#16 Kak Jin
Sohyun POV
"Ini. Simpan tiketnya."
Aku sedang menyalin catatan yang dikirimkan Hyura padaku karena hari ini aku membolos.
Jam menunjukkan angka 1 siang. Dan Kak Jin baru pulang setelah mengantar Yoongi 3 jam yang lalu. Kemana saja dia? Saat pulang, ia melempar dua lembar kertas ini ke atas mejaku. Tentu saja aku bingung dibuatnya.
"Kertas apa ini, Kak?"
"Simpan itu. Besok pagi, kita berangkat ke Anyang. Jangan lupa, kemasi barang-barangmu setelah ini."
"Apa?! Kak, jangan bercanda!"
"Aku serius, Kim Sohyun adikku tersayang.."
Berangkat ke Anyang? Besok pagi? Kenapa mendadak?
Kak Jin sungguh memberiku kejutan!
Aku tidak tau apa yang ada di otaknya saat ini. Bagaimana dengan sekolahku?
"Kak, kenapa mendadak sih? Bagaimana dengan sekolahku besok?"
Kak Jin memutuskan duduk di sofa sebelahku. Wajahnya mulai serius, terlihat dari kerutan yang tercetak di keningnya. Jemarinya bergerak gelisah. Kakinya juga.
"Mulai besok, kita akan pindah ke Anyang, Sohyun. Kita tinggal bersama Paman Namgyun. Kakak juga akan mencari pekerjaan disana.."
"Kak? Apa-apaan Kakak ini?! Aku tidak mau pindah ke Anyang! Aku punya teman-teman disini! Aku bahagia bersama mereka!"
"Sohyun, dengarkan Kakak.."
"Tidak!! Aku tidak mau pindah! Titik!!"
"SOHYUN!!"
"Sudah berani ya kamu membantah Kakakmu sendiri?!"
Aku membisu. Kemarahan Kak Jin sudah keluar, aku ketakutan melihat telinga dan kulit wajahnya yang memerah. Aku hanya tak paham, Kak Jin mengajak pindah secara tiba-tiba. Tanpa alasan jelas. Tanpa alibi yang masuk akal.
Tidak mungkin aku meninggalkan kenanganku bersama teman-teman yang ada di Seoul begitu saja. Aku senang menghabiskan waktu bersama mereka.
Bagaimana tanggapan Daniel ketika ia mendengar kabar kepindahanku besok? Dia pasti akan sedih dan kecewa. Mungkin juga marah.
Dan.. Yoongi..
Aku rasa anak itu baru menemukan hidupnya. Kedatanganku dalam lembar kisahnya telah mengubahnya sedikit demi sedikit menjadi orang yang terbuka. Dia merasa normal di sekitarku. Dia membutuhkanku agar dia bisa berjuang menghadapi skizofrenianya.
Apa yang sudah Kak Jin lakukan ini..
"Kak.. kenapa mendadak sekali? Bagaimana nasib teman-teman yang aku tinggalkan? Mereka sudah seperti keluargaku. Terutama, Daniel dan Yoongi.."
Kak Jin tak menjawab. Ia beranjak dari sofanya, dan melangkah menuju ke kamarnya sendiri. Aku tak puas ketika Kak Jin mendiamiku seperti ini! Aku butuh penjelasan yang pasti, kenapa dia tidak mengerti??
"Kak!"
Aku segera mencekal tangannya agar Kak Jin berhenti.
Iya, dia berhenti. Dengan wajahnya yang masih menatap lurus ke pintu kamarnya.
"Kak Jin, aku nggak akan mau pergi sebelum Kakak ngasih aku penjelasan! Kenapa kita harus pindah dan--"
"Berhentilah bersikap kekanak-kanakan! Kau sudah 17 tahun! Jadilah lebih dewasa! Kalau Kakak bilang kita besok akan pindah, maka jangan membantah!"
"Kak Jin, apa Kakak sadar, Kakak beberapa saat lalu membentakku, dan sekarang pun juga?"
Kak Jin terdiam. Ia sudah pasti merasa bersalah karena bersikap keras padaku.
"Kak Jin tidak ingat, bagaimana pesan papa sebelum menghembuskan nafas terakhirnya di rumah sakit?"
Kak Jin masih tidak bergeming.
"Seperti yang Kakak katakan setelah acara pemakaman mereka, papa minta supaya Kakak menjagaku dengan baik, dan Kakak tidak boleh bersikap terlalu keras padaku. Apalagi dengan membentak."
"Aku tidak ada maksud membantah Kakak, tetapi bisakah Kakak memberiku alasan yang masuk akal tentang kepindahan kita yang tidak terencana? Aku mungkin bisa memikirkannya kembali kalau Kakak mau jujur."
"Paman sendiri yang meminta kita pindah ke Anyang menemaninya."
"Kakak bohong! Aku tau Kakak tidak jujur! Paman tidak pernah memaksa kita pindah ke rumahnya semenjak Kakak membawaku ke Seoul! Pasti ada sesuatu yang Kakak sembunyikan!"
"Sejak bertemu Yoongi hari ini, Kakak jadi berubah. Apa sebenarnya yang Kakak rahasiakan??"
"Kak, jawab aku!"
"Pergilah, sebelum kesabaran Kakak habis.."
"Kak Jin keterlaluan! Aku tidak mau meninggalkan teman-teman baikku di Seoul.. mereka seperti keluargaku.. tolong Kakak pedulikan bagaimana perasaanku.."
"Jangan egois Kim Sohyun! Kakak selama ini tak pernah menuntut apapun padamu! Kakak memenuhi kebutuhanmu termasuk sekolahmu! Sekarang kau pilih, aku atau teman-temanmu itu!"
"Bagaimana Kak Jin bisa mengajukan pertanyaan macam itu?"
"Jawab saja aku Sohyun!"
Kak Jin membalikkan tubuhnya. Gurat lehernya terlihat mengencang. Dia marah sekali padaku.
"Aku tidak akan pergi!! Kakak pergi saja sendiri!!"
"KIM SOHYUN!"
Plak!!
Suara tamparan menggema di kontrakan sederhana kami. Rasanya panas.. sakit..
Bayangkan saja, kakak kandungmu menampar adiknya sendiri. Kak Jin sudah melanggar janjinya pada papa, bahkan kali ini secara fisik. Aku tau itu. Amarah kakakku memang sulit dibendung. Tetapi ini sudah sangat kelewatan.
Kak Jin menatap tangan kanannya yang memerah. Ia bergerak masuk ke kamar, mengambil jaket hitamnya dan pergi dari rumah. Aku menangis..
Kenapa Kakak tega berbuat ini padaku? Kakak yang menyayangiku. Yang merawatku penuh kasih setelah orangtuaku tiada. Dia tega menampar adiknya sendiri...
Perasaanku terluka. Sungguh.
.
.
.
.
Aku mondar-mandir di halaman depan kontrakan. Kutunggu kakak, tapi ia tak kunjung pulang. Hari bahkan semakin larut. Sekarang pukul sembilan malam, artinya delapan jam sudah kakakku pergi dari rumah.
Astaga.. kemana dia pergi? Aku jadi mencemaskannya. Dia keluargaku satu-satunya. Bagaimanapun juga.. aku tetap tak bisa membencinya atas tamparannya tadi siang.
"Kak Jin... dimana Kakak??"
Aku menggigiti kuku jariku. Perasaan ini sama seperti perasaanku di detik-detik kepergian mama dan papa. Aku berdoa sepanjang waktu, berharap Kak Jin kembali dan mau memaafkan tingkahku hari ini.
Aku mengaku, aku memang lancang membantahnya hari ini. Seharusnya aku lebih berhati-hati dalam berkata. Kak Jin adalah satu-satunya keluarga bagiku. Dia lebih penting dari segalanya. Dia harta berhargaku yang tersisa. Dia mengurusiku selama tiga tahun ini dengan baik tetapi apa balasanku?
Seharusnya aku mengingat kejadian disaat aku berumur enam tahun. Dimana pada saat itu aku yang masih kecil mendengar kabar kepergian orangtuaku akibat terlibat kecelakaan mobil. Lutut kakak melemas setelah menerima kabar dari Paman Namgyun. Kabar itu adalah kabar terburuk yang pernah ada dalam lembaran hidup kami. Kami tak bisa melupakannya, karena setiap hal yang terjadi 11 tahun lalu bagiku sangatlah membekas dan meninggalkan luka.
Flashback
Waktu itu kami masih berada di Seoul, mama dan papa memiliki bisnis properti rumahan yang menjanjikan, mereka sedang ada urusan penting ke luar kota.
Pukul enam sore, aku berada di rumah ditemani oleh Bibi Yun, tetangga dekat kami yang sudah kuanggap sebagai ibu kedua. Kakak belum pulang dari sekolahnya karena begitu sibuk dengan kegiatan ekstrakurikuler, katanya sendiri padaku beberapa hari lalu.
Pukul tujuh malam, kakak pulang dengan wajah ketakutan. Pucat. Dan berkeringat.
Aku bertanya, apa teman-temannya membully-nya lagi, tetapi dia tak menjawab dan langsung pergi ke kamarnya. Bibi Yun memberikanku pengertian, sehingga malam itu aku pikir kakak terlalu kecapaian, jadi ia terlihat pucat dan dalam kondisi mood yang tidak nyaman diajak bicara. Padahal, sebenarnya aku sadar. Belakangan ini, semenjak mama dan papa berada di luar kota, gelagat kakak jadi aneh. Ia selalu pulang terlambat dari sekolahnya, dan ketika pulang, ia menjadi dingin padaku.
Aku yang masih kecil, otakku tak mampu menjangkau ada sebuah keganjalan yang menimpa kakakku. Aku tetap diam dan tidak mencari tau.
Tepat pukul delapan malam, ketukan pintu terdengar di rumah minimalis kami. Bibi Yun yang membacakan dongeng pengantar tidur untukku akhirnya menunda alurnya di tengah-tengah, ia bergegas bangkit keluar dari kamarku untuk membukakan pintu.
"Dimana anak-anak Kakakku?"
Samar-samar kudengar suara yang tak asing itu. Aku mengikutinya dan berdiri, mengintip dari balik pintu kamar.
"Seokjin.."
Paman Namgyun mencengkeram pundak kakakku, butiran bening mengalir dari sudut matanya. Begitu deras.
"Aku harap.. kau akan tabah mendengar berita yang Pamanmu ini bawa.."
"Paman, apa yang terjadi?"
"Mama dan Papamu mengalami kecelakaan mobil di Gangnam. Saat perjalanan pulang ke rumah. Mamamu meninggal di tempat, sementara Papamu dilarikan ke rumah sakit terdekat.."
"Paman jangan bohong!! Mama dan Papa tidak mungkin mengalami kecelakaan! Tidak mungkin! Papa mengendarai mobilnya dengan baik, tidak mungkin mereka kecelakaan! Paman jangan berbohong!!"
"Seokjin.. Paman serius... kita harus ke Gangnam sekarang juga."
"Paman.."
Kakakku terjatuh pada kedua lututnya. Aku membungkam mulutku, agar isakku tidak keluar dan membuat semua orang khawatir. Aku memang masih kecil, tetapi aku paham apa yang dimaksud dengan kata 'meninggal'. Mendengar bahwa mamaku meninggal dalam kecelakaan mobil dan papa dilarikan ke rumah sakit, dadaku terasa sesak.
Aku berlari dan menutupi selimut ke seluruh tubuhku. Tetapi suara tangisan Kak Jin jauh lebih keras, ia mengusik pikiranku yang mencoba positif. Aku menutupi kedua telingaku. Tangisku pun pecah. Aku merasakan rasa perih yang sama seperti yang Kak Jin rasakan. Beban hidup kami pastilah berat. Orangtua adalah unsur terpenting dalam hidup kami. Kehilangan mereka adalah sebuah bencana besar. Aku tak sanggup membayangkan, bagaimana kehidupanku ke depannya ketika mereka tiada.
Keeseokan harinya, kami berpakaian serba hitam. Kakakku rapi mengenakan jas hitam dengan kemeja putih berdasi kupu-kupunya. Aku keluar kamar dengan mata sembab. Kulihat dua buah foto terpajang di ruang tamu yang sudah dibereskan kursi-kursinya. Disulap menjadi jejeran meja panjang dengan beberapa orang duduk disana meminum soju dengan sebuah gelas kecil.
Kakak setia terduduk di depan foto mama dan papa.
Baru kemarin, larut malam, sekitar pukul 1 dini hari, aku mendengar papa telah menyusul mama ke surga.
Aku menyerah. Aku marah karena tidak bisa melihat mereka disaat-saat terakhirnya. Aku sengaja tak diajak ke Gangnam karena paman takut. Jika aku menyaksikan keadaan papaku yang mengenaskan, mungkin mentalku akan terganggu berhubung aku masih kecil.
Tapi ini sangatlah menyiksa. Aku tidak sempat mendengar suara papa sebelum ia meninggalkanku jauh.
Tangisanku berhenti ketika seorang pria bertubuh tinggi dengan kacamata hitam menghampiri kakak. Pria itu berjongkok, membisiki sesuatu di telinga kakak. Aku tak bisa mengupingnya karena jelas-jelas itu sebuah bisikan rahasia.
Sesaat setelah pria itu menyampaikan sesuatu yang tak aku ketahui, wajah kakak kembali pucat. Ia mengedarkan pandangan, dan mata kakak bertemu denganku. Ia menatapku begitu lama sebelum akhirnya mengalihkan kembali fokusnya pada pria dewasa tersebut.
Setelah acara melayat selesai, Paman Namgyun membawa kami ke Anyang. Dialah yang merawat kami untuk beberapa waktu, menjadi sosok orangtua pengganti kami.
Tepat di umur kakak yang ke-22 tahun, paman membiarkan kakak membawaku ke Seoul. Kami pindah ke kontrakan kecil yang disewa kakak setelah mendapat uang hasil penjualan rumah lama kami. Kakak sengaja menjualnya, karena kakak ingin baik aku maupun dia bisa sama-sama meninggalkan kenangan buruk yang ada di rumah tersebut.
Kakak pun mencari pekerjaan. Dia bekerja keras, menghasilkan uang dan membiayai sekolah menengahku secara mandiri. Dan di sekolah baru itu, aku mengenal Daniel.
Dia anak laki-laki yang baik. Ramah. Dan selalu tampak ceria. Berkatnya pula, aku bisa tersenyum kembali. Menghapus jejak-jejak luka yang kupendam dari delapan tahun silam.
Semenjak kematian mama dan papa, Kak Jin begitu protektif. Ia melindungiku, menjadi sosok orangtuaku yang sebelumnya dipegang paman. Dia menyayangiku dengan sangat baik. Aku oun juga menyayanginya, dengan kadar yang sedikit lebih besar.
Flashback off.
Aku mendesah resah. Sekarang sudah pukul setengah sepuluh malam. Kemana kakakku? Kenapa dia tidak pulang-pulang?
Lamunanku terpecah ketika sebuah mobil polisi berhenti di halaman depan pagar kontrakan kami.
"Permisi, apa Nona keluarga dari pria bernama Kim Seokjin?"
"I-iya, Pak. Saya adiknya."
"Kakak Nona menjadi korban pembunuhan sejam yang lalu di jalanan sekitar Cheomdang."
"Apa?!"
Kutatap rekat robekan jaket hitam berlumur darah yang polisi tersebut tunjukkan padaku.
Kemalangan apalagi yang melanda hidupku?
To be Continued.
Wah.. kalian pasti bertanya-tanya, kenapa ceritanya jadi gini? Yap. Kita mulai masuk tahap konflik. Jadi setelah ini banyak kejadian tak terduga.. sesuai konsep menthal illness yang aku usung.
Romance nggak sepenuhnya mulus guys.. hehe.
Next (?)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro