Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 1 - When I Meet You, Who is Like the Sun

"Namanya ... akan selalu kuingat nama itu selamanya ...."

***

AKU terbangun ketika gemuruh langit berseru-seru hebat di atas sana. Segala yang nampak di cakrawala berubah kelabu. Sesekali ada tiupan angin lembut yang menabrak indra peraba, atau sekadar bertegur sapa dengan rerumputan yang menggelitik kulitku sambil lalu.

Tak jelas bagaimana aku berakhir begini. Tahu-tahu aku sudah terpelanting ke tempat antah berantah bersama sekumpulan bunga lelabah merah yang mengelilingiku sebagai pusatnya.

Maka kusaksikan satu-persatu bunga-bunga itu dengan seksama. Merah. Warnanya yang teramat merah itu mengingatkanku akan suatu kenangan yang terjadi di masa lalu. Tetapi, aku tak tahu seberapa jauh 'masa lalu' yang kuingat itu berlalu. Perspektifku terhadap waktu terasa kacau. Seolah menghancurkan batas waktu yang kuketahui.

Sudah berapa lama aku tertidur? Satu tahun? Sepuluh? Atau bahkan, satu abad?

Probabilitas buruk segera menggiring isi kepalaku menuju asumsi-asumsi mengerikan yang kemungkinannya terjadi cukup besar. Tapi, aku tetap kesulitan menerima kenyataan yang ada. Terbangun dengan segaris ingatan kacau—yang belum tentu benar adanya—membuatku merasakan perasaan was-was yang berlebihan.

Aku butuh informasi. Setidaknya, informasi yang cukup untuk membuatku tenang di kondisi sejanggal ini.

Maka ketika kuharap ada setitik informasi yang dapat memberitahuku keadaan saat ini, bulir-bulir air mulai turun menghempas bumi, lalu ikut membasahiku tanpa ampun. Tampaknya awan-awan yang berarak tak mampu lagi menahan air yang ditampungnya hingga menghempaskan segalanya menuju bumi. Begitulah cara awan hidup. Tuhan menciptakannya terbang di cakrawala, sebagai balasan atas tugasnya menyuburkan bentala. Walau terkadang jasanya tak pernah dianggap oleh para manusia. Tetapi cukuplah ia, dengan segala ungkapan syukur dari para pohon dan hewan yang teraliri berkah kesuburan yang dibawanya. Wah, puitis sekali.

Kini aku yang terlentang di atas permukaan tanah otomatis mendapat sengatan air-air itu secara langsung. Rasanya cukup sakit bagai ditusuk ribuan jarum ketika setitik demi setitik air itu menghujam dengan ganas tiap detiknya. Karenanya, aku bergegas terbangun sebelum tubuhku dilubangi tetesan-tetesan air itu—tidak, bercanda. Yah, walau rasanya tubuhku sudah tak kuasa digerakkan barang seinci pun. Jadi, tentu saja, rasa sakit kembali berulah ketika saraf motorik kupaksa bergerak secara berlebihan.

Tapi, itu sepadan. Karena sekarang terlihatlah lanskap asing yang sama sekali tak kukenal. Setidaknya sekarang aku akan segera mengetahui di mana aku berada sekarang. Walau kemungkinan mendapat informasi yang cukup akan sedikit mustahil.

Jadi, apa yang kini kulihat? Mungkinkah, akhirat? Andai iya, maka akhirat yang disebut orang-orang sebagai tempat di mana jiwa-jiwa setelah kematian itu berada, pastinya terlihat lebih damai alih-alih lanskap kota mati yang penuh aura mencekam. Nah, kurasa praduga terhadap akhirat hanya omong kosong.

Tempat apa pula ini? Suatu kota di ujung benua atau ... dunia baru? Cukup mustahil rasanya. Tetapi, di keadaan sekarang, bahkan jika ada gajah terbang yang dimantrai sihir pun aku pasti percaya. Karena memang seaneh itulah keadaan saat ini. Tiada angin tiada hujan (abaikan hujan yang terjadi sekarang, itu tidak dihitung), tahu-tahu aku terpelanting ke sini tanpa ingatan yang jelas. Nah, ini mengherankan. Tidakkah seharusnya aku menyalahkan orang gila yang telah membuatku jadi seperti ini?

Baik, tak apa. Mengabaikan segalanya, bahkan rasa sakit yang mendera ini, kupaksakan tubuhku terbangun. Berdiri dan memulai penjelajahan kecilku menuju setitik informasi.

Meski kakiku tertatih-tatih menyapu kerikil dan tanah basah dengan pergelangan kaki yang sakitnya luarbiasa, akan kupastikan mendapat informasi yang kuinginkan. Jangan tanya mengapa aku seberusaha itu. Karena, apa yang sesungguhnya kutakuti itu, bukan soal kota mati yang kujelajahi ini—yang barangkali di dalamnya terdapat markas para makhluk tak kasat mata—atau apa pun. Melainkan mati di tempat dalam ketidaktahuan akan realita dunia.

Rasanya cukup menyedihkan, bukan?

Maka terkutuklah kaki kecilku yang kini telah ambruk dan tak kuasa bangkit lagi itu. Nah, abaikan fakta mengapa tubuhku kini terasa menyusut dari yang kuingat—walau aku sedikit meragukan ingatanku itu.

Sekarang, apa yang harus kulakukan di tengah ketidakberdayaan ini? Hujan masih terus turun tanpa ada tanda-tanda akan berhenti. Kakiku pun terlihat tak akan pulih dalam waktu dekat. Dan kurasa, tak ada kehadiran seorang pun di tempat ini. Aku menunduk-mulai pasrah akan takdir, sepertinya.

Jadi, kurasa inilah yang dinamakan skakmat. Keadaan sulit menghimpitku sekarang. Bagus sekali ....

Tak.

Oh, sebentar ....

Bukankah aku mengatakan jika di tempat ini tak ada tanda-tanda kehadiran seseorang?

"Wah, wah ... apa yang dilakukan seorang nona manis di tempat seperti ini?"

Ah, fuck. Apa sekarang aku telah ditemukan oleh preman bodoh yang ... bau asam? Nah, kelihatannya preman itu belum mandi selama sebulan penuh! Ugh!

"Oi, oi, nona kecil ... jangan mengabaikanku!" serunya nyaring. Nyaris menciptrati wajahku dengan liurnya. Yang mana membuatku ingin membogem ubun-ubunnya!

Tak lama, hadirlah dua preman gila yang lain.

"Bos! Kau menemukan mangsa yang cakep!" kata si preman bertubuh ceking.

"Yattaaaa! Kita bisa berpestaaaa!" timpal preman lain yang—tampaknya—obesitas.

"Tenang, para babu-ku. Kita pasti bakal dapat uang banyak dengan menjualnya," ucap si preman 'bos' yang lebih terlihat seperti orang dungu di hadapanku.

Oke, bagaimana caranya aku kabur dari tiga orang berpenampilan aneh nan bodoh ini?

Kakiku tidak bisa bergerak, aku tidak punya senjata, dan kelihatannya tubuhku begitu lemah sekarang.

Ah, maka matilah aku.

Haruskah aku menyerah?

"Kau akan jadi sumber uang kami, hehehe."

Oh, tentu saja tidak, dasar bodoh!

***

1 years later, Fiore Kingdom.

Bruk!

Wah, siapa sangka aku berhasil melarikan diri dari para monster itu? Baru saja aku mendapat berkah dari Dewi Fortuna, mana mau aku menyerahkan diri untuk jadi camilan monster-monster itu! Maksudku, hei! Aku baru saja mendapat sekantung koin emas dari para bandit! Hoki banget! Yah, walau sekantung koin emas itu hasil mencopet, tetap saja aku beruntung.

"Hah ... setidaknya aku sudah bebas sekarang ...." Aku berderap ke tepi tembok dan bersandar di sana. Berusaha melepas letih setelah main kejar-kejaran dengan para monyet gila pemakan manusia.

Dan, oh, jauh juga aku berlari. Dari ujung hutan hingga ke sisi kota. Jadi ini cukup melelahkan. Apalagi berlari sambil berceceran darah.

Aku terduduk dan menghembuskan napas kasar. Berusaha mengurangi rasa lelah ini walau sedikit. Merenungi keadaanku, sekarang aku terluka, bau amis, dan dalam kondisi yang sangat buruk. Kacau sekali.

Ah, tapi, dipikir-pikir, sepertinya sekarang sudah satu tahun berlalu sejak saat itu, ya ...? Yah, benar, waktu berlalu sangat cepat sejak pertama kali aku berada di sini dan bersua dengan para preman dungu itu.

Sudah cukup lama juga aku berkelana di dunia ini. Menapaki tanah asing yang sama sekali tak kukenal dan terus berusaha bertahan hidup. Semuanya kulakukan seorang diri. Tanpa keluarga, ataupun teman.

Juga tanpa informasi apa pun mengenai jati diriku yang sesungguhnya.

Aku tersenyum mengingat semua itu. Jadi, kupikir, aku merasa sedikit ... kesepian.

"Uhuk!" Seteguk darah lolos dari mulutku.

Ah, tanpa sadar darahku telah mengucur banyak. Yah, aku tak punya alat medis untuk menahan pendarahan ini. Tubuhku bahkan sudah tak sanggup berdiri lagi. Dan, pandanganku mulai memburam.

"Wah, apa pada akhirnya aku akan mati hari ini? Haha," ucapku setengah tertawa.

Yah, apa pula berkah Dewi Fortuna? Aku hanya beruntung sekali, dan sekarang sudah ditimpa kesialan berkali-kali.

Aku tersenyum sekali lagi.

Sudahlah, mari pasrah saja untuk saat ini. Lagipula, bukankah aku sudah berjuang keras selama ini ...? Benar, aku telah berjuang sangat keras.

"Hei, kau terluka?!"

Ketika aku berpikir demikian, suara nyaring khas seorang anak lelaki mengudara. Menghentikan pemikiran bahwa hidupku sudah tak berarti lagi.

Maka aku mendongak. Menatap keberadaan yang sama sekali tak kupercaya akan benar-benar hadir.

Sesosok anak lelaki berambut sewarna sakura berdiri di hadapanku. Ia pemilik mata runcing yang kupikir memiliki aura unik tertentu. Ada syal putih yang melingkar di lehernya. Aku yakin itu benda berharga miliknya—hanya praduga. Juga, rasanya aku mengenal anak lelaki ini walau aku yakin ini pertemuan pertama kami.

"Hei ... kau dengar aku? Kau terluka! Darahnya banyak sekali ...." Menyadari aku yang tak segera menjawab, ia kembali melontarkan kalimat sambil berjongkok menyesuaikan tingginya denganku.

"Ah? Yah, ini, aku ...." Aku menatap tak percaya pada anak lelaki yang kini terlihat mengkhawatirkanku. Diam-diam, aku tersenyum kecil menanggapinya.

"Seperti yang kau lihat."

Dapat dilihat bahwa darahku semakin banyak keluar, jadi aku tak punya kekuatan lagi untuk mempertahankan kesadaran. Dengan perlahan, titik-titik hitam di mataku semakin banyak. Jadi aku hanya dapat menunduk. Sedikit melirik kearahnya, kulihat ia yang membelakangiku. Mungkin dia hendak pergi lagi. Tak ada gunanya juga menolong anak aneh mencurigakan yang tak dikenalnya. Dan aku juga terlalu sulit untuk meminta pertolongan.

"Naiklah."

"Eh?"

Di tengah kesadaran yang mulai menghilang, aku menatapnya tak percaya. Apa maksudnya? Samar-samar, kulihat ia yang hanya terdiam dengan memamerkan punggung berbalut pakaiannya.

"Kau sedang terluka, 'kan? Naiklah. Aku akan membawamu pergi."

"Apa? Tapi kenapa ...."

"Kenapa katamu? Tentu saja aku harus menolong orang yang membutuhkan! Itulah yang diajarkan Igneel padaku!"

Ah, sepertinya tanpa sengaja aku telah mengutarakan isi pikiranku. Tapi, lebih dari itu, aku terpana pada pernyataan polosnya. Kurasa dia anak yang baik. Dan aku meyakininya sejak pertama kali bertemu tatap dengannya. Hanya saja, aneh rasanya, aku merasa asing dengan kebaikan seperti ini.

"Baik. Terima kasih ...."

Tanpa penolakan apa pun, aku menerima kebaikannya. Dengan uluran tangannya, ia membawaku pergi.

Punggungnya kecil, basah oleh darahku, dan terasa ceroboh. Langkahnya sedikit tertatih, tapi ia tetap berdiri tegak. Meski kesusahan, ia melangkah dengan pasti, dan dirinya tetap memegangku erat di belakang punggungnya. Memastikan agar aku tak terjatuh atau apa pun. Dengan semua hal itu, aku merasakan perasaan aman yang terasa asing. Rasanya seperti terlindung dari segala ancaman yang ada.

Sungguh, ini terasa nyaman.

Dengan kesadaran yang nyaris di ujung tanduk, juga senyuman yang tanpa kusadari telah terbentuk, aku bertanya, "Hei, siapa namamu?"

Ia berhenti sejenak. Berbalik menghadapku dengan senyuman secerah mentari di pagi hari. Lantas, dengan lantang ia berkata, "Namaku ... Natsu Dragneel!!!"

Kala itu, aku tak pernah menyangka, jika sinar dan kehangatan sang surya, akan seindah dan semenakjubkan itu.

𝐄𝐍𝐂𝐇𝐀𝐍𝐓𝐄𝐃
⊹ ⋰ ׅ─๋╼┈─̸─۪━┈ׂ݊┈━۪─┈╾─̸๋─ׅ ⋱ ⊹
08 | 10 | 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro