Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

christmas this year

Semua itu di mulai gara gara temanku membatalkan janjinya besok pagi untuk melakukan misa bersama. Aku mendekam di kamar tanpa berniat keluar rumah menyambut saudaraku yang datang membawa camilan kering. Padahal aku selalu suka dengan kue kastangel buatan tanteku.

Cuaca malam dingin karna sore hujan. Masalahnya bukan karna aku ingin misa di gereja, tapi karena aku punya sindrom, jika sudah merencanakan sesuatu, jika tiba tiba batal, mood-ku langsung jatuh dan tidak berniat melakukan apa-apa. Aku berusaha bangkit sejengkal dari kasur, untuk berhenti menggulir instastory orang yang mulai sibuk melemparkan ucapan selamat natal.

Aku sendiri merasa natal malam ini cukup menyebalkan gara gara teman satuku itu.

Dari luar mama tiba tiba mengetuk pintu kamar kemudian berjalan masuk.

"Kamu jadi mau keluar apa nggak? Ngapain sih cemberut mulu? Itu Stella bawain teman cowoknya. Katanya mau kenalan sama kamu!"

Mama mendesis waktu tidak mendengar jawabanku. Ia mencubitku akhirnya.

"Aduh, males. Ngapain sih ah. Aku bilang daritadi nggak mood kan?"

"Ya udah kalau nggak mood keluar aja, beliin dua botol cola ke supermart!"

Aku mendelik sebal, tapi mama nggak peduli. Dia malah menyodorkan uang lima puluh ribuan. Menurut mama, mood-ku itu nggak penting. Mama juga anggap itu nggak rasional. Jadi mending dia nggak ikut campur alih-alih menyuruhku untuk memindahkan fokus. Percuma sih, nggak ngaruh. Aku masih sama kesalnya kayak tadi.

Tapi aku tetap menerima uang sambil dalam hati berpikir akan kuhabiskan uang ini dengan kemarahanku nanti.

Aku mengambil jaket, berharap bisa memaksakan senyum nanti waktu keluar kamar. Si Stella dan Belia pasti mau pamer pacar baru. Seperti ritual kebanggaannya setiap ke rumah. Mamanya adalah kakak dari ibu mereka. Sementara kakak laki lakiku ada di Korea Selatan. Kerja bagian dokter hewan spesialis untuk seorang artis yang bahkan aku nggak tahu siapa.

Ketika aku keluar kamar, beberapa tamu di ruang tengah agak terdiam. Aku menatap mereka, tanpa senyum membiarkan mama mendumel kepada tanteku karena sifat jelekku. Terserah, Stella dan Belia juga cuma menyeringai. Mereka senang melihatku menderita. Dibilang nggak normal, mungkin aku memang iya.

"Mau makan malamnya kapan? Sekarang? Tuh Milia udah mau keluar. Soda favorit kamu nanti dibelikan sama dia, Stel," kata mama sengaja memancingku. Aku terus meloyor ke luar. Terdengar Stella sok ceria mengucapkan terima kasih.

Kalau sudah berkeluarga nanti, aku nggak akan izinkan dia injak rumahku barang satu inci pun.

Ketika keluar rumah hendak memakai sandal, di depan pagar, tepatnya di pagar yang terbuka, berdiri seorang cowok tinggi memakai hoodie warna merah tua. Aku menutup pintu rumah sambil menyipitkan mata ke arahnya. Cowok itu malah tersenyum.

"Siapa kamu? Ngapain berdiri di depan situ?" tanyaku dingin.

"Stella belum pernah ngasih tunjuk gue ya ke lo? Foto gitu?"

Jadi ini? Cowok yang mau kenalan sama aku? Astaga. Aku menahan napas sebal, membuang wajah tanpa menjawab cowok itu. Rambutnya agak gondrong, aneh. Poninya menutup sedikit matanya, rambutnya dikuncir setengah.

Paling anak bocah SMP yang mau iseng, pikirku. Mendingan buruan pergi dari rumah lalu berkunjung ke rumah Caca sebelum dia tidur. Caca tetangga di blok sebelah, kamarnya di loteng dan punya lahan BBQ yang luas. Lumayan buat tempat pelarian.

"Tunggu," cowok itu menahan tanganku waktu melewatinya. Aku menoleh, mungkin mengerutkan alis ke arahnya.

"Mau ke mana?"

"Supermart," jawabku malas langsung berlalu. Tapi ia tetap mengikutiku.

"Masuk sana, ketinggalan makan malam nanti kamu."

"Stella bilang lo nggak punya pacar?"

Giliran aku yang menghentikan langkah. "Urusannya apa ya sama kamu?"

"Lo emang nggak suka jawab pertanyaan orang ya?"

"Orang asing lebih tepatnya." Aku berlalu lagi, membiarkan orang aneh itu berlari-lari mengejarku.

"Gue kan teman sekolahnya Stella, Stella sering cerita katanya lo itu pro player."

"Terus?" Langkahku sudah keluar dari gang blok perumahan. Cahaya lampu jalan menerangi sebagian keramaian pinggir jalan seadanya.

"Gue suka aja sama cewek pro player."

Aku menertawakan anak ini. Benar benar anak SMP yang skeptis soal cewek gamers itu keren. Haduh, kok Stella nemu aja sih makhluk beginian?

"Denger ya," aku berbalik, menatapnya sedikit mendongak karna bocah SMP ini lebih tinggi dariku. "Aku ini nggak mau terlibat apa pun sama Stella apalagi kamu. Jadi lebih baik kamu pulang. Pura pura nggak kenal aku dan lupain kejadian ini. Oke?"

Bukannya menjawab, cowok itu malah mengeluarkan ponsel. Ia membalik layarnya ke hadapanku lalu menunjukkan sebuah pesan singkat.

"Stella bilang kalau lo mau keluar, gue harus jagain lo. Kebetulan, kan?"

"Bullshit," tukasku sebal. "Bisa nggak sih kamu jangan ikutin aku?"

"Sorry , i guess no. Anyway, gue Eric, lo Milia kan?"

"Kak Milia, bocil," sanggahku malah bikin dia tersenyum.

"Kalau pakai kak, kelihatan tua nggak pa-pa? Lo bakal jadi pacar gue selama sepuluh hari ke depan soalya. Jadi gimana kalau panggil nama biasa aja?"

"What?"

Supermart ada di depan tapi otakku panas tak terkendali. Bocah SMP ini mau cari gara gara atau apa sih?

"For your information aja, gue ini anak kelas tiga SMA. Bukan tiga SMP. Temannya Stella banyak dari kakak kelas sebrang gedung alias gue."

Aku membeku dalam mulut menganga. Dia malah kian tersenyum seakan senang dengan reaksiku. Anak gila. Rasanya mood-ku makin meningkat seratus persen.

"Atas dasar apa kamu bilang kalau aku bakal jadi pacarmu dalam sepuluh hari ke depan?"

Eric pura pura berpikir, rasanya aku bisa gila kalau meladeni dia. Jadi aku segera berlalu saja sebelum kuludahi dia.

"Karena..." Dia meraih tanganku sambil berputar, "lo gamers, cantik, rambut pendek, terus pintar."

"Hah?"

"Anyway, kenapa daritadi di kamar terus?"

"Psikop--"

Pintu otomatis Supermart hampir kutabrak waktu muak hendak berlalu saja, tapi tangan Eric keburu menahannya. Keuntungan lebih tinggi, tangannya jadi lebih panjang juga. Aku sempat kaget sebentar, tapi kemudian melempar tatapan tajam untuk segera menjauh dari Eric ini.

Dia tetap mengejarku. Gimana ini? Aku kan mau ke rumah Caca...

"Kayaknya lo butuh beberapa penjelasan," dia memulai. Aku berjalan ke rak roti terus mengabaikannya. Mulai memasukkan beberapa roti ke dalam keranjang belanja, melupakan botol cola sialan untuk Stella sementara Eric mulai mengoceh. Aku berjalan ke rak makanan lain, tidak mendengarkannya.

"Sini," Eric menarik keranjangku, berusaha membawakannya. Hampir saja aku menyumpah, tapi senyum Eric membuatku menahannya waktu dia berhasil merebut keranjang itu dariku.

"Huh..." Aku ingin menyumpah, serius. Tapi seperti tidak ada guna. Menyumpah di hari natal juga terkesan buruk, akhirnya aku cepat-cepat saja memasukkan makanan lain dan membayar. Eric membawakan plastik makanannya aku berjalan cepat menembus malam. Hendak ke rumah Caca.

"Loh kita nggak balik ke rumah?" Eric menghentikanku di pertigaan blok kompleks yang sepi. Aku menoleh, mengambil paksa kantong plastik di tangannya lalu berbalik tanpa memberi jawaban.

Kupikir dia akan pergi, tapi dia tetap mengikuti sambil merebut kembali kantong plastik sambil berjalan di sampingku. Aku baru sadar tinggiku hanya sepundaknya.

"Ini kali kedua sekarang lo jadi pendiam."

"Di depan orang asing kayak lo. Iya," sahutku lagi lebih ketus. Kami berjalan lima menit, melewati rumah rumah sepi dan rumah ramai. Beberapa rumah ada yang sibuk bernyanyi, atau ada yang hanya samar-samar menyalakan radio yang memasang lagu natal dengan tenang. Keragaman acara natal ada di sepanjang blok itu hingga aku tiba di depan rumah Caca.

Aku seperti tidak ingin mengharapkannya tapi rumah Caca gelap seluruhnya. Apa dia pergi tahun ini? Masa iya? Kenapa dia tidak mengabariku? Hatiku agak mencelos, sedih karena ini adalah kehilangan kedua. Aku berusaha mengecek ponsel, dan bertanya ke Caca.

Dan ternyata benar, dia pergi.

"Gue pergi beb. Sori ya, mendadak banget tadi siang. Mereka mau malam natal di rumah Oma yang lagi sakit."

"Get well soon buat Oma kamu. Anyway, merry christmas Ca."

"Merry christmas too Mil!"

Setelah itu aku berputar hendak berbalik, tapi aku hampir lupa kalau masih ada Eric yang berdiri di sana dengan kantong belanja.

"Jadi?" dia bertanya.

Aku merebut kantong belanjanya, lalu berjalan ke teras terbuka di rumah Caca. Untung saja lampu terasnya pakai sensor dan di depan sana ada meja kursi yang sengaja untuk tamu. Aku menumpahkan semua isi kantongnya ke atas meja. Eric memandangiku bingung, tapi ia cuek saja duduk di hadapanku.

"Minum sendirian emang seru?"

"Seru."

"Nggak ngerasa kesepian?"

"I did."

Eric mengulas senyum tipis. Aku bisa lihat walau tak menatapnya. Pohon cemara buatan yang ada di samping rumah Caca menyala ramai. Hanya saja warna warni dari lampu yang terang itu memberi kekosongan mendadak.

"It's okay. Nggak semua orang punya malam natal yang ramai kok."

Aku nyaris tertawa ketika menyesap kaleng cola. Buat apa orang asing sok tahu soal kehidupanku? Aku menggeleng pelan, Eric mungkin melihatnya.

"Mana penjelasan kamu?"

Eric menatapku sesaat lalu meluruskan badannya ke arahku seperti mempersiapkan ancang-ancang.

"Gue sepupunya Rian."

Kali ini nyaris aku tersedak. Soda yang menempel di tenggorokanku terasa pedas. Eric mengulurkan botol mineral ke arahku, aku berterima kasih untuk itu.

"Kamu sep--uhuk-uhuk--sepupu Rian?" tanyaku serak. Eric mengangguk. Rian adalah teman online sekaligus teman mabar-ku di game. Kami kenal hampir lima tahun tapi tidak pernah bertemu. Walau tentu Rian ingin ke rumahku sering kali, dan aku terus menolaknya karna mama pasti mengomel. Rian bukan teman dari orangtua yang ia kenal dan sudah pasti mama akan sok pilih-pilih untuk masalah temanku.

"Sebenarnya gue pengen ngasih tahu ini nanti. Tapi kayaknya lo agak linglung daritadi."

"Aku nggak linglung." Hanya terasa kosong saja akhir akhir ini. Menjelang Natal, dulu aku selalu sibuk membalas pesan orang yang mengucapkan Natal padaku. Tapi sekarang, setiap melihat pesan, tak ada dari mereka yang mengucapkannya lagi. Aku merasa, mungkin ini adalah Natal paling sepi yang pernah kurasakan. Dan itu cukup menyedihkan untuk gadis seusiaku merasakannya.

Orang bilang keluarga membuat semuanya ramai, acara makan bersama, ke gereja bersama, mendengar kidung rahani dan kemeriahan pohon natal. Tapi menurutku, bukan keramaian yang kucari. Sosok ada atau tidaknya seseoranglah yang membuat Natal itu berarti. Seperti mendengar lagu dari rumah yang tenang hanya menatap pohon natal atau menatap dekorasi ruangan sendiri, menurutku itu cukup. Tapi ternyata... aku butuh teman-teman lamaku dan yang terutama, Rian.

"Rian bilang lo sekarang sibuk, nggak bisa mabar lagi sejak gabung esports itu?"

Aku mencoba tak menjawabnya tapi gelagak untuk menjelaskan naik ke puncak kerongkonganku.

"Bukan sibuk. Itu karna Rian sempat aku cuekin. Nggak sengaja sih. Kamu nggak perlu tahu ceritanya."

Rian selalu menanyakan kabarku setiap hari. Bukan bertanya, dia lebih seperti mengoceh lucu tentang beragam hal yang ujung-ujungnya menanyakan kabarku. Secara tidak langsung tapi aku menyukai cara itu. Dia sering meneleponku setiap malam, mengobrol tidak jelas sampai aku bisa diomeli ibuku. Tapi waktu sibuk kemarin, aku memang mengabaikannya, hampir tiga bulan lebih. Dan kupikir, Rian nggak akan mau kenal denganku lagi. Dia sudah tidak pernah menghubungiku hampir satu tahun lebih setelahnya.

"Gue tahu. Tapi bukan itu intinya sih. Yah kayak orang dewasa aja, semua orang punya kesibukan jadi mereka saling mengerti. Rian pun begitu." Eric jadi terkesan akrab buatku.

"Kesibukan dia apa sekarang?"

"Jadi staf di Comnight."

"Comnight?" Mataku membelalak. Comnight adalah Developer dari game Moba yang kumainkan. Arena of Legend.

"Wow," gumamku. Rian hebat sekali.

"Yah, tapi gue sebagai sepupunya yang sering diajakin curhat tentang lo, khususnya, jadi agak greget juga sih."

"Maksudnya?"

"Greget karna Rian tuh suka sama lo tapi dia nggak bisa datangin lo. Makanya waktu gue tahu lo saudara Stella, jadi gue gas aja. Gue bahkan taruhan sama Rian kalau bisa dapatin lo selama sepuluh hari, dia harus mengakui dirinya yang pengecut."

Aku belum sempat mengomentari penjelasan Eric karna mulutku sudah ternganga mendengarnya. Rian suka sama aku?

Aku menghentikan bayangan setiap malam kami saling telepon, mengobrol di Discord saat permainan sudah selesai atau membahas politik yang tak berkesudahan. Boleh kuakui, banyak hal yang terjadi saat aku jadi proplayer. Dan bertemu Rian cukup mengisi hampir tiga tahun kehidupanku dalam game itu.

Aku kaget dengan Rian yang menyukaiku karna aku juga hampir pernah mengatakannya sendiri.

"Nggak usah kaget."

"Siapa yang nggak kaget? Bocil kayak kamu tiba tiba nongol kayak Doraemon dan menjelaskan kalau kamu ini sepupu Rian. Kalau aku udah kehabisan kesabaran sih, aku udah tendang kamu ke jalan."

Eric tertawa mendengarnya. "Besok lo harus datang ke Katedral Jakarta."

"Ngapain?" Aku mengernyit. Misa pagi dengan temanku gagal. Kalau topik tentang misa terdengar lagi, aku bisa lumayan tersinggung untuk itu.

"Rian bilang, sepuluh hari gua buat pedekate sama lo di mulai besok. Kalau lo mau ketemu Rian besok, ya gue persilakan. Asal, lo udah tahu kalau gue naksir lo juga."

Aku mendecih, mengerutkan alis menatap Eric berharap ia bergurau tapi nampaknya dia serius. Orang asing bisa suka sama aku? Ehm, sejujurnya dia jadi tidak begitu asing lagi sekarang. Entahlah aku nggak peduli. Intinya aku sekarang jadi memikirkan Rian.

"Jujur sama diri sendiri itu lebih baik kok, bikin lega."

"Tahu apa sih kamu?"

"Teman lo. Orang orang yang lo cari, semuanya hilang kan?"

Aku mengendus, tapi Eric mencium bau itu.

"Bukan hilang. Mereka sibuk masing masing aja. Tinggal aku sendirian di kota ini. Yah, kayak Rian."

Eric terdiam, menatapku dalam malam. 

"Nggak pernah ngerasain ini sebelumnya tapi ternyata agak sepi juga," lanjutku.

"Kayak kompleks ini ya?" gumam Eric sambil menoleh ke kanan dan kiri. "Gue juga kadang ngerasa kesepian, tapi semua itu nggak gue pengen rasain sih karna rasanya nggak enak."

"Aku juga nggak mau rasain. Tapi yah... itu terjadi gitu aja."

Tak ada ucapan natal, tak ada keramaian di gereja. Natal milikku hanyalah kekosongan. Seperti sebuah bara api di dalam perapian yang hampir mati.

"Mungkin itu bikin perbedaan di setiap tahunnya. Kalau tahun ini lo merasa sepi, siapa tahu tahun depan nggak."

Eric melempar senyum tipis, mengundangku untuk berpikir positif sepertinya. Mungkin ada benarnya. Malam Natal tahun ini mungkin terasa sepi tapi tahun depan aku bisa mengusahakannya supaya tidak terjadi lagi. Dan keheningan dalam balutan nyanyian natal kali ini seperti selimut ketenangan untukku merasakan Natal dari sisi yang lain.

Apalagi besok, hari Natal yang sesungguhnya dengan Rian menunggu di Katedral. Aku jadi termenung untuk itu. Samar samar suara lagu Natal muncul entah dari mana. Ketenangan menjalar dalam angin malam. Eric mengacungkan kaleng cola yang lain. Ia tersenyum di bawah lampu teras.

"Selamat natal, Milia."

Aku mengerjap pelan, merasuki kata kata yang kubutuhkan itu dalam sekejap. Eric menungguku, lalu kuacungkan kaleng colaku dan membalas ucapannya, "selamat natal," dengan sesuatu yang lebih nyata dan dalam. Seakan kalimat itu adalah jimat yang membuat seluruh tubuhku merasa hangat untuk sepanjang malam. Karna tanpa sadar, setiap orang yang merayakan hari ini, tetap butuh mendengar ucapan itu.

Selamat natal.

--

Merry christmas buat yang merayakan! Aku nggak expect bakal bikin cerpen di hari natal yang cukup... yah, agak tenang sih. Berbeda dari natal sebelumnya, kehidupanku tercermin dari Milia secara nggak langsung. Aku menyuarakan apa yang kurasakan di malam natal kemarin kepada Milia. Bagaimana pun, pasti natal juga memberi kita banyak kesan sekaligus perasaan yang berbeda. Nggak semua orang punya natal yang sama setiap tahun, jadi yang terpenting adalah kita menerima apa yang ada dan satu hal yang kuambil dari natal tahun ini adalah, sebuah ucapan sederhana benar-benar membuat tanda bahwa natal itu memang ada. 

Merry christmas and happy holiday!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro