Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Twenty Ninth Chapter

"Selama ini kamu merasa sendirian, selama ini kamu membatasi hubunganmu dengan orang lain karena selama ini kamu hanya memikirkan Kakak."

✈✈✈

"Siapa namamu?"

"Cheryl." Aku tersenyum ketika tak dapat memastikan ekspresi orang di depanku. Yang pasti kesan baik ialah kesan pertama yang menyenangkan.

"Cheryl." Orang itu mengulanginya. "Kamu dari TK mana?"

Aku menggeleng, "nggak TK." Mataku menatap ke sekeliling. Anak-anak terlihat menatap malas padaku dan beberapa justru tidak fokus ke depan. Selanjutnya, mataku menyisir jendela kelas yang dipenuhi oleh orang tua yang mengintip kecuali satu orang. Emily.

Aku tersenyum dan dia tersenyum ketika mata kami saling bertemu.

"Cheryl makanan kesukaannya apa?"

"Es krim," jawabku seraya mengulum senyum. Orang yang ada di sampingku itu tersenyum. Aku mendongak untuk memastikan senyumnya kini.

"Di rumah sukanya ngapain."

"Main ... sama nonton kartun."

Beberapa anak-anak tertawa dan aku juga ikut tertawa. Mataku terpaku kemudian pada satu anak laki-laki yang berpangku tangan dan menatapku diam. Saat itu aku belum tahu jika namanya Sammy. Dan saat itu serta seterusnya, kami tidak pernah berteman.

Aku baru sadar saat itu jika Emily membolos untuk menengokku, tapi itu sebentar, setelahnya Emily kembali ke kelasnya dan dia menghilang dari jendela. Hal itu seketika membuatku menangis di tempat karena orang tua anak-anak yang lain masih ada. Orang di sampingku menenangkanku.

Aku ingin keluar untuk memastikan, tapi jika aku keluar aku pasti tidak bisa melakukan apa-apa. Sama seperti delapan tahun yang lalu. Aku tak melakukan apa-apa.

Emily pergi, menghilang dari pintu rumah bersama Ayah. Pergi dari kehidupanku, tinggal di tempat yang sama dariku tapi menghilang dari jalan cerita di hidupku. Delapan tahun kuhabisakan Cuma-Cuma dengan menyesali kepergiannya. Mata yang berair tapi tak menetes, tangis yang ditahan karena tak ingin pergi tapi tak punya kuasa untuk tinggal.

Aku pun tak punya kuasa untuk menahannya pergi. Dan sama saat SD, aku hanya menangis melihatnya menghilang. Aku turut menghilang dari lingkunganku, tak berteman, tak memperhatikan orang-orang yang mungkin memberikan perhatian padaku. Aku hanya melihat langit, pesawat yang mungkin Emily ada di sana, dan delapan tahun kemudian aku menyadari jika jarak kami hanyalah puluhan kilometer.

Tak ada yang namanya jarak yang sebenarnya, taka da yang namanya ketinggian yang sebenarnya, tak ada yang namanya medium yang sebenarnya. Yang ada hanyalah kami dekat tapi tak dapat menjangkau satu sama lain. Hingga ketika SMA, tak ada perubahan signifikan dariku.

Aku hanya menangis ketika melihatnya pergi. Aku hanya menangis melihat angkotnya melengang ke arah utara dan itu perpisahan terakhir kami. Andai saja, andai saja aku tahu lebih awal tentangnya. Andai saja aku tak meminta pertukaran tempat, andai saja aku mampu untuk menghentikannya.

"Emily, tunggu!!" Teriakku seraya terisak dari seberang jalan jembatan. "Kakak tunggu." Aku mencoba menahan langkahnya yang hendak memasuki angkot yang sudah berhenti. Tanpa menghiraukan jalanan yang padat, aku nekat melangkah dan menyeberang seraya menarik koper. Mobil-mobil mengklakson kencang dan aku tertatih-tatih dengan air mata yang berurai.

"Kakak ...," Melihatku menangis, Emily membatalkan angkotnya dan angkot itu melengang pergi. Tubuh kami bermandikan sinar senja saat ini.

"Ada apa?" Emily menatapku kebingungan.

Aku menggeleng dan mengusap wajah. "Jangan pergi. Aku bohong padamu."

"Bohong?" Emily terlihat tak percaya. "Bohong kenapa?"

Aku terisak dan tersendat-sendat. "Aku menipumu. Aku bilang Ibu sudah berubah, tapi sebenarnya dia tidak berubah. Ibu depresi dan ... dia jadi perempuan malam."

Emily diam sesaat dan menatapku dalam. "Kakak sudah tahu."

Aku terhenti. "Apa?"

"Selama ini aku memperhatikan semuanya."

Air mataku mengelir dan dahiku mengernyit. "Aku tak mengerti ... kalau begitu kenapa Kakak percaya dengan omonganku? Kenapa Kakak mau bertukar tempat."

Emily tersenyum getir dan menggigit bibir. "Kakak tidak ingin tidak percaya padamu," suaranya bergetar, "Kakak ingin kamu juga tahu tentang Kakak. Selama ini kamu merasa sendirian, selama ini kamu membatasi hubunganmu dengan orang lain karena selama ini kamu hanya memikirkan Kakak." Air mata Emily mulai mengalir. "Sekarang kamu tahu semua tentang Kakak, jadi ...," Dia mendekat dan mengusap kepalaku. "Hiduplah dengan layak mulai dari sekarang."

Aku menggeleng dan semakin terisak mendengar hal itu.

"Tidak ada gunanya terus-terusan memikirkan tentangku, tentang Ayah, tentang Ibu. Itu tak akan membuat keadaan menjadi lebih baik." Air mata Emily semakin deras. "Bukalah pintu dan keluarlah. Lihatlah dunia yang lebih luas, kamu akan menemukan kebahagiaan di sana."

Aku menggeleng dan berusaha menahannya. "Kakak ...,"

Emily menarik koper dan langsung menaiki angkot yang entah dari mana tiba-tiba berhenti di depan kami.

"Kakak." Dan bahkan setelah hal ini, aku hanya bisa berdiri diam dan menangis.

Emily melambaikan tangan sesaat dan tersenyum padaku. "Aku yang pergi ke utara dank au harus melampauinya." Teriaknya kemudian.

Angkot itu melaju meninggalkanku di tengah hiruk pikuk jalanan.

Dengan pipi yang berair, aku membuka mata perlahan, menyadari diriku yang menangis di atas lantai dengan tangan yang memeluk Koran itu.

✈✈✈

Di malam hari yang gelap, kunekatkan diri menaiki angkot yang terbilang amat jarang dan harus menunggu puluhan menit menuju ke arah selatan. Ini belum terhitung jam malam jadi jalanan masih ramai meski hari gelap. Mataku masih sembab dan tanganku terus memeluk Koran itu.

Tiga kali menaiki angkot, dengan jeda menunggu puluhan menit akhirnya aku sampai di tempat yang kemarin aku tinggali. Mataku sayu menatap jalanan itu dan aku langsung melangkah menuju rumah minimalis di salah satu arealnya.

Aku menutup sebelah mulutku yang menahan isak sementara tangan yang lain mengetuk keras pintu rumahnya. "Ayah aku tahu kau sudah ada di rumah jam segini." Dadaku sesak mengingat jadwal yang tertulis di belakang lemari Emily adalah jadwal pulangnya dari kerja sambilan sekaligus menghindari Ayah.

Aku mengetuk lebih keras hingga akhirnya Ayah membukanya. Dan dia mabuk.

Tapi aku lebih mabuk.

"Hai ... Ayah." Aku tersenyum dengan mata sedih.

"Emily?" Ayah setengah sadar melihatku.

"Dia ada di Koran ...," Aku tertawa menatap Ayah. "Ini Cheryl."

"Oh iya ... kau mirip ibumu."

Aku diam menatapnya yang menyedihkan. Perlahan kudorong tubuh Ayah hingga dia mundur beberapa langkah dan aku masuk ke dalam rumah sekaligus menutup pintunya. Aku mengulum bibir, "di mana Emily? Kenapa dia dan Ayah ada di dalam Koran?"

"Emily!! Emily!!" Ayah teriak ke lantai atas dengan tubuh lunglai. "Adikmu mencarimu."

"Setelah Ibu bercerai, dia deperesi untuk beberapa waktu. Aku yakin Ayah juga depresi." Aku menghempaskan Koran ke lantai di depan Ayah kemudian berjalan mendekat. "Ayah dipecat dari pekerjaan, lalu kerja dan dipecat lagi, lalu tidak ada pekerjaan yang menerima Ayah ... tidak ada pekerjaan yang menerima orang mabuk."

"Stop!" Ayah memegang kepalanya seolah kesakitan.

"Ayah marah dan menyalahkan diri sendiri, sama seperti Ibu. Kalian sama-sama butuh pelampiasan. Ibu menjual diri sementara Ayah tidak bisa melakukan apa-apa karena tidak punya uang, itu mengapa Emily yang kerap disalahkan." Bibirku bergetar dan aku menggeleng pelan. "Ayah apakan Emily?"

"Aku bilang diam!"

"Apa yang kau lakukan pada Emily?" Aku kembali melangkah karena Ayah semakin terpojokan. "Kau menyiksanya? Memukulnya? Mencekiknya? Melecehkannya?"

Melihat Ayah yang tak bisa menjawab meski dalam keadaan setengah sadar, membuatku tertawa terbahak-bahak sebelum akhirnya kembali berurai air mata.

"Kau memerkosanya? Kau membuatnya stress? Kau menekannya agar dia bunuh diri!!!" teriakku seketika tanpa kontrol. "Dia bunuh diri karenamu!!" Aku memekik dan mengacak rambutku. "Dan aku-aku yang harus kehilangan! Aku yang harus kehilangan."

Aku terduduk dan menangis sekencang-kencangnya serya memanggil-manggil nama Emily. "Aku yang harus menanggungnya. Aku yang kehilangan dia!!"

Ayah kemudian ikut menangis dan mulai memukul-mukul dirinya sendiri.

✈✈✈

Seperti mayat hidup, aku kembali ke rumah dengan menaiki angkot meski dengan keadaan yang amat sangat kacau. Tanganku kosong, aku melihatnya, dan kembali menyadari tanganku kosong. Koran itu tidak ada dan mungkin Emily saat ini ada di suatu tempat.

Ya mungkin saat ini dai ada di suatu tempat.

"Emily ada di sekolah," sahutku pada diriku sendiri.

"Maaf, Neng?" Sopir angkot itu melirikku dari spionnya setelah mendengar gumamanku.

Aku kemudian menucapkan tempat pemberhentianku dengan menyebutkan nama sekolahku yang ada di pusat kota.

Ketika berhenti, aku langsung berlari masuk ke gerbang yang masih setengah buka karena mungkin anak-anak basket masih sedang latihan dan persiapan turnamen esok hari. Lampu lapangan juga masih menyala dan aku terus berlari ke arah lapangan sekencang mungkin.

"Emily!!" Teriakku sekencang mungkin. "Emily!!" Aku mengelilingi koridor.

Beberapa orang menyadari keberadaanku dan mulai melirik heran dengan tingkahku. Aku tak peduli. Dengan perasaan yang begitu sakit, aku terus memanggil-manggil nama Emily.

"Cheryl," Kak Dio berusaha menahan tanganku.

"Lepas!" Aku melepas secara paksa. "Emily!!"

"Apa yang sebenarnya terjadi?" Kak Dio mencoba mengejarku yang mulai menaiki tangga menuju kelas dua belas. "Cheryl!" teriaknya.

"Emily!" Aku tersendat dan memanjat tangga dengan susah payah. Suaraku serak dan parau, teralalu banyak air mata yang keluar hari ini, terallu gila pikiranku untuk kembali ke titik normal. Aku kemudian mendatangi kelas Emily dan menggedor-gedor pintu yang terkunci. "Emily!! Kau di dalam? Emily!!"

"Kau ini kenapa?" Kak Dio menarikku dan memegang bahuku dengan kuat. Aku hanya menggeleng dan menenggelamkan wajah di kedua tangan. "Apa yang sebenarnya terjadi? Emily kenapa?"

"Emily hilang ...," suaraku penuh keputusasaan. "Emily hilang ... dia ... dia pergi. Aku mencarinya dan aku menemukannya di Koran." Aku menatap mata dalam Kak Dio seraya mendongak. "Dia ada di sana dan ... aku harus mencarinya."

Aku melepaskan cengkraman tangan Kak Dio. "Emily!!" teriiakku seraya kembali menuruni tangga dengan terengah-engah. Tepat di lantai paling dasar, Sam menhadang langkahku. Dahinya berkerut dan matanya memancarkan kesedihan.

"Cheryl ...,"

"Jangan sekarang." Aku melewatinya dan kembali memanggil-manggil nama Emily. Memanggil namanya sama sepertiku saat masuk SD dulu, sama sepertiku delapan tahun yang lalu, sama sepertiku yang menderita saat ini. Selama ini aku tak pernah memanggil nama Ibu atau Ayah. Aku selalu memanggil namanya.

"Aku tidak mengerti apa yang terjadi." Sammy menahan tanganku ketika aku berada di pinggiran lapangan basket di mana para pemain melihat dari ujung lapangan. "Aku benar-benar tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi."

Mata kami bertemu dan aku yakin dia dapat melihat seberapa bengkak mataku. "Aku juga tidak mengerti apa yang terjadi!" Setiap jeda penuh dengan penekanan. "Dia menyukaimu, oke. Emily menyukaimu. Semua barang yang kau berikan, semua perhatian yang kau sematkan, dia benar-benar menyukaimu." Dengan terisak aku mendorong Sammy dengan kedua tanganku. "Tapi aku tak bisa pertemukan kalian, dia bahkan tidak sempat mengatakan yang sebenarnya. Dia pergi ... dia pergi."

Lagi. Aku terdiam dan menutup wajah dengan kedua tangan.

"Dia pergi ... dia pergi," tubuhku semakin bergetar. "Aku tidak pernah datang ketika dia memanggil namaku, aku tak pernah datang. Dia pergi dan sekarang aku menyesalinya."

"Ini salahku ... Ini salahku." Teriakku pada diriku sendiri. "Dia pergi dan ini salahku."

"Ini bukan kesalahanmu." Sammy mendekat dan memelukku dengan erat. Tangisku tumpah seketika dalam dekapannya. "Kenapa harus dia? Kenapa harus dia yang menanggung semua ini?"

Semua energi yang begitu melelahkan keluar begitu saja dalam bentuk air mata. Dalam pelukan Sammy, ada energi tersendiri yang begitu berbeda. Sama hangatnya ketika aku memeluk Emily.

Aku membalas pelukan laki-laki itu dengan erat dan menumpahkan semua kesah bersamanya.

🌬.....................................🌪

Berat ... Berat banget serius😭

Satu Chapter lagi dan makasih supportnya semua🙏

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro