Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Twenty Second Chapter

"Ketika melihat kepergiannya, aku mulai memikirkan tentang ada baiknya jika semua ini diberhentikan."

✈✈✈

"Ayah tidak bekerja lagi? Sebenarnya apa yang Ayah lakukan di sana? Kalu begini terus bisa-bisa Ayah dipecat." Sesampainya di rumah, aku langsung menanyai perihal tersebut kepada Ayah. Tanganku bersedekap mencoba melindungi diri seraya mengomentari tentang kehidupan Ayah yang terasa semakin tidak jelas.

"Jangan menghakimi Ayah."

Aku menahan napas sesaat mendengar jawaban semacam itu. "Saat ini aku berusaha untuk tidak menghakimi. Cheryl khawatir dengan Ayah."

"Kamu tidak tahu apa-apa, oke? Jangan ikut campur." Ayah meninggikan nada suaranya dan menatapku dengan tajam. Aku menelan ludah dan menghela napas sesaat. "Sebenarnya apa pekerjaan Ayah? Apakah Ayah memang berkerja di perusahaan peneribt?"

"Jadi kau meragukan Ayah, huh? Kau mulai terlihat sama menjengkelkannya seperti Ibumu."

"Aku tidak sama dengan Ibu."

"Tidak, kalian sama. Sama-sama suka menghakimi." Ayah berjalan pergi menuju biliknya. Aku yang tak terima disama-samakan dengan Ibu, memprotes Ayah begitu saja dengan setengah berteriak. "Emily bahkan bilang kalau Ayah kadang tidak bisa melupakan Ibu."

Ayah berbalik seketika dan berjalan cepat ke arahku. "Jangan pernah katakan hal menjijikan itu lagi. Jangan dengar semua yang Kakakmu katakana, kamu hanya berilusi."

Aku menggenggam tangan dan memberanikan diri. "Tidak, Ayahlah yang kerap berilusi. Ayah bahkan sering mabuk dan mengatakan baru bertemu Ibu padahal Ayah tidak pernah bertemu Ibu ...,"

PLAKKKKK!!!

Pipi kananku panas seketika mendapat tamparan keras dari Ayah. Aku memegangnya dan merasakan pening di kepalaku. "Lihat? Ayah bahkan tidka seperti orang yang mengalami rehab."

"Jaga ucapanmu," teriaknya kemudian mencekikku dan mendorongku hingga terjerembap ke belakang. Aku berusaha melepaskan cengkraman kuat laki-laki itu di leherku. Napasku mulai sesak, kepalaku terasa pusing, dan mataku merabun.

Selagi melihat Ibu yang seperti hamper kehabisan napas, Emily menangis melindungiku yang berada di pojokan rumah. Mata Ibu yang hampir menutup itu melirik kami penuh harap. Tangannya terus memukul lengan kokoh Ayah dengan tangan laki-laki itu yang mencekik Ibu hingga Ibu terpojokan di dinding.

"Ibu ...," rengekku ketika melihat hal itu. "Ibu ...,"

Aku semakin terisak ketika melihat Ibu yang sudah mengangakan mulut seperti ikan yang terlalu lama berada di daratan. Aku melompat kecil ketakutan dan merengek meminta bantuan Emily. Emily yang juga menangis, hanya bisa menyaksikan kejadian itu dengan tubuh gemetar hebat.

Aku memanggil-manggil Emily dan memintanya untuk menolong Ibu.

Tapi, apalah dayanya yang hanya anak delapan tahunan saat itu. Hanya bisa tersedu sedang dengan tubuh meringkus ketakutan. Aku buang air di celana saking takutnya sementara Emily mematung di tempat.

Tapi saat ini, aku bukanlah anak enam tahunan. Aku menekan bagian nadi dari tangan Ayah yang mencekikku dengan kuku tajamku. Kupaksakan diri sebelum cekikan itu semakin menyiksaku. Ketika cengkraman tangan Ayah mengendur, aku langsung menendang organ vitalnya dan seketika cengkraman itu terlepas tatkala Ayah meraung kesakitan.

Kakiku lemas dan aku tunggang langgang menuju tangga dengan pandangan buram, mata berair, serta terbatuk-batuk karena kesulitan bernapas. Dengan terengah-engah dan kaki gemetar, aku berusaha menaiki anak tangga yang kini serasa begitu panjang laksana tembok China.

Dengan langkah yang sepelan itu, Ayah justru berhasil menarik salah satu kakiku sehingga aku terjatuh dari beberapa anak tangga dan lutut yang membentur keras di penghujung tangga. Ingin berteriak saat itu juga, tapi napas yang serasa habis dan suara tak mau keluar membuatku hanya bisa berderai air mata.

Dalam samar-samar penglihatan, aku melihat Ayah yang sudah mengangkat kaki tepat di atas kepalaku. Bersama segenap kekuatan yang tersisa, aku memutar tubuh hingga tijakan kaki laki-laki itu hanya mengenai ujung rambutku. Perlahan aku berdiri lunlai dan menaiki tangga dengan gontai.

"Iya ... larilah Cheryl, larilah ...," suara Ayah terdengar begitu menakutkan dari dasar tangga. Setengah pincang, aku cepat menaiki satu per satu tangganya. "Adukan semua ini pada Kakak dan Ibumu. Suruh mereka semua berkumpul di sini."

Ketika tangan mencapai gagang pintu yang terasa sangat mustahil kulakukan saat ini, aku langsung masuk dan menguncinya dengan rapat. Dengan menyandar di bagian belakang pintu, aku terduduk seketika dan menangis sesenggukan.

Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah Emily selama ini bohong tentang Ayah? Kalau iya kenapa Emily melakukannya.

Tangisku semakin pecah dan aku meraung merasa sesak yang teramat di dada. Yang paling kutangisi adalah, aku mengetahui jika saja Emily berbohong, berarti selama delapan tahun ini dia mengalami semua ini. Semua penyiksaan ini.

Dan parahnya lagi, aku sudah memperparah kehidupannya dengan iming-iming kosong tentang Ibu.

Yap, aku pantas ada di keluarga ini.

✈✈✈

Sama seperti sebelumnya, pagi-pagi Ayah sudah teler di ruang tamu dengan beberapa botol minuman keras yang sudah kosong. Aku langsung melenggang keluar rumah dengan kaki yang masih sama pincangnya. Perjalanan menuju sekolah, aku berpakaian sembarangan dan apa adanya. Tanpa membawa isi tas lebih, tanpa membawa baju tim khusus. Memar di pipiku sepertinya sudah hilang, tetapi bekas cengkraman di leherku masih terasa.

Wajahku terasa pucat dan pandanganku linglung selama di angkot. Memikirkan tentang rasa sakit dan tekanan yang terus berputar seperti kincir angin di kepalaku. Kedatanganku terbilang sedikit terlambat karena pagi ini aku harus memastikan Ayah tak sadarkan diri terlebih dahulu sebelum aku keluar rumah.

Dengan tangan gemetar, aku memandang awas jenela belakang, memastikan Ayah tidak mengikutiku sama sekali meski itu sebenarnya tidak mungkin terjadi.

Langkahku tergesa-gesa memasuki sekolah. Kakiku semakin lemas dan mati rasa. Pandanganku berputar menuju lapangan dan melihat Tim Khusus yang sudah bersiap-siap. Semua pandangan mata tersenyum miring ke arahku sampai akhirnya aku melihat Sam yang berjalan khawatir menuju posisi mati rasaku saat ini.

"Cheryl?" Kak Dio muncul tepat di depanku sebelum Sam sampai di posisiku. "Kau baik-baik saja?"

Tepat setelah Kak Dio menanyakan hal itu, tubuhku ambruk seketika dan dia menangkapku sebelum aku benar-benar tak sadarkan diri.

✈✈✈

"Sudah merasa baikan?" Itu pertanyaan yang sama untuk ketiga kalinya keluar dari mulut Bu Nur. Kepalaku masih terlalu pusing ketika menyadari diri berada di ruang UKS saat ini. Bu Nur sudah menyuruhku minum beberapa kali seraya menenangkan diri.

Ketika bangun hanya ada Bu Nur di sana. Anak-anak basket pasti sudah tanding dan dapat dipastikan aku tidak bisa menemani Sam saat ini. Junnie tak ada, kemungkinan dia sudah berburu cowok ganteng dibandingkan menemaniku. Aku memijit-mijit kepalaku sebelum meladeni Bu Nur.

Seperti biasa, jika ada Bu Nur berarti ada hal yang harus diklarifikasikan seperti lambe turah. Dengan napas yang mulai normal, aku menghela panjang. "Aku sudah baikan."

Bu Nur bersiap dengan pertanyaan segunungnya. "amu sedang ada masalah, Cheryl?"

"Iya ... maksudku tidak." Jawaban yang tentunya amat tidak meyakinkan.

"Kamu ada masalah di sekolah? Apakah masalah dengan Dio dan Alison kemarin belum selesai?"

"Aku bilang tidak ada masalah, Bu," ucapku lirih, rasanya sulit sekali menjawab pertanyaan Bu Nur meski jawabannya hanya 'iya' atau 'tidak'.

"Lalu, kenapa kamu datang ke sekolah seperti orang mabuk yang baru dihajar preman?"

Sial. Itu berarti bercak tamparan kemarin masih ada. Aku menggeleng dan masih berusaha mengelak.

"Kamu ada masalah di rumah?"

Aku berdecak seketika, "tidak ada. Astaga ...."

"Jujur kepada Ibu, Cheryl." Bu Nur mengendurkan posisi duduk tegangnya sebelumnya. Dia menatapku kosong seraya menjelaskan jika aku menutup masalah-masalah yang ada, maka semuanya akan bertambah runyam. "Belum lagi Ibu lihat memar di lehermu, seperti bekas cekikan atau semacam kaitan tali yang cukup kuat. Ibu hanya ingin memastikan kondisimu mengingat kasus bunuh diri meningkat akhir-akhir ini di kota kita."

Aku menghela napas panjang dan menutupi leherku dengan selimut. Bu Nur belum menyerah dan bahkan menanyakan perihal orang yang kubohongi yang sempat kuceritakan padanya waktu itu. Aku mengatakan padanya sedang tidak ingin membahas hal itu dan beliau akhirnya pergi. Sebelm pergi dia memesankan padaku jika aku ingin bercerita, dia selalu terbuka untukku.

Aku merenung beberapa saat dalam kesendirian sebelum secara mengejutkan Emily datang setelahnya.

"Kakak," suaraku tersendat dan aku langsung merentangkan tangan dan memeluk Emily.

"Kakak khawatir. Tadi pagi kau tiba-tiba dibawa Sam ke UKS dan pingsan di dekat lapangan. Kau baik-baik saja?"

Tentu saja tidak. Aku langsung ingin menceritakan perihal Ayah yang mengerikan, hanya saja tatapan khawatir Emily membuatku bungkam. Emily yang tetap khawatir padaku meski sudah kubohongi, Emily yang tetap khawatir padaku meski ia mungkin mengalami penyiksaan Ayah selama bertahun-tahun.

Emily mungkin menyembunyikan sesuatu tentang Ayah, tapi tak tega rasanya aku menyakitinya lagi dengan membuktikan kebohongannya tentang Ayah. Bagaimana jika Emily benar? Bagaimana jika Ayah menjadi begini karena aku yang terlalu mirip dengan Ibu. Banyak yang ingin kutanyakan pada Emily tentang Ayah dan Ibu. Tapi itu mungkin akan semakin menyakitinya.

"Peluk aku lebih lama lagi." Aku meminta Emily kembali memelukku dan itu membuatku merasakan tenang untuk beberapa saat.

"Kenapa lehermu?"

Seketika aku melepaskan pelukannya dan kembali menutupi leher dengan selimut. "Tidak apa-apa."

"Kamu di serang lagi oleh cewek-cewek itu?" Emily mencoba menarik selimutku, tapi aku menahannya dengan lebih keras. "Cheryl ...,"

"Aku gak apa-apa, kak."

"Jangan-jangan ini yang buat kamu jadi seperti ini? Kamu dibully?"

Aku menggeleng kuat dan menjelaskan pada Emily jika ini hanya hal biasa yang kerap terjadi akibat kesalah pahaman. Emily masih tak henti-hentinya menatap khawatir sebelum kemudian dia izin pergi untuk mengambilkan batu es di kantin demi memar di leher dan sembab di mataku.

Ketika melihat kepergiannya, aku mulai memikirkan tentang ada baiknya jika semua ini diberhentikan. Hanya saja, keadaan sedang rumit-rumitnya dan aku tidak mungkin membiarkan Emily pergi begitu saja. Untuk itu, ada baiknya aku bertahan dengan Ayah sedikit lagi.

Ayah marah karena aku membuatnya kesal. Untuk itu, jangan membuatnya kesal lagi, jangan ada pertanyaan yang menyudutkan, dan tak ada lagi pembahasan tentang Ibu atau Emily.

"Cheryl."

Aku mendelik melihat Sammy yang terengah-engah dengan baju basket yang basah oleh keringat dan tangan kanannya menenteng sekantong kecil batu es.

"Sam?"

Sam menghela napas panjang dan mengacak kecil rambutnya. "Aku benar-benar khawatir." Laki-laki itu meletakkan kantong batu esnya di nakas dan memelukku dengan erat.

"Ieww, badanmu penuh keringat tahu." Meski begitu aku tetap membalas pelukannya. Sama seperti pelukan Emily sebelumnya, pelukan ini juga menenangkan. "Maaf gabisa nemenin hari ini."

"Gak apa-apa. Yang penting kamu baik-baik aja. Aku minta Junnie yang gantiin kamu hari ini."

"Serius?" Aku nyengir kuda sekaligus menatap Sam senang. Junnie pasti bahagia karena selama ini dia terus nyerocos panjang tentang keingiannanya menjadi tim khsus.

"Aku bawain batu es, soalnya aku lihat ada memar di leher kamu tadi. Ini kenapa lagi?" Dia menatap khawatir leherku. Aku tak menutupinya kali ini karena Sam sudah tahu lebih dulu. Laki-laki itu kemudian secara hati-hati mengompreskannya di leherku.

"Kamu sudah tandingnya?"

"Iya. Sebenarnya lagi evaluasi sama coach. Nanti siang tanding lagi."

Aku melihat wajah Sam yang begitu dekat hingga aku kesulitan bernapas. "Sam, kamu udah ketemu Emily?"

Sam menatap wajahku setelahnya dan laki-laki itu beru menyadari posisi wajah kami yang terlalu dekat. Wajah laki-laki itu memerah seketika dan dia mundur beberapa senti.

"Belum."

"Nanti kalian ketemu, dia lagi di kantin beli batu es. Tunggu aja."

Sam mengangguk dan kembali mengompres bagian samping leherku. Hanya saja, sampai Sammy pergi pun, Emily tak kunjung kembali ke UKS.

🌬............................🌪

Yep. Chapter 20an, chapter yg bikin author pusing😌

Semoga kalian tetap suka ceritanya.
See ya🎋

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro