Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

🈀 · ᝰ tres ˊˎ-

"Usia janinnya baru saja memasuki minggu kedua. Ia memang masih lemah. Namun, saya yakin ibunya sangat kuat."

Ucapan sang dokter itu membuat (Y/n) melirik pada Shuji, suaminya. Seseorang yang kini sedang mengusap bahunya itu pun tengah menatapnya balik.

"Apakah ada hal lain yang Anda rasakan, (F/n)-san?" tanya dokter itu.

Gelengan kepala (Y/n) sudah menjawab pertanyaan dokter tersebut. "Tidak ada, Sensei."

"Baik. Kalau tidak ada, saya akan memberikan resep obat yang harus segera dibeli," ujarnya. Ia kembali menulis pada kertas di atas mejanya.

"Ah, satu lagi." Ia menatap (Y/n) melalui lensa kacamatanya. "Panggil aku dengan namaku saja, (Y/n)."

Sejenak (Y/n) mengerjapkan matanya. Ia menoleh pada Shuji. Meminta pendapatnya. Namun, lelaki itu mengedikkan dagunya ke arah seorang dokter di hadapan mereka.

"Baiklah, Izana."

Seusai menerima resep obat itu, (Y/n) dan Shuji keluar dari ruangan. Mereka beranjak menuju sang apoteker yang akan memberikan obat sesuai dengan resep.

Perubahan hidup sangatlah kentara setelah ia mengetahui ada makhluk hidup lain yang bernapas dalam dirinya. Ketika ia baru saja tahu tentang kehamilannya, sesaat dirinya merasa sedih dan tertekan. Ia merasa bahwa dunianya berakhir di saat itu juga.

Namun, Shuji yang berkata akan ikut bertanggung jawab juga perlahan memulihkannya. Seolah-olah (Y/n) tidak mengangkut beban ini seorang diri. Pernikahan mereka pun dilaksanakan di ruangan di mana ibu Shuji dirawat. Selain Tuhan, setidaknya mereka ingin ada keluarga mereka yang lain yang mengetahuinya.

"Jangan melamun, (Y/n)."

Tersentak, (Y/n) langsung mencari keberadaan Shuji. Dikarenakan sebelumnya lelaki itu berada di sisinya, namun kini ia sudah tak berada di sana.

"Bagaimana dengan biaya obat dan pemeriksaannya?" tanya (Y/n) risau. Ia sudah kembali berjalan di sebelah Shuji.

Lelaki itu mengusap kepala (Y/n) dengan lembut. "Tenang saja. Kau tak perlu khawatir dengan hal itu. Itu urusanku. Yang perlu kau khawatirkan adalah anak yang ada di dalam rahimmu, anak kita," ucapnya.

Mendengar hal itu, (Y/n) menatap Shuji dengan netranya yang berkaca-kaca. Ia sangat bersyukur karena dirinya dicintai oleh lelaki itu.

***

Hari masih terlalu pagi kala (Y/n) sudah kembali mengalami morning sickness. Merupakan hal yang biasa dialami oleh seorang wanita yang tengah mengandung. Hanya saja, yang belum terbiasa saat ini adalah (Y/n). Ia masih tak bisa menyingkirkan dan membiasakan diri dengan rasa mual di pagi hari itu.

Beruntung, karena dirinya tak perlu menderita seorang diri. Karena nyatanya saat ini Shuji tengah menemaninya. Memijat tengkuknya dengan lembut. Sementara tangan yang lainnya mengusap punggung (Y/n).

"Sudah lebih baik?"

Kini keduanya tengah duduk di ruang tengah rumah Shuji. Rumah lelaki itu telah diputuskan menjadi kediaman mereka. Sementara, rumah (Y/n) hanya didiamkan saja. Sama sekali tak berniat untuk dijual olehnya.

Bagi (Y/n), rumah tersebut memiliki terlalu banyak kenangan. Meskipun suatu saat nanti ia sedang merasa kesulitan dalam masalah ekonomi, (Y/n) tak akan menjual rumah itu ke tangan orang lain. Katakan saja dirinya memang egois. Namun, itulah yang tetap akan (Y/n) lakukan.

"Um, sudah lebih baik," jawab (Y/n) setelah ia menyesap air hangat di gelas yang diberikan oleh Shuji. Sesekali, lelaki itu mengusap punggung (Y/n) dengan perlahan. Ia tak ingin wanita itu tersiksa karena anak mereka di dalam kandungannya. Sudah cukup bagi (Y/n) merasakan hal itu.

Diliriknya ke arah jam dinding. Jarum detik itu masih bergerak di setiap detik berlalu. Sekaligus mengingatkan (Y/n) tentang Shuji.

"Kau tidak pergi bekerja sekarang?" tanyanya. Pun mengingatkan Shuji akan pekerjaannya yang menunggu. "Maaf karena aku tak sempat membuatkan bekal untukmu," imbuhnya dengan rasa sesal di wajah.

Shuji menggeleng. "Tidak apa-apa. Yang menjadi masalah adalah dirimu. Apa kau baik-baik saja di rumah seorang diri?"

Anggukan kepala (Y/n) seolah belum cukup memberikan jawaban yang meyakinkan untuk Shuji. Ia masih saja menunggu kata-kata wanita itu.

"Aku akan baik-baik saja, Shuji-kun. Lagi pula, hari ini bukanlah pertama kalinya kau pergi bekerja dan meninggalkanku seorang diri di rumah," ujar (Y/n) dengan wajah yang maklum. Ia menggelengkan kepalanya beberapa kali. Tak paham dengan kekhawatiran Shuji yang terkadang berlebihan itu.

"Baiklah, baiklah. Aku percaya pada ucapanmu."

Dengan perlahan, Shuji mengikis jarak di antara dirinya dan (Y/n). Ia memberikan ciuman lembut pada dahi wanita itu, sebelum berlabuh pada bibirnya. Sesaat keduanya menikmati apa yang tengah terjadi.

"Aku pergi dahulu," pamitnya.

(Y/n) mengangguk samar. "Berhati-hatilah di jalan." Ia melambai pada Shuji.

Lambaian tangan itu perlahan diturunkan seiring dengan pintu yang ditutup. Bersamaan dengan perginya Shuji dari hadapan (Y/n). Sejenak, wanita itu menatap ke arah perutnya sendiri. Memang masih tampak rata dan tidak terlihat bahwa ada seorang anak yang akan lahir dari sana.

Ia pun tersenyum simpul. "Cepatlah lahir, Nak. Agar tak menyulitkan ayahmu."

***

Lembaran uang itu dihitung dengan hati-hati. Di tengah jam istirahat kerjanya saat ini, kesempatan itu pun tak akan disia-siakan olehnya. Masih belum cukup. Uang itu masih saja kurang ketika dihitung. Sekalipun ia menghitungnya dengan perlahan. Memastikan agar tak ada satu lembar pun yang tidak terhitung.

Jumlah uang itu dibagi dua oleh Shuji. Salah satunya dimasukkan ke saku celananya di sisi kanan. Yang lainnya dimasukkan di saku yang berlawanan.

Ada satu alasan yang cukup kuat bagi Shuji mengenai masalah keuangan. Ia memang sengaja membaginya menjadi dua. Salah satunya akan ia gunakan untuk keperluan sehari-harinya bersama (Y/n). Yang lainnya akan digunakan untuk melakukan tes DNA.

Sebuah tes yang sangat mahal dan memerlukan banyak biaya. Entah kapan Shuji dapat mengumpulkan uang itu. Namun, ia yakin suatu hari nanti pasti akan tercukupi.

Bukan karena Shuji tak percaya pada (Y/n). Ia hanya ingin memastikannya saja. Entah mengapa, firasatnya menyuruh dirinya untuk bertindak demikian. Mungkin (Y/n) akan sangat marah dan kecewa padanya ketika wanita itu mengetahui tentang apa yang akan ia lakukan sekarang. Maka dari itu, Shuji tak mengatakan hal ini padanya. Sudah cukup rasa sakit dan tertekan yang diterima oleh (Y/n).

Kepalanya menengadah ke arah langit. Di mana awan telah didominasi oleh warna hitam keabu-abuan. Kelabu, adalah kata yang tepat untuk menggambarkan nuansa cakrawala itu saat ini. Termasuk dengan suasana hatinya sekarang.

***

Ponsel keluaran beberapa tahun yang lalu itu bergetar. Sekaligus menarik perhatian (Y/n), si pemiliknya. Benda pipih itu menampilkan sebuah nama pada layarnya. Nama yang tertera di sana seketika membuat wanita itu tersentak.

Hampir saja dirinya menjatuh ponsel satu-satunya tersebut. Namun, dengan hati-hati dan tangan yang bergetar, (Y/n) menjawab panggilan itu.

"H-Halo?"

"Kau mengabaikan panggilanku untuk yang kelima kalinya, (Y/n)."

Dengan gugup, ia menjawab, "M-Maaf. Aku tidak bermaksud demikian. Ponselku berada dalam mode silent sehingga aku tidak menyadari panggilan masuk darimu."

Dari ujung sana, nada bicaranya terdengar meremehkan. "Oh, benarkah begitu? Baiklah, aku percaya padamu. Namun, bukan hal itu yang ingin kukatakan sekarang."

Saliva-nya ditelan dengan susah payah. Tangannya yang berkeringat bisa saja menjatuhkan ponsel itu dari telinganya sendiri. "Apa yang ingin kau katakan?"

"Kau pasti masih ingat dengan kesepakatan itu, 'kan?"

Jantung (Y/n) terasa mencelos. Ia tak tahu harus berkata apa selain bergeming dan menatap kosong pada kedua kakinya yang terbalut sandal rumah. Rasa hangat yang diberikan benda itu mengingatkannya pada Shuji. Sekaligus membuatnya menitikkan air mata di saat yang bersamaan.

"Aku sudah tak peduli dengan hal itu! Jangan pernah hubungi aku lagi nanti!" seru (Y/n) dengan emosi yang bercampur aduk. Ia kesal, marah, juga sedih. Marah kepada orang yang tersambung di panggilan telepon tersebut. Namun, ia lebih marah kepada dirinya sendiri.

Terdengar tawa dari seberang sana. "Kau yakin, (Y/n)? Tanda tangan milikmu tampak sangat jelas di atas kertas itu. Ah, bagaimana rasanya disidang di kala tengah mengandung, ya?"

Apa yang dikatakan oleh orang itu membuat (Y/n) begitu syok. Ia terlalu bodoh untuk bahkan sekedar hanya untuk mengingat bahwa orang itu merupakan orang yang berkuasa. Orang yang pastinya menjadikan uang sebagai jalan keluar di setiap masalah. Di dunia yang kejam ini, orang semacam itulah yang paling ditakuti. Termasuk oleh (Y/n).

"Dari mana kau tahu hal itu?" tanyanya geram. Ia tengah menahan amarahnya saat ini. Juga menahan isak tangisnya.

"Itu bukanlah rahasia negara yang sulit diketahui, (Y/n) Sayang. Maka dari itu, kau pasti tahu apa yang harus kau lakukan. Aku tahu kau tidak bodoh."

Bertepatan dengan diucapkannya kata terakhir, sambungan telepon itu pun usai. Tubuh (Y/n) merosot ke atas permukaan lantai yang dingin. Tangisnya kini pecah. Begitu pula dengan amarahnya yang memuncak.

Hidupnya seolah-olah tak ada rahasia bagi orang itu. (Y/n) bak menari-nari di atas telapak tangannya. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain menunggu dirinya digenggam hingga hancur tak berbentuk.

"Maaf, Shuji-kun."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro