Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Twenty First Chapter

"Apakah ada lebih dari sekadar cinta sebagai pengorbanan yang harus diberi?"

✈✈✈

Aku terdiam untuk beberapa detik. Emily baru mengetahuinya? Seharusnya dia sudah tahu lebih dulu dari awal. Aku bukanya tak ingin pura-pura terkejut, hanya saja itu akan memperburuk posisiku karena Emily mungkin semakin yakin jika aku menipunya selama ini. Mungkin.

Alhasil, aku pura-pura menyilangkan tangan di depan dada dan bersender dengan santai. "Dengar, aku bukannya tak ingin memberitahumu. Hanya saja ...,"

"Tidak apa-apa," potong Emily cepat. "Aku berusaha memakluminya. Sebenarnya Alkohol tidak diperkenankan untuk diminum, tapi seperti inilah keluarga kita. Ayah juga kadang minum beberapa kali."

"Apa?!!" AKu menegakkan badan kaget mendengar hal itu. Kaget di sini bukan karena tahu jika Ayah memang peminum--di samping aku sebenarnya sudah tahu--melainkan karena Emily baru mengatakannya. "Bukankah Kakak mengatakan jika Ayah sudah rehab."

"Ya, tapi tidak seratus persen. Ayah kadang minum beberapa kali, dan itu mungkin karena dia teringat tentang Ibu."

Ya. Emily pernah mengatakan jiak Ayah belum sembuh seratus persen, tapi aku tak menyangka jika bagian non-persenan itu merupakan kebiasaan minumnya.

"Itukah sebabnya Ayah belum menikah lagi."

"Mungkin. Tidak ada perempuan yang tahan dengannya selain Ibu."

Wait! Mendengar Ibu yang kembali disebut-sebut, apakah Emily juga sudah tahu kalau Ibu sebenarnya pelacur?

Tidak. Jangan. Jangan sekarang. Sebaiknya aku mengalihkan obrolan ini jauh dari masalah tentang keluarga nan berantakan ini.

"Ngomong-ngomong, dari semua pemain, mana fovorit Kakak?" Tanyaku kemudian.

"Favorit dalam hal apa? Ganteng atau mainnya bagus?"

"Terserah. Dua-duanya." Aku tak menyangka jika semudah ini mengalikan pembicaraan dari topik yang sensitif.

"Entahlah. Aku pilih Sammy saja."

"General banget milihnya Sammy." Emily memilih Sammy pasti hanya Sammy yang satu-satunya ia kenal. "Yang lain dong. Cowok dari sekolah lain, pilih coba."

Emilly terlihat lama memilih. Lagipula apa yang aku ekspektasikan, kami berdua sebelas-dua belas, tidak akan memilih orang jika tidak kenal meskipun hanya permainan tunjuk bebas seperti saat ini. Lagipula jika Emily menanyaiku aku akan memilih Sammy juga.

Aku mulai bertanya-tanya jika kami berdua sama-sama tidak pernah menjalin pertemanan yang dekat dengan siapapun.

"Ow-Ow, lihat itu!" Tunjukku pada siswa yang sedang mendribble. Laki-laki itu dari sekolah lain. "Namanya Awan. Persis kayak nama mantan Kakak."

Emily nyengir kuda dan terkekeh pelan. "Iya ya."

"Ajak kenalan gih, siapa tahu jadian." AKu terkekeh seraya menyiku lengannya.

"Mana sempat lagi, Kakak saat ini sedang di fase SMA masa ujian, jadi ...."

Oke, aku mengerti. Syukurlah semuanya masih baik-baik saja dan terkendali. Apapun yang Ibu lakukan sampai-sampai Emily tidak tahu apa-apa tentangnya membuatku berharap agar Ibu terus melakukan hal ini setidaknya samapi Emily lulus.

✈✈✈

"Aku sebenarnya tidak ingin merepotkanmu, hanya saja Don sedang tidak bisa menemaniku hari ini." Di dalam angkot, Jeremy menuturkan penyesalannya. Yang mana, ia juga sebenarnya senang karena ada orang yang menemaninya.

"Apkah temanmu hanya Don? Bagaimana dengan anak-anak klub buku dan robotik?" Jeremy menggeleng dengan kedua pertanyaanku. Hari ini dia mendapat telepon dari bibinya yang tinggal di area Selatan kota untuk segera menjemput anaknya yang masih SMP di sekolah. Merka sedang ada urusan mendadak dan posisi keluarga yang paling dekat hanyalah Jeremy, yang sebenarnya hanya Jeremy pulalah keluarga mereka yang paling dekat.

"Bagaimana dengan tugas Jurnal? Sudah berapa persen penyelesaiannya? Kau sudah ambil temanya? Aku sarankan pilih tema tentang prestasi."

Aku mematung beku karena tidak melakukan progres apapun. Sudah kukatakan pada Junnie sebelumnya jika tugas ini tak akan berjalan lancar jika diserahkan kepadaku. "Emmm, sedang dalam proses pengerjaan," timpalku.

Jeremy mengangguk sekaligus mengulang sekali lagi agar aku memilih tema tentang anak robotik yang jura lomba dan segala macam hal yang mengikutinya. "Ngomong-ngomong, kamu keren waktu jadi tim inti."

"Benarkah?" Aku sudah mengganti pakaian menjadi pakaian sekolah sehingga tidak lagi merasa risih. "Trima kasih."

"Kalian cocok," Jeremy berdeham, "maksudku kau dengan Sam."

Aku tersenyum sekaligus mengernyit. Entah balasan apa yang harus kuucapkan. "Tidak. Kami tidak benar-benar cocok." Jeremy mungkin tak tahu tentang masalah keluargaku, tapi dia sepertinya mengerti mengapa aku selalu menolak Sammy selama ini.

Aku sempat heran ketika kami harus menaiki dua kali angkot, itu mengartikan jarak sekolah kami dan sekolah adik sepupunya Jeremy memang cukup jauh dari yang kuperkirakan. Ketika kutanya mengapa adik sepupunya tidak pulang pergi sendiri, Jeremy menceritakan jika adik sepupunya itu masih kelas tujuh SMP dan merupakan anak yang sulit beradaptasi. Tapi pintar.

"Hei, ini kan ...," Aku terpaku ketika akhirnya kami berhenti di area dekat rumah Emily. "Adik sepupumu bersekolah di sekolah negeri?"

Jeremy mengangguk.

"Ngomong-ngomong di dekat sini ada rumah Kakakku. Sekarang aku tinggal di sana sementara waktu."

"Kau punya Kakak? Kau tidak cerita sebelumnya." Jeremy dan aku masuk begitu saja ke dalam sekolah karena pos satpam yang kosong. Ketika menuju area tengah sekolah, yang menjadi ciri khas sekolah negeri berupa lapangan upacara sekaligus lapangan olah raga, aku menemukan anak laki-laki yang duduk memisah dan sendirian. Itu adik sepupunya Jeremy.

Yap. Model dan perawakan yang kurang lebih sama.

"Dia pacar Kak Jeremy?"

"Bukan," selagi Jeremy menjelaskan tentangku kepada adi sepupunya, pandanganku justru menyisir ke sekeliling lapangan. Melihat bangunan sekolah yang tampak begitu familiar.

"Nama Kakak siapa?" Anak itu menarik kemejaku dan bertanya.

"Cheryl." Mataku masih menatapi bangunan yang sepertinya pernah kulihat sebelumnya. "Apa nama sekolah ini?"

Adik sepupunya Jeremy menyebutkan nama sekolah negeri yang sama sekali belum pernah kudengar. "Ayo kita pergi." Jeremy menarik tangan adiknya dan memimpin jalan. "Kata orang-orang daerah selatan banyak hantunya."

Aku terbahak seketika mendengar orang seidealis Jeremy percaya terhadap hal yang begituan. "Itu hal terbodoh yang pernah kudengar dari anak terpintar di kelas."

Adik sepupunya justru menambahkan cerita tidak masuk akal tentang banyak orang mati dan bunuh diri akhir-akhir ini.

"Itu tidak berarti ada hantu." Aku kemudian mengambil alih memimpin jalan dan mengajak mereka ke suatu tempat. "Pernah ke Toko Roti Gobs?"

Adik sepupunya Jeremy menatapku dengan berbinar seketika. "Dari pada ke took rotinya, gimana kalau kita ke tempat mie ayam di dekat sana. Anak-anak sekolahan sering makan di sana."

Aku berpikir sejenak. Mie ayam makanan kesukaannya Emily, tapi tak apalah, lagipula Jeremy tak keberatan ke sana. Kami berjalan dan tak kusangka jika jaraknya sedekat ini. Ketika menunggu pesanan, adiknya Jeremy tak berhenti bercerita tentang banyak hal seperti Junnie. Aku mendengarkan sambil mengulum senyum memperhatikannya.

"Cheryl, ponselmu berbunyi." Jeremy menyadarkanku yang terlalu hanyut pada omongan adik sepupunya. Aku mengernyit sesaat melihat Junnie yang menelepon. Dengan sedikit memberi jarak dan menyingkir, aku mengangkat teleponnya seraya setengah berbisik, "halo?"

"Cheryl kamu di mana?" Junnie seperti berjalan tergesa-gesa jika didengar dari napasnya dan lengkah keki yang begitu kuat.

"Aku sedang bersama Jeremy. Ada apa?"

"Ibumu tadi ke sini ... dia menemuiku."

Sial. Ibu mau apa lagi sih?? Aku mendenguskan napas seraya mengusap wajah. "Lalu?"

"Dia bilang mau ketemu kamu ... ini orangnya,"

Aku berucap cepat, "jangan kasih ke dia ... bilang aku gak di mana-mana ...," Suara Junnie tidak terdengar lagi. "Junnie? Halo?"

"Cheryl, kenapa kamu sulit dihubungi?"

Sial. Suara Ibu kembali terdengar dalam kehidupanku dan itu menghancurkan ketenangan yang baru beberapa minggu aku bangun. "Aku tidak ingin bicara dengan Ibu."

"Kenapa kau ini? Ada banyak yang ingin Ibu tanyakan. Ibu tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi ...,"

"Dahh, aku tutup." Aku hampir menekan tombol merah sebelum kemudian Ibu mengucapkan kalimat yang menahanku melakukannya.

"Ibu mau bertemu ayahmu. Di mana dia tinggal?"

Apa-apaan ini? Bukankah baru-baru ini dia sudah menemui Ayah sampai Ayah jadi mabuk-mabukan? Ibu benar-benar sudah tidak waras. Tidak ingin memperkeruh masalah dengan mengikuti segala drama Ibu, aku langsung menekankan, "jangan sampai Emily tahu siapa Ibu sebenarnya, oke. Dia gak boleh tahu kalo Ibu perempuan gak bener."

"Tapi ...,"

Aku langsung memutus teleponnya dan menghela napas begitu panjang. Dadaku sesak dan aku merasakan sakit yang begitu menusuk di hatiku. Semuanya menjadi semakin keruh dan kebohongan di antara kami ber empat kian membuatku bingung. Emily yang paling kupercayai, tetapi dengan buku harian itu membuatku meragukan tentang kejujuran yang sebenarnya. Apa yang dia sembunyikan? Apa yang Ibu sembunyikan? Apa yang Ayah sembunyikan? Dan apa yang sebenarnya kusembunyikan?

"Cheryl, kamu baik-baik saja?" Jeremy menepuk bahuku dan aku kalap seketika. Dia mengatakan jika mie ayamnya sudah tersaji di atas meja. Aku mengangguk pelan kemudian kembali duduk.

Selagi penjualnya meletakkan mangkuk terakhir, dia menatapku untuk beberapa saat. "Kamu pernah dating ke sini?"

"Tidak," jawabku seraya mengernyit.

Dia terkekeh seketika seraya menepuk jidatnya. "Maaf, Bibi lupa. Kamu mirip seseorang yang Bibi kenal."

Aku tersenyum kaku seraya mengangguk melihat kepergian penjual itu. "Nampaknya wajahku agak pasaran."

Jeremy tertawa mendengar hal itu dan mulai mengaduk mienya. Adik sepupunya kembali bercerita dan aku mencoba melupakan sejenak apa yang terjadi sebelumnya dan ikut tertawa mendengar ceritanya.

Hanya saja, dari tempat dudukku, aku dapat melihat Ayah yang sedang kumpul bersama teman-temannya di tempat yang sama ketika aku memergokinya hari itu. Bukankah ini seharusnya jam kerjanya?

Kepada langit tercinta ...,

Kau mulai bermain-main terhadap perasaanku

Aku mengernyit bingung dan tak mengerti. Belum lagi dia tak terlihat mengenakan pakaian kerja. Bukankah pekerjaan di percetakan selalu sibuk? Aku menghela napas dan menyisir sekeliling.

Kebohongan, kegagalan, semua tipu daya kerap hidupkan benci

Aku ingin sekali mendatanginya, tapi aku tak ingin merusak suasana bersama Jeremy dan adiknya. Belum lagi aku tidak ingin Jeremy tahu tentang keluargaku sama seperti aku yang sebenarnya tidak ingin Sammy tahu tentang keluargaku meski dia sedikit banyaknya sudah tahu.

Bagaimana jika perasaanku sudah muak?

Apakah ada lebih dari sekadar cinta sebagai pengorbanan yang harus diberi?

Aku menatap Ayah dengan tatapan sedih dan mata yang masih kebingungan. Akan tetapi, tanpa dapat kuduga, dari kejauhan sana Ayah kini membalas tatapan mataku.

Jika tubuh sudah tersiksa-siksa ...,

Jika jiwa sudah mengabu bara ...,

Hanya saja, dia tak tampak kaget. Dia justru menyeringai menilik kebingungan di wajahku.

Pantaskah aku mencintaimu lagi?

🌬........................🌪

😑 Salah satu chapter ternyebelin.
Btw hope you guys tetep suka sama ceritanya👍👍

See you tomorrow🎉🎉

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro