Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

10: Pulang Bersama

Seluruh pegawai Dapur Ajaib baru saja hendak bertukar sif pada jam tujuh malam ketika isi grup mereka dihebohkan dengan kiriman foto bunga sakura dari Aya.

"Mendadak diajak trip sama seseorang, baru sempat ngabarin sekarang," tulis Aya di caption foto. "Besok sudah kembali, kok. Lagi mengangkasa di udara. Maaf bikin panik!"

Dilihat dari langit dan nuansa latar di belakangnya, jelas itu bukan pohon sakura ajaib yang ada di Taman Para Pemimpi. Kemudian, ada kiriman foto berikutnya. Muka Aya, tapi dengan rambut biru toska dikuncir dua dan lensa kontak yang senada.

"Bonus foto cantik aku yang cosplay jadi Hatsune Miku!" tulisnya.

Tentu saja yang paling pertama bereaksi adalah Felix. Umpatan meluncur dari mulut lelaki itu. "Sampai Bu Aya nggak bawa apa-apa buat kita, aku bakal cuti seminggu beneran!"

"Kak Aya memang biasa se-random ini?" Am bertanya pada Faisal yang geleng-geleng kepala melihat isi pesan dari Aya. Lelaki dengan cambang tipis itu memijit dahinya, jelas ikutan tak habis pikir dengan kelakuan rekan sesama kepala dapurnya yang satu itu. Sebenarnya, Am juga ingin bertanya apakah memang pegawai boleh menghilang sesuka hati seperti itu, tapi mungkin kalau sudah jadi kepala dapur akan ada privilege lebih. Ia mengurungkan niatnya, apalagi setelah melihat wajah Faisal yang tampak frustasi.

Di tengah-tengah Felix yang bersumpah serapah dan Am yang keheranan, Ansel mengucap syukur. "Hati-hati, Kak Aya," ketiknya di grup. Kemudian, ia menepuk bahu Felix. "Syukur deh, besok kamu udah nggak perlu jadi kepala dapur lagi."

"Iya, aku bersyukur banget," Felix mendengkus. "Aku nggak perlu melerai permusuhan dua anak dapur lagi!"

Ansel melirik Am yang menatap Felix penuh kesinisan. Gadis yang memiliki warna peach terselip di bagian dalam rambutnya itu memutar mata sebelum kembali bertanya-tanya tentang keanehan Aya pada Faisal.

Andai Ansel manusia biasa saja dan tidak memiliki garis keturunan orang terkenal, akankah gadis itu melunakkan sikap dan bisa berlaku akrab padanya, seperti yang dilihat oleh matanya saat ini?

Kepala manusia keturunan bule itu langsung menggeleng begitu menyadari pikiran aneh yang baru saja melintas dalam benaknya. Ia menyimpan sepatu karet yang masih tergeletak ke dalam rak sepatu dekat tangga dan mengambil sepatu kets putih buluk miliknya.

"Felix, kamu lagi bawa kendaraan apa?" Samar-samar, telinga Ansel mendengar Am bertanya pada Felix. "Lagi nggak bawa skuter, nih, aku!"

"Hari ini aku lagi nggak bisa kalau harus belok ke arah rumahmu dulu," keluh Felix. Tahu-tahu saja, bahu Ansel yang berdiri di ambang tangga ditepuk. "Sama Bro Ansel aja! Katanya rumah kalian searah?"

Bukan searah lagi, berhadap-hadapan malah. Namun, sepertinya Felix masih belum mengetahui fakta yang satu itu. Ansel kontan menoleh dan sedikit berjengit karena terkejut.

Am merengut. "Mending aku jalan kaki sendiri kalau gitu!"

Dalam hati, Ansel menyangsikan perkataan Am. Ia saksi mata betapa gadis itu ketakutan pada anjing liar yang keluar dari sisi trotoar tanpa permisi dua hari lalu. Lagipula, ini sudah malam. Meskipun dia manusia yang menyebalkan, mana mungkin Ansel tega membiarkan rekan kerja perempuannya berjalan sendirian di malam hari?

Felix jelas menganut prinsip itu juga, karena ia menghela napas melihat betapa keras kepala temannya yang satu itu. "Masalahnya aku beneran nggak bisa, bukan nggak mau. Tadi kalian aja bisa masak bareng, kok, masa pulang bareng nggak bisa?"

"Aku nggak masalah," sahut Ansel. "Aku lagi sewa motor, jadi bisa lebih cepat."

"Nah, malah enak tuh! Hari ini aku pakai skuter adikku! Mana enak duduk di sadel penumpang skuter?" Felix nyengir. Ia keluar dari bangunan Dapur Ajaib. "Dah, Am! Dah, Ansel!" Begitu saja, lelaki berambut pirang itu melesat pergi. Tinggal kedua orang itu di halaman parkir.

Ansel memanaskan mesin motornya. "Gimana jadinya?"

"Kenapa aku selalu kejebak sama kamu, sih?" Am mencebik. "Kenapa coba harus kamu, dari sekian orang yang bisa?"

Reaksi yang sangat bisa diduga, sebenarnya. Ansel berusaha agar ia tak ikut terpantik. "Tanya sama Tuhan, coba." Lelaki yang tengah mengenakan kemeja biru tua dan celana khaki itu mengedikkan bahu. "Sebenarnya, aku nggak tega meninggalkan perempuan sendirian, tapi kalau kamu nggak mau, aku bisa apa?"

Mata Am memicing. "Selain punya koneksi orang dalam, kamu juga jago gaslighting, ya?"

"Siapa yang gaslighting, sih?" Ansel menghela napas. Sepertinya apapun yang ia lakukan akan selalu salah di mata Am. Ia memakai helmnya. "Jadi, mau apa nggak?"

Tidak ada pilihan lain, sebenarnya. Walaupun hanya memakan waktu setengah jam dengan berjalan kaki, jalanan malam hari tidak seaman itu, apalagi untuk perempuan. Am merasa dirinya bagai memakan buah simalakama.

Bagaimanapun juga, keamanannya lebih penting. Dengan hati yang tak ada ikhlas-ikhlasnya, Am naik ke atas jok penumpang motor Ansel. Entah apa alasan Ansel menyewa motor dengan dudukan belakang yang tinggi. Kakinya tidak bisa sampai, sekeras apapun ia berusaha.

Menyadari kesulitan Am, Ansel memiringkan motornya. "Segini bisa, nggak?"

"Kamu ngapain sewa motor gede begini, sih?" Am meluncurkan protesnya setelah berhasil duduk di jok penumpang dengan susah payah. Gadis itu mencoba mengambil posisi duduk paling ujung, tapi langsung melorot dan menabrak punggung bidang Ansel begitu motornya jalan. "Kenapa pula joknya licin begini?"

"Ya maaf, aku juga nggak tahu kalau bakal ada penumpangnya." Ansel mengedikkan bahu. "Pegangan sama pinggiran joknya nggak bisa emangnya?"

"Kakiku nggak bisa nyampe di pijakannya!" keluh Am. "Kenapa, sih, cowok suka motor tinggi-tinggi begini?"

Ansel tersenyum geli melihat muka Am yang kesal. "Aku, sih, hanya menyewa motor yang sesuai dengan tinggi badanku."

"Jadi kamu sekarang mau ngejek aku pendek?"

"Benar kata Felix, kamu sensian banget." Ansel sengaja memelankan laju motornya agar Am tidak terlalu kesulitan mempertahankan posisi duduknya. "Kalau segini kecepatannya, dudukmu aman?"

"Iya. Sekarang diam, deh! Aku nggak mau ngomong sama kamu!" Dari spion, Ansel bisa melihat gadis itu menggembungkan pipinya karena sebal. Lelaki itu geleng-geleng kepala. Padahal, sejak tadi Am yang memancing keributan. Karena malas juga kalau harus memperpanjang perdebatan, mereka berdua pun terdiam sepanjang sisa perjalanan. Sebetulnya Ansel gatal ingin mempercepat laju motornya andai tidak ingat ada gadis mungil yang jadi penumpang di jok belakang, tapi tak ingin membuat telinganya makin panas dihujani omelan.

Wangi kayu manis yang bercampur dengan aroma berbagai masakan menyapa hidung Am. Baunya berasal dari punggung Ansel yang jaraknya hanya terpaut beberapa sentimeter. Dari jarak sedekat ini, Am baru sadar kalau perawakan Ansel setegap itu, beda dengan Felix yang cenderung kurus. Kepalanya kembali mengingat momen dua hari ke belakang, di saat mereka harus memasak bersama.

Sebenarnya Ansel tidak seburuk itu. Tapi, kenapa dia harus punya semua kelebihan yang tidak Am miliki? Kenapa ia tak bisa lebih baik dari lelaki ini?

Rambut Am yang panjangnya di bawah telinga lebih sedikit berkibar tertiup angin. Rasanya dingin. Tahu-tahu saja, sosok pelanggan tadi siang mencuat di benaknya.

"Pelanggan itu, apakah bubuk perasaan bisa bekerja baik untuknya?" Am bertanya lirih pada dirinya sendiri ketika sudah memasuki jalan dekat rumahnya. "Dia bukan seperti aku yang tidak bisa merasakan efek keajaibannya, kan?"

Di jalanan yang cukup sunyi dan motor yang melaju tanpa suara, tentu saja Ansel bisa mendengarnya. Ia menangkap nada khawatir dari sana. Ternyata, gadis itu masih punya hati.

"Kamu sudah melakukan yang terbaik, kok." Ansel menatap spion demi melihat lawan bicaranya di belakang—yang sayangnya, terhalang oleh bahunya sendiri. "Kamu, kan, lulusan terbaik Akademi Berkat!"

Am mengerutkan dahi. "Kok, tahu nama sekolahku?"

"Kak Aya pernah bilang." Ansel mengedikkan bahu. "Lagipula, masakan Dapur Ajaib nggak pernah gagal, kok. Kamu tenang saja."

Si gadis bergeming. Ia tak bersuara sampai motor Ansel berhenti di depan halaman rumahnya.

"Bisa turun?" Ansel sedikit memiringkan motornya ke arah kiri. Kaki Am berusaha menggapai tanah. Ketika akhirnya salah satu kakinya berhasil berpijak dan jadi tumpuan, Am oleng dan nyaris jatuh. Refleks, ia mencengkram bahu Ansel.

Walau tangan Am kecil, cengkramannya sungguh kuat. Ansel meringis. Ia melepas helmnya dan menatap Am. "Sampai jumpa besok?"

"In your dream," Am membalasnya dengan nada jutek.

"Kenapa, sih? Kita kan memang kerja bareng?" Ansel menghela napas. "Besok mau berangkat bareng?"

Tanpa babibu, Am langsung menggeleng. Ia masuk ke dalam rumah begitu saja. Gadis itu bahkan lupa tidak bilang terima kasih. Ansel tersenyum tipis. Dasar wanita dengan ego setinggi langit.


5/4/23
1307 kata.

Yang ini pendek aja, soalnya aku mau ngejar modul kuliah. Bulan depan UTS dan masih banyak yang belum kupelajari WKWKWK. Mohon doanya yah :)
Aslinya tuh aku pingin Am jadi wanita independen girlboss, tapi kenapa makin ke sini dia makin kelihatan bocah? Yasudahlah ya :)
Cerita ini juga makin lama agak berbelok dari kerangka aslinya. Garis besarnya masih on track, harusnya, tapi entah gimana maunya karakter-karakter ini. Mereka bergerak semau-maunya, jadi aku pasrahkan saja jalan ceritanya pada mereka. Semoga tetap tidak melenceng jauh-jauh karena ini kan event kebut2an nulis?! Males kalo harus mikir di tengah jalan—

Apakah kalian melihat mulai ada bibit-bibit cinta? Di mana?

Bonus Am-sel gelut tipis. Kebayang kan Am semini apa? UwU

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro