12: Roller Coaster Perasaan
Sepertinya, ketika orangtua Am memberikan nama Amilya Kiseki, kata “Am” dalam namanya adalah singkatan dari kata ambisius. Sejak kecil, gadis berambut pendek itu selalu kompetitif dalam segala hal. Belum berhasil baginya kalau belum jadi nomor satu, dan begitulah hidupnya berjalan hingga memasuki kepala dua. Orangtuanya pun mendukung sepenuh hati dan mencoba segala cara agar anak mereka tetap jadi yang nomor satu. Selama ini, Am tidak masalah dengan hal itu, karena orangtuanya juga tidak memakai jalur orang dalam, meskipun kadang Am dibuat malu ketika orangtuanya melabrak orang lain yang menghalangi prestasi anaknya.
Namun, yang ini berbeda.
“Pa, bahkan Am belum dapat gaji pertama.” Am menatap tidak percaya selembar formulir pendaftaran short course memasak di tangannya. “Maksud Papa apa?”
Papa Am, lelaki yang sudah menyentuh usia setengah abad, memiliki mata bulan sabit yang sangat mirip dengan Am. Mata yang nyaris sama itu menatap Am dalam-dalam. “Papa nggak tega lihat kamu tiap hari harus datang lebih pagi hanya demi bisa memasukkan ketulusan ke dalam masakan,” ujar beliau. “Bukankah akan lebih baik kalau kamu sekalian mencoba mulai di luar negeri, yang tidak memuja perasaan seperti di tempat ini?”
Am menghela napas. “Namanya juga belajar, Pa. Am juga tidak masalah, kok.” Walaupun kadang rasanya dongkol karena dibandingkan dengan manusia yang sudah unggul dari awal, tambah Am dalam hati. Tentu saja ia tidak mengatakannya secara terbuka. “Lagipula, Dapur Ajaib kan masuknya susah. Ini juga keinginan Am, kok.”
“Kamu bisa jauh lebih baik daripada sekarang, Nak, kalau ke luar negeri.” Papa menyodorkan lagi formulir pendaftaran yang Am hempaskan ke meja. “Tolong dipertimbangkan, ya? Papa dan Mama hanya ingin yang terbaik untukmu. Kalau kamu bisa berkembang lebih pesat di luar sana, mungkin kamu juga bisa lepas dari—”
“Maaf, Pa. Am sedang tidak ingin membahasnya.” Memang tak disinggung sama sekali pemicunya, tapi gadis itu tahu ke mana pembicaraan ini menuju. “Am ke kamar dulu, ya. Jam sebelas nanti ada acara di Dapur Ajaib.”
Itulah yang membuat Am terlambat datang ke Kafe Rahasia. Ia ke kamar, tapi alih-alih bersiap, ia berbaring di atas sofa kasurnya. Mata coklatnya memandangi langit-langit kamarnya yang putih bersih.
Gadis itu patut bersyukur karena Tuhan memang telah membekalinya dengan sifat kompetitif dan tak mau kalah, tapi sejauh ini ia cukup menikmati pekerjaannya di Dapur Ajaib. Walaupun sering dibuat kesal oleh standar tinggi Aya terkait ketulusan, kadang masih jengkel kalau mengingat Ansel si anak berbakat dengan privilege aneka rupa, Am suka memasak di sana. Begitu ia menguasai cara memasukkan ketulusan ke dalam masakan, Am yakin dia bisa jadi juru masak terbaik di sana. Toh, masakan-masakan yang ia buat seringkali cepat ludes dan bisa dinikmati para pelanggan—ia suka diam-diam mengintip orang yang mengambil lauk buatannya dan makan di tempat. Itu awal yang bagus.
Masalahnya, Mama dan Papa ingin Am punya pencapaian setinggi apa?
Belum lagi Papa yang sepertinya sangat ingin Am lepas dari masa lalunya. Gadis itu teringat Liz. Manusia yang paling berbinar matanya saat Am bilang ingin serius menekuni dunia masak-memasak. Orang yang akan menghujani Am dengan segala macam apresiasi. Kehadirannya yang tiba-tiba sirna tak berjejak kecuali kuburnya yang—
Cukup. Am ingin menjerit, tapi tak bisa. Selama ini dia ingin ke Dapur Ajaib, menjadi juru masak terbaik di sana, jadi nomor satu di Kota Harapan itu demi memenuhi cita-cita.
Cita-cita siapa?
"Cita-citaku, lah!" Am marah dengan keraguan yang muncul ke permukaan. "Cita-cita siapa lagi? Buat apa aku susah-susah menembus Dapur Ajaib kalau bukan buat keinginanku sendiri?"
Bukannya itu cita-cita Liz yang ingin kamu wujudkan?
Am menjambak rambutnya, frustasi. Gadis itu tak suka dengan perasaan yang tiba-tiba menyergap hatinya. Perasaan selalu merasa kurang. Perasaan selalu gagal.
Am lelah. Ia tertidur dan tahu-tahu sudah jam sepuluh pagi. Makanya ia hanya sempat membuat telur gulung yang, syukurnya, masih enak walau dibuat terburu-buru.
Am pikir, ia bisa melupakan sejenak perasaan berat yang hinggap di hatinya. Ternyata tidak. Nasi kepal Ansel yang menghadirkan rasa hangat misterius dalam dadanya pun hanya bertahan dalam hitungan menit. Pandangannya kosong hingga ia tak sadar tumpukan kartu sudah dioper ke hadapannya.
“Am, kamu sakit?” Aya bertanya khawatir. “Kamu mau izin kerja dulu hari ini?”
“Hah?” Mata Am mengerjap. Ia baru menyadari tangan Felix yang menyodorkan kartu di hadapannya. “Ah, nggak kok, Kak. Tadi melamun aja. Maaf.”
“Kamu beneran nggak apa?” Felix berbisik pelan di telinga Am. “Kamu dari tadi aneh, tau, nggak?”
Gadis itu hanya menggeleng sebagai jawaban. Ia mengabaikan Felix yang masih mencecar dengan pertanyaan dalam bisikan dan mengambil selembar kartu truth or truth dari tumpukannya. Ini masih di lingkungan kerja walaupun sedang acara santai, jadi Am sekeras mungkin berusaha tidak membawa perasaannya di sini.
Apakah Am bisa bertahan sampai malam nanti? Harusnya bisa, Am kan sudah terlatih untuk selalu jadi yang terbaik kapanpun dan dimanapun. Am mencamkan hal itu pada dirinya, meskipun hatinya terasa bagai diremas.
✨
“Am, kamu apa tidak mau pulang saja?” Selepas acara, Aya menepuk bahu Am yang hendak mengendarai skuternya ke arah Dapur Ajaib. “Muka kamu pucat banget. Serius.”
Cerminan wajah Am terpantul di layar ponsel. Am tidak merasa wajahnya pucat atau mengkhawatirkan. Ia mengerutkan dahi. “Aman kok, Kak."
"Serius?" Aya masih ragu.
"Serius." Am mengangguk. Gadis itu teringat sesuatu. "Omong-omong, ada kabar dari pelanggan yang kemarin, nggak, Kak?”
"Yang pesanan khusus itu?"
Am mengangguk.
Aya berpikir sejenak. Ia menggeleng kemudian. Am jadi semakin kepikiran dengan masakan yang dibuatnya kemarin.
"Kamu dari tadi bengong memikirkan itu, kah?" Aya menepuk pundak Am. "Tanggung jawab kita itu berusaha yang terbaik, Am. Selama tidak ada berita buruk macam laki-laki yang mendadak ditemukan meninggal di samping makanan dari Dapur Ajaib, seharusnya pelanggan itu baik-baik saja. Kamu sudah memasak dengan sepenuh hati, kan?"
"Sudah, kok." Gadis itu mengangguk. "Tapi, kenapa harus sama Ansel sih, Kak? Mana Kak Aya nggak ada, lagi!"
"Kalian gelut?" Aya terkekeh. "Dua orang yang sudah top tier dari akademi yang top tier juga, harusnya sih hasil masakannya sudah level atas, ya. Kamu sempat foto hasilnya, nggak?"
Am menggeleng. "Keburu kesel sama Ansel." Sama Kak Aya juga, karena banding-bandingin terus, tapi kalau yang itu aku pasrah, Am meneruskan dalam batinnya.
Gadis keturunan Jepang itu malah tertawa. "Kamu kenapa, sih, sensi banget sama Ansel? Kalian itu sama-sama keren, padahal. Kenapa kalian nggak saling belajar aja?"
Kalau Felix yang bertanya begitu, sudah pasti Am langsung menunjukkan ekspresi bombastic side eye dan mengeluarkan rentetan emosinya. Akan tetapi, yang bertanya ini Aya, atasannya sendiri. Am juga sadar kalau alasan bencinya dia pada Ansel bakal terdengar irasional kalau diceritakan pada orang lain, jadi Am hanya tersenyum tipis dan mengeluarkan kunci skuter. "Kak Aya nggak ke Dapur Ajaib? Mau jam tiga, loh."
"Yah, berkelit dia. Pertanyaanku tak dijawab lagi," gerutu Aya. Dia mengeluarkan motornya dari parkiran. "Aku tidak ingin ada pertikaian antara anak-anak buahku. Kalau kalian gelut terus, aku bakal terus bikin kalian kerja bareng!"
"Yah, jangan dong, Kak!" protes Am. Percuma, Aya dan motornya sudah melenggang dari parkiran. Gadis itu mendengkus. Ia tak bisa memahami pemikiran Aya, tapi ya sudahlah. Am mengendarai skuternya menuju Dapur Ajaib.
Ketika hendak memasuki halaman parkir, Am nyaris menabrak seseorang. Ia buru-buru menurunkan sebelah kakinya untuk mengerem laju skuter. Orang yang hampir tertabrak juga sama terkejutnya hingga buket mawar yang dibawanya jatuh.
"Ya ampun Kak, maaf!" Am buru-buru dari skuternya, hendak membantu mengambil buket mawar yang jatuh tadi, tapi keduluan. Mereka saling bertatapan.
Orang yang hampir ditabrak Am adalah seorang wanita yang tampaknya sebaya dengan Am. Parasnya ayu, dengan hidung kecil mancung dan bulu mata lentik. Kulitnya bersih dan cerah. Rambutnya lurus sepunggung dan bentuk matanya mirip almon. Walaupun sama-sama wanita, Am refleks mengagumi kecantikan orang yang ada di hadapannya saat ini.
"Ini benar Dapur Ajaib, ya?" Gadis itu bertanya dengan nada yang sangat halus. Suaranya bahkan lebih jernih daripada si kembar yang sudah membuat Am kagum. Am mengerjap sebentar sebelum mengangguk. "Kakak kerja di sini?"
Apakah ini calon pelanggan pesanan khusus? Am mengiyakan. "Kakak mau cari makanan apa?"
"Ah, bukan … Kakak kenal Ansel?"
Wanita rupawan ini siapanya Ansel? Am berusaha menyembunyikan rasa sebalnya ketika nama Ansel disebut. "Oh, iya, rekan kerja saya itu. Kakak mau cari dia?"
Pipi wanita itu merona. "Iya, boleh kalau tidak mengganggu kerjanya … tolong bilang kalau pacarnya berkunjung, ya, Kak."
Pacar? Am memandangi wanita dengan perawakan jenjang itu, terkejut. Laki-laki itu sempurna sekali hidupnya: punya bakat dan kemampuan tingkat dewa, lahir dari keluarga dengan koneksi dan uang yang tak main-main, dan ternyata punya pacar yang penampilannya membuat orang bisa jatuh cinta pada pandangan pertama seperti ini? Entah kenapa, Am jadi kesal. Namun, mana mungkin ia melampiaskan kekesalannya di hadapan wanita ayu ini? Jadi, Am hanya tersenyum seramah yang ia bisa dan mengangguk.
"Ini dengan Kak siapa?" Wanita itu bertanya saat Am hendak masuk ke dalam warung.
"Am, Kak." Anak itu masih memasang mode senyum profesional. "Amilya."
"Baiklah, terima kasih ya, Kak Amilya!" Pacar Ansel tersenyum manis. Am buru-buru masuk dan melongok ke dapur. Ia tak ingin berurusan lama-lama dengan apapun yang menyangkut lelaki itu. Akan tetapi, hanya ada anak-anak magang di sana.
Gadis mungil itu naik ke lantai dua. Ansel dan Felix baru keluar dari salah satu kamar tidur dan sudah berganti dengan seragam kerja. Tiba-tiba, Am merasa kelu untuk mengabarkan kedatangan pacar Ansel pada yang bersangkutan.
"Ada apa?" Suara Ansel yang sedikit serak menyadarkan Am. "Kenapa diam di ujung tangga?"
Mata Am mengerjap. "Oh, Ansel, pacarmu nunggu di bawah!" Gadis itu buru-buru masuk ke bilik yang kosong dan menutup pintu sebelum Ansel sempat bertanya siapa.
Kenapa Am makin merasa kesal?
Am menghela napas. Sebetulnya, ada apa dengan dirinya hari ini?
✨
"Aku sudah menahan diri buat nggak nanya dari tadi, tapi nggak bisa." Felix menghadang Am ketika gadis itu hendak keluar dapur. "Kamu kenapa, sih?"
Jam kerja akhir pekan untuk sif siang sudah selesai. Aya dan Ansel sudah naik ke lantai dua terlebih dulu, tapi Felix menghalangi sahabatnya. Lelaki dengan perawakan kurus itu merentangkan tangan agar Am tidak bisa lewat.
"Kenapa semua orang tanya aku kenapa, sih?" Am mengerang. "Emangnya mukaku kelihatan kayak gimana, sampai semua orang tanya begitu?"
Felix mendecak. "Pertama, Am yang ambis tidak biasanya datang terlambat ke suatu acara. Kedua, Am yang kukenal pasti akan memilih untuk cari ribut atau minta tukar tempat duduk agar tidak duduk di dekat orang yang dianggap musuh. Ketiga, Am tidak biasanya melamun sebelum memasak." Lelaki berambut pirang itu berkacak pinggang. "Ngaku, kamu ada masalah apa sebenarnya?"
"Dibilang nggak kenapa-kenapa, juga. Aku cuma lagi capek." Tangan kecil Am mendorong badan Felix yang jauh lebih tinggi darinya. "Minggir, aku mau ganti baju!"
"Am, kalau ada apa-apa cerita. Gini-gini aku masih sahabatmu," keluh Felix. "Mungkin aku bukan pemberi saran yang handal seperti Liz, tapi aku pendengar yang baik, lho."
Liz. Nama itu muncul lagi. Am jadi teringat perkataan Papa pagi tadi.
Mungkin kamu bisa lepas dari—
—bayang-bayang sahabatmu. Am yakin itulah lanjutan perkataan Papa. Dan rasa bersalahmu.
Gadis itu jadi makin jengkel. Ia menendang kaki Felix. "Minggir!"
Lelaki itu menyingkir dari pintu dan memberi jalan, geleng-geleng kepala. Felix sudah kenal Am dari kecil. Jelas-jelas anak itu sedang terganggu oleh sesuatu, dan itu lebih besar daripada kehadiran Ansel yang dianggap saingan. Ia mengikuti langkah Am yang sudah berjalan cepat menaiki tangga.
"Am, Felix!" Aya keluar dari kamar ganti. Ia menunjuk meja yang penuh dengan jajanan dan pernak-pernik. "Oleh-olehnya ambil sendiri, ya! Pilih sesuai yang paling cocok sama kalian!"
"Asyik! Gitu dong, Bu Aya!" Felix berseru girang.
"Sekali lagi panggil Bu Aya, kamu aku pecat!"
Felix mendelik. "Mana bisa begitu? Aku sudah banyak bantu Kakak, tau!"
"Pamrih banget, sih, kamu?"
"Manusia itu butuh reward, Kak Aya. Lagian, Kak Aya sih …."
Am tak ingin mendengarkan debat kusir Felix dan atasannya, jadi ia mendekat ke meja lesehan. Di dekat cokelat dengan krim rasa sakura dan sesuatu yang mirip jimat, buket mawar merah tergeletak.
Itu dari pacar Ansel.
"Permisi, Am." Suara dari belakang membuat gadis itu tersentak. Ansel menunduk dan berlutut di sebelah Am untuk mengambil buketnya.
Am tertegun melihat Ansel yang tersenyum begitu lembut sembari menatap buket mawar dari pacarnya. Lelaki bule itu tak pernah tersenyum seperti itu padanya. Kalau dipikir-pikir, itu sebenarnya tidak mengherankan, karena Am sudah memusuhinya dari hari pertama dan belum ada tanda-tanda untuk mengakhiri perang, tapi kenapa Am merasa aneh?
Sepertinya Am butuh cuti. Belum ada sebulan bekerja di Dapur Ajaib, dia sudah merasakan terlalu banyak emosi, dan gadis itu tak menyukainya.
✨
6/4/23
2052 kata.
Aku merasa chapter ini agak mbulet, sejujurnya. Aku ingin membuka sisi Am yang lain, sisi Am yang membuat dia ambis dan tidak suka kalau ada orang yang ngalahin dia, tapi ternyata tidak semudah bayangan yah. Padahal udah dibikinin kerangka juga 🥲
Ya sudahlah, namanya juga first draft. Dan aku harus menjaganya agar tetap fluffy 😌
Bab berikutnya, kita masak-masak lagi, ya!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro