Twenty Eighth Chapter
"Beberapa pemahaman akan menjadi begitu indah jika tidak dicerna."
✈✈✈
"Apa?" Mataku menatap Ibu dengan penuh ketidak percayaan. Ibu masih dalam posisi santainya bersandar di kusein pintu sambil merokok. "Ibu bilang apa?"
"Dia tidak ada." Ibu menghembuskan rokoknya dan menyilangkan kedua tangan di depan dada. "Entah kenapa trik yang kau gunakan tidak terpikirkan oleh Ibu sebelumnya. Ibu mau menanyakan tentang hal ini padamu, tapi kau kabur setiap Ibu telepon atau datang."
Ibu berjalan pergi kemudian seakan ini bukan hal penting yang baru saja terjadi. Aku masih menatap tak percaya seraya melirik kamarku bergantian. Kamarku masih begitu rapih dan berdebu, tidak ada tanda-tanda kehidupan selama aku pergi, jadi Emily sebenarnya pergi ke mana?
Aku langsung memasukkan barang-barangku ke kamar dan memastikan lebih detail lagi. Mulai dari tempat tidur, meja belajar, lemari yang mungkin lebih acak-acakan. Akan tetapi, aku tak dapat menyangkal jika apa yang ibu katakana benar adanya. Emily seakan tidak ada di sini.
Lalu, yang Emily ceritakan selama tinggal dengan Ibu?
Pandanganku berputar dan aku terduduk di atas ranjang. Dengan tangan gemetar, aku mengeluarkan ponsel dan menelepon kontak Emily. Aku kemudian menggigit-gigit kuku seraya menunggu panggilanku terangkat.
"Ayo-ayo-ayo ...." Aku menunggu sambungan telepon yang lama sekali tidak mendapat jawaban. Sampai akhirnya suara operator yang kuterima.
Aku mencoba menelepon lagi. Lagi. Dan berkali-kali, tetapi sama saja hanya suara operator yang kuterima. Mataku panas seraya mencoba sekali lagi. Aku berjinjit-jinjit dan memohon secara tak langsung agar Emily segera mengangkatnya.
Napasku terasa begitu sesak. Benar-benar sesak karena taka da panggilan yang berhasil menjangkau Emily. Rasanya seakan kami sudah benar-benar dalam jarak yang amat jauh.
Kesal. Marah. Aku membanting ponsel di atas ranjang kemudian keluar kamar dengan langkah yang begitu mantap.
"Tidak mungkin Emily tidak ke sini. Kami sudah berjanji untuk bertukar tempat sebelumnya." Suaraku parau mendaangi Ibu yang tengah berdiam diri di depan televisi.
"Berhenti membohongiku."
"Aku tidak bohong," teriakku, "aku bahkan lihat sendiri dia pergi ke sini. Dia cerita tentang kehidupannya dengan Ibu, Ibu mengajaknya ke bar seakan Ibu juga ingin menjadikannya pelacur, dan dia melihat laki-laki yang Ibu bawa setiap hari ke rumah."
Ibu mengernyit dan membulatkan mata. "Kau ini sudah gila? Aku bahkan tidak melihat Emily sama sekali selama ini. Bagaimana kau bisa mengatakan jika dia ke sini?"
"Ibu yang gila. Aku bertemu dengannya setiap hari di sekolah dan banyak hal yang kami bicarakan dan dia cerita tentang Ibu yang pemabuk." Teriakku kesal. Akan tetapi, Ibu tidak begitu menggubris tentang apa yang mungkin terjadi. Dia hanya berdiri, mematikan televise, dan melengang ke kamar seraya mengatakan jika dia hendak berkerja.
Aku mengusap wajahku dan mengacak rambut dengan kasar.
Lagi, aku mencoba menelepon Emily sepanjang malam. Berharap-harap Emily dapat mengangkat panggilannya dan menjelaskan tentang ketidakjelasan ini.
Tidak ada balasan.
Di atas ranjag ini, aku bahkan tak dapat memejamkan mata. Terlalu banyak hal yang perlu dipikirkan sehingga aku mencoba mengemas barang yang ada di dalam tas dan koper. Memindahkan buku-buku sekolah serta tumpukan berkas tugas Bahasa Indonesia dengan kosong di atas meja. Memasukkan beberapa baju ke dalam lemari.
Aku mengernyit melihat satu sobekan kertas dari buku misterius tertinggal di dalam koperku.
Kuambil kertas itu dan melihat seperti apa isinya.
Kepada Stratosfer tersayang ....
Beberapa hal menjadi luar biasa atas ketidak tahuan
Beberapa pemahaman akan menjadi begitu indah jika tidak dicerna
Tidak ada yang namanya medium biru di tempatmu, suatu wilayah semacam genangan air jernih di angkasa yang ternyata kosong termasuk engkau.
Entah aku melayang seperti burung, melintas seperti pesawat jet, atau berenang tenang laksana ubur-ubur di atas sana. Semuanya percuma karena di balik spektrum itu, hanya ada kekosongan. Hanya ada kesendirian. Seperti menyelam ke lautan terdalam.
Dan gagal.
Satu sore aku temangu. Lutut terlipat dan kepala menopang serya tangan mengukir tanah.
Kemudian aku berteriak kesakitan, dan meminta tolong ... terus berteriak dan meminta tolong hingga rasanya suaraku pecah dan aku hanya bisa terisak.
Berharap ada seseorang ... yang baik, mendatangiku, mengajakku pergi, mengajakku melayang, menarikku dari lautan terdalam.
Sakit. Dan aku tidak tahan terkadang.
Tak tahan karena sebenarnya tidak ada yang datang dan menyelamatkan.
Tak tahan atas pengabaian dunia.
Emily,
Seketika aku memeluk kertas itu. Dari air mata yang tersisa hari ini, di depan pintu rumah tadi, aku menyelesaikannya malam ini. Tersedu dan tersedan sepanjang waktu hingga tak sadarkan diri.
✈✈✈
Langkahku cepat menuju sekolah, bahkan tergesa-gesa saking hendak mempercepat diri. Aku menarik napas berkali-kali dan hendak menemui Emily sekarang juga. Meminta penjelasan dan meminta tak ada lagi rahasia serta kebohongan.
Aku langsung masuk ke kelas dan meletakkan tas kemudian beranjak menuju kelas dua belas. Akan tetapi, Junnie langsung menahanku. "Hari ini ada PR Biologi, mau menyontek tugasku?"
Aku menggeleng, "tidak perlu."
Namun, Junnie tetap menahan lenganku. Dia bertukar pandang dengan Jeremy untuk beberapa saat sebelum kembali menatapku dengan pandangan aneh. "Cheryl, duduklah sebentar. Kami ingin ngobrol."
Aku melepaskan cengkraman tangan Junnie secara paksa. "Maaf aku sedang terburu-buru."
Ketika aku melangkah, kali ini tangan Jeremy yang menahanku. Aku melotot tajam menatap laki-laki itu. Jeremy tertunduk dan berkata, "jangan pergi. Kami ingin membicarakan tentang tugas Bahasa Indonesia."
"Tugas itu belum selesai, Jeremy. Aku mohon beri aku sedikit waktu." Aku melepaskan tangan laki-laki itu sepelan mungkin.
"Sebenarnya kami ingin berbicara tentangmu." Junnie menanggapi dengan cepat, gadis itu menatapku tak yakin seraya memainkan rahangnya. "Kau lupa kalau kau itu Tim Khusus?"
Aku berdecak dan memutar kedua bola mata mendengar obrolan yang tak lebih dari kacangan ini. Hendak pergi, tapi Junnie melanjutkan. "Kau menghitung berapa kali kau mendatangi UKS akhir-akhir ini? Kau menghitung berapa jam kau ada di sana?"
Aku mengernyit tak mengerti dan menggeleng pelan. "Apa yang kalian bicarakan?"
Junnie kembali bertukar pandang dengan Jeremy untuk beberapa saat. "Cheryl, satu bulan ini kau menjadi aneh. Semua orang membicarakanmu, semuanya. Satu waktu kamu menghilang, kemudian tiba-tiba berada di UKS seperti orang sakit-sakitan. Ada apa sebenarnya?"
Kerutan di dahiku semakin bertambah dan aku tak mengerti arah pembicaraan ini. "Aku tidka mengerti apa yang sebenarnya kalian bicarakan."
Junnie berdecak. Jeremy bahkan memintaku untuk duduk dengan mereka saja hari ini.
"Kamu seperti orang bingung, oke. Kamu kadang berjalan tak tentu arah di sekolah dan kami tidak tahu kenapa." Junnie menatapku intens ketika aku duduk di kursi sesuai permintaan Jeremy. "Sammy bilang kalau kamu memang punya masalah sama keluargamu, tapi sebelumnya tidak pernah seperti ini. Dia bahkan ingin menggantikan posisi Tim Khususmu jika itu ternyata memberatkanmu."
Aku masih tak mengerti sebenarnya apa yang terjadi dan apa yang mereka bicarakan. "Aku tak mengerti Junnie, meangnya apa yang sebenarnya salah dariku."
Junnie diam menatapku sesaat. "Sammy mulai kasih jarak karena dia pikir kamu keganggu sama dia dan dia mau kasih kamu ruang sejenak. Kalo kamu punya masalah, kamu bisa cerita ke kita-kita."
Aku memijit-mijit pelipis tak mengerti dengan arah pembicaraan yang absurd ini. "Aku tidak paham, maaf aku harus pergi." Kali ini aku pergi tanpa memedulikan ekspresi mereka. Mereka juga kali ini tidak menahanku dengan apapun. Lagi pula, aku tak mengerti apa yang orang-orang sekolah ini lihat dariku.
Aku jadi bahan gossip hanya gara-gara sering masuk UKS? Yang benar saja.
Aku menunggu kedatangan Emily di areal parker hingga beberapa menit kemudian Emily tak kunjang datang. Beberapa mobil atleet sekolah luar sudah mendatangi sekolah kami dan banyak anak-anak yang bersiap siaga.
Alison dan rombongan siswi yang menjadi Tim Khusus beejalan melintasiku. Matanya menatapku sesaat sebelum kemudian berbisik-bisik melecehkan dengan siswi-siswi yang lain. Aku menyelipkan anak rambutku ke belakang telinga dan tak mengerti apa yang sebenarnya salah.
Kemudian Kak Dio dan Sammy juga melintas di hadapanku. Tatapan kami saling bertemu dan mereka terlihat ragu tapi berjalan ke arahku. "Cheryl," suara panggilan Kak Dio terdengar dan aku justru hengkang dari sana dengan cepat.
Aku tak tahu mengapa.
Kelas dua belas yang masih belajar nampaknya sudah mengisi kelas masing-masing dan kuputuskan pelarianku ini menuju kelasnya Emily. Menaiki lantai tiga dan berdiri di depan ambang pintu kelasnya.
"Iya?" Salah satu kakak kelas menanyai kedatanganku.
Aku menyebutkan hajat jika ingin bertemu dengan Emily. Emily sudah datang, dia memintaku menunggu beberapa saat dan aku menunggu seraya melirik ke lapangan basket yang mualai padat.
"Hai," suara lembut seseorang menyapaku, "kau mencariku?"
Aku mengernyit heran dan menggeleng tak mengerti. "Siapa kau?"
Gadis itu menunjuk dirinya sendiri. "Aku Emily."
Bukan. Dia tentu bukan Emily. Akku menatapnya dari ujung kaki sampai atas kepala. "Aku mencari Emily yang baru baru pindah semester ini."
"Iya, aku Emily yang baru pindah semester ini di kelas ini." Gadis itu menjelaskan secara pasti. Aku mengerutkan dahi bingung seraya melihatnya berulang kali.
"Aku mencari Emily Watson."
"Tidka ada Emily Watson di kelas ini," jelasnya, "namaku memang Emily. Tapi Emily Stevenson."
AKu menggeleng tak mengerti. Apa-apaan ini? Kenapa tiba-tiba orang ini ada di sini.
Dengan pikiran tak tenang, aku memilih melangkah pergi.
"Dik," panggil seseorang sebelum aku melangkah jauh. Dia kakak kelas yang memanggil Emily tadi. Perempuan itu berjalan mendekatiku. "Maaf sebelumnya, tapi aku hanya ingin memberitahu kalau ... akhir-akhir ini kau memang sering datang ke kelas kami, mondar-mandir seperti orang bingung di depan kelas. Sebenarnya ada apa?"
Mendengar hal itu, membuat telingaku berdengung seketika. Aku menggeleng dan memilih melangkah pergi sebelum semuanya semakin aneh dan buruk. Langkahku cepat berlari menuju keluar sekolah, melintasi anak-anak basket yang tengah pemanasan dan beberapa rombongan siswa.
"Cheryl," Suara Sammy memanggilku. Akan tetapi, pandanganku terlalu kabur hingga aku tak dapat memastikan di aman posisinya saat ini.
Keringat mengucur deras di dahiku dan aku menyetop sembarang angkot. Bolos dan kembali ke rumah.
✈✈✈
Dengan kunci cadangan, aku membuka rumah dan langsung berteriak di dalamnya sekencang mungkin. Berteriak sejadi-jadinya dengan kebingungan yang terus berputar di atas kepalaku.
"Apa yang sebenarnya terjadi-apa yang sebenarnya terjadi??!!" Aku mengusap wajah dan menangis seketika. Kalimat itu terus berputar dan berulang ualng di atas kepalaku. Pertanyaan kenapa dan apa yang terjadi memenuhi isi kepalaku. Dengan sesak, aku mencoba kembali menelepon Emily, berjalan ke kamar dan duduk di atas ranjang dengan lutut tertekuk.
"Jawab Emily, aku mohon, jawab ...," Gigiku tak berhenti mengigit-gigit kuku seraya air mata yang terus berjatuhan.
Dua kali, tiga kali, Emily tak menjawab sekalipun panggilanku. Isakku kebingunganku semakin jelas tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Aku menangis dan memukul kasur berkali-kali. Kemudian aku melempar bantal tak tentu arah dan berteriak.
Habis bantal di atas ranjang, aku bengkit dan menghamburkan semua benda di atas meja belajar. Semuanya hingga kertas-kertas berterbangan kemana-mana. Aku berjongkok dan berteriak parau. Tak mengerti apa yang sebenarnya sudah terjadi.
Tangisku mereda ketika Koran yang merupakan salah satu bahan tugas Bahasa Indonesia sebelumnya jatuh dan berada tepat di depanku.
Mataku mengernyit seketika melihat satu artikel kecil yang menampilkan foto Emily ketika masih SMP di sana. Aku melihat tanggal dan mendapati jika ini koran terbitan tiga bulan yang lalu.
Jariku gemetar mengikuti kalimat dari artikel itu.
Ayahnya yang berinisial HW (42) sempat diperiksa kepolisian dengan bukti dan barang-barang terkait, tapi kepolisian tidak menemukan bukti apapun. Disinyalir, kondisi yang stress dan depresilah yang membuat EW(17) ...
Air mataku tumpah kembali dan dunia serasa berhenti berputar ketika melanjutkan kalimat-kalimat menyakitkan ini.
... nekat mengakhiri hidupnya dengan menggantung diri di kediamannya saat itu.
✈✈✈
"Kadang Kakak menatap kosong ke depan, dan memperhatikan layang-layang yang terbang tapi tak benar-benar bebas karena ia terikat di bawah."
Setelah lima jilatan es krim, aku memberikannya pada Emily dan Emily tetap melanjutkan ceritanya.
"Kakak berpikir, ada baiknya jika layangan itu putus dan dia terbang dengan bebas."
"Bukankah nanti dia akan jatuh?" tanyaku seraya memerhatikan es krim yang Emily jilat.
"Iya ...," Emily menatap kosong. "Meski dia bebas suatu hari nanti dia tetap jatuh."
🌬.....................................🌪
😌 Apa Boleh Buat.
Terima kasih yang udah bertahan sejauh ini👍
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro