Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab Enam Belas

Saya bukan manusia yang tidak pernah mengeluh. Ada beberapa hal di dunia ini yang saya keluhkan, salah satunya tugas kuliah. Lagipula, bukankah manusia memang makhluk yang selalu mengeluh?

Seminggu ini tugas saya menumpuk. Seolah sengaja tidak memberi saya waktu istirahat, tugas itu selalu bertambah setiap harinya. Bahkan untuk tidur tenang pun, rasanya sangat mustahil untuk dilakukan.

Perpustakaan kota yang cukup lenggang hari ini sedikit membuat saya berkonsentrasi mengerjakan tugas kuliah. Dengan sepuluh buku yang ditumpuk di dekat laptop, saya merasa seperti anak rajin. Hanya saja saya tidak mengenakan kaca mata tebal untuk melengkapi penampilan kutu buku saya.

Suara derit kursi di samping saya sedikit mengalihkan perhatian saya dari monitor laptop. Saya tidak menoleh ke asal suara, namun ekor mata saya melihat sepasang kaki jenjang berusaha duduk di kursi di sebelah saya.

Saya mencoba tak acuh, kembali fokus mengerjakan tugas kuliah yang akan dikumpul lusa, namun aroma segar dari seseorang di samping saya membuat saya menoleh tanpa tedeng aling-aling.

Pupil saya melebar saat mengetahui siapa yang kini tengah duduk di samping kanan saya. Tanpa saya duga, orang itu juga ternyata tengah menatap saya. Matanya menyipit, seolah tengah berusaha untuk mengenali saya. Tak lama, senyum lebar langsung terbentuk di bibir tipisnya, membuat saya tanpa sadar ikut tersenyum.

“Satria?” suaranya yang merdu langsung menyapa telinga saya.

Jantung saya bertalu hebat hanya karena sebuah panggilan itu. Entah kenapa, saya begitu menyukai cara orang itu memanggil nama saya, juga binar di matanya yang indah.

“Oh, hai ... Riana,” balas saya.

“Lo ngapain di sini?” tanyanya antusias.

Saya mengedikkan bahu menunjuk laptop dan 10 buku referensi untuk tugas kuliah saya. Mata bulatnya melebar tak percaya melihat gunungan buku-buku tebal itu.

“Ngerjain tugas,”

“Serius lo?!” pekiknya tak percaya. “Tugas lo parah banget, ya, sampe harus make 10 buku referensi gitu?” ia berdecak, menggeleng takjub.

“Nggak juga, sih,” sahut saya. “Cuma ... ya, emang 10 buku itu bisa bantuin saya ngerjain tugas. Materinya ada di sana semua.”

“Ya, ampun. Untung pas gue kuliah dulu buku referensinya nggak sebanyak elo.” Riana mendesah pelan, tampak lega.

Saya memgernyit saat pernyataan Riana tadi mengganggu pikiran saya. Mungkin karena rasa penasaran saya yang terlalu tinggi, saya sampai tidak sadar telah menyuarakan isi kepala saya.

“Kamu sudah lulus?”

Jawaban dari Riana-lah yang akhirnya menyadarkan saya bahwa pertanyaan itu telah saya suarakan dengan nada tidak percaya.

“Iya, tahun kemarin sih lulusnya.” Riana terkekeh geli melihat tampang bodoh saya: mata yang terbelalak dengan mulut yang menganga. “Biasa aja kali reaksi lo, nggak usah sampe segitunya.”

Saya tergagap, menyesali tingkah bodoh saya di hadapan gadis secantik Riana. Sebelum semakin terlihat bodoh, saya melengkungkan senyum di wajah.

“Maaf,”

“Kok lo malah minta maaf, sih?” Riana kembali terkekeh.

“Jadi?” saya mengernyit.

“Ya, nggak harus minta maaf. Lo juga nggak punya salah apapun sama gue.”

Saya berdeham, menutupi kecanggungan.

“Kamu ngapain ke sini?”

Riana yang telah larut dalam bacaanya kini menoleh. Mata bundar itu langsung tertuju lurus pada mata saya. Saya tidak sempat mengelak, karena kini mata bundar dengan manik abu-abu itu begitu menghipnotis saya untuk menatapnya tanpa berkedip.

“Baca buku. Emang lo kira ngapain kalau ke perpustakaan selain baca buku dan belajar?”

“Ya, mungkin kamu janjian dengan seseorang di sini.”

Riana terkekeh, mengibaskan tangannya.

“Justru gue ke sini karena butuh waktu sendiri. Nggak niat diganggu sama yang lain.”

“Jadi, apa saya mengganggu kamu?”

“Ya nggaklah, gue juga nggak tahu kalau lo lagi di sini.”

Riana tersenyum, kembali fokus pada bacaannya. Mengakhiri aksi tatap-tatapan yang membuat saya panas-dingin.

Melihat Riana yang hanyut pada bukunya, dan tidak ada tanda-tanda akan muncul percakapan yang baru, saya memilih untuk fokus kembali pada tugas yang sempat saya abaikan.

Saya sedang membalik halaman di salah satu buku referensi saat ekor mata saya melihat pergerakan kecil Riana. Gadis itu menekan lubang telinga kirinya, matanya menatap awas sekeliling seperti seseorang yang tengah mengincar mangsanya.

Saya mengangkat bahu, mencoba tak acuh. Tapi tatapan mata saya kembali pada Riana saat gadis itu menggumamkan sesuatu dengan cepat. Ia tampak marah, namun nada suaranya melembut saat ia menoleh ke saya. Entah kenapa, Riana seolah tahu setiap saya tengah memandanginya diam-diam.

Riana tersenyum tipis, sorot matanya seolah mengatakan kata maaf.

Saya mengangguk sebagai jawabannya.

Saya sepenuhnya bisa kembali fokus pada tugas saya setelah Riana mengembuskan napas kesal. Ia membalik halaman bukunya dengan wajah tertekuk. Saya sedikit terhibur dengan perubahan ekspresi Riana.

Tugas saya akhirnya telah selesai dalam kurun waktu yang saya tidak tahu berapa lama. Saat saya hendak menutup lembar kerja saya, sebuah suara membuat saya menoleh. Meski bukan nama saya yang dipanggil, namun tetap saja saya menoleh ke asal suara.

Riana menutup buku bacaannya dengan kesal sebelum bangkit berdiri. Menatap si pemilik suara yang tengah melangkah menuju kami, tepatnya menuju Riana.

“Dari mana saja kamu, Ann? Kami mencarimu.” Lelaki berwajah Asia itu menoleh sekilas pada saya sebelum kembali menatap Riana.

Riana mendengkus, mengibaskan tangannya.

“Bisa nggak sih gue dikasih sedikit waktu buat refreshing?” Riana menjawab dengan bahasa Indonesia meski lelaki berwajah Asia itu berkata dengan English yang lancar.

“Kamu bukan refreshing, Ann. Kamu kabur dari tugas kamu.”

Whatever! Gue nggak bisa ngelanjutin tugas ini.”

Saya yang tidak tahu ke mana arah pembicaraan Riana dengan lelaki ini membuat saya hanya bisa menatap keduanya bergantian. Lelaki yang berusia sekitar satu-dua tahun di atas saya, atau malah seumuran saya, itu menatap saya dengan dahi yang menukik naik. Saya tahu, dia sadar dengan tatapan saya, karena lelaki itu sering melirik saya dari bahu Riana.

“Maaf kalau percakapan kami mengganggu,” katanya. Ia menundukkan sedikit kepalanya, meminta maaf.

Mendengar itu, Riana berbalik. Ia menepuk dahinya setelah melihat saya.

“Oh Tuhan, gue lupa kalau lo masih ada di sini, Sat.”

No problem, Na.”

Riana dan lelaki itu sedikit terkejut mendengar sapaan yang saya katakan untuk Riana. Saya sempat melihat lelaki itu menatap Riana, meminta penjelasan. Riana hanya tersenyum simpul seraya mengedikkan bahu.

“Kalau begitu, kami permisi.”

Lelaki itu langsung menarik tangan Riana. Meski hendak menolak, Riana akhirnya mengikuti langkah lelaki itu dengan enggan.

“Gue pergi dulu, ya, Sat.” Riana tersenyum tipis, melambaikan tangannya.

Meski seribu tanya menghinggapi kepala saya atas kedatangan lelaki itu dan interaksinya bersama Riana yang sedikit aneh, saya tetap membalas lambaian tangan Riana. Bahkan hingga sosok Riana dan lelaki itu telah menghilang dari pandangan, saya tidak bisa mengenyahkan rasa penasaran saya tentang hubungan mereka.

Saya tahu, tidak seharusnya saya sepenasaran ini, dan ini kali pertama saya seperti ini. Tetapi, entah kenapa, saat memikirkan jika lelaki tadi adalah kekasih Riana, membuat saya merasa tidak rela. Seperti ada sesuatu yang menyakitkan di dalam sana, dan saya sendiri tidak dapat memastikan apa penyebab pastinya.

***

Saya tidak tahu, Riana memiliki pengaruh besar terhadap saya. Seminggu setelah pertemuan tidak disengaja di perpustakaan, saya tidak henti memikirkan kemungkinan hubungan yang terjalin antara Riana dan lelaki berwajah Asia itu.

Sebagai seorang lelaki, saya merasa kehadiran lelaki lain yang bisa dikatakan memiliki daya tarik tersendiri di dekat seorang wanita yang menarik perhatian, jelas saja menjadi sebuah bahaya tak kasatmata.

Apalagi lelaki itu terlihat dekat dengan Riana. Meskipun saat itu sepertinya mereka tengah terlibat dalam sebuah pertengkaran kecil yang saya tidak tahu apa sebabnya. Tapi yang pasti, saat lelaki itu menarik tangan Riana untuk menjauh, saya tidak melepaskan pandang dari tangan lelaki itu.

Entah apa yang membisiki saya saat itu sehingga saya ingin berganti posisi dengan lelaki itu. Ingin menggenggam tangan Riana yang berdiri di samping saya. Bukan menarik tangan Riana seperti yang lelaki itu lakukan.

Saya mengerjap, kembali ke dunia nyata saat dosen di depan telah melangkah meninggalkan kelas. Gegas saya menyampirkan tas di bahu, dan mengikuti langkah yang lain keluar dari kelas.

Saya baru beberapa langkah meninggalkan kampus saat mendengar derap langkah disusul pekikan seorang wanita di belakang saya. Saya menyipitkan mata, mencoba memastikan apa yang terjadi.

Tapi, saat saya menangkap pergerakan seorang wanita berambut blonde sepunggung yang baru saja melewati saya, saya langsung menyusul langkah itu tanpa pikir panjang.

Wanita itu sempat menoleh ke belakang. Mata bundarnya terbelalak kaget saat saya kini telah berhasil berlari di sampingnya.

“Satria? Lo ngapain?”

“Kamu mau ke mana?” Alih-alih menjawab pertanyaan Riana, saya mengajukan pertanyaan yang lain.

Riana tidak menjawab, ia menambah kecepatannya, seolah tidak peduli apakah saya akan mengikutinya atau tidak.

Saya merasakan ada nyeri di dada saya saat Riana mendekati sebuah mobil yang terparkir di pinggir jalan. Bukan mobilnya yang membuat hati saya ngilu, tetapi kehadiran lelaki Asia itu yang kini tampak tergesa.

Saya tidak tahu apa yang mereka bicarakan, namun saat saya sudah berhenti di belakang sedan hitam itu, Riana langsung menarik tangan saya. Sekilas lelaki iti melempar pandang tidak setuju yang begitu kentara, namun Riana tidak mempedulikannya. Riana bahkan mendorong saya masuk ke kursi penumpang. Membuat kepala saya terantuk jendela.

“Kita nggak ada waktu!” seru Riana.

Riana langsung menginjak pedal gas, melajukan sedan hitam yang kami tumpangi dengan kecepatan tinggi.

Selama di perjalanan tidak ada yang bersuara. Baik Riana maupun lelaki itu menatap sekeliling dengan awas, ekspresi serius mereka membuat saya yakin ada sesuatu di antara mereka.

“Sat, maaf karena lo harus ikut di mobil ini.”

Saya mendengar Riana berkata dengan nada penyesalan tanpa sedikit pun melepaskan pandang dari sekeliling. Saya hendak menjawab, namun kata-kata itu tenggelam begitu saja saat mendengar suara asing memenuhi mobil yang kami tumpangi.

“Target ada di selatan. Kalian harus berada di sana dalam lima belas menit!”

“Oke!” Riana dan lelaki itu menjawab tegas.

Riana menambah kecepatan mobilnya tanpa satupun ketakutan terlihat di wajahnya. Saya bergeming, menatap wajah Riana yang terlihat begitu memesona dengan keringat yang mengaliri dahinya.

“Ngapain lo ngeliatin gue?”

Pertanyaan Riana membuat saya tersentak. Lelaki itu menoleh, menatap saya dengan dahi berkerut.

“Kamu yang di perpustakaan seminggu yang lalu, kan?” lelaki itu bertanya dengan bahasa Indonesia yang lancar. Memang dari awal, saya menduga lelaki ini berasal dari Asia Tenggara. Entah itu Malaysia atau Indonesia.

“Iya,” jawab saya pendek.

Lelaki itu mengangguk sekilas sebelum meraih sesuatu di belakang saya. Saya sedikit menggeser tubuh saya saat lelaki itu mengambil kotak panjang berwarna hitam di belakang saya.

“Tolong jangan katakan hal ini pada siapapun.”

Setelah mengatakan itu, lelaki itu mengeluarkan sesuatu dari kotal hitam itu. Saya terbelalak kaget melihat benda yang kini membut darah saya berdesir. Ekspresi kaget saya ternyata mengundang tawa kecil dari bibir Riana.

“Maaf ya, Satria, seharusnya lo nggak melihat kami yang seperti ini.”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro