Bab Sembilan Belas
Setelah kejadian di mana saya mengikuti Ann dan Rean yang tengah bertugas hingga kunjungan saya ke markas mereka, saya tidak pernah lagi bertemu mereka. Seolah tengah berkonspirasi dengan keadaan, tidak sekali pun saya melihat sosok mereka di jalanan kota London, baik yang sengaja atau tidak.
Saya berusaha fokus pada kuliah saya. Hidup seperti mahasiswa kebanyakan: mengerjakan tugas, ke perpustakaan, ujian, bertemu dosen, dan lain sebagainya.
Sibuk dengan kegiatan perkuliahan, sedikit mengikis ingatan saya tentang Ann dan teman-temannya. Saya sedikit melupakan tawaran yang Drew berikan pada saya, juga penjelasan mengenai siapa mereka sebenarnya, dan apa yang mereka lakukan.
Terkesan terburu-buru memang. Mereka dengan mudah memberikan informasi pada saya yang notabene baru mereka kenal. Bisa saja kan saya berkhianat, dan membocorkan pada publik siapa mereka.
Tapi, saat saya mengutarakan kemungkinan itu, Drew dengan enteng menjawab, “Kau tidak mungkin melakukannya. Aku jamin itu. Aku tahu kau bukan tipe orang yang suka mencari masalah.”
Walau perkataan Drew tidak seratus persen benar, tapi tetap saja, saya meragukan keputusan mereka yang begitu percaya pada saya. Memberikan kedok mereka, bahkan menawari saya bergabung dengan mereka.
“Seperti yang Ann katakan padaku, kau punya potensi. Dan, ya ... kau memang memiliki potensi itu.” Drew kemudian beralih pada Ann yang tersenyum puas. “Ann dengan semua pengalamannya, ternyata bisa melihat apa yang orang lain tidak bisa lihat. Kau memang tidak pernah mengecewakanku, Ann.”
“Thanks, Drew.” Ann semakin tersenyum lebar.
“Satria, mungkin awalnya kau mengira apa yang Rean dan Ann lakukan tadi di depan matamu tadi adalah hal yang melanggar hukum, dan gila. Tapi, kau tak usah khawatir, karena kami sudah mengantongi izin legal dalam melakukan semua tugas kami. Bahkan pemerintah juga tahu apa yang kami lakukan. Semuanya. Tanpa ada yang disembunyikan.”
Saya memilih bungkam, tidak membalas perkataan Drew ataupun bertanya lebih lanjut. Lelaki paruh baya itu kemudian mengambil sesuatu dari loker meja kerjanya.
Dahi saya mengernyit saat Drew mengeluarkan sebuah pisau lipat.
“Kau yang sekarang sama seperti pisau ini, terlihat tidak berbahaya sama sekali dan dapat dengan mudah dipegang tanpa takut terluka.” Dengan satu gerakan pelan, Drew membuat pisau itu terbuka sempurna. “Tapi saat kau sudah dilatih sedemikian rupa, dengan segala latihan fisik dan mental, kau akan seperti mata pisau ini. Walau terlihat kecil, mata pisau ini bisa melukai seseorang, bahkan membunuhnya.”
Drew kembali melipat pisau itu, kemudian meletakkannya di atas meja.
“Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Tapi sebelum hal-hal buruk terjadi, kita bisa memilih berbagai rencana untuk menghindarinya.” Drew menatap lurus manik mata saya, membuat saya sulit untuk berkedip. “Kau berhak memilih masa depanmu sendiri. Kami hanya memberikan salah satu opsi dari sekian banyak opsi kehidupan.”
***
Saya ingat Ann pernah berkata begini pada saya, “Hidup itu nggak pernah ada yang mudah. Setiap pilihan yang kita ambil, akan selalu mendapatkan risiko. Setelah kamu menentukan pilihan, semua konsekuensinya harus kamu hadapi, siap atau tidak siap.”
Saat itu saya hanya diam. Kenangan tentang Mama tiba-tiba melintas di hidup saya. Teman-teman saya di Jakarta yang memiliki pilihan hidupnya masing-masing, Papa yang memilih melanjutkan hidup dengan bekerja selepas kepergian Mama. Ann benar, semua orang mempunyai pilihan di dalam hidupnya.
Dan salah satu pilihan saya adalah mengikuti permintaan terakhir Mama untuk berkuliah di London. Di tempat yang sama seperti Papa saat menempuh pendidikan bisnis beberapa tahun silam.
Sebuah berita di surat kabat yang tidak sengaja saya lihat di jalan membuat saya teringat kembali dengan Ann dan tawaran Drew. Entah kenapa kasus mengenai penggelapan uang yang dilakukan seorang oknum di salah satu perusahaan terkemuka membuat saya teringat pekerjaan Ann dan Rean.
Sekelebat tanya berlintasan tanpa saya cegah.
Apa sekarang Ann tengah mengejar target buruannya?
Akankah Rean tengah membidik senapannya pada tikus buruan mereka?
Atau saat ini Drew tengah duduk manis di meja kerjanya dengan tatapan yang tidak pernah lepas dari monitor cctv yang terpasang secara sembunyi di tubuh agen terpercayanya?
Pemikiran itu membuat saya sulit tertidur, bahkan hampir mengabaikan tugas kuliah ssya.
Saya kembali menyibukkan diri dengan kuliah dan segala aktivitasnya, dan itu kembali berhasil mengalihkan pikiran saya.
Tapi, seolah ada magnet yang saling tarik-menarik di antara saya dan Ann, saya kembali bertemu dengan gadis itu di kafe dekat London Eye.
Senyum Ann masih sama, binar matanya juga masih terlihat indah dan memukau. Secara keseluruhan, tidak banyak yang berubah dari Ann, hanya saja rambut sepunggungnya kini telah dipangkas hingga hampir menyentuh pundaknya.
Saya sedikit pangling dengan perubahan potongan rambut Ann. Dengan rambut pendek seperti itu, Ann tampak seperti warga lokal, bukan gadis berdarah Eropa yang juga memiliki darah Asia.
“How’s life?” tanya Riana setelah menyesap pelan latte-nya.
“So far so good,” jawab saya. Ann mengangguk dan kembali menyesap latte-nya. “How about you?”
“Melelahkan. Tapi, gue nggak pernah menyesal dengan pekerjaan ini.”
Setelah meletakkan cangkirnya di atas tatakan, Ann menopang dagunya dengan jemari yang saling bertaut.
“Rasanya udah lama banget ya, kita nggak ketemu. Gue yang sibuk apa elo yang sibuk?” canda Ann diselingi tawa kecil.
“Mungkin kita sama-sama sibuk. Saya sibuk kuliah, dan kamu sibuk dengan misi-misimu.”
Ann mengulum senyumnya. Tak lama ia mendesah pelan, matanya yang semula menatap saya kini beralih pada jendela di samping kami. Rintik hujan yang sedari tadi membasahi London mengetuk perlahan hingga menciptakan nada tersendiri di tengah suara gemuruh hujan.
“Nggak kerasa ya sudah hampir setahun elo di London. Kangen sama suasana Indonesia, nggak?”
Ann masih tidak mengalihkan pandangnya dari jendela. Samar-samar saya melihat sinar di mata Ann meredup. Bahkan suaranya saat bertanya tadi terdengar begitu lirih.
Seperti seseorang yang tengah menyimpan rindu yang teramat dalam.
Saya tidak langsung menjawab pertanyaan Ann. Ada jeda yang sengaja saya ciptakan karena hati saya tiba-tiba bergemuruh. Ada sesak yang tercipta akibat kerinduan di hati saya.
“Terkadang saya merindukan orang-orang di sana.” Sosok Mama yang tengah tersenyum langsung membayangi saya. “Tapi saya tahu, saya tidak akan kembali dan bertemu mereka sebelum pendidikan saya di sini berakhir.”
“Gue kangen keluarga di Indonesia. Terkhusus Mama.”
“Saya juga kangen Mama saya.”
Saya tidak berbohong saat mengatakannya. Saya benar-benar merindukan Mama yang telah kembali di sisi-Nya.
“Kamu mau tahu alasan gue gabung sama Drew?”
Pertanyaan Ann membuat lamunan saya tentang kenangan indah bersama Mama langsung buyar. Ann menatap saya dengan sorot mata yang tidak terbaca. Meski Ann tengah melengkungkan senyum, saya merasa ada kesedihan di balik senyuman itu.
Saya tidak menjawab pertanyaan Ann, dan saya tahu, Ann mengerti arti tatapan mata saya.
Ann memicingkan matanya, bersamaan dengan helaan napas panjang yang tedengar dari bibirnya.
“Saya tidak memaksa kamu untuk bercerita,” sahut saya. “Kalau kamu merasa berat untuk bercerita, saya tidak keberatan.”
Ann mencoba menarik kedua sudut bibirnya. Ada kelegaan yang terlihat jelas di matanya.
“Suatu saat nanti pasti gue bakal kasih tahu apa alasannya.” Senyum lebar terlukis di wajah Ann. “Lo tahu, saat kita merasa udah siap berbagi rahasia, ternyata di sisi lain ada kekuatan yang lebih kuat yang menahan kita untuk membeberkan rahasia itu. Dan saat ini, meski gue percaya sama lo, gue belum sepenuhnya siap untuk bercerita.”
“Iya, nggak masalah. Saya juga tidak pernah meminta kamu untuk bercerita. Ya, walaupun memang saya penasaran kenapa kamu bisa bergabung dengan Drew.”
“Ehm, thanks, Sat. Gue aneh ya, gue yang menawarkan untuk berbagi rahasia, malah gue juga yang membatalkan niat untuk bercerita.”
Ann menggeleng sambil tertawa kering.
“Ann, setelah berbulan-bulan, saya tahu apa yang akan saya pilih.”
Tawa Ann seketika terhenti. Ditatapnya saya dengan penuh tanda tanya.
“Maksudnya?” ia mengernyit. “Apa ini berhubungan dengan tawaran Drew?”
Saya mengangguk pelan, membuat Ann terbelalak tak percaya.
“Ya. Ini terkait dengan tawaran Drew. Saya sudah menentukan akan memilih opsi yang mana.”
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro