Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#17 Empati


Yoongi sedang memposisikan dirinya di meja makan. Berbagai hidangan menarik, telah tersaji. Membaurkan aroma masakan yang menggunggah air liur, membuatnya berproduksi lebih banyak. Tetapi, sekalipun reaksi tersebut yang dimunculkan, Yoongi tetap tidak tertarik. Ia memandang lekat piring kacanya yang berisi makanan, tangannya tak tinggal diam, dia mengaduk-aduk isi dari piring tersebut tanpa ada niat memakannya.

"Yoonie, dimakan dong. Jangan cuma diaduk aja.."

"Itu aku sendiri lo yang masak.."

Gadis yang akhir-akhir ini tinggal di kediamannya itu sudah mulai menguasai rumah. Pamannya, dengan tanpa ragu meminta Wendy berbuat apapun yang dia mau disana. Wendy pun bebas. Entah dia mau memasak, dia mau berkutat di perpustakaan pamannya, bahkan hari ini pun Wendy tanpa permisi masuk ke kamar Yoongi  dan duduk di atas ranjangnya. Sementara Yoongi sendiri baru keluar kamar mandi dengan dililit handuk yang masih basah. Jangan dikira Yoongi tidak kesal. Walaupun Wendy adalah teman masa kecilnya, Yoongi tetap merasa terganggu akan tindakan Wendy tadi.

"Yoonie.. kau masih marah padaku karena masuk kamarmu tanpa izin?"

Yoongi tak merespon.

"Oke. Aku minta maaf.. Tolong jangan mendiamiku seperti ini.."

"Kemana Paman?"

Akhirnya Yoongi membuka mulut. Meskipun pertanyaannya sama sekali tidak berkaitan dengan Wendy, paling tidak Yoongi mulai mau melupakan kesalahan Wendy hari itu.

"Paman bilang masih ada urusan di rumah sakit. Jangan khawatir, sebentar lagi Paman pasti pulang."





























"Malam semua.. pada ngomongin apa ini? Kok kelihatannya serius sekali?"

"Eh, Paman sudah pulang.."

"Aku mau tidur."

Tak lama setelah pamannya ikut duduk di meja makan, Yoongi malah pergi. Ekspresinya lagi-lagi datar dan dingin.

"Jangan lupa minum obatmu!"

Teriak Paman Yoongi dari jauh sebelum Yoongi ditelan pintu kamarnya yang berwarna kecokelatan.

...............................

Yoongi menutup lacinya kembali. Tangan pucatnya mengusap bagian belakang lehernya yang terasa pegal. Matanya terpejam dan suara deru nafasnya yang terbuang terdengar jelas.

Yoongi meminum air putih yang ada di atas nakas, tak ada obat yang bisa ia minum. Semua sudah habis. Pamannya sendiri tidak tau kalau obat-obatannya mulai menipis sejak beberapa hari lalu.

Ia pun merebahkan tubuhnya. Mencoba terlelap namun tidak bisa. Entah mengapa dari tadi ia mencemaskan Sohyun. Apakah sesuatu sedang menimpanya? Hatinya resah. Pikirannya gelisah. Ia ingin menelpon Sohyun tetapi ia merasa malu. Apa yang akan ia tanyakan nanti? Akan canggung jadinya kalau Yoongi yang tak terbiasa memencet nomor lain di ponselnya selain nomor pamannya, kini harus melakukannya demi Sohyun. Ah.. maksudnya demi memuaskan perasaan hatinya yang tak menentu gara-gara Sohyun.

Yoongi memainkan ponselnya berkali-kali. Ia membolak-balikkan benda tersebut, menyalakan lalu mematikan benda tersebut, tak jelas apa yang sebenarnya ia lakukan.

"Apa aku menelponnya saja? Aku takut dia dimarahi kakaknya habis-habisan gara-gara membantuku kabur dari sekolah.."

"Semua salahku. Bukan salahnya."

Yoongi menatap layar ponselnya yang menyala. Sudah terpampang nama Sohyun disana. Tinggal sekali pencet, sambungan teleponnya akan terhubung. Tetapi itu tak dilakukan juga oleh Min Yoongi.

Hingga, pucuk dicinta ulam pun tiba. Kim Sohyun sendirilah yang menghubungi Yoongi duluan.

"Oh, halo Sohyun? Bagaimana kabarmu? Apakah kakakmu marah besar? Maafkan aku.. semua gara-gara kesalahanku. Kau jadi harus menanggung murka dari kakakmu sendiri."

"Yoon..."

Yoongi mendengar suara Sohyun yang bergetar, pelan, dan seperti rintihan.

"Sohyun, kau kenapa? Kau menangis?"

"Kakakku... meninggal.."

"Apa?!"

Malam itu juga, meskipun sudah sangat larut, Yoongi berlari keluar rumah. Ia pergi menuju tempat tinggal Sohyun tanpa menghiraukan seruan pamannya yang meneriaki namanya berulang kali. Yoongi tidak peduli. Sekarang ini, Sohyun sedang membutuhkan dia. Tak ada alasan untuk menghindar dari gadis malang tersebut.

Yoongi tersengal-sengal. Kakinya terasa lecet karena dia berlari di jalanan tanpa mengenakan alas apapun. Ia menahan perih ketika disana, Sohyun tersungkur di atas tanah dan menangis histeris. Di sebelahnya sudah ada Daniel yang mencoba menenangkan, namun tidak berhasil.

Yoongi buru-buru menghampiri Sohyun dan memeluk tubuh gadis itu. Mengabaikan Daniel yang memandanginya usik.

"Tenanglah Sohyun... tenang.."

"Yoon.. kakakku.. "

"Bagaimana aku bisa tenang kalau kakak meninggalkanku?? Dia keluargaku satu-satunya.. dia telah pergi.."

Yoongi tersentuh. Sohyun memang gadis yang istimewa hingga dapat membangkitkan emosi dalam diri Yoongi. Yoongi biasanya tak bisa ikut berempati terhadap kesedihan orang lain, namun kali ini... dia ikut menitikkan air mata! Ingat itu, dia ikut menangis saat Sohyun menangis! Pelukannya semakin erat menyelimuti tubuh Sohyun yang rapuh. Ia tak peduli, meski hawa dingin menusuk, ia tetap akan memberikan kehangatan bagi gadis bernama Sohyun itu.

"Aku bersamamu, Sohyun.. jangan menangis.."

Daniel pasrah. Menyaksikan Sohyun berada pada pelukan lelaki lain, hatinya tersakiti. Tetapi apapun akan dia korbankan, yang penting Sohyun bisa tenang saat ini. Daniel mengaku kalah dari Yoongi. Yoongi memang bukan anak biasa. Mungkin Daniel salah menilainya selama ini.

"Sohyun.. sebaiknya kita susul kakakmu di rumah sakit."

Kata Daniel menginterupsi.

Yoongi segera membawa Sohyun berdiri. Daniel pun mengambil mobilnya dan mengajak mereka berdua masuk ke dalamnya. Malam itu juga, rumah sakit adalah tujuan yang paling utama.

..............................

"Berdasarkan hasil otopsi, terdapat luka lebam di wajah dan dada Saudara Kim. Rusuk sebelah kirinya beberapa patah. Dan terdapat luka tusuk di perut bagian atasnya, kira-kira sejumlah lima tusukan. Saudara Kim pun meninggal diduga kehilangan banyak darah."

"Dok, apakah kami bisa melihat korban?"

"Silakan. Kamar jenazah di sebelah sana."

"Terima kasih, Dokter."

Daniel memandang sayu gadis malang di belakangnya. Masih dipeluk oleh Yoongi, gadis itu menangis sejadi-jadinya tetapi terkesan lebih tenang daripada sebelum Yoongi datang.

"Ayo kita jenguk kakakmu untuk yang terakhir kalinya, Sohyun."

..........................

Sohyun duduk termenung di antara para pelayat. Air matanya terkuras habis hingga ia tak dapat lagi menangis. Kedua bola mata indahnya juga sudah membengkak. Teman-temannya datang ke rumah kontrakan yang kini telah menjadi rumah duka. Mereka merasa kasihan dan hanya bisa memberikan kata-kata penyemangat untuk Sohyun.

Sohyun memegang dua lembar tiket kereta yang diberikan kakakknya beberapa saat yang lalu. Rasanya masih hangat. Baru saja ia berdebat dengan kakakknya, sekarang kakaknya menjadi sosok yang memudar, yang tak dapat lagi Sohyun raih.

Apa ia tinggalkan saja kontrakan tersebut dan memilih kembali ke Anyang untuk tinggal bersama pamannya?

"Sohyun.. "

Seseorang menepuk bahu Sohyun dan ikut duduk di sampingnya.

"Paman.."

Sohyun memeluk pamannya dan tangisannya keluar. Kejadian ini mengingatkannya pada kepergian orangtua Sohyun. Pamannya hadir lagi di hadapannya namun hal yang berbeda tetapi memiliki kesan yang sama tetap melekat. Bukan tentang orangtuanya, melainkan kakaknya sendiri yang tiada. Menyedihkan.

"Kau mau tinggal bersama paman saja?"

"Kemarin.. aku membantah kata-kata kakak. Kakak mengajakku pindah ke Anyang tapi aku menentang keputusannya.."

"Sekarang aku menyesal Paman, andai saja aku menerima keputusan kakak kemarin malam, mungkin ini semua tidak akan terjadi. Kakak tidak akan pergi meninggalkanku.."

"Sohyun, kematian seseorang tidak bisa diubah dan diprediksi. Kau harus ikhlas.. dan jangan menyalahkan dirimu sendiri. Semua sudah menjadi takdir Tuhan.."

Paman Namgyun memeluk Sohyun dan mengelus puncak kepalanya.

Sepasang mata memperhatikan dan menyimak pembicaraan paman dan keponakan tersebut dari balik tembok.

"Jadi, kau mau pindah ke Anyang besok bersama Paman?"

Sohyun mengangguk pasrah. Tidak ada lagi yang bisa diharapkan dari dirinya di Seoul. Alasannya menetap di kota itu adalah kakaknya. Tetapi kakaknya telah tiada, jadi untuk apa Sohyun masih disana?

Sohyun memasuki kamarnya dan mengemasi pakaian-pakaiannya, sementara para pelayat dijamu sendiri oleh pamannya. Kenangan bersama Jin terus berputar dalam ingatannya. Ia merasa frustasi dan pusing. Baju-bajunya yang belum beres, ia biarkan berserakan di atas kasur. Ia sendiri termenung tidak jelas lagi. Dengan rambut dan penampilan yang sangat berantakan.

"Sohyun.."

Pandangan Sohyun tetap tidak beralih meskipun seseorang datang dan memasuki kamarnya. Ia berjongkok. Duduk di hadapan Sohyun yang terus menunduk menatap lantai.

Tangan orang tersebut bergerak merapikan rambut Sohyun. Berhasil menampilkan wajah Sohyun yang tidak baik-baik saja. Dilihatlah kedua manik kecokelatan milik Sohyun yang berembun. Jari-jarinya mengusap pelan pipi Sohyun, menghilangkan jejak-jejak air mata yang tampak mengalir di sana.

"Jangan pergi.."

Katanya.

"Apa kau tega akan meninggalkanku juga..?"

Sohyun pada akhirnya terpancing pada sebuah obrolan ringan yang serius, yang dimulai oleh orang tersebut.

"Tidak ada alasan lagi aku tinggal disini, Yoon.."

"Aku hanya akan terluka karena ingatan buruk yang kakakku tinggalkan."

"Tapi kau masih punya tanggungjawab kepadaku. Apa kau akan mengabaikannya juga?"

"Sohyun.."

Yoongi menangkup kedua pipi gadis itu, mata mereka pun saling bertatapan.

"Tidak peduli sebanyak apa kau menderita, aku akan tetap mendampingimu.."

"Jangan pergi.. kumohon."

"Jangan tinggalkan aku.. aku akan merasa tidak hidup tanpamu.."

"Yoon.. kau harus mengurus dirimu sendiri mulai dari sekarang. Aku percaya kau bisa beradaptasi dengan penyakit mentalmu.. kau pasti bisa tanpaku."

"Tidak, Sohyun!! Aku tidak bisa tanpamu! Jangan berkata begitu!!"

"Yoongi.. mengertilah. Aku butuh lingkungan yang bisa membuatku tenang. Aku tidak bisa lagi tinggal disini.. Terlalu banyak kenangan buruk yang ada.."

"Apa keberadaanku tidak cukup membuatmu tenang? Apa aku termasuk kenangan buruk yang ingin kau tinggalkan? Apa aku akan kau buang jauh-jauh juga?"

"Pikirkan ulang..."

Sohyun tak bisa berpikir jernih, andai kata Yoongi paham. Membujuknya saat ini adalah hal yang sia-sia. Sohyun akan tetap berangkat ke Anyang besok bersama sang paman. Namun, pikiran Sohyun tersadar ketika melihat luka lecet di kaki Min Yoongi. Separah itu tetapi Yoongi tak merasa sakit sedikit pun?

"Yoon.. ka-kakimu kenapa??"

"Aku rela keluar rumah malam-malam. Mengabaikan panggilan pamanku! Aku berlari seperti orang gila! Tak memakai alas dan masih memakai pakaian pendek. Kedinginan.. aku hanya memikirkan perasaanmu saat itu. Apa kau tetap akan meninggalkanku? Sementara aku mulai mempedulikanmu, Kim Sohyun?"




























To be Continued.

S

elamat hari raya Idul Adha semuanya...

Selamat menikmati daging kurban ya.. hehe.

Sayangnya author nggak ngerayain lebaran di rumah huhu..T_T

*nggk bisa makan daging

Next (?)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro