🈀 · ᝰ seis ˊˎ-
Dari sekian banyaknya tempat yang dapat dikunjungi di dunia ini, mengapa (Y/n) berakhir di tempat yang sama? Seolah-olah tak ada tempat lain yang lebih baik daripada gedung yang biasanya didominasi oleh warna putih ini.
Rumah sakit.
Bau obat-obatan sudah tak lagi khas di indra penciuman (Y/n). Mungkin hidungnya sudah sangat terbiasa dengan bau itu. Atau tidak.
Tatapannya tertuju ke arah langit-langit ruangan. Tentu saja berwarna putih. Tatapan yang tampak kosong, tak ada cahaya di sana. Entah mengapa, (Y/n) merasa sangat lelah saat ini. Ia merasa bahwa selama ini kehidupannya hanya mimpi belaka. Kini dirinya baru saja bangun dari mimpi buruk itu.
Namun, hal itu hanyalah sebatas angan-angan (Y/n) belaka. Tidak mungkin dapat terjadi. Dengan semua permasalahan yang telah dirinya lalui, mustahil untuk berakhir begitu saja.
Suara pintu yang diketuk sebelum dibuka membuat kepala (Y/n) tertuju ke arah ambang pintu. Izana muncul di sana. Ia mendekati (Y/n) dengan tampang yang cukup rumit untuk digambarkan.
"Bagaimana perasaanmu, (Y/n)?"
Ditanya demikian oleh Izana, seketika (Y/n) terdiam. Ia tidak dapat menemukan kata yang paling tepat untuk menjelaskan bagaimana perasaannya saat ini. Padahal ada banyak kata yang bisa digunakan untuk menggambarkan perasaannya itu.
"Aku tidak pernah merasa seburuk ini, Izana."
Tawa hambar keluar dari bibir Izana. Lelaki itu jelas sudah mengetahui apa permasalahan (Y/n) dan Shuji. Masalah di antara kedua temannya itu benar-benar tidak masuk akal. Membuatnya menggelengkan kepala berkali-kali ketika mendengarkan Shuji yang bercerita. Sekaligus merasa bimbang pihak mana yang harus ia pilih. Alhasil, Izana memilih untuk bertindak sebagai kubu netral, pihak anti-hero.
"Mungkin seharusnya aku menerima lamaranmu saat itu," celetuk (Y/n).
Mendengar perkataan (Y/n), Izana menatap dengan cepat ke arahnya. Penolakan yang ia alami seketika berputar di dalam kepalanya. Well, hal itu memang merupakan masa lalu. Izana pun sudah tahu (Y/n) pasti akan menolaknya. Karena penolakan itu juga, Izana memutuskan untuk pergi ke Amerika Serikat. Melampiaskan kesedihannya pada belajar. Ya, ia memang lelaki yang hebat.
"Aku bisa melamarmu lagi kalau kau menginginkannya."
Sontak (Y/n) tertawa mendengar perkataan Izana. "Tidak, tidak, jangan lakukan hal itu. Carilah wanita lain yang lebih baik dariku, Izana. Kau pasti menemukannya suatu saat nanti." Ia membubuhkan senyuman di akhir perkataannya.
Sejenak, Izana tergugu. Menurutnya, (Y/n) sudah sangat baik. Meskipun wanita itu juga telah berkhianat dari Shuji, namun ia masih memikirkan tentangnya. Masalah finansial yang sama-sama mengikat keduanya membuat (Y/n) memilih untuk bermain di belakang lelaki itu. Hal itu pun dilakukan olehnya sebab ia tak menginginkan Shuji direpotkan.
"Izana."
"Hm?"
"Aku... keguguran, bukan?"
Pertanyaan itu dilontarkan oleh (Y/n) kala ia melihat perutnya yang sudah kembali rata. Tubuhnya terasa lebih ringan saat ini. Rupanya diakibatkan oleh dirinya yang sudah tak lagi berbadan dua.
Tidak mungkin Izana bisa menjawab pertanyaan itu. Ia yakin, (Y/n) pasti telah mengetahui apa jawabannya. Hanya saja wanita itu sepertinya tak dapat mempercayai penglihatannya sendiri.
"Lalu, bagaimana dengan biayanya?" tanya (Y/n) pelan. Ia tahu, biaya operasi pengangkatan janin itu pasti sama sekali tidak sedikit. Namun, sekalipun dirinya mengetahui besar biayanya, apakah ia mampu untuk membayarnya?
"Jangan khawatirkan hal itu, (Y/n)," ujar Izana. "Yang perlu kau khawatirkan sekarang adalah dirimu sendiri."
Sejenak (Y/n) memandangi wajah Izana. Membuat Izana membuang mukanya ke arah lain. Sekaligus menciptakan tawa pelan keluar dari bibir (Y/n).
"Terima kasih banyak karena sudah menanggung biayanya."
Sontak Izana menoleh sepersekian detik pada (Y/n). Padahal dirinya tidak mengatakan kebenaran itu. Apakah wajahnya terlalu jelas hingga telah mengatakannya secara tak langsung? Oh, astaga.
"Kau memang baik, Izana."
***
Perubahan datang secepat musim yang berganti menjadi musim dingin. Terlampau cepat dan sama sekali tak dapat dirasakan perubahannya. Termasuk bagi (Y/n).
Wanita itu memilih untuk menjauh, menyingkir dari pusatnya. Ia memang sudah memaafkan semua orang. Pun memaafkan dirinya sendiri yang terlalu bodoh. (Y/n) tidak ingin larut dalam hal yang sama terlalu lama. Ia sama sekali tidak menginginkannya.
Namun, kini (Y/n) kembali teringat dengan hal itu. Kala dirinya sedang seorang diri, ia pun diingatkan lagi. Tetapi, dengan cepat ditepisnya. Sudah cukup bagi dirinya bergumul di titik yang sama. Ia harus melupakannya, secepat mungkin.
Baik Shuji maupun Ran tidak lagi menghubungi (Y/n). Kedua lelaki itu seolah-olah tidak pernah ada di kehidupan (Y/n) sebelumnya. Bak pasir pantai yang tersapu oleh deburan ombak. Mungkin Ran sudah memutuskan kontrak itu dan mencari seseorang yang baru. Sementara, Shuji? Entahlah. (Y/n) sama sekali tidak memiliki gambaran tentang bagaimana kehidupan lelaki itu setelah mereka berpisah.
Ya, berpisah.
Perpisahan yang sebelumnya tak pernah dibayangkan kini telah terjadi. Bahkan terjadi dengan tragis. Seolah-olah apa yang mereka lalui bersama selama ini hanyalah halusinasi belaka. Hanya waktu yang dapat membuat keduanya lupa. Baik (Y/n), maupun Shuji.
Dengan langkah yang pelan, (Y/n) membuka pintu di hadapannya. Café itu masih tampak sama sejak terakhir kali (Y/n) menginjakkan kakinya di sana. Kini, ia kembali ke tempat itu. Tentunya dengan wajah dan perasaannya yang baru serta berbeda.
Yang perlu (Y/n) lakukan saat ini ialah bersyukur. Bersyukur atas segala hal. Atas atasannya yang dengan baik hati memperbolehkannya kembali bekerja di café itu. Atas setiap masalah yang ia hadapi selama ini. Pun, dan yang terpenting, atas seorang lelaki yang pernah singgah di dalam hidupnya meski hanya sementara.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro