Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Twenty Fifth Chapter

"Satu-satunya hal yang tidak kuinginkan adalah menjadi seperti Ibu."

✈✈✈

"Aku mencoba mencari tahu perihal Ayahku." Suaraku tertahan dan penuh dengan helaan napas berat. Ruangan kecil nan kedap ini terasa begitu lengang dan dipenuhi kegelapan.

"Kenapa kau mencoba mencari tahu tentang Ayahmu?" Di sela tulisannya, Bu Nur kembali menanyaiku. Lulusan Psikologi yang menjabat sebagai guru BK ini berhasil membuatku kembai mengikuti pertanyaannya dan rasanya aku tidak lagi kuat untuk menghindarinya. Setelah hari itu, Junnie yang bermulut ember sepertinya mengadukan keadaanku kepada Bu Nur.

Aku sempat membencinya karena telah melakukan hal ini padaku sekaligus tidak menyangka jika selama ini dia memperhatikanku. Namun, sebelum aku dipanggil kembali ke BK, anak-anak di kelas seperti merumorkan jika Jeremy yang mengadukan hal ini. Sampai sebelum benar-benar masuk ke ruang BK, Junnie dan Jeremy yang mendatangiku dan mengatakan jika Sammy lah yang meminta langsung pada Bu Nur.

Apapun kebenarannya, yang pasti mereka bertiga Nampak khawatir. Hanya saja nampaknya ini tidak perlu. Ini terlalu menyiksaku.

"Itu karena ... dia tidak seperti Ayahku," aku mengusap kedua lengan yang terasa begitu dingin dan merinding.

"Memangnya Ayahmu seperti apa?"

Aku menggeleng dan mengidikan bahu. Diam dalam waktu yang lama sebelum kembali melanjutkan dengan amat sangat terpaksa. "Kasar. Ringan tangan. Mabuk-mabukan ...."

"Jadi memar-memar di wajhmu selama ini karenanya?"

Dengan amat sangat berat, aku mengangguk. Mataku menyorot ke bawah dan bibir bawahku kugigit kencang.

"Jadi seperti apa Ayahmu saat ini? Yang kau maksudkan dengan seperti bukan ayahmu?"

Bahuku gemetar seketika dan napasku mulai tersendat. "Lebih parah," aku tak dapat mengira jika akan terisak secepat ini. Setelah hari itu dengan Emily, aku memilih untuk menyelidiki kebenaran tentang Ayah dan berusaha sebaik mungkin untuk tidak bertemu dengan Kakakku. Setidaknya dengan begitu aku memberi jarak sebelum mengungkapkan kebenaran tentang dirinya dan tentang diriku. Tentang Ayahnya, tentang Ibuku. Tentang keluarga kami.

Bu Nur menyodorkan kotak tissue, tapi aku tak menyentuhnya. "Dia ... seperti monster."

Isakkanku semakin menjadi dan sedu-sedan napasku semakin tak terkontrol.

"Keluarkan semuanya." Bu Nur dengan sabar menungguku hingga emosiku menjadi stabil. Sepuluh menitan terbuang hanya untuk menungguku menangis.

"Aku tinggal dengan Ayah sebelum ia dan Ibu cerai waktu aku berumur tujuh tahun. Ayah orang temperamental dan Ibu keras kepala. Mereka bertengkar hampir setiap hari." Dengan mata yang berkaca-kaca, aku menatap Bu Nur dalam. "Awalnya mereka bertengkar seperti orang tua yang normal. Tidak menunjukan kepada kami kalau mereka bertengkar. Tapi waktu umur tiga tahun, mereka mulai terang-terangan bertengkar dan Ayah sering memukuli kami."

Kali ini aku mengambil tissue dan mengelap hidung. "Emily selalu melindungiku."

"Siapa Emily?"

"Dia Kakakku. Dua tahun lebih tua." Aku melanjutkan. "Waktu umur enam, Ayah pernah membakar kulitku dengan ujung putung rokoknya yang menyala dan menyekap Emily di dalam lemari. Ibu tidak tahu, tapi Ibu lebih sering diperlakukan seperti itu oleh Ayah. Waktu cerai, dia bawa Emily pergi dan kami tidak pernah bertemu."

Aku kembali tersendat. Kuusahakan menenangkan diri untuk beberapa waktu. Melirik ruangan yang terasa semakin gelap dan aku sendirian. Keberadaan Bu Nur menghilang untuk beberapa saat sebelum kemudian dia kembali terlihat duduk di depanku. Hanya saja, yang kini duduk di depanku bukanlah Bu Nur, melainkan Ibu dengan Rokok di mulutnnya dan tangan yang bersedekap. Kakinya menyilang dan dia tersenyum sinis menatapku.

"Lalu ...," Ibu menghembuskan asap rokok. "Bagaimana kehidupanmu dengan Ibumu?"

Aku menatap diam Ibu untuk beberapa saat. Aku yakin ini hanya ilusiku sama seperti yang terjadi di kantin waktu itu. Perlahan kutarik napas dan menggeleng pelan. "Sama buruknya. Setelah cerai, Ibu menjadi penyendiri. Dia tidak pernah memperhatikanku dan kadang dia menyakiti dirinya sendiri."

Ibu tersenyum sumeringah menatapku. Aku menelan ludah. "Ketika SD, aku sering menemukan gunting dan silet di kamar mandi. Ibu juga kadang bicara sendiri di depan lemari. Kadang dia juga sering membenturkan kepala di dinding tanpa sebab."

Aku meringis ketika Ibu mulai melepaskan resliting celana dengan tatapan yang masih melekat padaku. Dia kemudian dengan bangganya melepas celananya dan memperlihatkan bekas luka yang begitu banyak di bagian punggung hingga paha. Air mataku perlahan mengalir meihat hal itu, Ibu memang sering memperlihatkan pahanya dengan pakaian minimnya, tapi itu masih cukup menutupi semua luka yang baru kulihat ini.

"Lanjutkan ...," pinta Ibu dengan suara serak dan kembali menghisap rokoknya.

"Ketika SMP beberapa laki-laki sering ia bawa bolak-balik rumah. Tak ada yang kuingat selain satu orang. Ibu menjadi pecandu seks dan jadi gunjingan orang-orang ...," suaraku gemetar dan serak. "Setiap malam dia mabuk seakan ingin melupakan kehidupannya. Muntah setiap saat seakan memuntahkan segala isi perutnya dan ingin segalanya berakhir. Akhir-akhir ini Ibu tidak lagi terlihat suka menyakiti diri, aku tidak tahu kalau di tempat kerjanya. Tapi kadang dia masih melamun, berada di tempat lain, dan bicara aneh.

Bergumam seakan menyalahkan diri sendiri ... meneriaki nama Ayah. Satu-satunya hal yang tidak kuinginkan adalah menjadi seperti Ibu. Tapi semakin ke sini, aku semakin mirip dengannya."

Air mataku mengalir semakin deras seiring dengan senyuman Ibu yang semakin puas. Dia kemudian menekan ujung rokoknya di atas meja hingga apinya padam. Kemudian semuanya kembali gelap.

Suara Bu Nur kembali dan memintaku melanjutkan tentang Ayah. Dan mataku membulat seketika melihat Ayah yang kini duduk di hadapanku.

"Ketika bertemu kembali dengan Emily. Dia mengatakan jika Ayah sudah berubah. Aku percaya dan memintanya untuk bertukar tempat. Aku tahu itu bodoh dan egois, dan aku mendapatkan hal yang setimpal."

Berbeda dari Ibu, Ayah terlihat datar dan menatapku dengan tajam.

"Dia menjadi lebih buruk dari terakhir kali aku melihatnya. Dia seeprti sesuatu, yang masuk ke dalam tubuh kami, menakuti kami dengan menyiksa pikiran kami. Semua mimpi buruk kami semasa kecil, hanyalah tentang Ayah. Minggu-minggu awal berjalan lancer, tapi semkain ke sini Ayah semakin aneh dan tidak sesuai dengan apa yang Emily katakan."

Aku memeluk diriku, berusaha melindungi diri dan menatap Ayah takut-takut.

"Apa yang Ayahmu lakukan sehingga kau menganggapnya seperti monster saat ini?" Suara serak dan berat itu berhasil membuatku merinding dan gemetar.

"Ayah memukul, mencekik, bertingkah seakan ingin membunuhku. Mabuk setiap hari dan lebih parah dari Ibu." Sebelah tanganku menutup mulutku yang gemetar secara otomatis. "Dua minggu bersamanya sudah membuatku mengalami ini semua." Air mataku perlahan kembali keluar dan menderas begitu saja. "Aku tak tahu bagaimana Emily bertahan selama delapan tahun ini."

Ayah tertawa dalam katupan mulutnya. Ia melihatku puas dengan tubuhku gemetaran dan mata yang penuh ketakutan. Tawanya semakin keras dan meledak begitu saja. Ia kemudian berdiri dari tempat duduknya dan entah dari mana asalnya, botol bir tiba-tiba muncul di tangan kanannya.

Dia mendekat ke arahku dengan tatapan membunuh kemudian mengangkat botol bir itu di atas kepalaku.

"Arghhhh!!!" Aku berdiri dan berteriak seketika. "Jangan-jangan-jangan!!" Aku berlari menuju sudut ruangan dan menangis terisak. Tanganku memeluk tubuhku sendiri dan aku tersusuk di sana.

"Cheryl, Cheryl ... tenanglah, oke." Bu Nur menggenggam tanganku dan ikut berjongok di sana.

"Pergi! Pergi! Lepas ... lepas."

Bu Nur menggenggam tanganku semakin erat. "Tidak ada yang terjadi. Tenanglah."

Aku mendongakkan kepala seketika mendapati suara Emily saat ini. Emily mengenggam tanganku kuat dan tersenyum menatapku. Dia kemudian dengan pelan mengajakku kembali berdiri. Aku seketika langsung memeluknya sebelum kembali duduk di kursi sebelumnya.

Ketika duduk di sana, mataku terbelalak kembali mendapati ada dua orang Emily yang duduk di hadapanku. Yang membawaku tadi duduk dan tersenyum, sementara yang sudah berada di tempat duduknya hanya menatapku diam dengan tangan yang memegang buku misterius yang dipenuhi stiker yang sudah meneglupas karenaku.

"Kamu harus percaya Ayah. Jangan percaya apa yang dia lakukan padamu selama ini. Dia sudah berubah. Kita semua di sini sudah berubah."

Ucapan Emily benar-benar mirip seperti omongannya tentang Ayah sebelumnya.

"Ayah mungkin punya masalah buruk. Apa yang dia lakukan juga tidak bisa dimaafkan. Tapi, percayalah Cheryl, dia sudha menyesali perbuatannya."

"Omong kosong," potong Emily yang memegang buku. "Dia sama seperti Ayah yang kita kenal. Percayakah kamu dia bisa berubah? Ayah justru menjadi lebih buruk, Cheryl."

"Tidak, apa yang kau katakana. Dia mencoba menjadi pribadi yang lebih baik."

"Tidak udah percaya dia." Emily membuka buku tersebut dan menampilkan halaman yang menunjukkan kalimat "Menuju Utara dan Melampauinya" dengan sebegitu yakinnya. "Kau lebih percaya Ayah yang sudah berubah tapi nyatanya masih menyakitimu? Atau percaya jika dia masih sama dengan bukti buku ini, dengan bukti pisau di nakas, dengan bukti apa yang telah aku alami selama ini."

"Jangan dengarkan dia, dia tidak nyata ... Emily yang nyata mengatakan padamu kalau sebenarnya Ayah sudah berubah."

"Well, Emily yang nyata bisa saja berbohong."

"Emily tidak mungkin berbohong padaku." Aku yang sedari tadi kebingungan akhirnya memutuskan memihak siapa. Emily yang pertama tersenyum senang dan menatap gadis yang memegang buku itu dengan kemenangan. Sementara Emily yang memegang buku mendelik tak percaya.

"Kau percaya Emily sepenuhnya jujur padamu? Bagaimana dengan buku itu? Bagaimana dengan diarynya? Bagaimana dengan hadiah Sammy? Bagaimana dengan semuanya? Kau yakin Emily jujur padamu?"

Kepalaku berputar seketika, tak tahu mana yang harus kupercaya dan mana yang harus kuabaikan. Keduanya mengarah pada Emily dan yang paling tak ingin kupercaya adalah Emily mungkin saja berbohong padaku.

"Emily percaya sepenuhnya padamu Cheryl, dia pasti menyangkal jika ada yang mengatakan kau berbohong padanya. Tapi lihat buktinya, kau sudah menipunya, jadi ...." Emily yang kedua melepas bukunya dan berdiri dari temapt duduknya. "Kau yakin Emily mungkin tidak berbohong?"

Emily yang pertama hilang begitu saja. Kemudian Emily yang kini berdiri terlihat mengucek matanya dan menggosok pelipisnya. Setelahnya terlihat memar benjol di pelipis dan samping mata yang sama dengan luka memarku saat itu.

Aku menelan ludah melihat ketika dia mengusap pipi kanannya dan memperlihatkan bekas tamparan di sana. Juga sama seperti beksa milikku. Kemudian dia menurunkan kerah bajunya dan memperlihatkan memar bekas cekikan yang sama seperti milikku.

Lalu, dia melepas rok abu-abunya dan memperlihatkan bengkak di lututnya akibat jatuh dari tangga. Sama seperti bengakakku. Dia berjalan mendekat dengan pincang.

Keringat dingin mengucur deras seiring Emily tersenyum tipis dan melepas kancing kemejanya satu per satu. Melepas kaus dalamnya dan memperlihatkan tubuhnya yang dipenuhi dengan bekas luka bakar dari putung rokok yang menyala.

Aku menjerit seketika. Mataku terbuka lebar hingga posisiku berubah menjadi duduk dengan peluh yang membanjir. Napasku terengah-engah memperhatikan sekeliling.

Ruang UKS.

Aku menoleh dan mendapati Bu Nur yang menungguiku di samping ranjang. Seketika aku menangis dan memeluknya.

Sesenggukan dan tak mengerti, apa yang sebenarnya terjadi.

🌬....................................🌪

Mau bikin #Author no comment lagi🤣 tapi takut dimarahin.

Susah rasanya mau comment apa untuk Author di setiap Chapter yang rumit🙃

Tapi Author harap kalian tetap comment dan like ya.

See ya🎋

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro