Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13: Am dan Anak Kabur

"Pelanggan yang kami hormati, sesaat lagi kita akan tiba di stasiun tujuan akhir, Stasiun Kota Harapan …."

Seorang gadis yang sejak tadi terpejam langsung tersentak begitu kalimat pemberitahuan itu menyapa telinganya. Mata bulatnya berkedip-kedip menyesuaikan diri. Ia mengecek jam yang tertera di layar ponsel. Jam empat sore.

Sudah dua belas jam sejak ia pergi meninggalkan rumah.

Tangan si gadis menggenggam ujung blus hitamnya yang mulai pudar dimakan waktu. Kainnya sudah agak lecek, pertanda ia sering diremas oleh pemakainya sepanjang perjalanan ini.

Parasnya jelas menunjukkan ia anak sekolah. Kalau usianya ditaksir, mungkin sekitar 16-17 tahun. Tak ada orangtua yang mendampingi si anak gadis. Hanya tas ransel dan hand luggage yang membersamainya ketika kereta akhirnya benar-benar berhenti.

Sekali lihat, orang pasti bisa melihat raut kebingungan pada remaja dengan kulit kuning langsat itu. Rambut ikalnya yang sudah lepek sedikit bergoyang disapa angin. Gadis itu duduk di ruang tunggu dan membuka ponselnya.

Ia sudah pergi meninggalkan rumah neraka itu. Lantas, sekarang apa?

Am sedang berjalan-jalan di Minggu pagi. Entah apa yang membuatnya tahu-tahu pergi ke stasiun. Sebetulnya, dia ingin pergi ke kota sebelah, tapi dengan waktu tempuh nyaris dua jam, tentu saja waktunya akan habis di jalan. Sebagai gantinya, ia hanya membeli roti maryam dengan topping coklat penghilang rasa lelah yang menjadi menu andalan di stasiun.

Gadis itu baru saja menerima roti maryamnya ketika ia melihat sesuatu—bukan, seseorang. Ia duduk di ruang tunggu dengan raut muka kebingungan. Fitur wajahnya yang punya dagu lancip, kulit kuning langsat, dan mata bulat sungguh mengingatkan Am pada seseorang. Tanpa sadar, Am berjalan menuju gadis itu dan duduk di dekatnya.

"Kak, permisi, apa saya boleh bertanya?"

"Ya? Aku?" Am menoleh. Gadis remaja itu mengangguk. Hati Am memang tidak peka-peka amat, tapi jelas anak itu sedang kebingungan. Ia melihat sekeliling. Anak ini tidak sedang bersama orangtuanya, kah?

"Kakak tahu penginapan terdekat di sini? Yang harganya di bawah 150 koin …."

Dahi Am mengerut. Apa ini modus penipuan baru? Am pernah mendengar ada modus penipuan yang menggunakan anak-anak remaja seperti ini sebagai penggaetnya. Namun, anak ini tidak tampak seperti orang yang mau menipu. "Kamu dari mana?"

"Kota Para Pemimpi …."

Am semakin bingung. Anak ini jelas-jelas terlihat seperti remaja belasan tahun. Kota Para Pemimpi punya jarak tempuh setengah hari dalam arti harfiah. "Orangtuamu?"

Anak itu menggeleng. "Apakah Kakak tahu penginapan murah terdekat dari sini? Saya nggak akan minta antar, kok. Saya bukan orang jahat, Kak."

Mana ada orang jahat yang mengaku? Akan tetapi, Am punya firasat kalau anak itu tidak berbohong. "Kalau penginapan, ada. Tapi, aku nggak yakin harga sewanya kurang dari 150 koin per malam …."

Sebetulnya, Am sedikit terhenyak ketika melihat anak ini dan bicara dengannya. Raut muka, postur tubuh, semuanya mirip dengan Liz. Menurut perkiraan Am, gadis remaja yang ada di hadapannya ini sudah SMA, dan dalam umur itulah ia terakhir kali melihat wujud sahabatnya. Seingat Am, Liz tidak punya adik. Apakah ini saudara jauhnya?

"Kamu punya keluarga di sini?" tanya Am. Anak itu menggeleng. Am semakin bingung.

"Aku antar ke pos polisi saja, ya? Mungkin mereka tahu—"

"JANGAN!" Gadis itu langsung menjerit mendengar kata polisi. "Aku nggak mau dipulangkan!"

Oke, sepertinya ini akan rumit. Sepertinya, Am harus lekas menjauh sebelum masalahnya jadi semakin runyam. Seharusnya anak SMA masih belum boleh berkeliaran sendiri seperti ini, tapi kalau dia bisa naik kereta jarak jauh dari Kota Para Pemimpi, berarti dia sudah punya tanda pengenal yang sah. Yang jadi pertanyaan, untuk apa dia pergi ke kota yang jauh tanpa persiapan yang matang?

Suara perut berbunyi mengalihkan fokus Am. Gadis itu meringis. Am menghela napas, lalu menyodorkan roti maryam yang baru ia beli. "Namamu siapa?"

"Anne." Gadis itu menunduk malu saat menerima roti maryam dari tangan Am. "Terima kasih, Kak."

"Oke … Anne." Am memijit keningnya, bingung sendiri akan situasi ini. "Jadi, kenapa bisa kamu tiba-tiba pergi ke Kota Harapan dan tidak tahu mau tinggal di mana? Ke mana orangtuamu?"

"Saya—" Anne mau bicara, tapi lagi-lagi perutnya meraung. Astaga, malunya. Gadis itu meringis lagi, kali ini sembari mengunyah roti maryam pemberian Am. Mukanya jadi lebih cerah setelah memakan jajanan dengan bubuk penghilang kelelahan itu. "Ini jajanan khas Kota Harapan, ya, Kak? Ternyata benar, ya, ada kekuatan ajaibnya!"

Am lupa kalau kota kelahirannya ini terkenal sebagai penghasil bubuk perasaan dengan kualitas terbaik. Orang sering menyamakan bubuk perasaan dengan kekuatan ajaib, padahal mereka tidak sama. Tapi, yang membuat Am iri, bahkan orang luar kota bisa ikut merasakan efek dari bubuk perasaan. Kenapa ia tak bisa?

"Kak, makasih ya!" Senyum Anne terkembang. "Nama Kakak siapa?"

Kalau hanya menyebutkan nama panggilan, sepertinya aman. "Aku Amilya. Panggil Am saja."

"Terima kasih, Kak Am!" Kepala Anne bergoyang-goyang. Sesaat kemudian, ia murung lagi. "Saya harus tinggal di mana, ya, Kak … apa saya tinggal di stasiun saja?"

"Mana bisa?" Am mendengkus. "Lagian, ngapain kamu kabur jauh-jauh ke sini, sih?"

Anne menatap Am. "Kakak mau dengar ceritanya?"

Am menatap arloji di pergelangan tangannya. Masih jam satu siang. Am bukan tipe yang peduli dengan masalah orang lain, tapi entah kenapa hatinya tergerak untuk mendengar cerita dari orang yang mirip Liz ini. "Boleh, deh."

Maka, mengalirlah cerita dari Anne. Tentang ia yang menjadi murid di sekolah swasta unggulan. Ayahnya adalah donatur terbesar di sana dan Anne selalu diminta untuk jadi yang terbaik. Yang jadi masalah, orangtuanya selalu membandingkan ia dengan anak-anak kolega ayah-ibunya. Seakan itu belum cukup menekan, Anne harus siap menerima caci maki apabila tak jadi nomor satu. Puncaknya, Anne memberanikan diri untuk kabur ke tempat yang jauh agar orangtuanya tak bisa menemukan dirinya.

Entah bagaimana, Am bisa mengerti perasaan anak ini. Tumben-tumbenan Am berempati. Gadis itu juga tidak tahu kenapa, padahal kisah remaja rebel itu sudah biasa. Ada bagian dari Anne yang membuatnya bercermin pada diri sendiri.

Kemudian, Am teringat sesuatu. "Kamu masih lapar?"

"Eh, nggak terlalu, kok," jawab Anne terburu-buru. Dari nada suaranya, jelas-jelas dia sungkan. Am tersenyum.

"Kamu mau ikut aku ke tempat kerjaku? Kebetulan aku kerja di Dapur Ajaib. Kamu pernah dengar?"

Mulut Anne membentuk huruf O. "Wah, yang viral di Barker itu, Kak?"

Am tahu Dapur Ajaib itu terkenal dari mulut ke mulut, tapi jujur saja gadis itu baru tahu kalau tempat kerjanya viral di media sosial juga. "Iya. Mau ikut? Kita bisa makan siang di sana."

Anak remaja itu berbinar matanya, tapi langsung meredup beberapa detik kemudian. "Uang saya terbatas, Kak. Makanan di sana mahal-mahal."

"Lho, aku kan kerja di sana." Am nyengir. "Aku traktir."

"Serius?" Wajah Anne berseri-seri. "Kalau aku beli makanan yang bisa bikin aku hidup jadi orang lain, bisa nggak ya?"

Sebenarnya, berita macam apa yang tersebar tentang Dapur Ajaib? Kemarin ada pelanggan yang ingin mempercepat kematian, sekarang anak remaja ini malah ingin hidup jadi orang lain. Am mendesah, mungkin saja Aya punya jawabannya. "Coba kita lihat, ya."

"Terima kasih, Kak Am!" Anne tersenyum hingga matanya menyipit saking lebarnya. Am tertegun sejenak. Sungguh, wajah Anne dan Liz terlalu mirip untuk dibilang kebetulan. Masa anak ini tak punya saudara di sini?

Am dan Anne berjalan menuju parkiran. Baru Am sadari, walau masih remaja, Anne jauh lebih tinggi daripada dirinya. Tinggi Am hanya sampai di telinga Anne. Ini dirinya yang terlalu mungil atau anak remaja sekarang memang sepesat itu tumbuh kembangnya?

"Naik skuter nggak apa, kan?" Am mengeluarkan skuter merah mudanya dari parkiran. "Tasmu taruh di keranjang aja yang ransel. Kalau yang gede nggak muat, jadi kamu pangku aja, ya."

"Tidak merepotkan, Kak?" Anne bertanya ragu melihat skuter Am yang mungil. Karena Am menggeleng, ia pun naik. Mereka berdua pergi menuju Dapur Ajaib.

"Selamat datang, Pelanggan!" sambut Ester saat Am membuka pintu warung. "Lho, Kak Am. Baru jam setengah tiga kok sudah datang?"

"Kak Aya ada?" Am menghampiri kasir. "Tolong panggilin, dong, kalau ada orangnya."

Ester mengangguk dan memanggil kepala dapurnya. Am dan Anne duduk di salah satu kursi kosong yang terletak di samping jendela. Remaja dengan rambut ikal sedada itu menatap kagum deretan makanan di etalase. "Itu semua ada bumbu ajaibnya, Kak Am?"

"Bubuk perasaan," koreksi Am. Anne tak peduli. Wajah bingung yang Am lihat di stasiun sudah hilang, berganti perasaan antusias.

Bagaimana bisa anak ini begitu berani pergi dari rumah sendirian? Am yang seumur hidup belum pernah keluar kota lintas provinsi sendirian tidak bisa memahami hal itu. Separah apa orangtuanya hingga gadis ini memilih untuk kabur sejauh itu?

"Hai, Am! Kenapa nggak masuk dapur aja?" Aya menghampiri meja yang ditempati Am dan Anne. "Lho, ini siapa? Adikmu?"

Am menggeleng. "Anak nemu di stasiun."

Dahi Aya mengerut. Padahal, Am tidak bohong, memang begitu adanya. "Serius, Kak Aya. Dia lagi kabur dari rumah."

Anne dan Aya sama-sama melotot. Aya kaget karena Am membawa anak remaja yang kabur ke warungnya, Anne kaget karena Am membeberkan tujuan perjalanannya begitu saja ke orang lain.

Seakan tidak peka dengan keterkejutan dua orang di hadapannya, Am melanjutkan. "Anne, tadi kamu mau makanan yang bisa bikin kamu hidup jadi orang lain, kan? Mungkin, Kak Aya bisa membantu."

"Oh, mau buat pesanan khusus?" Ekspresi Aya melembut. "Ikut aku ke lantai dua, yuk, kalau begitu!"

"Eeeh?" Remaja itu menatap panik Am dan Aya. "Tapi, aku nggak punya uang!"

"Sudah kubilang, aku karyawan di sini. Ya kan, Kak Aya?" Am tersenyum. "Lagipula, bayarnya bukan pakai uang. Kamu ngobrol dulu aja sama Kak Aya, nanti juga tahu sendiri."

Aya mengulurkan tangan, mengajak Anne dan Canary—tugasnya memang membantu Aya untuk mencatat—naik ke lantai dua. "Am, kamu ikut! Kan, kamu yang bawa dia ke sini!" Aya berseru ketika melihat gadis mungil berambut hitam itu tak beranjak dari tempatnya.

"Iya Kak, sebentar!" Am balas berseru. Ia membuka ponselnya dan membuka album foto. Jarinya menggulir layar hingga sampai di foto Am, Felix, dan Liz yang sedang pose bertiga. Mata Am fokus ke wajah Liz yang tertawa di sana. Mirip sekali dengan Anne.

Am menggeleng. Mereka dua manusia yang berbeda. Kenal pun tidak. Mana mungkin ada kaitannya?

Gadis itu berpapasan dengan Felix dan Ansel yang baru datang ketika hendak naik ke lantai dua. "Ada pelanggan untuk pesanan khusus," Am mengabari, walaupun dia bingung juga kenapa dia harus berkabar ketika Felix dan Ansel tidak bertanya apa-apa.

Felix ber-oh ria. "Berarti kami ganti baju di bawah aja?"

Kepala Am mengangguk. "Iya, gitu aja. Biar nggak keramean."

"Oke, makasih Am!" Felix mengacungkan jempol, lantas menggandeng Ansel ke kamar mandi. Kenapa pula harus digandeng? Am geleng-geleng kepala melihat kelakuan rekan-rekan prianya. Tadinya ia mau memberitahu Felix tentang Anne yang sangat mirip dengan Liz, tapi ada Ansel di sana.

Saat Am sudah sampai di atas, Anne sedang mencurahkan seluruh isi hatinya pada Aya. Air matanya bahkan mengalir begitu deras dan ia sesenggukan, padahal ketika ia cerita pada Am gesturnya biasa saja. Jujur, Am curiga kalau Aya bukan lulusan akademi masak, tapi psikologi.

"Bukankah lebih baik kalau kamu pulang dan mengomunikasikan hal ini dengan orangtuamu secara langsung?" Aya bertanya setelah Anne sedikit lebih tenang.

"Saya … saya nggak mau pulang." Anne menunduk. "Kalau boleh jujur, saya capek. Bisa, nggak, saya makan sesuatu yang bikin saya bisa hidup jadi orang lain?"

"Kamu mau bikin pesanan khusus untuk jadi orang lain?" Bibir Aya menyunggingkan senyum. "Kami juga bisa membuat masakan yang mengubah hidup orangtuamu. Jadi win-win solution. Mau?"

Am melotot pada Aya. Kenapa kesannya Dapur Ajaib jadi seperti masakan penuh sihir begitu?

Anne tampak berpikir keras. "Harganya …?"

"Oh, tenang. Untuk pesanan khusus, bayarnya bukan pakai koin." Aya tersenyum. "Kami dibayar dengan perasaan pelanggan setelah menyantap makanan itu."

Dahi Anne berkerut. "Caranya …?"

Sejujurnya, walau terhitung sudah dua pekan Am bekerja di Dapur Ajaib, Am juga masih belum paham tentang cara para pelanggan membayarkan perasaan mereka. Ia menunggu jawaban dari Aya.

"Rahasia." Aya tersenyum simpul. "Yang jelas, kamu tidak perlu khawatir tentang uang. Tapi …."

Wanita berambut biru itu pasti sengaja menggantung kata-katanya, Am yakin. Apakah Aya sengaja, karena Anne tampak seperti remaja yang mudah dipancing? Karena jika jawabannya ya, umpan Aya berhasil. Remaja itu menatap Aya penuh keingintahuan.

"Kekuatannya tidak akan bekerja kalau kamu tidak memakannya bersama orangtuamu." Mata sipit Aya menatap mata bulat Anne bulat-bulat. "Jadi, kamu harus pulang. Bagaimana?"

Raut kecewa tergambar jelas di wajah Anne. "Nggak bisa ya, Kak, kalau buat saya sendiri?"

Aya menggeleng dengan wajah penuh penyesalan. Setahu Am, seharusnya bisa karena sejauh yang Am tahu tidak ada batasan semacam itu, tapi entah apa yang direncanakan kepala dapurnya yang satu ini.

"Lagipula, memangnya kamu tahu mau tinggal di mana setelah ini?" tanya Aya. "Kamu masih membawa tas ransel dan tas untuk baju-bajumu. Seharusnya, kalau kamu sudah tahu mau tinggal di mana, kamu tidak akan membawa benda seberat itu ke sini."

Kepala Anne makin merunduk. Pasti sedang bimbang.

"Nggak mungkin aku balik sekarang juga …," gumam si gadis remaja. "Tiket ke Kota Para Pemimpi cuma ada satu kali setiap hari …."

"Lho, kamu dari Kota Para Pemimpi?" Aya menyahut dengan suara antusias. "Juru masak kami ada yang asalnya dari sana, lho!"

"Serius?" Anne mengangkat kepala, menatap Aya.

Aya tersenyum girang. "Kamu tahu Ansel Seirei?"

Mata Anne membulat. "Ansel Seirei yang cucunya Jonathan Seirei? Yang juri MasterCook?"

"Iya!" Wanita keturunan Jepang itu mengangguk. "Harusnya dia sudah datang, sih. Felix dan Ansel belum datang, Am?"

Am yang dari tadi memposisikan diri untuk menyimak sedikit kaget saat tiba-tiba ditanya. Kenapa Aya suka mengalihkan pembicaraan sesuka hatinya, sih? "Tadi mereka sudah datang, kok. Sepertinya ke dapur duluan, deh."

"Wah, serius Ansel Seirei yang itu?" Anne masih terkagum-kagum. Am heran dibuatnya. Apakah memang Ansel sepopuler itu di kota asalnya? Maksud Am, ia tahu kalau Jonathan Seirei memang tersohor sebagai ahli juru masak sejak dulu, tapi Ansel?

Ada kilatan di mata Aya. "Nah, kamu bisa dibuatkan masakan oleh Ansel Seirei dan dapat makanan yang membuatmu jadi orang lain, lho, kalau membeli pesanan khusus di Dapur Ajaib. Tidak perlu mengeluarkan uang, pula! Kamu yakin mau melewatkan kesempatan ini setelah jauh-jauh ke Kota Harapan?"

Anne menggigit bibir. "Makannya harus bersama orangtua?"

"Iya, dong. Jadi, mau tidak?"

Tangan remaja itu menggamit ujung blusnya. Tawaran yang sungguh menggiurkan, apalagi wangi masakan dari dapur yang ia cium saat menunggu bersama Am di bawah tadi cukup sedap. "Mau, deh …." ujar Anne lirih. "Tapi, aku tidak tahu mau kembali ke kotaku kapan …."

"Secepatnya, dong?" Am berceletuk. "Memangnya kamu nggak dicariin?"

Anne mendengkus. "Mana ada peduli? Mereka cuma berlagak peduli kalau anaknya tidak sesuai dengan keinginan mereka!"

"Besok, ya." Aya menyodorkan slip pembayaran yang diambil dari buku catatan yang dipakai Canary. "Ansel cuma bisa masakin sampai besok, nih, sayangnya. Kalau ditunda lagi, kami juga sedang tidak bisa memproses pesanan khusus."

Secara tidak langsung, Aya menyuruh Anne pulang secepatnya. Remaja itu menghela napas dan menandatangani slip pembayaran.

"Terima kasih!" Anne menunduk dalam-dalam. Canary sudah hendak berdiri karena biasanya Aya akan menyuruhnya mengantar pelanggan ke bawah, tapi Am menahannya.

"Kak Aya, Anne belum ada tempat menginap. Rumahku nggak mungkin diinapin mendadak, jadi Anne boleh pinjam kamar di sini, nggak, ya?" Am tidak menyangka kalimat itu keluar dari mulutnya. Bibirnya beraksi lebih cepat daripada pikiran. "Nanti, aku juga menginap di sini."

"Boleh aja." Aya, di luar ekspektasi, mengiyakan permintaan itu begitu saja. "Nanti bilang ke anak-anak sif malam, biar mereka nggak asal naik ke lantai dua. Kan cowok semua itu!"

"Terima kasih, Kak Aya!" Am tersenyum hingga mata bulan sabitnya menyipit. "Anne, kamu belum makan siang, kan? Ambil aja di bawah, nanti bilang ke kasirnya kalau bayarnya potong gaji Am. Oke?"

Ini bukan karakter Am. Gadis itu sulit, bahkan nyaris tidak bisa punya empati. Kenapa, ya, Am menolong Anne sejauh ini? Padahal, Am punya pilihan untuk membiarkan anak itu begitu saja atau membawanya ke kantor polisi.

Setelah berganti baju, Am turun ke lantai satu. Sebelum ke dapur, ia berbelok ke tempat Anne. Am menatap Anne yang memakan makan siangnya dengan lahap.

Kalau seperti ini, ia makin mirip dengan Liz ….

"Kak Am, terima kasih, ya!" Tiba-tiba Anne meraih tangan Am. Matanya berkaca-kaca. "Kalau nggak ketemu Kak Am, saya tidak tahu bagaimana nasib saya jadinya. Untung saya bertemu orang yang baik hati seperti Kakak!"

Am? Baik hati? Dua kata itu nyaris tak pernah bersanding bersama. Yang terakhir kali bilang kalau Am baik hati adalah Liz, dan hari ini orang yang mengucapkannya adalah seseorang yang nyaris serupa dengan Liz.

Tanpa sadar, air mata Am mengalir.


7/4/23
2670 kata.

Katanya masak, Din. Mana masaknya?

Yhh maaf ya. Habis ini masak kok, serius. Selamat berlapar-lapar ria 😌

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro