rumah. Ia bertekad untuk sama sekali tidak menyinggung tentang cuti ini dan akan memikirkan alasan tidak berangkat kerja untuk esok hari. Mama, apalagi Papa, jangan sampai tahu akan hal ini.
✨
"Am, kamu sudah mempertimbangkan tawaran Papa? Sudah sebulan kamu bekerja di Dapur Ajaib, kan?" Papanya langsung menodong dengan pertanyaan begitu Am menginjakkan kaki di ruang keluarga. "Apa kamu berhasil jadi karyawan terbaik bulan ini?"
Am berusaha mengunci mulutnya, tahu kalau ia akan melontarkan berbagai sumpah serapah dan keluhan begitu bibir itu buka suara.
"Kok, diam aja, sih, ditanya Papa?" Mama menimpali seraya menyajikan tempe goreng dan sayur bening di meja. "Kalau nggak bisa jadi karyawan terbaik, kan, lebih baik sekalian resign!"
Sungguh, wangi masakan Mama nyaris selalu membuat Am tergigah. Tidak kali ini. Gadis itu mendesah, berusaha mengatur deru napasnya. Berusaha agar tidak meledak.
"Tidak ada peringkat terbaik untuk karyawan, Ma, Pa." Yang ini tidak bohong. Memang sudah divalidasi oleh Aya dan Felix beberapa hari lalu. "Yang jelas, Am akan gajian dalam waktu dekat."
"Wah, sayang banget, dong. Bakat putriku ini disia-siakan." Papa memanyunkan bibir. "Sudahlah, Am. Sudah satu bulan, kan? Kamu yakin kamu akan berkembang di sana?"
Kemampuan masak Am berkembang. Sekarang, Am sudah cukup pandai menggunakan bubuk perasaan untuk menciptakan efek yang diinginkan—kalau tidak jago, mana mungkin ia diamanahi pesanan khusus? Lalu, setelah sebulan bekerja di Dapur Ajaib, Am mulai bisa merasakan efek dari bubuk perasaan walau hanya beberapa detik.
Am yakin ia akan berkembang kalau diberi kesempatan sekali lagi. Yang jadi pertanyaan, apakah dia pantas berada di sana?
"Kemampuan masak Am sangat bertambah, kok, Pa." Am tersenyum, mencoba menyembunyikan kegetiran di baliknya. "Am juga bahagia di sana. Am bisa memberikan keajaiban dalam masakan Am, dan itu luar biasa. Saat di akademi saja, itu masih jadi kelemahan Am."
Ia tidak bohong. Walaupun sekarang sedang sakit hati, rasa syukur Am itu benar adanya.
"Buat apa mengunggulkan kemampuan masak pakai perasaan, Nak, kalau itu orang sehebat dirimu?" Mama Am menyendok nasi putih yang ada di dalam dandang. "Kamu jagonya di teknik memasak yang beraneka rupa. Kamu akan jauh lebih banyak belajar apabila ikut saran dari Papa. Perasaan tidak sepenting itu untuk anak jenius sepertimu, Nak."
Gadis itu terdiam. Ia memang lapar, tapi selera makannya yang awalnya menipis semakin hilang gara-gara percakapan ini.
"Papa ingin lihat kamu jadi juru masak terbaik, Nak. Bukan hanya di kota ini, tapi di seluruh dunia. Bukankah Am ingin jadi yang terbaik sejak kecil?"
Perkataan Papa yang satu itu mengetuk—atau lebih tepatnya, mencongkel kotak kenangan yang sudah dikubur dalam-dalam. Tentang Am kecil yang begitu ambisius karena tak suka diremehkan. Waktu itu, Am berjanji pada kedua orangtuanya untuk menjadi juru masak terbaik di dunia agar keluarganya tak lagi dipandang sebelah mata. Mimpi itu perlahan memudar seiring usia, tapi bukan berarti hilang. Akan tetapi, sejak Liz meninggal, Am melupakan hal itu. Fokusnya hanya ingin mewujudkan mimpi Liz untuk bekerja di Dapur Ajaib, juga jadi yang terbaik untuk membuat arwah gadis itu di dunia lain bangga.
Sebenarnya, untuk siapa Am memasak? Untuk siapa segala pencapaian yang sudah ia raih?
"Masih bimbang, ya?" Papa meraih tangan Am yang berdiri tak jauh dari meja makan. "Tidak apa-apa, Am. Boleh dipikirkan dulu. Kapan pun Am mau sekolah ke luar negeri, beritahu Papa, ya."
Kepala Am rasanya penuh. Penuh sekali hingga nyaris meledak.
"Am ke kamar dulu ya Pa, Ma. Nanti Am nyusul makannya." Gadis itu buru-buru menjauh dari meja makan, setengah berlari menuju kamarnya.
Am memeluk kakinya erat-erat, lantas memandang lekat fotonya dan Liz yang sedang berada di dalam photobox. Senyum ceria Liz dalam foto itu kontras dengan senyum hambar di wajah Am saat ini.
Apakah memang sudah seharusnya ia tak pernah mencoba untuk memasak di Dapur Ajaib?
Tapi, kenapa rasanya Am tidak rela meninggalkan keajaiban yang bisa tercipta lewat tangannya di sana?
Kalau ia menyerah sekarang, bukankah itu sama artinya ia mengkhianati mimpi Liz yang dititipkan padanya?
✨
18/4/23
2182 kata.
Am drama era 😭 Aku sudah berjanji biar cerita ini fluffy, tapi emang nggak sedap kalau nggak ada konflik berat dikit. Konflik besarnya nggak seberat itu, kan? 😌
Aku gatel bgt pingin nyadarin Am, tapi nanti nggak seru dong ceritanya, jadi ya kita lihat di kelanjutannya oke 👍
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro