Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Extra Part

Sorot mata Satria tampak redup. Sedari tadi, tidak sedikit pun mata lelaki itu bergeser dari batu marmer yang bertuliskan nama seseorang yang telah berpulang. Terlebih kini, benak Satria memutar ulang ekspresi terakhir dari raga yang kini bersemayam dalam gundukan di hadapannya.

Tepukan di bahunya membuat Satria sedikit tersentak. Menoleh, ia mendapati Rizal dan Rean berdiri dengan senyum kelewat tipis. Seolah tahu apa yang saat ini tengah Satria rasakan, Rizal yang masih memegangi bahunya mengangguk singkat.

Menyentuh ujung kacamatanya yang sedikit bergeser, Satria lantas menghela napas panjang. Mencoba mengurai sesak dalam dadanya yang seolah enggan beranjak. Mengelus pelan nama yang terukir di batu marmer tersebut, Satria berdiri kemudian.

“Lo masih butuh waktu?” tanya Rizal saat dilihatnya keengganan di wajah Satria. “Kalau iya, kami akan menunggu lagi di mobil.”

Menggeleng pelan, Satria berujar, “Tidak usah. That's enough.”

“Elo yakin?” tanya Rizal memastikan.

Satria mengangguk. Mengerling ke makam di belakangnya, Satria mencoba menggaris senyum. Seolah sosok yang telah meninggalkan dunia itu tengah berada di sana, menyapa kehadirannya.

“Saya tahu kamu baik-baik saja di sana,” lirih Satria. “Sampai detik ini, saya masih belum percaya kamu sudah pergi. Rasanya seperti mimpi begitu menyadari kamu sudah tidak ada di dekat saya lagi.”

Rizal merasa napasnya tercekat mendengar ucapan Satria. Menoleh perlahan, ia mendapati ekspresi Satria yang tak terbaca. Namun Rizal tahu, Satria pasti merasakan hal yang tidak jauh berbeda dari apa yang ia rasakan.

“Meski kebersamaan kita hanya sebentar, bahkan jauh dari kata baik, kamu harus tahu, kehadiran kamu membuat salah satu ruang di hati saya terisi. Lalu kamu pergi, membuat ruangan itu merasakan kehampaan.”

Rizal mengejap tak percaya. Lidahnya terasa kelu. Bahkan untuk sekadar memanggil nama Satria, ia tidak mampu. Ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan, yang membuat hati Rizal terasa nyeri. Terlebih kini Satria kembali berjongkok dan mengelus nisan tersebut dengan sayang.

“Saya belum mencintai kamu hingga detik ini. Tapi saya tidak berbohong jika saya mengatakan saya menyayangi kamu. Rasa sayang seorang suami ke istrinya. Juga rasa sayang kakak ke adiknya yang harus ia lindungi.”

Rizal tersentak. Menatap Satria tidak percaya.

Kini ia sadar apa yang membuat hatinya begitu nyeri. Rasa kecemburuan. Ketidaksukaan mendengar Satria berkata demikian.

Meski mencoba menahannya, Rizal tahu perasaan itu masih ada. Rasa suka yang berkembang menjadi cinta, tapi pada akhirnya tidak pernah terbalas. Gadis yang ia cintai telah mengikat janji dengan lelaki lain. Bahkan kini telah tenang bersama Tuhan di akhirat sana. Lalu lelaki beruntung yang bisa mengikat gadis itu dalam sebuah komitmen adalah Satria. Rekannya sendiri.

“Satria.”

Rizal menoleh ke samping saat nama Satria dipanggil. Jelas itu bukan suaranya, meski sedari tadi ia memang ingin memanggil Satria yang tampak belum puas mendatangi makam Navy.

“Lo mungkin butuh waktu lebih lama di sini. Sebaiknya gue sama Rizal balik ke mobil dan nunggu elo di sana. Kalau lo udah selesai, baru kita menemui John.”

“Pukul berapa kita pergi?” tanya Satria. Mengabaikan kata-kata Rean.

“Pukul delapan malam.” Rizal yang sudah menguasai dirinya angkat bicara.

Melirik arlojinya, Satria pun mengangguk. Setelah mengecup pelan nisan bertuliskan nama Navy Julianarya, barulah Satria berdiri. Tanpa menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca, ia menatap Rizal dan Rean bergantian.

“Ayo kita pergi. Meski John tengah berbaik hati mendatangi kita di sini, jangan sampai membuatnya lama menunggu.”

Rizal dan Rean setuju. Tanpa membuang waktu, ketiganya pun berlalu dari areal pemakaman yang sepi. Baru beberapa langkah menjauhi makam Navy, Satria berbalik. Memandangi makam istrinya yang telah tiada, Satria menggaris senyum dan mengangguk singkat.

“Maafkan saya yang tidak bisa menjaga kamu dari cengkraman George. Maafkan saya, Navy.”

***

Mata tajam Satria memindai sekeliling. Jalanan kota London tampak lenggang. Memudahkannya untuk memburu targetnya kali ini. Mengetuk jemarinya di atas setir, Satria berusaha bersikap normal meski sebenarnya jantungnya tengah berdegup kencang.

“Carl?”

Sebuah suara tiba-tiba menyapa. Menekan earphone di telinga kirinya, Satria membalas, “Ya?”

“Apa di sana aman?” tanya suara itu lagi.

Memindai sekeliling sekali lagi, Satria mengangguk. “Clear!” sahutnya mantap.

“Oke. Sepuluh menit lagi Rean akan tiba di tempatmu. Begitu ia datang, kamu sudah harus pergi. Mengerti?”

“Aye, aye, Captain!”

“Jangan bertindak gegabah!” pesan suara itu lagi.

Satu sudut bibir Satria berkedut. “You know me so well, John.”

Dua tahun berlalu semenjak kematian Navy, kini Satria kembali menjadi agen seperti dulu. Bukan keputusan yang mudah. Namun, setelah melalui pertimbangan yang panjang, Satria menyanggupi permintaan John untuk kembali menjadi agen Carl.

Seperti yang John katakan, sepuluh menit kemudian Satria melihat kedatangan Rean dengan motornya. Menyadari hal itu, Satria bergegas melajukan mobilnya, meninggalkan tempat pengintaiannya. Namun, belum sepuluh detik mesin mobilnya menyala, Satria dibuat terkejut saat pintu penumpang di sampingnya terbuka dan seorang gadis mendudukinya tanpa izin.

Sebelum menyuarakan protesnya, gadis itu langsung membungkam Satria dengan ucapannya, “Help me! Bawa aku pergi dari sini secepatnya!”

But, Miss—”

“Tenang saja aku bukan penjahat atau pencuri yang menghindar dari kejaran polisi. Please, cepat bawa aku pergi dari sini.” Gadis itu memohon sembari menangkupkan kedua tangan di depan dada.

Mengerling malas, Satria pun menuruti keinginan gadis asing di sampingnya itu. Satria dapat mendengar gadis itu menghela napas lega. Entah untuk apa.

“Kau mau ke mana?” tanya Satria tanpa menoleh.

Ragu-ragu gadis itu mengucapkan sebuah alamat yang ditanggapi Satria dengan anggukan. Kemudian hening menjeda keduanya tanpa kompromi. Baik Satria atau pun gadis itu sama sekali enggan angkat suara.

Empat puluh menit perjalanan dengan kecepatan sedang, terasa seperti berabad-abad karena ditemani keheningan. Tidak ada alasan bagi Satria untuk membuka percakapan dengan gadis itu. Meski sebenarnya adalah wajar jika Satria melempar tanya pada gadis itu. Mengingat kelancangan gadis itu yang tiba-tiba masuk ke mobil Satria.

“Ah, berhenti di sini saja!” seru gadis itu tiba-tiba.

Mengedarkan pandangan ke sekeliling, dahi Satria mengerut bingung. “Daerah ini masih jauh dari alamat yang tadi kau sebutkan.”

“Berhenti di sini!” kata gadis itu penuh penekanan.

Mengeram hingga giginya bergemeletuk, Satria menuruti keinginan gadis tersebut. Satria terhenyak tatkala gadis itu langsung membuka pintu begitu mobil berhenti. Terlebih gadis itu menutup pintu mobilnya dengan bantingan cukup keras.

Your welcome!” pekik Satria sarkas.

Dapat Satria lihat gadis itu melengos sebelum berbalik. Satria berdecih, tidak menyangka jika gadis yang semula memohon bantuannya kini malah bersikap demikian padanya. Bukan berarti ia mengharapkan pamrih dari gadis itu. Tapi, hei! Apa susahnya bilang terima kasih? Alih-alih membanting pintu mobilnya seolah Satria adalah pria hidung belang yang bersikap tidak senonoh padanya.

Berdecak sembari menggeleng, Satria lantas melajukan kembali mobilnya. Namun, belum sempat Satria meraih tongkat persneling, mata lelaki itu menangkap sesuatu di atas kursi penumpang. Mata lelaki itu menyipit tatkali menyadari benda apa yang tergeletak di kursi penumpangnya.

“Paspor? Indonesia?”

Mengikuti nalurinya, Satria membuka paspor tersebut. Sudut bibirnya terangkat melihat foto si pemilik paspor yang tak ayal adalah gadis yang baru saja meninggalkan mobilnya. Melempar paspor itu ke atas dashboard, senyum Satria terkembang lebar.
Entah firasatnya benar atau tidak, tampaknya pertemuannya dengan gadis itu akan lebih dari satu kali.

“Jasmine Hazikara Rasmello? Hm, nama yang menarik.”

***

Sebenarnya aku enggak ada niat buat extra part kayak gini. Tapi aku tiba-tiba kangen Satria-Navy. Dan seperti yang bisa kalian tebak, aku menulis extra part ini untuk menuntaskan rasa kangenku.

Mungkin banyak yang tidak setuju dengan ending After That Month yang membuat Navy pergi. Tapi percayalah, itu yang terbaik untuk Navy. Bukan karena enggak sayang. Aku malah sangat sayang dengan Navy. Tapi ya itu tadi, itu yang terbaik.

Selagi melalukan revisi untuk ATM yang belum kelar-kelar karena magernya kebangetan, kalian bisa baca ulang ATM. Jangan sungkan memberi tahu keluhan kalian mengenai naskah ini. Biar jadi masukan juga buat aku untuk merevisi naskah ini.

Oh iya, di ending part ini kan ada gadis tuh, ada namanya juga. Ada yang bisa nebak dia siapa? Kalau kalian pernah baca novelku yang bertajuk Aku Rapuh Dalam Kasihmu, kalian pasti tahu dia siapa. Hehehe.

Apa ATM bakal ada sequel? Rencananya sih mau ada sequel, tapi nggak tahu sih. Karena selain revisi ATM, aku juga mau revisi The Flower Bride, Move Up, juga nulis Love Journal yang masih on going. Kalian bisa mampir ke naskah aku yang itu. Jangan lupa juga ada Fake Identity yang insyaAllah bakalan terbit bulan Mei nanti. Semoga proses lahiran bukunya lancar, ya.

Terima kasih untuk tetap menyimpan ATM di reading list kalian. Semoga suka.

Salam,
Winda

22 Januari 2018

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro