Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

20: Nasi Bakar dan Orang Gila

Zenith Hoshino sudah kenal dengan Ansel Seirei sejak memasuki fase sekolah menengah atas. Mereka berdua bintang di bidang yang berbeda, tapi satu hal yang membuat mereka bertaut: mereka lelah dengan ketenaran.

Saatt ini, Ansel dan Zee sedang berada di restoran beratapkan langit yang berada di pusat kota. Bintang yang terlihat jelas di area tempat Dapur Ajaib berada seakan pindah ke tanah. Makanan di hadapan mereka adalah jenis makanan yang dibuat untuk memuaskan lidah dan hati, tapi kondisi mereka jauh dari kata bahagia.

"Kamu ingin dibuatkan apa, Sayang?" Ansel menyesap soda tawar yang dipadukan dengan sirup frambozen. "Makanan yang kamu pesan untuk makan siang besok, kan? Kamu ingin makan di mana? Di Dapur Ajaib atau tempat lain?"

"Terserah." Zee menatap Ansel datar. "Kamu akrab, ya, sama rekan-rekanmu. Apalagi gadis mungil manis yang bernama Am itu. Yakin nggak ada apa-apa?"

Keposesifan Zee bukan tanpa alasan. Walaupun semua orang bilang Ansel adalah lelaki yang baik dan tahu bagaimana cara menghormati wanita, itu tak cukup untuk membuat Zee merasa aman. Dia sudah terlalu banyak melihat laki-laki brengsek seumur hidupnya, dan mereka semua tampak sebaik Ansel dari luar.

Hubungan Ansel dan Zee sudah dimulai sejak SMA. Mulai dari menjadi partner di organisasi sekolah, saling menyemangati kala ujian, hingga akhirnya memutuskan untuk keluar dari kota tempat mereka tumbuh. Zee adalah content creator yang cukup dikenal di kotanya, dan Ansel ... yah, siapa yang tidak kenal dengan keluarganya? Mereka berdua sepakat untuk menyembunyikan hubungan demi keamanan karir mereka di Kota Para Pemimpi, dan berhasil sampai detik ini. Mereka pun sama-sama memilih untuk belajar di kota tempat nama mereka tidak terlalu dikenali agar bisa merasa aman.

Akan tetapi, Zee menyesali hal itu. Ia jadi tak bisa memantau Ansel dalam jarak pandang yang bisa ia gapai, dan ia tak menyukai fakta tersebut.

"Sudah berapa kali kubilang kalau Am itu benci sama aku, Sayang?" Ansel menghela napas. "Zee, kita jarang bertemu, lho. Di tempat indah seperti ini, bukannya lebih baik kalau kita membuat memori yang menyenangkan?"

"Nggak bisa. Aku takut kamu lepas dari pandanganku." Zee menggenggam tangan Ansel erat-erat. Terlalu erat hingga buku jarinya memerah. "Kenapa aku memilih untuk kuliah di Kota Pelita? Kenapa kamu terlihat sangat menikmati hidup yang tak ada aku di dalamnya?"

"Zee, itu nggak seperti kelihatannya-"

"Kamu tahu, kan, para lelaki bajingan dalam hidupku juga memulai pengkhianatan mereka dengan rekan kerja terdekat?" Mata Zee berkilat-kilat. "Bagaimana aku bisa mempercayai dirimu?"

Ansel membuang napas. Lelaki itu mengira, fase Zee yang posesif begini sudah lewat. Ia pernah bertemu dengan sisi Zee yang ini saat ia pertama kali merantau ke Akademi Dapur Ajaib, tapi mereda saat Zee tahu teman-teman sekolahnya semuanya laki-laki. Bukannya Ansel tak paham ketakutan Zee, dan ia pun berani sumpah tak akan mengkhianati gadis ini, tapi sejujurnya ia lelah dengan kecurigaan berlebih dari pacarnya sendiri.

Otak Ansel tak bisa berpikir jernih. Perasaan macam apa yang bisa menetralisir kecurigaan Zee dan membuatnya lebih tenang?

"Ah, maaf, kamu nggak nyaman, ya?" Zee mengacak rambutnya. Ia bahkan belum menyentuh wagyu steak yang ada di hadapannya sama sekali. "Aku nggak tahu harus gimana, Ansel. Tidak bisakah kamu kerja di tempat yang membuatku merasa aman saja?"

"Gangguan cemasmu kambuh lagi, ya?" Ansel meraih pipi Zee dan mengelusnya. "Kamu tahu, kan, kenapa aku memilih untuk bekerja di Dapur Ajaib?"

Karena kekuatan perasaan yang mereka miliki. Ansel punya kekuatan hati yang peka dan Zee tahu tentang obsesi lelaki itu pada makanan dengan kekuatan perasaan. Zee tahu itu, tapi tetap saja fakta bahwa teman kerja Ansel didominasi wanita membuat hatinya jauh dari kata tenang.

Sebenarnya Zee pernah pergi ke psikolog. Itu karena ia bersikap galak dengan semua perempuan yang berada di sekitar Ansel semasa sekolah. Tapi, masa-masa itu sudah lewat, dan Zee di masa itu masih remaja. Seharusnya semakin dewasa, gadis ini bisa mengerti, kan?

"Zee, tenang, ya. Aku nggak ke mana-mana, Sayang." Ansel menggenggam lembut jemari Zee yang gemetar. "Kenapa kita tidak mendiskusikan makan siang kita besok? Kapan lagi aku bisa membuatkan santapan untukmu, kan?"

Kepala gadis itu menunduk.

Sepertinya Ansel belum berhasil membuat gadisnya tenang. Lelaki itu meraih pisau dan garpu, mengiris daging di piring milik pacarnya, kemudian menyuapkan potongan daging yang lembut itu ke mulut Zee. "Hotel ini terkenal dengan dagingnya yang bisa meningkatkan level kebahagiaan dan keromantisan dalam diri, lho. Aku sudah menyiapkan ini khusus untuk kamu. Sayang kalau nggak dimakan."

"Kamu beneran nggak menyembunyikan apapun dariku, kan?" Zee menatap Ansel, masih dengan tingkat kewaspadaan tinggi. "Ini bukan sesuatu yang biasa Ansel Seirei lakukan. Kamu memang bisa mengerti aku selama ini, tapi kamu nggak pernah romantis seperti ini. Kamu bukannya belajar memperlakukanku seperti ini dari cewek lain, kan?"

Ansel mulai tak nyaman dengan Zee yang terus-menerus menyudutkannya seperti itu. "Aku minta saran dari temanku yang sudah berpengalaman, agar kamu bisa lebih bahagia. Aku tidak ada pikiran untuk selingkuh, Zee. Demi Tuhan."

"Tapi, rekan kerjamu yang cewek semuanya tampak akrab-"

"Tempat kerjaku kecil, Zee. Walau terkenal, Dapur Ajaib tetaplah warung kecil. Malah aneh kalau aku nggak akrab sama mereka." Pengecualian untuk Am yang sikapnya selalu tidak jelas. "Serius, kamu nggak perlu khawatir. Kamu sudah bertemu dengan mereka, kan?"

Wajah Zee tidak berubah. Masih penuh kewaspadaan.

"Nggak mau ngomongin hal lain aja? Cerita tentang hari-harimu, mungkin? Sudah lama sejak kita terakhir kali saling bertukar cerita." Ansel tersenyum. "Habisin dulu, yuk, makanannya. Sayang, kan, ke Kota Harapan tapi tak bisa menikmati keajaiban dari perasaan di dalam makanannya?"

Zee menatap makanannya tanpa selera, tapi pada akhirnya ia mau menerima suapan dari Ansel. Mereka berdua makan tanpa bicara apa-apa lagi setelahnya.

Ansel sungguh berharap masalah ini cepat selesai. Berada dalam konflik perseteruan itu melelahkan.

"Bro, jadinya mau masak apa?" Felix bertanya keesokan harinya saat berpapasan dengan Ansel di tangga dapur. Muka Ansel jelas terlihat kusut. Dialognya semalam jauh dari kata lancar.

Ansel bergeming.

"Lah, diem aja nih anak!" Felix mendengkus. "Ya udah deh, semangat ya masaknya. Semoga masalah sama cewekmu cepetan kelar!"

Kapan lagi urusan percintaanmu jadi konsumsi orang sekantor? Wajah Ansel semakin muram. Zee dengan sejuta alasan curiganya membuat Ansel benar-benar terpojok. Di tahap ini, sepertinya Ansel yang berbagi oksigen dengan wanita lain pun salah. Yang jadi masalah, kenapa? Ansel sama sekali belum bisa menemukan penyebab utamanya.

Setelah Ansel berganti baju dengan seragam kerja, ia turun ke bawah dan bertemu dengan dua wanita dapur-Am dan Aya. Ia tersenyum tipis, lantas tercenung di depan kompor.

"Hari ini mau masak apa?" Am bertanya. Ia mencuci potongan paha ayam yang hendak dibuat ayam goreng. "Ada yang bisa dibantu?"

Ansel menggeleng. Kalau ia dibantu teman perempuan dan ketahuan, sudah pasti Zee akan mengamuk.

"Oh, semoga berhasil, deh, kalau gitu." Gadis itu mengangkat bahu dan kembali fokus pada masakannya sendiri.

Pada akhirnya, Ansel memilih menu nasi bakar ayam kemangi dengan bubuk penguat rasa percaya. Hanya itu yang bisa Ansel pikirkan. Nasi bakar, karena itu makanan favorit mereka selama SMA, dan rasa percaya karena tingkat kepercayaan yang sangat rendah dari gadisnya.

Ia mulai menanak beras yang diberi air, daun salam, daun jeruk, daun pandan, sereh geprek, kaldu jamur, dan santan. Tak lupa juga ia bubuhkan sedikit bubuk kebahagiaan agar hati Zee bisa melunak. Ia memasaknya dengan rice cooker, sekalian untuk stok nasi tambahan di etalase. Kemudian, ia merebus dada ayam untuk disuwir. Selama menunggu dagingnya matang, ia memasukkan bahan-bahan untuk bumbu halus-bawang putih, bawang merah, kemiri, kunyit, jahe, cabe besar, dan cabe keriting-ke dalam blender demi mempercepat proses. Tentu saja untuk kemiri dan kunyitnya sudah digoreng terlebih dahulu. Setelah bumbunya benar-benar halus, cairan bumbu itu ditumis bersama daun salam, daun jeruk, dan sereh hingga bumbunya tanak.

"Wanginya ke mana-mana banget," komentar Aya ketika mencium wangi bumbu yang dimasak Ansel. "Apa usul ke Bos, ya, buat ngadain menu begini saat sarapan? Demi apapun, aku jadi kepingin juga!"

"Ini aku masak agak banyakan kok, Kak Aya." Ansel tersenyum. "Nanti kita makan siang pakai ini aja, Kak. Sekalian uji coba."

Aya bersorak kegirangan karenanya.

Selagi mengaduk bumbu, Ansel juga tidak lupa untuk memasukkan garam, gula, dan kaldu bubuk. Setelah bumbunya dirasa matang, ia mematikan kompor sejenak dan beralih menyuwir ayam.

"Kelamaan kalau kamu suwir manual sendirian gitu," celetuk Felix. "Mau dibantu, nggak? Aku cowok, cewekmu nggak mungkin cemburu ke aku, kan?"

Ansel mendengkus. Tapi, Felix ada benarnya. Akhirnya, ia mengoper sebagian daging ayam yang sudah dipotong-potong untuk disuwir. Singkat cerita, ketika ayamnya sudah disuwir seluruhnya, Ansel menyalakan kompor lagi dan menambahkan suwiran ayam serta air ke dalamnya. Tak lupa juga ia memberi bubuk kepercayaan, dalam dosis yang lebih dari seharusnya, tapi Ansel yakin itu masih dalam ambang batas aman. Ia mengaduk rata campuran tersebut hingga air menyusut dan bumbunya meresap ke dalam ayam. Terakhir, Ansel menambahkan daun kemangi yang jadi kunci dari kenikmatan isian nasi bakar ini.

Lelaki itu mengambil daun pisang yang sudah dipotong-potong dari dalam rak penyimpanan bahan kering. Ia memanaskan daunnya sejenak di atas kompor agar daunnya bisa lebih lentur dan tidak sobek saat dipakai membungkus nasi. Setelah itu, ia menata nasi yang sudah matang dan lauk ayam suwir di atas daun pisang.

Am, secara tidak sadar, terus memperhatikan proses memasak Ansel dari awal sampai akhir. Dalam hati, ia kagum dengan cara masak Ansel yang jelas melibatkan seluruh hatinya dalam pembuatan masakan itu. Gadis itu tidak bisa sepenuhnya paham, tapi dari yang Am lihat, jelas Ansel sangat mencintai siapapun yang ia buatkan masakan istimewa seperti itu.

Kenapa Am merasa sedikit ... sedih? Marah? Am tidak tahu, tapi yang jelas gara-gara matanya terus mengamati Ansel, jarinya nyaris teriris. Kalau bukan Felix yang tiba-tiba mengambil alih pisau dari tangan kanannya, sepertinya mata pisau itu sudah sukses mendarat di jari kiri Am.

"Hei, kok oleng?" Felix menggerutu, mengambil alih pekerjaan Am. "Kenapa? Kamu sedih nggak bisa bikin pesanan khusus?"

Mungkin itu, ya. Mungkin karena Am sudah terbiasa mengerjakan pesanan khusus bersama, rasanya aneh kalau tidak terlibat. Ya, pasti sakit hatinya yang membuatnya terasa dicubit ini gara-gara hal itu.

Ansel, yang tidak sadar tengah diperhatikan saking fokusnya, memanggang bungkusan-bungkusan calon nasi bakar di atas penggorengan. Wangi sedap dari nasi santan dan ayam suwir kemangi yang berpadu dengan aroma daun pisang yang lumayan smoky membuat air liur menetes. Setelah tiga kali memanggang, Ansel menata delapan bungkus nasi bakar di atas nampan.

"Buset! Mau jualan sekalian lo?" Felix berdecak melihat kumpulan nasi bakar yang tampak penuh dan menggoda itu. "Atau mau ngasih bekal?"

"Buat kalian juga, nih." Ansel memisahkan dua bungkus dan memasukkannya ke dalam kotak makan yang sudah ia hias sedemikian rupa dengan selada, timun, dan tomat.

"Bumbunya aman nggak tuh?" protes Felix. "Nanti kayak yang waktu itu, lagi. Mendadak aku jadi mellow nggak jelas. Males banget!"

Lelaki yang diomeli hanya tertawa sebagai jawaban. "Aman kok, aman. Tenang saja. Ini, kan, masakan yang dibuat biar aku bisa damai dengan pacarku."

Ketika nasi bakar sudah siap dihidangkan, waktu sudah menunjukkan pukul sebelas siang. Dapur Ajaib sedang tidak begitu ramai, jadi Aya menyuruh Ansel untuk segera berganti baju dan menjemput ceweknya demi kelancaran misi pesanan khusus ini. Am mengerutkan dahi melihat Aya yang sesantai itu.

"Anggap saja treatment khusus." Aya nyengir saat Am menanyakan hal itu. "Kalau permasalahan mereka selesai dengan baik, kita juga dapat dua keuntungan. Kristal perasaan dan Ansel kondisi normal. Win-win solution, kan?"

Masuk akal, tapi tetap saja Am tidak suka melihatnya. Entah kenapa, perasaannya tidak enak.

Setelah bertanya, Zee bilang ia ingin makan di Dapur Ajaib saja. Ansel berkali-kali menawarkan tempat lain yang dirasa lebih romantis untuk makan siang berdua, tapi Zee teguh pada pendiriannya. Jadilah mereka berdua kini makan di pojokan ruang samping jendela, dengan nasi bakar dan es teh penenang hati yang diantar oleh Felix-tentu bukan tanpa alasan.

"Kelihatannya berjalan dengan lancar, ya?" Aya mengintip dari balik jendela sembari membuat minuman untuk pelanggan yang lain. "Syukurlah kalau begitu."

Ansel menatap Zee yang makan dengan lahap. Lelaki itu senyum-senyum sendiri karena masakannya bisa dinikmati oleh orang yang ia cintai. Saat Ansel makan pun, rasanya sempurna: paduan gurih-pedas dari ayam dan nasi begitu cocok. Seharusnya tidak ada masalah.

Namun, ketika sudah habis setengah, Zee meletakkan sendoknya. Gadis itu tak melanjutkan makannya.

"Kenapa, Sayang? Ada yang salah?" Mata biru Ansel menatap gadisnya dengan intens. "Rasa nasinya kurang? Ayamnya terlalu pedas?"

Zee menatap Ansel dengan tatapan nyalang. "Kamu bikin ini sama siapa di dapur?"

"Hah?" Ansel melongo. "Bikin sendiri, lah! Aku, kan, sudah janji buat masakin kamu dengan tanganku sendiri?"

"Rasanya nggak kayak masakanmu yang kutahu. Kamu suka memasukkan bumbu dengan citarasa manis untuk mengimbangi rasa asin." Tatapan Zee masih menusuk. "Kamu yakin masak ini sendiri?"

Astaga. Ansel menghela napas. "Nasi bakar memang cenderung asin-gurih. Kalau manis malah aneh. Kamu mau teman-teman sedapurku bersaksi kalau aku memasak semuanya sendiri?"

Tahu-tahu, Zee bangkit dan mendobrak meja. Gadis itu berjalan menuju dapur dengan mengentak-entakkan kaki, hingga menyenggol beberapa orang yang hendak mengantri di etalase makanan. Ansel yang terkejut buru-buru menyusul gadis itu.

"Zee, kamu nggak boleh masuk dapur seenaknya-"

Tapi, Zee sudah masuk ke dalam dapur dan menampar Am yang tengah menggoreng tahu. Tanpa aba-aba.

"Siapa, sih?" Am masih punya refleks untuk mematikan kompor sebelum berbalik badan. Kini, ia berhadapan dengan Zee. Matanya menyipit karena sama sekali tak paham situasinya. "Pacarnya Ansel? Ada masalah apa sama aku?"

"Kamu yang bikin Ansel berpaling dariku, ya?!" Zee teriak-teriak bagai orang kesurupan. Aya buru-buru menutup pintu dapur dan jendela penghubung agar keributan itu teredam. "Kamu sengaja kan kerja bareng Ansel terus biar bisa dekat-dekat? Lupa kalau dia ada pacar?"

Am mengerutkan dahi, berusaha menjauh dari wanita yang terlihat jauh dari kata waras itu. "Bentar. Maksudnya?"

"Aku pernah lihat kalian pulang berdua beberapa kali dari CCTV apartemen!" Jari telunjuk Zee menuding Am. "Ansel juga sering pulang malam dan lupa mengabari, makin jarang cerita tentang keseharian ga. Gara-gara kamu, kan?"

Dituduh seperti itu, tentu saja Am naik pitam. Ia maju selangkah. "Kak, aku saja dari awal sudah nggak suka sama dia, ngapain juga aku dekat-dekat sama dia? Emangnya Ansel nggak cerita?"

"Zee, udah." Ansel berusaha menahan badan Zee, tapi ternyata kekuatan cewek yang sedang mengamuk bisa mengalahkan tubuh Ansel yang terhitung atletis. Zee menarik kerah baju seragam Am. Kedua wanita dengan raut muka yang sama-sama keras itu saling melotot.

"Nggak ada orang selingkuh ngaku. Kalian pasti sekongkol, kan?" Zee sekali lagi hendak melayangkan tangan untuk menampar Am, tapi untungnya ditahan oleh Felix dan Aya. Tubuhnya meronta-ronta. "Kalian semua sepakat untuk menutupi ini dariku, kan?"

Aya, yang tengah mencengkram bahu Zee agar gerakannya tidak ke mana-mana, memasang ekspresi tenang. "Tidak ada yang selingkuh. Mereka memang lebih sering bermusuhan. Kemarin Anda juga sudah cerita, kan, kalau Ansel bercerita hal yang demikian?"

"Mana ada orang musuhan pulang berdua? Ngobrol akrab pula!" Zee masih berusaha melepaskan diri dari penghadang bernama Felix dan Aya. "Aku lihat semuanya di CCTV, tahu!"

"Zee, waktu itu aku sedang mendiskusikan menu untuk pesanan khusus. Am juga langsung masuk waktu itu karena tidak mau ngomong sama aku lebih lama." Suara Ansel terdengar putus asa. "Iya kan, Am?"

Am bergeming. Ia terlalu syok untuk mencerna semua ini.

"Oh, jadi kamu lebih ngebela orang itu daripada pacarmu sendiri? Cukup tau, Ansel. Dugaanku terbukti." Tawa Zee menggema bagai orang yang sudah hilang akal. "Lepasin. Aku sudah muak di sini!"

"Zee, aku antar, ya? Dengerin penjelasan aku-"

Terlambat. Zee berhasil melepaskan diri dan melayangkan tamparan di pipi Ansel yang putih pucat. Gadis itu keluar dengan menghentakkan kaki dan berwajah merah padam. Suasana yang sama sekali jauh dari kata nyaman menggantung di langit-langit dapur dan semua orang seakan membeku di tempat.

"Am, tolong maafkan pacarku hari ini." Ansel menunduk sedalam-dalamnya. "Kak Aya, Felix, mohon maaf juga karena sudah membawa keributan di sini."

"Aku sudah biasa dilabeli macam-macam, tapi dianggap selingkuhan?" Am menatap Ansel dengan ekspresi yang sulit untuk diartikan. Suaranya bergetar, tubuhnya juga berguncang. "Seharusnya dari awal aku memang terus membenci dan jaga jarak darimu, ya. Ternyata belajar menerimamu sebagai rekan adalah sebuah kesalahan besar dalam hidupku."

Gadis itu berlari keluar dari dapur dengan air mata yang sudah mengalir deras dari pelupuk mata. Felix dan Aya memutuskan untuk mengejar, sedangkan Ansel hanya bisa terpaku.


17/4/23
2663 kata.

Kata aku sih Zee orgil 😤 butuh tiga hari buat nulis ini karena orang ini orgil dan aku nggak tahu gimana cara menggambarkan kegilaannya 🙃

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro