19: Pertikaian Kecil
Setelah makan siang, untungnya Am dan Ansel sudah bisa memasak dengan normal—tentu sesudah melalui pengujian dan rentetan wejangan oleh Aya. Tak ada kejadian luar biasa sampai jam pulang kerja, syukurlah. Seluruh petugas sif siang sudah berganti baju dan bersiap untuk pulang.
"Pulang sama siapa?" Felix bertanya seraya menyalakan skuternya. "Sama Ansel lagi?"
Am mengangkat bahu. "Entahlah."
"Karena tadi aku antar, aku juga bertanggung jawab buat memulangkan, dong." Ansel mengeluarkan kunci motornya. Cerita Ansel mengenai masalah dengan pacarnya pagi tadi melintas di benak Am. Tiba-tiba, gadis itu jadi merasa sungkan.
"Lix, bareng dong!" Am mendekat ke arah Felix. "Aku bareng Felix aja ya, Ansel."
Felix langsung protes. "Lah, bukannya malah enak kalau kalian bareng? Kan searah!"
Ansel mengiyakan.
Mata Am langsung memicing, lantas mencubit pinggang Felix. Gadis itu memberi isyarat nanti-saja-tanyanya. Sebagai balasan, Felix mengangkat setengah alisnya.
Di sisi lain, Ansel bingung. Kenapa Am kembali menghindarinya? Padahal tadi sudah gencatan—istilah dari Am, dia sendiri yang bilang. Rasanya juga ia tak melakukan kesalahan apapun yang membuat orang kesal. Ada apa dengan Am?
"Kalian bertengkar lagi, kah?" Felix geleng-geleng kepala. "Baru juga kelihatan akur. Kenapa lagi kalian?"
"Nggak ada apa-apa, Felix. Tinggal bonceng apa susahnya, sih?" gerutu Am. "Ada yang mau aku omongin!"
Lelaki dengan rambut pirang-kuning yang tengah digerai itu terkekeh. "Iya, iya. Naik, gih."
Am sudah duduk di atas sadel penumpang skuter. Ansel menatap mereka yang pamit duluan dan melesat dengan kecepatan yang tidak wajar untuk ukuran pengendara skuter. Kenapa rasanya ada bagian dari hatinya yang tercubit? Buru-buru Ansel mengabaikan perasaan itu.
Sementara itu, setelah melewati satu tikungan, Felix bertanya—atau lebih tepatnya meneriaki gadis yang tengah ia bonceng. "Kamu kenapa lagi sama Ansel?"
"Aku nggak enak sama ceweknya, Lix!" Am balas teriak, padahal jalanan tengah sepi dan hanya diisi oleh suara mereka berdua. "Tapi kalau ngomong di depan orangnya langsung kan nggak mungkin! Aku takut!"
Felix berseru lagi. "Emangnya dia cerita apa ke kamu? Kok jadi takut?"
"Dia lagi tengkar sama ceweknya gara-gara cemburu sama rekan kerja yang perempuan!" Am memelankan suara karena tenggorokannya sakit dipakai teriak-teriak. "Kita emang musuhan sih, tapi aku juga nggak enak kalau boncengan berdua sama pacar orang! Ogah juga kalau dikira pelakor!"
"Udah cerita-cerita sampai hal personal seperti itu, berarti udah akrab, dong?" Felix tertawa. "Udah damai, nih, ceritanya?"
Pipi Am menggembung, sebal. Ia memukul punggung Felix. "Cuma sementara! Kasihan aku lihat dia galau sampai salah masak gitu!"
"Lah, kamu sendiri juga oleng tadi pagi, emangnya sekarang udah enakan?"
Am sebenarnya sudah merasa jauh lebih baik, tapi pertanyaan Felix membuatnya teringat kalau ia akan sampai di rumah dan bertemu dengan ayahnya. Itu artinya ia akan dijejali lagi dengan prospek studi ke luar negeri dan bujukan untuk resign. Perut Am langsung bergejolak.
"Felix, belok taman dulu, yuk?" Am mencolek punggu Felix. "Aku lagi nggak ingin pulang cepet, nih."
"Istirahat, hoi! Baru sembuh juga!"
"Nggak mau ketemu Papa …." Suara Am yang memelan saat mengucapkan alasan itu turut membuat laju skuter Felix menjadi lebih lambat. Lelaki itu mengerem kendaraannya dan menepi di bahu jalan.
Felix turun dari skuter, menatap Am. "Masih tengkar sama orangtuamu?"
Si gadis diam saja, enggan menjawab pertanyaan Felix.
"Kalau diam terus, nggak akan selesai, Am." Felix menghela napas. "Kamu disuruh apa, sih, sama orangtuamu? Kamu belum cerita yang versi lengkapnya, lho, ke aku."
Perkataan Felix ada benarnya dan Am juga sadar akan hal itu. Yang jadi masalah, Papa mewariskan sifat keras kepala dan gengsi kepada Am, dan dua orang itu sama saja keras kepalanya. Am sedang tidak ingin adu mulut dengan papanya sendiri—lebih tepatnya, belum punya argumen yang bisa menyanggah keinginan Papa.
"Aku disuruh resign."
Felix yang baru saja membuka botol minuman dan meneguk isinya langsung terbatuk. "Hah?"
"Iya, disuruh resign, daftar sekolah juru masak di negara lain." Am menghela napas. "Aku nggak mau. Baru juga sebulan kurang aku bekerja di sini! Tapi, Papa maksa banget. Capek."
"Lho, kenapa nggak mau?" Di luar dugaan, Felix malah mempertanyakan jawaban Am. "Bukannya kalau kamu sekolah di luar negeri, akan lebih mudah untuk menjadi juru masak terbaik?"
Am terdiam. Ia menatap Felix dengan tatapan serius-kamu-bilang-begitu?
"Apa yang bikin kamu nggak mau resign?" Felix mengangkat alis. "Kamu bisa berkembang lebih baik dengan studi itu, Am. Cita-citamu jadi juru masak terbaik, kan?"
Dengkusan keluar dari hidung Am. "Kamu lupa alasan kita masuk akademi juru masak, Lix?"
Untuk beberapa saat, Felix terdiam, tak paham. Lalu tersadar. "Liz?"
"Itu tahu." Am memutar mata. "Kerja di Dapur Ajaib itu impian dia. Aku sudah berjanji akan membantu untuk mewujudkan mimpi itu. Gila apa kalau langsung resign? Ingkar janji, dong, aku?"
"Kamu cuma ingin masuk Dapur Ajaib karena Liz?" Felix memandangi Am lurus-lurus dengan sorot mata elangnya. "Memangnya kamu sendiri inginnya gimana?"
"Ih, kamu sahabat aku bukan, sih?" Nada bicara Am terdengar gemas—lebih ke kesal, sih. "Kamu tahu, kan, sejak Liz sakit parah, aku sudah janji sama dia untuk meneruskan semua mimpinya? Bukankah kamu yang paling paham akan hal itu?"
Felix menghela napas. "Am, Liz nggak akan senang kamu kayak gini. Yakin seratus persen."
"Kenapa?"
"Kalau kamu kerja di Dapur Ajaib cuma untuk menggantikan temanmu yang kebetulan meninggal, terus keinginanmu yang sebenarnya apa?" Mata Felix yang memang sudah tajam makin terasa menusuk. "Aku kenal kamu, Am. Kamu orang paling ambisius yang pernah aku kenal. Kalau Liz masih hidup, pasti kamu akan mengambil tawaran studi itu, kan? Kamu sendiri yang pernah cerita ke kami kalau kamu ingin belajar di luar negeri!"
Am langsung membantah. "Itu kan dulu! Kamu nggak senang aku ada di Dapur Ajaib?"
"Aduh, nggak gitu." Felix mendesah. "Maksudku, Am, kalau memang alasanmu bertahan di Dapur Ajaib hanya karena orang yang sudah meninggal dan kamu tidak punya alasan lain, bukankah lebih baik untuk mengambil keputusan yang lebih menguntungkan dirimu?"
"Hanya karena orang yang sudah meninggal, katamu?" Am tertawa sinis. "Kita lagi ngomongin sahabatmu, lho. Liz bukan hanya orang yang sudah meninggal!"
Felix menggeleng. "Am, Liz nggak akan suka kalau kamu terus terpaku pada masa lalu begini. Bukan berarti aku menyuruhmu melupakan dia atau semacamnya …."
"Aku pulang sendiri aja, deh." Am membuang napas dengan kasar, turun dari sadel penumpang. "Kamu sama aja kayak Papa. Kukira kamu bisa ngertiin aku."
"Hei, jangan pergi sendiri—"
Am tidak menggubris sama sekali. Perempuan itu terus berjalan, tak peduli Felix mengikuti dan menyesuaikan kecepatan skuternya sepanjang jalan agar bisa menyusul Am. Begitu terus sampai mereka tiba di depan rumah Am.
"Lho, ngikutin sampai sini?" Am menatap Felix dengan tatapan malas. "Ngapain?"
"Ya takut kenapa-kenapa, lah! Kamu kan sahabatku!" Felix menatap balik, menyiratkan keheranan yang besar.
"Aku nggak pingin lihat kamu." Am memalingkan muka. "Malam."
Begitu saja, Am masuk ke dalam rumah, meninggalkan Felix yang masih terdiam di halaman rumah gadis itu.
✨
Atmosfer yang sama sekali jauh dari kata nyaman menggantung di udara. Bahkan Aya dengan keceriaannya tak mampu membendung percikan perselisihan di antara Am dan Felix pagi itu. Am juga bersikap dingin pada Ansel dan Aya, membuat si kepala dapur frustasi sendiri.
"Ya Tuhan. Kenapa lagi sih kalian? Kenapa sekarang Felix ikut-ikutan?" Aya memijat dahinya dengan suara putus asa. "Aku nggak tahu, ya, masalah kalian apa, tapi tolong diingat kalau masakan dan keajaiban bubuk perasaan yang ada di sini sangat bergantung dengan hati kalian. Jadi tolong, setidaknya pura-puralah damai di dapur ini!"
Yang menggubris hanyalah Ansel. Felix dan Am saling mendiamkan. Untungnya, masakan-masakan yang dihasilkan masih di ambang aman, walaupun ada banyak hidangan yang terpaksa ditambahi takaran bubuk perasaannya oleh Aya. Setidaknya, masakan-masakan yang keluar dari dapur tak separah kemarin.
Sebenarnya, hari itu Ansel ingin memberitahu Am kalau dia melaksanakan saran dari si gadis. Ia sudah memastikan bahwa Zee tak ada kuliah dua hari ke depan, sehingga Ansel memesan tiket kereta dengan kelas tertinggi dan penginapan untuk gadisnya dua hari ke depan. Ansel juga ingin memberitahu kalau Zee sudah tidak mendiamkannya sejak semalam, walau masih menaruh curiga. Sayangnya, melihat muka Am yang jauh lebih judes dari biasanya membuat Ansel urung bercerita. Takut suasana hati anak itu semakin parah.
Rasanya aneh melihat Am dan Felix bermusuhan. Biasanya, tatapan sinis gadis mungil itu tertuju pada Ansel, tapi hari ini semua orang jadi korban. Terutama Felix. Lelaki itu juga tidak kalah anehnya, karena sama sekali tak mengeluarkan sepatah kata pun.
Di sisi lain, emosi Am sebetulnya masih menggelegak. Berkali-kali ia memohon ampun kepada Tuhan dan berdoa agar hatinya bisa diajak kompromi, tapi ia masih kesal dengan Felix. Atau … mungkin lebih tepatnya kecewa? Ternyata orang yang Am anggap paling bisa memahaminya pun tidak bisa mengerti tentang keinginannya.
Salahkah kalau ia bertahan di sini demi sahabatnya yang paling ia sayangi? Satu-satunya orang—dua, dengan Felix, tapi karena Am sedang kesal dia tidak dihitung—yang mau menjadi temannya di saat yang lain tidak kuat dengan sifat ambisiusnya. Orang yang menyemangati dia untuk selalu jadi yang terbaik, mendukungnya dengan cara apapun yang dia bisa.
Kalau Liz sudah berkorban seperti itu, kenapa Am tidak boleh melakukan hal yang sama?
Dapur yang sudah panas jadi semakin panas. Tak peduli betapa banyak semprotan penenang yang Aya berikan di udara, dampaknya sama sekali tak signifikan.
"Selamat datang, Pelanggan!" Suara merdu Ester terdengar ke dalam dapur. "Silakan dipilih menunya! Ada yang bisa kami bantu?"
"Saya mau pesan makanan khusus, boleh?"
Telinga Am menegak ketika mendengar samar-samar suara yang familier itu. Ia melongok keluar dan terkejut mendapati gadis ayu yang wajahnya sama sekali tak asing.
Pacar Ansel. Yang asli, bukan Anne.
"Ansel, pacarmu!" Am menepuk pelan tangan Ansel yang tengah fokus mengaduk adonan bakwan. "Kamu jadi bawa dia ke sini?"
"Ada Zee?" Ansel terkejut. Ia tak menyangka gadis itu akan kemari hari ini juga. Bersama Am, kepalanya ikut melongok dan mengintip dari dapur.
"Pesanan khusus, nih." Tahu-tahu, Aya masuk ke dapur. "Ada yang mau menemaniku untuk konsultasi pelanggan?"
Seisi dapur diam. Ansel ragu, karena marahnya Zee belum reda sepenuhnya dan ia takut pacarnya malah meledak. Am jelas tidak berani, ia masih sungkan setelah tahu cerita Ansel. Felix sibuk dengan dunianya sendiri, mengabaikan sekitarnya—sangat tidak Felix.
"Ah, lupa, kalian semua lagi aneh. Nggak jadi, deh. Nanti kacau," gerutu Aya. "Ya sudah, aku ke atas dulu. Kalian jangan sampai perang di dapur!"
Am dan Ansel saling tatap-tatapan.
"Kamu nyuruh dia ke sini untuk memesan pesanan khusus?" Am mengangkat alis.
Ansel tersenyum canggung. "Sebenarnya, aku ingin membuat makanan yang bisa membantu proses mediasi kami, tapi kalau marah begini pasti dia tidak mau memakan masakanku jika diberikan langsung. Jadi, kubilang padanya untuk pergi ke sini, sekalian membuktikan kalau aku tidak ada apa-apa dengan siapapun di sini …."
"Ya ampun." Am mendesah. Terdengar simpati dalam suaranya. "Semoga cewek itu memang meminta makanan yang mendukung niatmu itu, ya."
"Terima kasih, Am." Ansel tersenyum. Secepat itu pula, ekspresi Am yang sempat menghangat, padam.
Sebenarnya, ada apa?
✨
"Aha, aku tahu apa yang bikin kamu oleng beberapa hari ini, Ansel!" Aya masuk ke dapur dengan ekspresi menggebu-gebu beberapa saat kemudian. Ia meraih bahu Ansel dan menggoncang badan orang yang jauh lebih tinggi darinya itu. "Kamu lagi tengkar sama pacarmu? Kenapa nggak bilang?"
Kenapa Aya terlihat begitu girang seakan berhasil membongkar rahasia besar?
"Kak, ngapain juga aku curhat urusan percintaanku ke sini?" Ansel berdecak. "Zee cerita tentang hal itu?"
Aya memutar mata. "Ya harus cerita, dong. Masalahnya, jadi pengaruh sama masakannya!" Ia menyentil bahu stafnya yang paling menjulang di dapur itu. "Jadi gimana, Ansel? Kamu mau masak sendiri atau bagaimana? Tadi, dia bilang dia ingin sesuatu yang bisa dimakan berdua dan membantu untuk jujur satu sama lain, sih. Kamu habis ngapain, kok dia sampai curiga kayak gitu?"
Ansel mendengus. "Anak itu cerita detailnya gimana, Kak?"
"Dia iri karena waktumu tersita untuk kerja. Perhatian jadi seadanya. Sering merasa kalau di sini kamu dekat dengan cewek lain. Merasa kalau kamu menyembunyikan sesuatu di baliknya." Aya terkekeh. "Pantas kamu stres sendiri, ternyata cewekmu sudah setidak percaya itu padamu!"
Sesuai dugaan, karena beberapa hari ini memang alasan itu yang menjadi senjata Zee untuk mendiamkan dirinya. "Dia bilang cewek lainnya siapa, nggak?"
"Ya tentu tidak. Buat apa juga aku bertanya sejauh itu?" Aya mendengkus. "Apa? Mau pengakuan dosa?"
Kenapa para wanita ini suka sekali berprasangka buruk? Ansel mengerucutkan bibirnya. "Dia cemburu sama anak-anak Dapur Ajaib, Kak. Keren juga dia nggak ngamuk-ngamuk sama kalian di atas tadi." Karena nggak ketemu Am juga, sih, selaku orang yang paling dicurigai, tambah Ansel di dalam hati.
"Hah? Serius?" Aya tertawa ngakak, begitu puas hingga air matanya keluar. "Ya ampun, Ansel, semangat ya. Kamu kerjakan sendiri aja deh pesanan khususnya. Kalau sama aku atau Am terus ketahuan, nanti makin berabe. Nggak apa, kan?"
Ansel mengangguk. "Dia minta buat kapan?"
"Tanya sendiri, lah." Aya mengerling. "Dia request agar makanannya bisa dimakan berdua, berarti kamu juga harus ikut makan! Kenapa kalian tidak mendiskusikan waktu yang cocok untuk kalian berdua?"
Lelaki itu menghela napas. Semoga ia tidak disemprot wanita kesayangannya yang satu itu. Bahkan Zee sama sekali tak mengabarinya—atau mungkin sebenarnya sudah, tapi Ansel tak tahu karena ponselnya ditinggal di lantai dua? Sepulang kerja nanti ia harus langsung menemui Zee di penginapannya agar hati gadis itu melunak, sepertinya.
Urusan Zee sepertinya akan Ansel pikir seusai sif berakhir saja. Untuk sekarang, di hadapannya ada masalah lain. Rasanya aneh melihat Am dan Felix yang biasa saling bercanda jadi diam-diaman. Bahkan, Felix yang biasa membawa suasana meriah di dapur dan menggoda semua orang itu pun mendadak membisu. Sebenarnya, apa yang terjadi ketika mereka pulang bersama kemarin hingga mereka saling mendiamkan?
Bukan urusan Ansel, sebenarnya. Tapi entah kenapa, ia tak bisa mengabaikan wajah Am yang tampak nelangsa.
Aya mengambil kristal perasaan berwarna hijau daun dan kuning lemon. Rasa pasrah dan tentram. Alih-alih dimasukkan ke botol bumbu, gadis itu mengambil ulekan dan menumbuk kedua kristal itu hingga melebur jadi satu bubukan. Kemudian, Aya mengambil tiga gelas dan mengisinya dengan teh chamomile dingin. Bubuk perasaan yang sudah ditumbuk tadi dibagi sama rata ke dalam tiga gelas itu. Ia menyodorkan satu per satu kepada Ansel, Am, dan Felix.
"Kerja di dapur itu memang tekanannya besar. Aku juga paham kalau tidak semua hari bisa jadi hari yang baik. Oleh karena itu, minum ini dulu, ya." Aya mengecek jam. "Kebetulan setelah ini jam istirahat. Habiskan tehnya, lalu naik ke lantai dua, ya!"
Ini racikan minuman yang menstimulasi rasa tenang dan rileks dalam tubuh. Secara mengejutkan, Am bisa merasakan efek meneduhkan dari bubuk perasaan yang ditambahkan di sana. Hatinya sudah tidak terlalu berkecamuk dibandingkan sebelumnya. Sepertinya itu juga yang dirasakan oleh kedua rekannya.
"Taruh gelasnya ke cucian, lalu ayo ke atas bersama!" Aya berkacak pinggang. "Kalian mau makan siang apa? Jajan apa? Aku turutin, deh, khusus hari ini!"
Biasanya kalau sudah begitu, Felix akan langsung menyambar dan meminta macam-macam hingga Aya mengomel. Tapi, laki-laki itu masih terdiam. Am pun begitu. Ansel, yang pada dasarnya cukup mudah sungkan, tentu saja tidak angkat suara.
"Huh, kalian menyia-nyiakan kebaikanku," gerutu Aya. "Tau, ah! Pusing punya staf kayak kalian!"
Mereka berempat naik ke lantai dua bersama-sama. Tahu-tahu saja Felix berceletuk saat pantat mereka baru mendarat di atas tatami. "Tawarannya masih berlaku, nggak, Kak Aya?"
"Ya, masih!" Aya tersenyum girang. "Nah, gitu dong, ngomong! Diam saja dari tadi, kayak patung!"
"Cheesecake punyanya Toko Roti Awan, Kak Aya. Itu kesukaannya Am." Felix menoleh pada gadis mungil yang menjadi penyebabnya diam seharian ini. "Am, maaf ya. Semalam aku kelewatan."
Am bergeming.
"Kamu memanfaatkan aku untuk memberi makanan permintaan maaf?" Aya terkekeh. "Parah, nggak modal banget, sih!"
"Itu namanya memanfaatkan peluang, Kak Aya." Felix cengar-cengir. Ia menyodorkan tangan ke hadapan Am. "Maafin aku, ya?"
Gadis itu mendengkus, tapi tangan mungilnya menyambut uluran tangan milik Felix. Bibirnya tak mengeluarkan sepatah kata pun. Meski begitu, ekspresinya sudah jauh lebih baik daripada sebelumnya.
"Kalian habis ribut apa, sih? Biasanya juga bertengkar di dapur sambil ketawa-ketiwi!" Pertanyaan Aya sungguh mewakili rasa penasaran Ansel.
"Kepo aja, sih, Kak," seloroh Felix. Aya mendecih mendengar jawaban Felix. Ia memijit pelipisnya.
"Kamu, kamu, dan kamu," ujar Aya seraya menunjuk stafnya satu per satu, "kita ini keluarga. Jadi, kalau ada masalah, tolong dibicarakan dan diselesaikan baik-baik, oke? Karena apa yang ada di hati kalian akan sangat berpengaruh terhadap kualitas makanan di warung ini. Aku siap jadi konselor pribadi kalian, jadi jangan hanya diam kayak tadi lagi, ya?"
Am dan Ansel mengangguk pelan. Felix mengacungkan jempol.
"Sekarang aku mau beli cheesecake dulu, oke?" Aya bangkit dari duduknya. "Ansel, kalau kamu mau diskusi sama mereka soal menu untuk berbaikan dengan pacarmu, boleh banget lho ya!"
Kenapa kesannya Ansel jadi terdengar mengenaskan, hingga masalah percintaannya pun harus dibahas bersama orang di tempat kerjanya? Lelaki itu mengembuskan napas. Sejujurnya, ia memang butuh diskusi. Ia menatap Am dan Felix yang diam saja.
"Aku butuh bantuan kalian untuk diskusi tentang makanan yang cocok untuk pesanan pacarku." Ansel menarik napas, lalu membuangnya perlahan. "Mohon bantuannya, Teman-teman. Karena aku lelah bertengkar dengan beliau terus-terusan."
Felix terkekeh. Ia menepuk dadanya penuh kebanggaan. "Oke, Bro! Kamu bisa percaya sama aku. Gini-gini, track record-ku dengan para wanita bagus, lho!"
"Ya, soalnya kamu buaya," sahut Am. Felix mendengkus lalu tertawa. Ia mengatai Am jomblo seumur hidup yang tidak mengerti percintaan, yang membuat punggungnya dihadiahi keplakan secara kontan.
Ansel tersenyum. Sepertinya kedua temannya ini sudah berbaikan. Ia dan Zee kapan? Semoga segera.
✨
14/4/23
2845 kata.
Tanggal di bab sebelumnya oleng 🤣😭 mohon maaf lahir batin, lagi.
Bab ini ditulis di sela-sela pembelajaran modul kuliah Dina. Sesat, jangan ditiru. Mungkin besok aku nggak akan update? Soalnya harus benar-benar mengejar modul yang menumpuk itu ahhahah😭 mohon doanya aja deh ya..
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro