Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Twenty Sixth Chapter

"Seakan beberapa orang diciptakan untuk tidak memiliki emosi bahagia"

✈✈✈

Kalian pikir aku akan mendatangi Emily dan meminta semuanya berakhir begitu saja? Tentu tidak. Aku akan membuktikan jika Emily selama ini juga membohongiku, dengan begitu dia akan jujur tentang apa yang dia rasakan salama ini. Semua kebohongan Emily adalah tentang Ayah dan kehidupannya hanyalah tentang Ayah. Untuk itu, aku akan mencari lebih tentang Ayah.

Beberapa hari yang tersisa aku bertahan dengan menghapal perilaku Ayah. Jam tenangnnya ketika berangkat pagi sebelum dia bangun serta pulang sebelum dia pulang dan jangan ada pembicaraan. Di rumah, kami sempat bersitatap beberapa kali, tapi aku tak bicara lebih yang dapat memancing perdebatan.

Sesuatu terjadi pada Emily dan itu karena orang ini.

Untuk itulah, aku mendedikasikan diri tidak datang ke sekolah hari ini demi mencari tahu semuanya. Sammy sudah kutelepon dan kebetulan timnya tidak ada jadwal pertandingan Ganda Pura hari ini. Dengan begitu, tidak ada salahnya jika dia membolos.

Aku mengendap dan membuka lemari pakaian Ayah. Membongkar laci di sana, dan tidak menemukan surat-surat yag berhubungan dengan kepekerjaannya di suatu perusahaan percetakan. Di kota kecilku, perusahaan percetakan besar hanya ada sekitar lima buah untuk percetakan surat kabar besar dan buku. Semuanya ada di pusat kota.

Tanganku terus mencari dan mencari hingga menemukan satu kartu kerja di perusahaan percetakan. Dari tahunnya menunjukkan waktu yang sudah lama. Mungkin ketika aku balita dan waktu itu aku belum mengerti apapun tentang pekerjaan Ayah.

"Takkan kubiarkan Emily membela orang sepertinya lagi." Aku naik cepat ke lantai dua dan memasukan buku misterius serta buku diary Emily ke dalam tas. Langkahku cepat mengunci pintu rumah dan berlari menuju jalan seraya menunggu angkot. Aku memegang kartu nama itu dan melihat identitas diri Ayah sekali lagi sebelum kemudian menopang dagu dan menatap keluar jendela angkot.

Kepada Langit, Awan, dan Angin ...

Salah satu dari milyaran siang hari ini, aku bahkan meragukan diri sendiri

Bahkan mendongak kepala dan menatapmu pun aku ragu

Bahkan menarik napas dan yakin akan apa yang kuhidu pun aku ragu

Aku menyisikan helaian rambut ke belakang seraya membayar ongkos ke supir angkot. Setelahnya, mataku menerawang jauh gedung tiga lantai di depanku saat ini.

Apa hal baik saat ragu menjemputmu di pintu?

Kenapa aku pilih tinggal ketika ingin hilang? Aku Tanya padamu, angkasa

Kenapa harus aku?

Perlahan kubuka pintu dan satpam menanyaiku serta menuntunku menuju ke tempat costumer service. Selagi dia menyapaku ramah, aku menyodorkan kartu kerja itu dan menanyakan perihal Ayah di sini.

Masa depan, harapan, bualan dan delusi yang dibesar-besarkan

Aku hanyalah cetakan yang telah engkau buatkan tuk ikuti apa yang kau mau

Tak ada bagian dan pijakan di bumi bagiku, dan bagi kelauargaku

"Dia tidak berkerja di sini lagi, saya tidak pernah melihatnya. Namun, Dari ID-nya dia sempat berkerja di sini, tapi berhenti sekitar Sembilan tahun yang lalu."

Aku tertegun, saat itu saat sedang krisis-krisisinya masalah di antara Ayah dan Ibu sebelum mereka bercerai.

Tak ada sesak yang dapat hentikan napas ini

Tak ada sayat yang cukup cedrai raga ini

Tak ada pilu yang bisa matikan rasa ini

Semuanya masih menyakiti emosi. Mencampur aduknya dan menyiksa tanpa ampun, tanpa mati dan melayang.

Aku mendatangi percetakan buku yang tak jauh dari tempat sebelumnya. Kutanyai tentang kemungkinan Ayah berkerja di sana seraya menunjukan identitas dari kartu yang sama sekadar memastikan.

Costumer Servicenya justru menggeleng dan mengatakan jika Ayah tidak pernah berada di sana.

Hanya terbang, tak dapat sentuh langit. Berlalang-lalang tanpa tempat mendarat

Diciptakan untuk lengkapi rantai makanan

Meski tersiksa, apa peduli yang lain jika mereka bahagia

Apa peduli jika mereka juga terluka, merasakan hal yang sama atau mungkin lebih parah

Kali ini di percetakan surat kabar, Costumer Servicenya jua tak mengenal Ayah. Akan tetapi, dia mengatakan ada pegawai mirip Ayah yang sempat berkerja sebagai OB di sana lima tahun yang lalu, tapi dipecat tak lama setelah ketahuan mabuk-mabukan.

Aku membulatkan mata hampir tak percaya dengan yang dikatakannya. Meskipun begitu, lima tahun yang lalu Ayah ada di Jakarta, mana mungkin ia kerja di sini. Dengan kepala yang agak berputar, aku menyisir sekeliling dan mulai menanyakan tempat pusat rehabilitasi Ayah meski itu sepertinya tidak ada.

Bagaimana ini Emily?

Bagaimana ini langit? Bahkan hujan tidak menangis untukku.

Bahkan semesta mengorbankanku

Seakan beberapa orang diciptakan untuk tidak memiliki emosi bahagia

Di atas sana, kamu mungkin akan menemukan ... kekosongan

"Kamu siapanya orang ini?" Pegawai di perusahaan percetakan surat kabar lainnya menanyakan hal itu padaku setelah berdiskusi panjang dengan rekan-rekannya yang lain. Aku sempat mengernyit tak mengerti dengan mereka kali ini.

"Bukan siapa-siapanya," jawabku kemudian.

"Kenapa menanyai perihal laki-laki ini?"

Aku diam sesaat seraya memerhatikan ID card yang perempuan itu pegang. "Tidak apa-apa, aku ...," aku kemudian mengambil kembali ID itu secara sepihak dan mulai melangkah pergi.

"Dia tidak berkerja di sini," ucap salah satu pegawai laki-laki padaku. Aku mengangguk pelan dan melangkah pergi.

Di jalan, aku memeriksa posnel dan memetikan rekaman suara yang ada.

Dalam kekosongan, yang kau dapat hanyalah dirimu, bayanganmu, dan gemamu

Emily bilang jika Ayah dimutasi ke perusahaan percetakan besar di sini.

Tapi aku bohong, nyatanya aku tetap ingin mencapai titikmu

Aku harus menemuinya dan mulai jujur akan semua ini.

Dan kau tak akan pernah menemukanku seperti aku yang tak pernah bisa menemuimu.

Mataku terasa berair dalam berdiri diam menunggu angkot. Semuanya bermula dari satu keegoisan.

Kemudian kebohongan besar mengikuti di dalamnya.

Lalu kebohongan besar lainnya yang sudah tercipta mulai saling terkait dan membentuk pola.

Itu tidak akan menghancurkanku, tapi itu cukup untuk mengguncang seisi semesta.

Mengguncangmu karena mengkhianatiku.

Dan dari semua kebohongan ini, aku menemukan hal-hal baru. Kenyataan-kenyataan yang kupikir sudah terlukis jelas tentang keluargaku selama ini.

Tetapi, itu lebih buruk dari apa yang sempat kubayangkan.

✈✈✈

Mataku yang sempat berair, kutahan sebaik mungkin untuk tidak menangis. Tanganku gemetar menggenggam tali tas seraya kembali menuju sekolah meski ini sudah jauh dari kata terlambat. Aku tidak masuk ke kelas, tetapi memilih mendekam ke UKS seraya menunggu jam pulang untuk mengakhiri semuanya.

Ya, semua anganku untuk hidup lebih baik, semua kejahatanku dengan menjebak Emily dan justru akulah yang terjebak. Tak ada kehidupan yang lebih baik, dengan Ibu ataupun Ayah. Semua sama saja dan waktu yang terus beralalu serta kulalui juga akan sama saja.

Setelah berjam-jam mendekam di atas ranjang UKS, Bel kelas berbunyi yang mengartikan anak kelas dua belas selesai dalam jam pelajaran dan bisa menonton pertandingan Ganda Pura. Sejenak aku melangkah dan menggandeng tasku.

Aku baru teringat, dan aku baru menyadari beberapa hal tentang kehidupan yang dikatakan Emily selama ini ada benarnya.

"Aku ingin menjadi Pilot," tidak ada menjadi pilot berarti tak ada impian yang tersisa.

"Pernahkah kau memikirkan dirimu bisa mengambang dan menyentuh langit dengan unjung jemarimu?" Mataku kembali terasa berair dan panas. Suka terhadap langit berarti apa yang diinginkan begitu jauh untuk digapai.

"Pesawat Jet Minta Duit!" AKu mempercepat langkah menjadi setengah lari. Teriakan itu, teriakan untuk kehidupan yang lebih baik.

Tapi itu terlalu jauh. Terlalu jauh untuk didengar terutama untuk teriakan kecil anak perempuan.

Aku menaiki lantai ketiga dengan tertatih-tatih. "Dia hanya mengirim pesan permintaan maaf dan mengakhiri hubungan ini seakan tidak terjadi apa-apa."

Tidak ada yang namanya cinta, tidak ada pangeran dengan karpet terbang ataupun kuda putih. Semuanya hanya pijakan kaki sendiri. Tak ada yang mau dengan perempuan yang memiliki Ibu seorang pelacur dan Ayah pecundang. Tak ada yang seperti itu di dunia ini.

Tak ada yang seperti itu di dunia kami.

Langkahku terenti tatkala melihat sepatu Emily ada di ujung tangga. Aku mendongakkan kepala dan menatap gadis itu perlahan.

"Cheryl?" Emily tersenyum setengah kaget. Secara pasti, aku langsung menarik tangannya dan menuruni tangga. "Cheryl ... apa yang terjadi? Kita mau ke mana?" Dari belakang, Emily mengikutiku dengan tertatih-tatih. Aku membawanya ke halaman belakang sekolah tempat yang saat ini sepi karena semua orang di lapangan basket.

Setelah sampai di halaman belakang sekolah, aku melepaskan tangannya dan berbalik menatapnya dalam. Keraguan yang selama ini menyelimutiku perlahan hilang, mataku sayu menanyakan akan kepastian. "Ada yang tak beres, antara Kakak dan Ayah."

Raut wajah penuh tanda Tanya Emily sebelumnya kini mengendur dan redup. "Kau ingin membahas itu lagi?"

Aku menggeleng pelan. "Aku ingin menuntaskannya. Apa yang sebenar-sebenarnya terjadi pada Ayah?" AKu menekankan kalimat itu.

"Bukankah sudah kukatakan semauanya tentang dia hari itu?"

"Tidak semuanya. Kau masih melindunginya. Kau melindungi sesuatu yang seharusnya tidak kau lindungi, tidak ada yang sesuai antara ceritamu dan Ayah."

"Kau yang sepertinya tidak percaya padaku." Emily mulai meninggikan suara.

"Aku percaya, Kak ... aku percaya."

"Kenapa kau masih menanyakan hal ini seakan kau ingin membuktikan Ayah salah, padahal kau percaya!!" Aku hamper tak memercayai mataku saat melihat Emily mengatakannya dengan penuh kekesalan bahkan ia mengusap wajahnya dengan kedua tangan.

"Emily, aku ...,"

"Katakan saja kalau kau tak percaya."

"Oke aku gak percaya." Dengan berat, aku terpaksa mengatakannya. "Kau bilang kehidupanmu dengan Ayah sudah berubah, tapi apa nyatanya? Dia tidak pernah ikut komunitas, tidak pernah rehab, dia hanya alkoholik yang memukul siapapun jika itu membuatnya lebih baik."

Air mata Emily mengalir keluar begitu saja. Melihatnya yang meneteskan air mata, mataku yang sebelumnya berair kini benar-benar tumpah. "Hampir satu bulan ini dia pulang mabuk-mabukan, marah-marah, tantrum, bahkan memar-memar ini." AKu menunjuk memar wajahku yang belum sepenuhnya sembuh. "Karena dia."

Emily masih menggeleng pelan dan dia memeluk dirinya sendiri. Pandangannya mengarah jauh ke halaman belakang. "Dia tidak seperti itu."

Ya Tuhan dia masih membelanya.

"Apa-apaan kau ini? Apa yang sebenarnya terjadi padamu selama ini? Bagaimana kau bertahan selama delapan tahun dengan orang sepertinya dan kau masih membelanya?"

Air mata Emily kembali mengalir dan semakin menderas. Emily masih menggeleng dan menyangkal kenyataan yang sudah jelas.

"Aku mendatangi setiap perusahaan percetakan besar di kota ini dan tak ada yang mempekerjakan Ayah. Akui saja jika dia itu pengangguran yang hanya mabuk-mabukan ...."

"Dia Ayahku, oke." Emily menatapku tajam dengan mata sembabnya. "Dia Ayahku. Dan kau juga tidak dpaat menyangkal jika dia juga Ayahmu meskipun dia pemabuk, sadistik, gila, temperamental, dan segala keburukan yang ia miliki, dia tetap ayah kita." Ia menekankan dengan penuh luka.

"Haruskah aku mengakui di depanmu kalau ... Oh, Cheryl Ayah kita masih sama saja, aku disiksa, dipukul, dan aku hampir mati setiap hari olehnya? Haruskah aku mengakui kalau aku menderita selama ini? Hauskah aku mengakui kalau kita punya keluarga yang isinya orang-orang sakit??!!" Gadis itu berteriak degan penuh emosi di depanku. Aku menangis semakin kencang melihat Emily yang sepert ini.

Dia tersiksa. Dia benar-benar tersiksa.

Dan aku semakin menyiksanya dengan membiarkan dia tahu jika Ibu juga sama saja.

"Emily ...,"

"Semuanya benar. Kau menemukan buku itu? Itu juga benar. Aku menulis semuanya tentang kehidupanku yang serba kacau dan yang paling kuusahakan ... aku tidak ingin kau melihatnya."

"Aku membohongimu," ucapku seketika dengan napas yang tersendat-sendat. "Aku membohongimu selama ini."

Emily kemudian menatapku kosong dan diam. Melihat hal itu, aku melanjutkan. "Tentang Ibu, aku juga bohong. Ibu wanita malam yang juga alkoholik, dia sempat depresi dan melakukan aborsi beberapa kali."

"Aku tahu ...," jawaban itu semakin meembuat jantungku sekarat dan mati rasa. "Aku tahu kau bohong tentang Ibu. Tapi aku juga membohongimu tentang Ayah."

"Maaf sudah membohongimu."

Emily menyilangkan tangana dan menggeleng pelan. "Tidak ... kau tidak salah. Akulah yang selama ini selalu ingin menyembunyikan semuanya." Emily menyeka air matanya dan memijit pangkal hidungnya. "Aku tidak ingin kau khawatir tentang ... keluarga dan ... hal-hal menyebalkan tentang kehidupan kita."

"Bagaimana kehidupanmu dengan Ibu?"

"Sama, penuh tekanan. Banyak laki-laki yang keluar masuk rumah bahkan ada yang memasuki kamarku, tapi aku sudah tahu cara mengatasinya." Ia menyeka hidungnya yang berair kemudian tertawa pelan. Kemudian dia kembali menatapku dan tersenyum kecil. "Aku bahagia bisa melihatmu lagi."

Perasaanku kembali bergetar mendengar hal itu. "Aku juga senang melihatmu lagi."

Jeda dalam waktu yang lama sebelum kemudian Emily menenangkan diri. "Sebaiknya kita akhiri ini. Ayo kita pulang ke rumah masing-masing."

Tentu aku setuju tapi di sisi lain aku tak setuju. "Kau akan dipukuli Ayah lagi jika kembali ke sana?"

"Delapan tahun waktuku kuhabiskan untuk orang sepertinya."

"Bisakah suatu hari nanti kita tinggal bersama?"

"Tidak." Jawban yang lagi-lagi membuatku menahan napas. "Jangan tinggal dengan keluargamu lagi. Carilah kehidupan yang lebih baik."

AKu tak mengerti mengapa Emily mengatakan hal itu. "Tapi, kita akan selalu bertemu sepert biasa kan Emily?"

Emily diam menatapku dalam waktu yang cukup lama. "Mungkin."

"Apakah kita bisa saling menguatkan satu sama lain seperti sebelumnya?"

"Aku selalu mendukungmu." Dia mengatakan hal itu meski kepalanya menggeleng kecil. Kemudian dia mengatakan tentang membereskan pakaian dan barang satu sama lain dan pindah di sore hari ini juga.

Aku tak menyangka secepat ini, tapi ketika gadis itu pergi, aku merasa ini seperti perpisahan ketiga kami. Dan hari ini, ketika aku tahu semua tentang Emily aku merasa dia semakin jauh dariku.

Terbang lurus ke satu titik. Meninggalkan jejak di atas langit.

Hilang tak tahu ke mana.

🌬..............................🌪

Sejujurnya dari dulu Author pengennn banget buat cerita tentang dua Kakak-Adik karena ini merupakan bentuk cinta yang cukup heratwarming. 😢
Sebenarnya di Japanese Herons tentang Lucy dan Jun sudah dibuat tapi memang kurang terhighlight.

Author Juga punya proyek nulis cerita tentang dua Kakak-Adik sebelumnya, tapi DOBS langsung menyeruak memasuki imajinasi Author dan mereka justru mendapat kesempatan untuk diselesaikan terlebih dahulu.😊

Author seneng banget (Pake Banget-nget-nget) sama cerita-cerita dua Kakak-Adik yang mana kadang punya perbedaan pandangan tapi saling menyayangi satu sama lain.🥰 Yang mana Adik cenderung lebih egois dan semaunya sendiri sedangkan Kakak yang lebih dewasa, sering mengalah, dan tetap sayang sama adiknya.

Itu bener-bener bikin perasaantuh jadi hangat. Bahkan lebih hangat dibandingkan cerita cinta remaja yang keseringan Author baca.

Cerita Kakak-Adik semacam ini yang menginspirasi Author tentunya dari Novel Kak Winna Effendi, Girl Meets Boy yang bener-bener membekas.

Thank You So Much udah kasih inspirasi dan untuk Cheryl sama Emily, We Did It!!

See You di Empat Chapter terakhir sisanya!!!🎋


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro