Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Twenteeth Chapter

"Kamu perlu berpacaran, supaya tahu rasanya bagaimana."

✈✈✈

Meskipun berusaha berpemikiran positif untuk Ayah, aku tetap merasa takut pulang ke rumah. Pagi tadi aku menemukan Ayah tergeletak di depan pintu kamar, tidur dan tak sadarkan diri. Aku melangkah pelan-pelan ketika manuju ke sekolah tanpa sepengetahuan Ayah.

Tak dapat kupikirkan bagaimana keadaan emosi Ayah saat ini dan bagaimana dia berkerja hari ini. Dia bisa dipecat jika terus-terusan seperti ini.

Dengan perlahan, aku membuka pintu dan mengintip secara hati-hati. Melihat keadaan rumah yang kosong, aku segera melangkah dengan berjinjit dan setengah berlari.

"Apa yang kamu lakukan?"

"Astaga!" Aku melompat seketika dan mendapati Ayah yang berdiri di ambang pintu kamarnya. Dengan napas yang memburu, aku memegangi dadaku. "Apakah ayah sudah mendingan?"

Ayah tak menjawab, dia hanya menatapku penuh selidik.

Aku melirik sekitar untuk sesaat sebelum berusaha menatap wajahnya lagi. "Ayah ... semalam mabuk."

"Ayah tahu."

Aku menelan ludah mendengar hal itu. "Apakah pekerjaan Ayah baik-baik saja?" Aku berusaha memperbaiki hubungan kami dengan apa yang ingin kulakukan kemarin.

"Kenapa menanyakan pekerjaan?" nada suara Ayah kembali dingin dan serak. Aku menggeleng cepat sebagai antisipasi dari kemungkinan yang tak diinginkan.

"Tidak apa-apa. Aku ... hanya khawatir dengan kondisi Ayah."

"Ayah tidak apa-apa," jawabnya kemudian berbalik.

"Aku minta maaf." Dengan cepat aku mengatakannya. "Aku minta maaf jika sudah membuat Ayah kesal sebelumnya."

Ayah kembali menatapku sejenak dan melangkah maju. Matanya yang melotot, tetapi pandangan kosong, membuatku bergidik ketakutan. "Ayah tidak akan marah jika kamu tidak malakukan dua hal. Pertama, jangan hubungi ibumu. Kedua, jangan dengar semua yang Emily katakan tentang kejelekanku."

Ayah memegang kedua bahuku dan mencengkramnya dengan amat kuat. "Paham?"

Aku mengangguk sekaligus tak mengerti dengan apa yang baru saja terjadi. Emily bahkan tidak pernah membicarakan hal buruk tentang Ayah, kenapa Ayah justru khawatir Emily mengatakan hal jelek padaku?

✈✈✈

"Ini bahkan lebih buruk dari yang kemarin." Aku melempar pakaian itu ke lantai. "Kenapa harus ada seragam baru seperti ini?" Dengan helaan napas yang begitu amat sangat panjang, aku duduk seraya menatapi seragam tim khusus lainnya hari ini. "Aku membawa seragam kemarin padahal."

"Tidak kamu cuci?"

Aku menggeleng.

"Menjijikan." Junnie memungut baju itu seraya melihatnya sekali lagi. "Jadi cewek nggak boleh jorok." Aku mendesah ketika melihat teman sebangkuku itu sudah mengeluarkan kotak make upnya lagi. Kemarin rasanya kulit wajahku gatal gara-gara kosmetik Junnie yang kugunakan. Junnie hanya mengatakan jika itu karena aku yang tidak terbiasa dengan Make Up.

Dan memang, rasanya aku tidak ingin memakainya lagi.

Sepanjang pertandingan, pikiranku justru melayang lebih aneh lagi. Semua tentang keluargaku rasanya bercampur aduk menjadi suatu permasalahan besar, seperti bola bowling yang menggelinding dan meruntuhkan pin manapun suatu saat nanti.

Apa yang sebenarnya terjadi di antara Ayah dan Ibu? Apa yang sebenarnya terjadi di antara Ibu dan Emily? Apa yang sebenarnya terjadi di antara Emily dan Ayah. Semua semakin abu-abu dan tak ada yang mendekati titik biru.

Aku mendongakan kepala ke langit, ingin menemukan titik biru dan potongan garis putih. Emily seakan tidak menyadari seperti apa Ibu sebenarnya, yang sebetulnya itu bagus untukku tapi aneh jika dipikirkan berulang. Belum lagi dia pernah ke bar tempat Ibu berkerja.

Ayah seakan mengira Emily mengatakan hal buruk tentangnya kepadaku, yang mana sebenarnya hal menyenangkan tentang Ayah yang Emily ceritakan tidak seperti yang kubayangkan. Namun, jika aku di posisi Emily, maka mungkin aku akan berpemikiran hal yang sama.

Atau mungkin ....

Aku menolehkan wajah sesaat ke bangku penonton dan melihat Emily yang saat ini juga tengah menatapku. Gadis itu tersenyum kemudian dan aku membalas senyumnya dengan canggung. Dia duduk di antara kerumunan Kakak kelas yang sepertinya bukan teman-temannya.

Dia tidak punya teman? Kenapa selama ini aku tidak menanyainya juga?

Kepada Awan dan hembusan Angin ...

Sebenarnya apa yang salah? Padaku, pada orang-orang di sekitarku.

Tak ada satu desiran menyebut kalbu namaku,

"Cheryl," Sam tersenyum dengan wajah penuh keringat. Aku bangkit seketika dan memberikan handuk padanya.

"Tidak perlu berdiri." Dia membuatku kembali duduk dan memperbaiki posisi jaketnya di pahaku yang setengah terbuka. "Biarkan ini menutupimu."

"Lain kali aku akan bawa handuk dari rumah untuk menutupi pakaian seperti ini." Aku terkekeh dan begitupun dia.

Tak ada yang mengajak canda, tak ada yang peduli.

Tak ada simpul sepatu, tak ada rajutan wol.

Tak ada langit, tak ada rasa, tak ada tangis, tak ada emosi.

Sam duduk dan minum di sampingku. "Junnie sangat inin menjadi tim khusus."

"Mungkin tahun depan ada yang mengajaknya."

Aku tersenyum samar dan menggeleng pelan. "Sepertinya kalian akan mengambil pertandingan ini. Kau terlihat ... luar biasa."

"Terima kasih." Sam tersenyum malu-malu. Melihatnya yang seperti itu, membuatku tidak meragukannya jika Alison sempat menyukainya. Sam orang yang terlalu baik, keluarganya terlalu sempurna, dan dia terlalu penyayang.

Mungkin tidak selamanya Junnie benar, semua orang memang pantas dengan siapapun, tapi tak semua orang mau merusak sesuatu yang sempurna hanya untuk kepuasannya.

Dengan sayatan dan beret tanpa amarah.

Aku menjerit sejadi-jadinya dan membuang semua perasaan.

Yang pernah ... kuyakinkan pada diriku.

Aku tidak menyisakannya.

"Oh iya, di mana Emily? Kapan kamu mau temuin kita?"

"Oh, Emily. Dia ada di sana." Tanganku menunjuk ke arah bangku penonton, hanya saja mataku agak mendelik tatkala Emily sudah tidak ada di tempatnya sebelumnya.

"Yang kuncir kuda?"

"Bukan," sanggahku cepat seraya menyisir ke sekeliling bangku penonton. "Dia sedang tidak menonton, tapi tadi ada di sini."

Sam tersenyum memegang tanganku. "Tak apa, nanti saja kapan-kapan."

Aku melihat tangannya sebelum Sam menariknya dengan canggung.

Pernahkah kamu mencoba menerima diriku?

Pernahkah aku mencoba menerimanya?

Maksudku semua orang membuangku dan aku ingin tempat yang lebih baik.

Maksudku semua orang tahu dia di tempat yang lebih baik, untuk itu aku tak ingin membuang kehidupannya begitu saja. "Sam,"

"Ya?" Mata indah itu menatapku dengan saksama, dengan tatapan yang tak pernah orang berikan padaku.

"Apakah dulu kau juga memperhatikan tingkah laku Emily?"

Sam mengernyit dan berpikir sejenak. "Emm, tidak juga." Dia menggeleng kemudian.

"Apa saja yang kau lihat?"

Tidak ada. Aku tidak melihat apapun.

Itu sebabnya aku tetap sendiri dan bersimpuh.

Terombang-ambing guntur badai tanpa sempat menyentuh langit.

Sam menjawab dengan tidak begitu yakin. Dia hanya menggeleng dan mengidikan bahu, mungkin karena sudah lupa. Lagipula anak-anak memiliki ingatan yang payah. Kecuali ingatan yang menyedihkan dan menyakitkan.

Kecuali jika kamu sedikit berbaik hati, dan tidak mengirimku kembali ke bumi.

Emily,

✈✈✈

"Hei." Dengan setengah terengah-engah, aku menyapa Emily. Emily tersenyum seraya menyisihkan tempat duduk untukku di sampingnya. Setelah pertandingan tim sekolah selesai, aku dibebas tugaskan sebelum ke pertandingan berikutnya nanti sore. Untuk itu, aku berkeliling sekolah mencari keberadaan Emily.

Hanya saja, setelah berputar-putar cukup lama, aku akhirnya menemukan Emily yang berada di bangku penonton hanya saja di posisi yang berlawanan dari sebelumnya.

"Kamu terlihat berbeda," ujar Emily ketika aku duduk di sampingnya.

"Ya, semua ini karena make up dan ...," Aku menarik rok ke bawah, "baju mini ini. Sekilas aku terlihat seperti Ibu."

"Maksudnya?"

Sial. Kenapa sampai mengatakan hal semencurigakan itu? Aku mengutuk diriku sendiri sebelum kemudian menjelaskan pada Emily jika penampilanku seperti Ibu ketika masih lebih muda. Emily tertawa geli seraya membenarkan.

Aku menghembuskan napas panjang. "Aku seperti badut."

"Tidak, kamu cantik." Emily memperjelas seraya menarik tanganku yang berusaha menghapus make up dengan tissue. "Kamu bahkan sama cantiknya dengan rombongan cewek yang duduk di bangku tim khusus." Dia tersenyum padaku dengan begitu tulus. "Sammy bahkan memuji penampilanmu. Aku tidak mendengar secara langsung tapi aku yakin dengan apa yang aku lihat." Emily mengatakannya seraya menatap lurus ke arah lapangan yang menampilkan tim sekolah lain yang tengah bertanding.

"Dari apa yang kau lihat?"

"Ya, dari apa yang kulihat. Dan mungkin dari semua orang yang melihat." Dia kembali menatapku. "Kakak bangga padamu."

Aku mengerutkan bibir, entah mengapa kata-kata manis Emily sekarang terdengar begitu menyakitkan. Dengan mendengar segala pujiannya dan senyuman hangat serta tatapan penuh rasa itu, aku kembali merasa menjadi makhluk yang paling hina. Segala yang kumiliki membuatnya bangga, tapi aku justru menjatuhkannya.

"Emily, aku ...,"

"Kamu perlu berpacaran."

"Apa?"

Dia mengangguk yakin. "Kamu perlu berpacaran, supaya tahu rasanya bagaimana."

"Rasa apa?" Aku mengerutkan dahi. Tatapan kami berdua mengarah pada Sam yang tengah berkumpul bersama timnya di pojok jauh lapangan. "Rasa menyenangkan ... atau rasa sakit."

"Dua-duanya." Mata Emily tak beralih dari rombongan tim basket itu. Aku menatap wajah sendunya untuk beberapa saat.

"Kenapa harus?" Aku berusaha tersenyum. "Denganmu saja aku sudah merasakan segala rasa."

Emily berbalik menatapku lagi. "Yang pernah kamu rasakan hanya Nano-Nano."

"Nano-Nano?"

Dia mengidikan bahu. "Hanya manis, asam, asin."

"Lalu?"

"Ada rasa lain yang pasti belum kamu coba."

Aku terdiam sesaat, menatapnya ragu karena ini pastinya jebakan. Entah apa tujuan Emily menyeretku pada pertanyaan ini, yang pasti dia seakan telah mengungkit masalah keluarga dalam percakapan kami. Aku mengerjapkan mata beberapa kali dan menggeleng. "Well, aku juga pernah ngerasain rasa yang pedas. Dimarahi guru? Dimarahi Ibu?"

"Bukan rasa yang seperti itu." Kini Emily terlihat ragu untuk melanjutkan. Gadis itu menghela napas panjang dan kembali menyorotkan mata ke lapangan. "Tapi sudahlah."

Aku memang tak ingin Emily menyeretku dalam percakapan yang tiba-tiba membuat suasana canggung ini, tapi perasaanku memberontak untuk meminta Emily menunaikan maksudnya. "Teruskan, aku ingin tahu apa maksudnya."

"Kamu pasti tidak mengerti."

"Kenapa kamu menutupi percakapan ini dengan topik pacaran? Kenapa tidak langsung mengatakan apa yang sebenarnya terjadi?"

Emily menghembuskan napas berat dan menunduk pelan. "Kamu akan mengetahuinya sendiri."

"Ada apa denganmu sebenarnya? Kamu menyembunyikan sesuatu dariku?" Sudah kuduga dia pasti menyembunyikan sesuatu.

"Tentang Ibu ...," ucapnya lirih. "Dia alkoholik."

🌬.....................🌪

Udah mau masuk sepuluh chapter terakhir😭😭

Gimana ya sama keduanya?

Tapi semoga kalian masih suka sama ceritanya.

See ya🎋

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro