Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab Tujuh

Setelah menutup percakapan kami dengan kesepakatan menolak perjodohan, Rizal mengantarkanku kembali ke rumah sakit. Ia kemudian berpamitan dengan Mama dan Kak Rega yang sudah berada di rumah sakit. Tak lupa pula ia mendoakan kesehatan Mama agar lekas sembuh dan keluar dari rumah sakit.

Saat ini aku tengah melangkah bersisian dengan Rizal di koridor rumah sakit. Atas inisiatifku sendiri aku mengantarnya menuju parkiran. Tak ada kata yang terucap di bibir kami semenjak tadi.

Saat akhirnya kami tiba di dekat mobil Rizal, barulah ia bersuara, "Aku tidak akan menyesal jika menerima perjodohan ini," ia mencondongkan tubuhnya ke arahku. "Tapi kita sama-sama tahu, dengan menolak perjodohan ini maka itulah yang terbaik."

Aku mematung di tempat. Tenggorokanku tercekat saat mendengar suara Rizal yang begitu lirih. Entah kenapa aku menangkap sesuatu dari nada bicaranya. Sebuah rasa ... kecewa. Tapi, kecewa karena apa?

"Navy, senang bisa mengenal kamu," katanya sebelum masuk ke dalam mobil.

"Ah, senang juga bisa mengenal kamu, Zal."

Rizal mengulas senyum, kemudian diam. Aku masih berdiri di samping mobilnya, dan dia belum juga beranjak pergi. Karena nihilnya percakapan di antara kami, aku memutuskan fokus pada jalanan di depan rumah sakit.

"Ehm, Nav," panggilnya yang membuatku mendongak, "boleh aku minta nomor hapemu?"

"Tentu,"

Rizal kemudian menyodorkan ponselnya padaku. Dengan gerakan terlatih aku pun menekan layar, menyimpan nomorku di ponselnya. Setelah menerima ponselnya kembali, barulah Rizal menghidupkan mesin mobil.

"Aku pulang dulu, Nav."

Aku mengangguk, perlahan memberi jarak dari mobilnya.

"Oke, hati-hati."

Rizal melambaikan tangannya sebagai salam perpisahan kami. Dengan senyum tipis di wajah kubalas lambaian tangan itu hingga mobil Rizal sudah tidak tampak lagi di pandanganku. Aku menunduk, mengembuskan napas pelan sebelum kembali mendongak.

Kuputuskan untuk kembali ke kamar inap Mama setelah sekian detik berdiri di tempat parkir. Begitu aku masuk, Mama langsung tersenyum penuh arti. Aku tahu arti senyuman Mama, namun memilih untuk pura-pura tidak tahu.

"Rizal sudah pulang?" tanya Mama setelah aku duduk di dekatnya.

"Udah, Ma," jawabku singkat. "Oh iya, Kak Rega mana?" tanyaku karena tidak melihat sosok kakakku itu.

"Lagi ke kantin, ada yang mau dia beli."

Aku mengangguk. Kualihkan pandangku dari wajah Mama yang tak pernah sedetik pun memudarkan senyumnya. Pandanganku kini terfokus pada botol infus Mama, memperhatikan tetesan cairan yang turun perlahan.

"Menurut kamu, Rizal gimana orangnya?"

Aku tersentak, namun tak seinci pun aku menoleh pada Mama. Kutundukkan kepala, menekuri jemariku yang bertaut.

"Mm, ya ... gitu deh."

"Gitu deh gimana?" tanya Mama lagi karena tidak puas dengan jawabanku.

"Ya, gitu."

"Kamu suka sama Rizal?"

Pertanyaan Mama kali ini berhasil membuatku menoleh. Tatapan Mama yang penuh harap padaku membuat sesuatu menyelusup ke dalam dadaku.

"Mama apaan sih?" tanyaku tak suka.

"Mama suka sama Rizal. Anaknya baik."

Aku memilih diam. Tidak menanggapi ucapan Mama. Aku tahu ke mana arah tujuan pembicaraan ini.

"Usia kamu sudah mau 27, Nav," tutur Mama pelan. "Kamu bertambah tua, Mama juga demikian. Mama merasa umur Mama gak panjang. Karena itu sebelum Mama tutup usia, Mama ingin melihat kamu menikah."

"Mama ngomong apa sih? Navy nggak suka Mama ngomong gitu."
Mama tersenyum tipis, berbanding terbalik denganku yang tersulut emosi.

"Mama ingin melihat kamu bahagia dengan lelaki yang bisa menjagamu, Nav. Kamu itu jurnalis, perempuan pula. Mama tahu pekerjaanmu itu gak mudah. Karena itulah kamu butuh seseorang untuk mendampingi kamu, tempatmu berbagi keluh kesah."

"Navy bisa jaga diri kok, Ma."

"Tapi seorang perempuan butuh lelaki di sampingnya. Seorang lelaki yang bisa mencintai dan menjaganya. Mama ingin sekali melihatmu berumah tangga, Nav."

Aku tercekat, kehilangan kata-kata.

"Kamu ingat, dulu Mama pernah bilang kalau Mama menjodohkan kamu dengan seseorang?"

Ragu-ragu aku mengangguk. Entah kenapa, aku semakin merasa arah perbincangan ini akan menjadi sesuatu yang tidak kusukai.

"Kalau orang itu Rizal, apa kamu mau menerima perjodohan ini?"

Meski sebelumnya aku sudah diberi tahu Rizal mengenai hal ini, namun mendengarnya langsung dari bibir Mama tidak turut menyembunyikan kekagetanku. Rasanya sangat berbeda saat aku mendengarnya dari Rizal.

"Kalian bisa saling mengenal dulu. Pilihannya ada di tangan kalian," ujar Mama. "Tapi Mama berharap, kamu akan menyetujui. Percayalah, Rizal adalah lelaki yang terbaik untukmu. Seorang ibu tidak mungkin ingin melihat anaknya menderita. Mereka ingin anak-anaknya bahagia."
Aku terduduk kaku. Benar-benar tidak tahu apa kata-kata yang tepat untuk kusuarakan.

***

Aku masih ingat jelas percakapanku dengan Rizal tadi. Apa saja yang dia harapkan di rumah tangganya kelak, calon istri yang dia inginkan, juga jumlah anak dan di mana ia dan keluarganya akan tinggal. Semua itu masih segar dalam ingatanku.

Aku juga tidak lupa kesepakatan kami untuk menolak perjodohan ini. Saat aku bertanya bagaimana reaksi keluarga kami nantinya, ia dengan tenang menjawab, "Kamu gak usah mikirin itu. Aku bisa mengurus semuanya. Dan kesepakatan kita untuk menolak perjodohan ini, aku rasa mereka akan mengerti."

Meski masih belum sepenuhnya percaya, Rizal terus-terusan meyakiniku bahwa semuanya akan baik-baik saja. Ia bahkan akan berkata langsung pada Mama kalau itu bisa membuatku merasa lega. Melihat keseriusan di wajahnya, lambat laun aku mulai mempercayainya.

"Orang tua kita tidak akan keberatan. Toh, kita yang akan menjalani pernikahan ini, bukan mereka."

Aku cukup tenang setelah mendengarnya. Setidaknya hingga Mama kemudian membicarakan perjodohan itu padaku.

Saat ini Mama telah terlelap. Dokter yang baru saja memeriksanya mengatakan kondisi Mama sudah kembali stabil. Dua-tiga hari lagi Mama sudah diperbolehkan pulang ke rumah. Dan itu berarti besok aku sudah harus kembali ke Jakarta.

Sebelum memejamkan matanya tadi Mama sempat mengutarakan keinginannya padaku, sebagai anak perempuan satu-satunya. Harapan yang membuatku dihantui perasaan bersalah. Aku tidak bisa membayangkan betapa kecewanya Mama saat tahu aku dan Rizal menolak perjodohan ini.

"Mama ingin punya cucu dari anak perempuan Mama, Nav. Mama cuma punya dua anak perempuan, dan hanya kamu satu-satunya harapan Mama."

Ekspresi penuh harap Mama terus membayangiku. Aku tahu, semenjak Kak Riana meninggal, hanya aku yang bisa Mama harapkan. Sosok Kak Riana yang feminim dan penurut, berbanding terbalik denganku yang suka seenaknya dan tak acuh pada penampilan.

Sayang sekali, kakak perempuanku itu harus menghadap-Nya di usianya yang masih muda. Andai dia masih hidup, mungkin saat ini dia sudah memberikan Mama seorang cucu, dan aku pasti akan dibebaskan dari perjodohan ini.

Tapi walaupun begitu, aku tidak bisa menyalahi takdir. Kak Riana yang telah tiada merupakan salah satu dari rencana takdir Tuhan yang tidak bisa kuganggu gugat. Dan seandainya pun aku bisa mengubah takdir, aku ingin bisa membawa calon pasanganku ke hadapan Mama.

***

Repost (15 Juli 2017)

Mohon maaf atas ketidaknyamanan yang saya lakukan dengan me-repost cerita yang sudah selesai ini. Terima kasih atas dukungan teman-teman yang tidak menghapus After That Month dari library dan atau reading list kalian.
Tetap dukung karya saya ini ya.
Bagikan ke teman kalian. Rekomendasikan jika kalian menyukai cerita ini.
Jika menemukan cerita ini baik itu di wattpad ataupun website lain, dan nama penulisnya bukan Winda Zizty, segera beritahu aku. Jangan takut untuk berlaku benar.
Terima kasih.

Aku sayang kalian.
Winda Zizty

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro