Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

🈀 · ᝰ cinco ˊˎ-

Dirinya tidak akan pernah jatuh cinta pada Sano Shinichiro.

Ya, itulah hal yang gadis itu camkan pada dirinya sendiri. (Y/n) yang hanya pernah menerima cinta dan kasih sayang dari ayahnya mendadak mendapatkan dua hal itu dari seorang lelaki lain. Serealistis atau serasional apapun itu (Y/n), tetap saja ia merupakan seorang gadis biasa. Yang mungkin akan melanggar idealisme buatannya sendiri.

Diacak-acak surainya dengan kekesalan dan kefrustasian yang memuncak di dalam benaknya. (Y/n) merasa kesal pada dirinya sendiri. Dirinya yang bodoh dan bisa-bisanya ia malah...

Ah, sudahlah. Gadis itu terlalu malas untuk lanjut menjelaskan isi hatinya yang bodoh itu. Lihat, kini jantungnya kembali berulah. Kecepatan detaknya yang menggila sudah menjadi tanda bahwa dirinya membutuhkan psikolog dan juga psikiater.

Kedua tungkai kakinya melangkah gontai ke luar kamar. Dengan ponselnya yang masih berada di tangan, (Y/n) hendak mengambil segelas air putih dari dispenser. Namun, niatnya itu dibungkam oleh kejadian yang ada di depan matanya.

***

Siulan yang keluar dari bibirnya menandakan bahwa dirinya tengah bahagia. Sejak tadi, tangannya tak berhenti mengusap body motornya dengan lap yang kering. Tujuannya adalah untuk menyerap titik-titik air yang masih tersisa di atas motor yang baru diperbaiki itu. Memang memakan biaya dan waktu yang cukup banyak. Namun, harus lelaki itu akui bahwa ia merasa puas dengan hasilnya.

"Cieee... sepertinya ada yang lagi kasmaran."

Godaan itu terdengar oleh indra pendengaran Shinichiro. Sontak ia menoleh, lalu mendapati Emma berdiri di ambang pintu garasi. Ia bersedekap dan bersandar pada salah satu tiang penyangga.

Digoda seperti itu oleh adiknya sendiri, Shinichiro hanya tertawa. Ia juga tak akan menyangkal perkataan Emma tadi. Karena faktanya memang demikian. Tak ada gunanya ia menyanggah. Yang ada, Emma akan semakin gencar menggoda dirinya.

"Apakah hari ini Nii-chan ingin menjemput (Y/n) nee-san ke sekolah?" tanya Emma memastikan. Hanya dilihat dari air muka kakak tertuanya itu sudah jelas mengatakan demikian. Bahkan, sejak tadi bangun tidur, rona kebahagiaan itu tidak juga lenyap dari sana. Yang membuat Emma menyimpulkan seperti itu.

"Ya. Untuk hari ini, Emma pergi ke sekolah sendiri, ya," ujar Shinichiro disertai senyumannya.

Raut wajah Emma seketika berubah kecewa. Ia mendesah pelan, mengingat bahwa Shinichiro tak akan mengantarnya lagi ke sekolah. Well, Manjirou memang masih bisa diandalkan terkait dengan hal antar-mengantar ke sekolah tersebut. Namun, kakak keduanya itu sangat sulit untuk bangun di pagi hari. Bahkan, saat ini pun ia masih belum bangun dari mimpinya yang panjang.

"Ya sudahlah. Tidak apa-apa," ucapnya. Kemudian, Emma menatap Shinichiro dengan serius. "Yang terpenting, Nii-chan tidak boleh membuat (Y/n) nee-san menangis, ya! Janji?"

Seusai mendengar perkataan Emma, tawanya pun lolos dari bibir lelaki itu. Shinichiro mengaitkan jari kelingkingnya pada jari Emma. Meskipun ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak pernah melukai perasaan (Y/n), namun kala ia mendengar Emma berkata demikian, entah mengapa ia malah tertawa. Lihatlah, kini Emma bahkan lebih melindungi (Y/n) daripada dirinya yang merupakan kakak kandungnya.

"Baiklah, baiklah." Shinichiro mengacak-acak surai Emma masih sambil tertawa.

"Kau belum mencuci tanganmu, Nii-chan," ujar Emma mengingatkan. Ia menatap kakaknya itu tak suka.

Tangannya sontak ditarik menjauh. "Ah! Maaf!" Kemudian, ia terkekeh pelan.

Perbincangan itu terhenti kala ponsel di saku Shinichiro bergetar. Lelaki itu mengeluarkannya dari sana. Sebuah kurva melengkung yang terbuka ke atas terbentuk pada bibirnya. Seusai melihat nama (Y/n) tertera di atas layar ponselnya. Ia pun menyingkir dari Emma sebelum menjawab panggilan itu.

"Ya, (Y/n)?"

Tidak ada sahutan apapun dari seberang sana. Membuat Shinichiro menjauhkan ponselnya untuk memastikan apakah telepon itu tersambung atau tidak. Rupanya masih tersambung.

"Shin..."

Lirih yang terdengar itu sudah cukup memberikan kekhawatiran pada diri Shinichiro. Karena setelahnya, isak tangis gadis itulah yang terdengar.

"Ada apa, (Y/n)? Apakah terjadi sesuatu? Kau masih berada di rumahmu, 'kan?" cecar Shinichiro. Lelaki itu langsung naik ke atas motornya yang baru dicuci. Melihat hal itu, Emma melemparkan tatapan bingungnya.

"Ya. Aku, aku masih di rumah," jawab (Y/n) pelan. Tangannya terlalu bergetar. Bahkan terlampau sulit hanya untuk menahan ponselnya tetap berada di dekat telinga.

"Kau tunggu di sana! Aku akan segera datang! Jangan pergi ke manapun, kau mengerti?" cerocos Shinichiro panjang lebar. Kini mesin motornya sudah menyala dan hanya membutuhkan beberapa detik lagi sebelum meluncur ke jalan raya.

Sebelum berangkat, Shinichiro menoleh pada Emma. Ia menatap gadis itu dari balik kaca helm yang dikenakannya. "Emma, tolong katakan pada Tou-san dan Kaa-san, aku pergi dulu."

Dengan kebingungan yang melanda, Emma pun mengangguk. Ia tak sempat untuk bertanya lebih lanjut. Dikarenakan Shinichiro sudah lebih dahulu pergi.

***

Kedatangan ambulans itu rupanya tidak menolong nyawa siapapun.

Nyawa ayah gadis tersebut sudah tiada. Bahkan sebelum ambulans tiba. Ayahnya yang ditemukan tak sadarkan diri di dapur masih terbayang-bayang di dalam kepala (Y/n). Bahkan gadis itu tidak sempat mengucapkan 'selamat pagi' untuk yang terakhir kalinya. Ia pun belum mengenalkan Shinichiro kepada ayahnya.

Mengingat hal itu, (Y/n) kembali menangis. Namun, ayahnya sudah tiada. Beliau telah beristirahat dengan tenang di dalam makam yang kini berdiri kokoh di hadapan (Y/n). Meninggalkan (Y/n) yang sangat jelas bahwa dirinya masih membutuhkan keberadaan seorang ayah.

Bagaimana dengan ibunya? Jangan pernah bertanya tentang wanita itu pada (Y/n). Sudah pasti yang akan kau terima adalah tatapan sedingin salju dari gadis itu disertai dengan aura yang tak menyenangkan. Pasalnya, wanita yang melahirkannya itu telah meninggalkan (Y/n) dan ayahnya. Perceraian itu terjadi di kala usia (Y/n) baru saja menginjak angka enam tahun.

Ah, sudahlah. Ini merupakan masa lalu yang tak ingin (Y/n) bicarakan. Memang menyakitkan, namun ia ingin melupakannya. Seandainya memang semudah itu.

Di sisinya, Shinichiro hanya diam. Sejak tadi, ia menyaksikan bagaimana tiap tetes air mata itu mengalir dari kedua mata kekasihnya. Meskipun (Y/n) selalu bertindak seakan-akan tidak terjadi apapun, nyatanya ia tetaplah seorang manusia. Manusia yang tentunya memiliki segumpal perasaan.

Dengan perlahan namun pasti, Shinichiro menarik tubuh (Y/n) ke dalam dekapannya. Tindakannya itu sempat membuat (Y/n) terkejut, namun gadis itu mengabaikannya. Nyatanya ia hanya menangis semakin kencang. Kehangatan dari Shinichiro itu sudah meredam tangisannya.

"Tenanglah. Aku berada di sini, bersamamu, (Y/n)."

Untaian kata itu kembali membuat tangis (Y/n) kian pecah.

***

Nyatanya, (Y/n) tidak lupa dengan tujuan awalnya.

Berbagai alasan yang menumpuk pada dirinya selama ini masih dapat ia ingat jelas. Alasan yang menyebabkan gadis itu mengambil keputusan untuk menerima Shinichiro sebagai kekasihnya. Alasan yang mungkin tak berdasar dan terdengar egois, namun inilah keadaannya saat ini.

Sudah empat hari berlalu semenjak ayahnya meninggal. Sejak saat itu juga, (Y/n) memberikan jarak di antara dirinya dan Shinichiro. Dinding tebal yang sebelumnya runtuh kini kembali dibangun. Dengan fondasi yang lebih kuat.

Semua pesan dari Shinichiro tak pernah (Y/n) baca. Gadis itu memang sengaja tidak mem-block Shinichiro dari daftar teman-temannya. Alasannya ialah karena menurutnya, tumpukan pesan yang tak dibaca rasanya jauh lebih menyakitkan daripada di-block dan dianggap tidak ada begitu saja. Benar, bukan?

Sudah diputuskan bahwa hari ini adalah hari eksekusi tersebut.

Kini tepat di hadapan (Y/n), Shinichiro berdiri. Mereka berada di tempat dan waktu yang sama ketika pertama kali Shinichiro menyampaikan isi hatinya pada (Y/n). Namun, saat ini tujuan mereka berada di sana bukanlah untuk hal yang serupa dengan kejadian di hari itu.

"Shinichiro-Senpai."

Panggilan (Y/n) yang didengar oleh Shinichiro itu sudah cukup terasa menyakitkan. Namun, seolah-olah hal itu belum cukup, (Y/n) pun melanjutkan perkataannya lagi. Bak ditusuk oleh ribuan jarum, Shinichiro hanya mampu tergugu.

"Mari kita akhiri hubungan ini."

***

Chapter ini seharusnya merupakan chapter terakhir. Tapi, karena aku suka ngegantungin para reader, jadi aku pisah menjadi dua chapter ♡'・ᴗ・'♡

Ehe, gomen-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro