Bab Dua
Sesuai permintaan Aster, hari ini aku mengendarai motorku saat meliput. Sebenarnya tanpa dia minta pun, setiap harinya aku selalu mengendarai motor untuk pergi meliput. Kemarin aku mengendarai mobil karena aku belum sepenuhnya berani berkendara jauh dengan motor. Karena itulah, aku memilih mobil sebagai kendaraan yang menemaniku meliput di Sukabumi.
Aku menepikan motorku di salah satu warung tenda,tidak jauh dari rumah. Berniat mengisi perutku dengan sarapan agar bisa lebih bertenaga meliput hari ini.
"Pake telur kayak biasa, Neng?" Kang Asep langsung bertanya begitu aku duduk di bangku panjang yang tersedia.
Aku mengangguk sambil menyunggingkan senyum. "Iya, Kang. Gak usah pake bawang goreng, ya."
Kang Asep mengangguk. Ia lantas menyiapkan bubur ayam sesuai pesananku.
Aku dan Kang Asep sudah berkenalan sejak empat tahun terakhir. Semenjak aku memilih hidup sendiri di rumah kontrakan yang tidak terlalu jauh dari kantor. Awalnya keluargaku tidak mendukung pilihanku itu, namun berkat adu argumen yang akhirnya dimenangkan olehku, mereka akhirnya menyetujui dengan berat hati.
Lagipula, tidak mungkin setiap harinya aku harus bolak-balik Jakarta-Bandung.
Alasan lainku memilih tinggal sendiri tentu saja tidak mau membuat mereka khawatir. Mereka pasti akan langsung menceramahiku begitu tahu jam pulangku yang tidak waras.
Bayangkan saja, anak gadis yang selalu berdiam diri di rumah kini harus pulang paling cepat pukul setengah satu dini hari. Kalau orang-orang tidak tahu apa pekerjaanku, mereka pasti sudah mencap diriku sebagai gadis nakal.
Untungnya, tetanggaku baik di rumah orang tuaku maupun kontrakanku, tahu pekerjaanku. Mereka memaklumi jika aku pulang dini hari atau bahkan tidak pulang ke rumah selama seminggu lebih. Tentu saja, orang tuaku tidak tahu mengenai hal ini. Mereka pasti akan langsung menyuruhku resign dan menikahkanku dengan lelaki pilihan mereka.
Ugh! Memikirkan ada lelaki yang dijodohkan denganku membuatku semakin malas pulang ke rumah.
"Ini buburnya, Neng."
Kang Asep menyodorkan semangkuk penuh bubur ayam yang asapnya masih mengepul. Gumaman terima kasih langsung kulayangkan padanya. Liurku bahkan hampir menetes melihat bubur ayam yang dihias cantik dengan taburan kacang dan daun bawang itu.
Tanpa berlama-lama, langsung saja kulahap bubur ayam itu. Mulutku langsung terasa panas karena aku tidak meniup bubur tersebut terlebih dahulu.
"Pelan-pelan atuh, Neng," sahut Kang Asep saat melihat gaya makanku yang tidak ada cantik-cantiknya itu.
"Laper Kang," jawabku dengan mulut penuh.
"Emang semalem gak makan, ya, Neng?" Kang Asep kini duduk di sampingku.
Aku merenung sekilas, sebelum mengangguk mengiyakan. Setelah mengedit berita, aku langsung disibukkan dengan liputan lain. Jaraknya yang jauh membuatku melupakan makan malamku.
"Iya, Kang. Semalem langsung tidur soalnya."
Kang Asep manggut-manggut mendengar penuturanku. Ia kemudian berdiri saat seorang pembeli datang. Selagi Kang Asep sibuk melayani pembeli, aku mengecek ponselku. Melihat jadwal liputanku hari ini.
Senyum terkembang di wajahku melihat jadwal liputan yang longgar untuk beberapa hari ke depan. Kusimpan kembali ponselku ke saku celana. Menghabiskan sarapanku dengan perasaan senang.
***
"Nanti siang ada rapat," kata Aster sambil lalu saat aku baru keluar dari lift. Entah memang berbakat jadi cenayang atau apa, Aster selalu saja tahu keberadaanku di kantor ini.
"Rapat apaan, sih? Rapat redaksi kan udah beberapa hari yang lalu."
Aster berbalik. Berkacak pinggang sambil berdecak pelan, "Bukan rapat redaksi, Sayang."
Aku mengernyit bingung. Seolah menikmati reaksiku, Aster hanya diam saat menatapku.
"Jadi rapat apaan?"
Aku duduk di salah satu bangku panjang. Meregangkan otot leherku. Bangku yang kududuki sedikit berderit saat Aster duduk di sampingku.
"Rapat tentang liputan kita bulan ini. Lo harus dateng." Aster sengaja menekan kalimat terakhirnya.
"Penting banget ya emang? Tiap pagi juga udah rapat."
Jujur saja, aku paling malas mengikuti rapat. Kalau menurutku bahasan rapatnya tidak terlalu penting, aku akan memilih absen dari rapat tersebut.
"Ini berhubungan sama tugas liputan lo ke depannya." Mimik Aster berubah serius. "Kali ini lo gak boleh lagi absen pas rapat!"
Aku berdecak. Aku paling sebal jika Aster mengingatkanku kembali tentang rapat yang pernah tak kuhadiri.
"Memangnya setiap ada rapat aku harus hadir?" kataku padanya kala itu.
Kutolehkan kepala menghadap Aster. Menyerah saat melihat ekspresi seriusnya. Aku tahu, ia tidak main-main kali ini.
"Iya, gue bakal dateng rapat nanti. Jam berapa?"
"Jam dua. Habis makan siang."
Aku mengangguk. Kulirik jam tanganku, menepuk bahunya pelan sebelum berdiri.
"Gue pergi dulu, mau liputan."
Aster mengangguk. "Jangan lupa, jam dua siang."
"Ck! Iya, iya, bawel banget sih."
***
Seperti yang dikatakan Aster, rapat diadakan tepat jam dua siang. Ruang rapat yang tak terlalu besar itu terlihat sesak karena setiap kursinya telah terisi tanpa terkecuali.
Aku memilih duduk tak jauh dari Aster. Tak lupa kusiapkan buku agenda dan pena. Kalau-kalau ada materi penting yang perlu dicatat.
Rapat telah berlangsung hampir setengah jalan saat ponsel di sakuku bergetar. Kulirik kanan-kiri, para peserta rapat tampak serius mendengar pengarahan dari Pak Bagus. Merasa aman, kukeluarkan ponsel dari saku. Sebuah pesan masuk telah mendarat di ponselku.
Nama Rega--kakakku--terpampang sebagai si pengirim pesan. Kakakku satu itu jarang sekali mengirimiku pesan jika tidak penting. Jadi, wajar kalau saat ini aku sangat penasaran dengan kabar apa yang Kak Rega sampaikan padaku.
Mama sakit. Kalau kamu ada waktu minggu ini, pulang ke rumah, ya.
Aku terbelalak kaget membaca pesan Kak Rega. Mama sakit?Langsung saja kubalas pesan Kak Rega.
Sakit apa? Dirawat di RS apa di rumah?
Balasan Kak Rega kudapat tak lama kemudian. Kutebak, pasti saat ini ia tengah memegang ponselnya. Seolah menanti kabar dariku.
Jantungnya kumat. Dirawat di RS. Kalau kamu pulang, langsung ke RS aja.
Jantungku berdetak kencang memikirkan kondisi Mama. Terakhir aku pulang dan bertemu Mama adalah sekitar delapan bulan yang lalu. Saat itu Mama masih dalam kondisi yang baik-baik saja.
"Nav?"
Kurasakan seseorang menyenggol sikuku. Saat menoleh, kulihat Aster mengedikkan bahu. Memberi tanda bahwa aku harus fokus pada rapat.
"Bagaimana? Ada yang ingin memberi sanggahan atau saran?" Suara Pak Bagus kemudian menyapaku. Tatapannya memindai sekeliling, menatap wajah kami satu per satu.
"Navy, ada saran?"
Aku tersentak. Semua pasang mata yang menghadiri rapat kini tertuju padaku. Aku langsung gelagapan, tidak siap dengan pertanyaan Pak Bagus. Jangankan memberi saran, aku saja tidak tahu apa yang tengah diperbincangkan di rapat kali ini.
"Ah, tidak ada Pak," jawabku kemudian.
Fokus semua orang kini kembali ke Pak Bagus. Lelaki paruh baya itu kemudian mengangguk dan meletakkan spidolnya ke atas meja.
"Karena tidak ada sanggahan ataupun saran yang saya terima, berarti kalian setuju dengan liputan investigasi kita kali ini."
Aku yang sudah sepenuhnya fokus pada rapat langsung tersentak kaget mendengar ucapan Pak Bagus. Liputan investigasi? Mataku melotot kaget saat mendapati namaku tertulis di white board. Ototku seketika melemas saat sadar tugas yang menantiku di depan.
***
Aloha! Ditunggu komentar, kritik, saran dan juga vote untuk cerita ini.
Semagat buat yang lain! Vannie_Andrie megaoktaviasd AndiAR22 irmaharyuni Icha_rizfia whiteghostwriter NisaAtfiatmico rachmahwahyu dan pasangan challengeku c2_anin 😘
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro