EMPAT HARI
Hari-H ulang tahunku tiba. Aku terduduk di atas permukaan paving block parkiran kos-kosan. Aku merayakannya bersama kedua teman baikku, Langit Malam dan Jimmy Irish Whiskey. Bintang-bintang tidak mau hadir, mereka tidak kuat menyaksikan seorang yang sedang merendam kesengsaraannya dalam alkohol.
Aku berteriak ke angkasa, "Tepat di hari ulang tahunku dan aku dipecat dari kantor wartawan. 'Terlalu kaku!' Kata mereka. Padahal, aku tahu mereka tidak suka caraku bekerja.
"Tambah lagi, tunangan ternyata melihat lelaki lain. Bukankah ini hadiah yang terbaik!
"Aku harap mereka semua menghilang!" seruku kepada langit.
Tepat setelah aku menutup kalimatku, sebuah bintang – atau mungkin komet? – berlalu di atas kepalaku. Bintang itu melaju seiring aku menghabiskan setengah botol Jimmy Irish. Kemudian, gelap.
Aku terbangun di hari kedua dan aku berbahagia, walau dibuka dengan derita. Aku terengah-engah berdiri karena tubuh yang kering oleh alkohol. Aku memandang kepada dunia yang sepi. Beragam mobil berhenti sembarang di hadapan kos-kosanku.
Saat aku menatap kepada kamar-kamar tetangga, tidak ada satu batang hidung yang terlihat. Beberapa kursi terhampar pada beberapa kamar, sejumlah puntung rokok bertebar pada kaki-kaki kursi, dan beragam jenis camilan dan minuman.
Aku merayakan kemenanganku hari ini dengan mengambil satu bungkus Lai's Party Pack yang terbuka dari tumpukan camilan itu. Aku mengunyahnya satu per satu sambil berjalan di permukaan aspal, menikmati kesepian.
Hari ketiga tiba dan aku berpesta. Aku merampas salah satu mobil di jalan raya. Mobil itu begitu indah, begitu mewah, Challanger - American Muscle. Mobil itu ku bawa melesat di jalan raya kota hingga ke tujuan akhir, parkiran kantor beritaku.
Aku melaju dengan puas di atas permukaan parkiran, berkelok-kelok meninggalkan jejak karet dan asap. Kemudian aku berpikir, Akan lebih seru jika aku melaju ke dalam gedung.
Pedal bertemu lantai logam mobil. Mesin meraung keras, membunyikan derapan 807 kaki kuda di udara. Mobil melesat ke dalam pintu kaca. "HAHAHAAA!!!" tawaku puas.
Aku kemudian menghantamkan hidung mobil itu kepada kantor managerku. Beragam kepingan beton dan gypsum melayang ke arah mejanya. Sebagian serpihan kaca mobil pun terhempas keluar.
Aku merangkak dari celah jendela mobil sambil membawa kunci hex. Aku mengayunkan kunci itu dan menghantam permukaan meja jati mewah managerku. "Ini yang pantas kau dapatkan! Integritas jurnalis bualan! Kau hanya melayani partaimu BANGS*T!!!"
Hari keempat tiba dan ada sesuatu yang berbeda. Aku berjalan di dalam mall, mencoba beberapa pakaian yang dulu belum bisa aku beli. Aku mengambil salah satu pakaian yang terpajang pada manequin TARA, pakaian bertemakan musim semi. Satu potong sweater berwarna krem dan chino berwarna hitam. Aku mengenakannya seenak jidat, tidak menggunakan fitting room.
Tidak ada orang yang menyaksikan karena mereka menghilang.
Tetapi, sekarang ada yang janggal. Aku merasa seperti ada yang mengawasiku. Mata-mata itu banyak. Aku merasa seperti ditusuk oleh banyak jarum.
Aku pun berbalik memandang kepada tumpukan-tumpukan baju dan pajangan-pajangan model pakaian. Aku tidak mendapati siapa-siapa. Sunyi. Sepi.
Aku kemudian kembali berjalan dan terus memindai baju-baju yang menarik perhatianku. Tetapi, rasa itu tidak hilang. Aku merasakan sebuah belati menyayat punggungku dengan perlahan walau aku tahu tidak ada siapa-siapa di sana.
Aku terus bergegas hingga ke restoran terdekat. Aku mengamankan diri di balik meja kasir Rocket Chicken sembari mengambil satu keping ayam dari etalase. Aku ingin merasa aman dan aku ingin tetap kenyang.
Sambil mengunyah ayam itu, aku mengangkat kepalaku dari balik meja kasir. Mataku rata dengan permukaan meja, memandang kepada lingkungan mall. "Siapa yang mengikutiku?" ucapku sebelum aku menutup kalimatku dengan mengunyah ayam.
Tetapi, sekali lagi aku mendapati lingkungan mall sepi dan sunyi. Tidak ada suara tapak kaki. Tidak ada sepeser suara nafas seseorang. Hanya aku sendiri.
Aku melangkah dengan postur jongkok ke belakang etalase menuju dapur Rocket Chicken. Rasa tidak amanku perlahan melunjak, rasa yang selalu muncul untuk mengingatkan aku dalam bahaya. Rasa yang selalu menyelamatkanku saat aku bertanya terlalu dalam saat bekerja menjadi wartawan.
Aku mengambil kaleng hydrant dari dinding dapur untuk menjadi senjataku. Aku perlahan meninggalkan posisi jongkok untuk berdiri dan mengambil kaleng itu.
Seketika, aku mendengar sebuah dentuman benda-benda kecil. Aku pun bergegas mengambil kaleng hydrant itu, merobeknya dari dinding. Aku tanpa sengaja meninggalkan jejak pada dinding beton itu, sebuah retakan karena baut yang tertarik paksa.
Kemudian aku bersembunyi pada dinding yang membatasi fryer dan pintu masuk karyawan.
Di hadapanku, ada sebuah kereta – atau trolley – yang terbuat dari besi stainless. Pada permukaannya, aku melhiat sebuah pantulan bayangan pada jendela kulkas restoran. Ada sebuah siluet bergerak di dalam kulkas itu. "Ada orang lain selain aku?" gumamku.
Tiba-tiba...
Fwoop! Siluet itu memutar pandangannya ke arah kereta, seakan dia pun melihatku dari pantulan yang sama. Aku kemudian berlari melalui pintu belakang restoran yang terhubung ke koridor staff.
Aku berlari bagai maut telah menyatakan waktuku telah habis. Derapan kakiku menggetarkan udara di dalam koridor, berpantul hingga menghasilkan gema. Gema itu tidak menolongku karena aku semakin merasa seperti lebih banyak lagi yang mengikutiku.
Kemudian... brukk. Aku terhempas mengudara. Kakiku tersandung oleh sejumlah manequin bekas yang digudangkan pada koridor ini. Aku pun tidak mendarat dengan indah. Tubuhku terhempas satu meter dari tempat aku tersandung. Sejumlah kepingan manequin menghantam tubuhku, bagai hujuan kepalan tangan dari surga.
Aku mencoba untuk berdiri tetapi rasa sakit yang aku alami mengekangku. Kepalaku menghantam kaleng hydrant dan aku bisa merasakan darah mengalir dari kening hingga ke mata kiri. Aku merasakan sebuah denyutan pada lengan bawah kiriku, tetapi aku tidak tahu apakah itu hanya memar atau lenganku benar-benar patah.
Aku kemudian berbalik, pandanganku sedikit buram karena kekurangan darah. Aku memandang kepada hal yang janggal. Aku memandang kepada manequin yang masih berdiri. Padahal aku yakin mereka hancur seiring aku tersandung. Apa aku berhalusinasi? Aku sepertinya berhalusinasi.
Aku terus berlari hingga aku keluar dari mall ini dan kepada mobil yang aku 'pinjam', sebuah restorasi dari Dassun 620 Pick-Up. Kunci berputar, gigi pertama masuk, dan pedal gas memompa mobil dengan bensin agar melaju di jalan. Aku berangkat pulang dengan sejumlah potong baju dan kaleng hydrant.
Setibaku di kos-kosanku, aku kembali merasakan tusukan itu lagi. Kali ini rasa menusuk itu berputar di dalam perutku dan sebagian menyayat sejajar dengan tulang punggungku. "Ada yang menungguku di sini," gumamku.
Aku tidak ingin berjudi dengan nasib. Gigi persneling masuk ke 'R', mesin berputar 3000RPM, dan aku melaju 50KPH mundur meninggalkan kos-kosan.
Lalu, aku memutar balik mobil ini dan menghadap sejajar dengan jalan raya. Aku tahu aku melaju, tetapi rasa tidak aman itu masih meremas di perutku. Aku kemudian berpikir, Mungkin aku bisa menghindari apapun yang mengejarku melalui jalan tol.
Aku memalingkan setir ke jalan utama dan masuk ke jalan poros, ke jalan terdekat tol. Aku melaju menghindari mobil-mobil yang bertebaran. Tiba-tiba...
BRAKK!!! PRANG!!!
Aku tidak menyaksikan apa yang terjadi. Semua terasa seperti sebuah ilusi. Aku dan mobil ini mengudara. Aku hanya mengingat ada satu mobil bergerak di hadapanku.
Sekarang, aku duduk terbalik bersama mobilku. Memar melintang dari bahu hingga ke perut. Sebagian wajahku lecet karena serpihan-serpihan kaca. Darah menumpuk di dalam kepala, aku merasa pusing.
Secara insting aku melepaskan seatbelt. Aku terjatuh menghantam interior mobil.
Perlahan aku merangkak keluar. Lengan kiriku tidak melepaskan kaleng hydrant. Aku disambut oleh banyak figur, tetapi aku tidak bisa melihat wajah mereka, aku hanya melihat siluet. Saat aku berkedip lagi, aku memandang kepada sebuah kaki putih, kaki plastik.
Tepat saat itu aku menyadari, Merekalah yang mengawasiku dari siang hingga ke malam ini. Para manequin. Mereka hidup. Mereka bangun. Mereka mengawasi.
Walau aku merasakan pedih yang amat sangat, badanku serasa ditimpa gedung, dan nafas yang terengah-engah, aku tetap berlari. Aku menghempaskan tubuhku pada mereka dan mereka tumbang.
Aku tahu mereka tumbang.
Tetapi saat aku berbalik untuk memastikan tubuh mereka pecah, aku mendapati hal yang mengerikan. Tubuh mereka tersusun kembali seperti semula.
Aku pun kembali menghantam mereka dengan kaleng hydrant itu. Pantat bulat dari kaleng itu menghantam kepala salah satu manequin hingga ke permukaan aspal. Aku terus menggerus kepalanya hingga menjadi debu. "RRAAAaargh!!!"
Aku terus menghantam. Aku terus menghantam hingga aku tidak memperhatikan manequin yang lain. Lenganku terhenti. Dua-tiga manequin – aku tidak tahu dan aku tidak memperhatikan – mengekang tubuhku. Mereka punya massa. Aku merasa seperti dirantai kepada jangkar kapal.
Satu manequin menahan kepalaku agar aku tidak memandang kepada mereka. Mereka tidak bisa bergerak jika aku memandang mereka. Bodohnya, aku masih bisa bergumam, "Aku tidak menyangka episode Dr.WHO terjadi di dunia nyata."
Aku mencoba untuk menggeliat, melepaskan diri dari cengkeraman mereka. Tetapi, genggaman mereka lebih kuat dari pada gigitan buaya. Aku bisa merasakan beberapa tulangku mengalami retak halus.
Lalu, aku terhempas seketika. Sebuah decitan ban karet terdengar di udara. Seseorang berteriak, "Cepat lari ke sini! Biar aku yang mengawasi mereka!"
Aku tidak bertanya banyak. Dengan tergopoh-gopoh aku berlari kepada van yang dia bawa. Aku tidak melihat ke belakang.
Saat aku naik, aku mendapati seorang dalam seragam kurir. Pada dadanya tertulis, 'Anindita'. Dia pun berada dalam kondisi yang sama sepertiku, penuh memar dan luka.
"Apa yang sedang terjadi?" tanyaku dengan suara rentan.
"Aku juga tidak mengerti," balasnya sambil melaju di permukaan tol. "Yang aku tahu, malam itu sebuah meteor mendarat di ujung Kota Unira. Aku dapat shift lembur untuk mengantar paket.
"Setibaku di rumah terakhir, aku hanya menemukan sejumlah manequin di dalamnya. Pemilik rumah tidak ada di tempat."
Jadi..., yang ku lihat di langit tadi bukan bintang jatuh. Tetapi, sebuah invasi dalam bentuk meteor.
Aku ingin mengabaikannya dan hidup dalam kebahagiaan ini. Dalam kenyataan kalau aku sendiri. Tetapi, ada satu orang di sini. Dia tetap tangguh dengan alasannya sendiri.
Aku kemudian kesal pada diriku. Mengapa kau harus selalu menjadi pahlawan Charlie? Kau sudah dipecat, kau sudah dicampakkan oleh tunanganmu karena tindakan yang sama. Sekarang, kamu ingin menjadi pahlawan lagi?
Aku tidak bisa menahannya.
"Kamu tahu di mana lokasi komet itu?"
"Tidak tahu pasti, tapi aku tahu area komet itu mendarat."
"Kita harus ke sana."
"Kenapa?"
"Kalau kamu selamat, artinya ada orang lain yang selamat bukan?"
"Benar."
Dengan itu, kami berdua pun bergegas ke lokasi meteor.
Saat kami tiba, tebakkanku benar. Ratusan hingga ribuan orang terikat mengelilingi meteor itu, membelakangi sejumlah manequin yang sedang mempersiapkan sebuah mesin. Mesin itu terlihat seperti dua tabung yang dapat menampung manusia. Aku tidak tahu fungsinya, tetapi aku merasa itu penting bagi mereka.
Di saat yang sama aku pun menyadari, "Kita sudah ketahuan."
"Kamu tahu dari mana?" balas Anindita bingung.
"Karena kita melihat mereka," ucapku. Dan tepat saat kalimatku usai, aku menatap kepada sepuluh manequin yang berdiri di belakangku.
Aku pun bergegas menghantam mereka dengan kaleng hydrant. "Cepat bebaskan mereka!" seruku kepada Kurir Anindita.
"Tapi? Bag –"
"Jangan banyak bicara dan gegas sana! Mereka diam jika kamu menatap mereka!"
"Seperti episode Dr. WHO?"
"Seperti episode Dr. WHO!"
Selama aku menghancurkan mereka secara beruntun, aku memandu kuda-kudaku agar melangkah mundur ke lokasi meteor. Aku mengarahkan diri agar aku bisa melihat mereka dan tetap mendekati mesin yang mereka persiapkan.
Aku kemudian merasakan badanku terangkat kembali. Aku tidak bisa memperhatikan mereka semua, sehingga satu berhasil mencuri posisi. Aku pun terhempas menjauhi mesin itu.
Saat aku terjatuh, aku pun mendengar, "YAAARRRHHH!!!". Kurir Anindita dan sejumlah orang yang dibebaskannya berhasil ditawan kembali. Sebagian dari mereka melawan. Tetapi, perlawanan mereka cukup berat.
Aku pun bergegas seiring mengayun kaleng hydrant itu ke kiri dan ke kanan. Berharap ayunanku menghantam salah satu dari mereka.
Saat aku mulai dekat ke mesin, aku tersandung. Salah satu manequin itu menggenggam kakiku tepat di pergelangan.
Di sisi lain, salah satu manequin telah menunggu di dalam mesin. Kurir Anindita di giring ke dalam mesin.
Aku menatap kepada manequin yang menggiring dia agar manequin itu tidak bergerak. Seiring mempertahankan perhatian, aku menghantam pergelangan kakiku untuk membebaskan diri dari genggamannya. Aku menggigit gigiku untuk menahan sakit.
Aku lalu merangkak kepada mesin itu. "Aku tidak tahu apa fungsi mesin ini, tetapi aku harap ini menyakitkan." Aku menarik kabel-kabel yang tidak aku kenali.
Seketika...
Dum! DUAARRRRHHH!!!!
Sebuah energi melesat keluar bagaikan cincin. Terhempas jauh hingga menghantam lereng kawah. Pandanganku memburam. Tetapi, aku masih bisa melihat apa yang terjadi. Manequin-manequin yang berdiri mengawasi, bertugas, atau sejenis, tumbang seketika bagai kepingan puzzle yang tumpah dari kotaknya.
Aku kemudian terkekeh kecil, "Setidaknya aku melakukan sesuatu yang baik."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro